“Sudah lama Dokter menjalani pekerjaan ini?”
“Tidak akan tertukar dengan ovum Saya ‘kan, Dok, yang dibuahi?”
“Dokter Dion kenapa memilih spesialis obgyn dan secara spesifik mendalami ilmu kesuburan?”
“Apa yang Dokter rasakan saat harus melihat organ pribadi pasien-pasien Dokter?”
“Suami pasien ada yang pernah protes gak, Dok?”
“Kalau pacar atau istri Dokter keberatan, gak, Dokter kerja begini?”
Rentetan pertanyaan itu kulontarkan saat tubuh ini sudah berbaring di atas brankar. Obat bius diinjeksikan dalam dosis kecil, supaya aku tidak mengalami kesakitan, meski setiap sentuhan masih bisa kurasakan.
Di bawah sana lututku ditekuk dengan posisi lebar, sehingga organ pribadiku terekspos sempurna untuk proses transfer embrio. Sebenarnya malu, tapi begitulah prosedurnya.
Dokter Dion sibuk memindahkan embrio tersebut menggunakan kateter, sementara asistennya
Sepulang dari rumah sakit, pola hidupku benar-benar harus dijaga. Kuakui pasangan itu menunjukkan dedikasinya untuk merawatku, meski jelas terlihat Nayla melakukannya sembari menekuk wajah dan cemberut. Semua karena maduku itu tidak bisa melarang Farhan untuk ikut memperhatikan kondisiku. Apalagi selama dua minggu krusial ini Farhan menegaskan bahwa ia akan lebih banyak memberikan waktunya untuk menjagaku. “Kita ingin semua ini segera selesai ‘kan, Dek? Biarkan aku menjaga Ira,” ujar Farhan kala itu yang tak sengaja kudengar, karena ia mengucapkannya saat kami tengah makan malam bersama, sepulang dari rumah sakit kala itu. “Aku saja, Mas, aku juga bisa kalau sekedar menjaga Mbak Zahira,” sahut Nayla yang membuat senyum tipis di bibir ini terbit. “Yakin tidak akan saling sindir dan adu mulut?” tanya Farhan sangsi. “Sudahlah, Dek, hanya dua minggu, kok! Demi anak kita juga.” Tumben sekali Farhan mau membujuk istri kesayangannya itu. Bukann
Dua minggu ini mungkin adalah dua minggu terberat dalam hidupku. Bukannya aku yang manja, tapi perempuan yang menjalani kehamilan normal saja bisa merasakan kepayahan, apalagi aku?Meskipun belum benar-benar dinyatakan hamil, karena harus menunggu embrio menempel terlebih dahulu. Syukurlah kesulitan itu tidak berlaku setiap saat, sehingga aku masih bisa melakukan kegiatan lain.Pekerjaan yang kubawa ke rumah tak bisa diabaikan. Setiap kali ada kesempatan, selalu kugunakan untuk mencicilnya. Menjalani pekerjaan yang serupa, terkadang Farhan juga ikut membantu jika nyeri ini tiba-tiba datang dan menyita konsentrasi. Aku cukup berterima kasih pada hal itu.Karena itulah Farhan dan Nayla begitu mengawasi setiap hal yang kukerjakan. Mereka khawatir aku terlalu larut hingga lupa dan membahayakan embrio dalam rahimku. Siang hari saat keduanya harus bekerja, ibu datang atas permintaan mereka untuk menjagaku.Tak ada asisten rumah tangga yang bisa dipasrahi, karen
Hari terus berganti, tak terasa dua minggu telah berlalu. Kini saatnya kami kembali ke rumah sakit untuk memastikan keberhasilan program bayi tabung ini.Besar harapan kami supaya embrio ini berhasil menempel pada rahimku. Selain telah mengeluarkan biaya yang sangat besar, butuh waktu berbulan-bulan supaya bisa melakukan promil serupa seandainya yang pertama ini gagal. Semoga saja tidak.Kali ini kami bertiga masuk ke ruang periksa bersamaan. Asisten dokter Dion telah melakukan pemeriksaan dasar yang hasilnya cukup membuat kami lega.“Semuanya tanda vital tercatat normal,” lapor asisten itu. “Nyonya silakan berbaring untuk pemeriksaan selanjutnya!”Aku pun segera naik ke atas brankar. Pakaianku dibuka sebagian, sehingga bagian perut terekspos. Gel telah dioleskan dan tranduser mulai bergerak. Jemari dokter Dion bergerak aktif, mencari keberadaan embrio yang pernah ditanamnya.Keheningan ini menghadirkan keteganga
Kandunganku memang masih muda, sangat muda malah, harus dijaga dengan baik. Namun, bukan berarti aku harus selalu berdiam diri jika fisikku masih merasa kuat. Lagipula, masih ada tanggung jawab yang perlu kuselesaikan.Berbekal peringatan dokter yang berakhir pada bermacam resep vitamin, aku tetap berangkat ke Lombok bersama Farhan dan juga tim kami.Nayla jangankan ikut ke lokasi, mengantar masuk ke bandara yang berpotensi mempertemukan dirinya dengan kolega Farhan pun enggan. Ia hanya berhenti di tempatdropoff penumpang, menunggu kami menurunkan bagasi, lalu berpamitan.“Jangan macam-macam di sana, telepon aku tiap satu jam, gak peduli lagi sibuk atau enggak, dan mintatwin roomkalau terpaksa harus sekamar! Cukup dua minggu aku izinin kalian seranjang,” peringat wanita yang rambutnya dicatash brownitu.Mana mungkin kami macam-macam kalau kandunganku saja masih belum benar-benar st
“Kamu bahkan belum lihat bener-bener, sudah harus dibersihkan?” protes Farhan.Kakiku berhenti di depan pintu kamar mandi lalu berbalik dan menatap ke arah ranjang selama beberapa detik. Setelah itu kembali kuarahkan pandangan pada Farhan yang tampak mengernyit.“Aku sudah lihat, jadi sudah bisa dibersihkan ‘kan?” tanyaku.“Gitu doang?”“Terus?”Pria itu berdecak seraya berjalan ke arah ranjang dan duduk di pinggirnya tanpa menyentuh dekorasi yang pihakresortbuat.“Dasar gak romantis,” keluh Farhan terdengar kesal.“Kamu kira ini beneran bulan madu?” tanyaku tak percaya.“Iyalah, dari awal sudah aku kasih tahu ‘kan?” Farhan balik bertanya dan kini giliranku yang berdecak.“Nikah ada batas waktunya aja sok-sokan pakai bulan madu segala,” gerutuku tanpa menimpali seraya bergegas masuk ke
Debur ombak di luarresortyang menghadap pantai itu menjadi musik alam yang mengantarkan kami ke alam bawah sadar. Sepanjang malam pria itu memelukku dalam berbagai posisi. Kebiasaan inilah yang baru kutahu akhir-akhir ini, karena baru menyaksikannya.Tak terdengar azan Subuh dari tempat ini, tetapi alarm di ponsel mampu membangunkanku. Pinggangku terasa berat dan pelan-pelan kupindahkan lengan Farhan. Langit di luar masih gelap, sehingga kubiarkan saja pria itu melanjutkan tidurnya sebentar lagi.Ia baru kubangunkan setelah selesai membersihkan diri dan berwudu. Namun, bukannya bangun Farhan justru menarikku hingga kembali jatuh ke ke atas ranjang. Bibirku memekik, memberikan protes sembari memukul ringan bahunya.“Wuduku batal, Han! Ah, Kamu sembarangan aja narik-narik lengan orang!” protesku keras hingga benar-benar membangunkannya.Pria itu bergegas duduk sembari mengucek matanya. “Maaf, kukira kamu,-&
Pekerjaanku adalah membuat strategi iklan yang akan ditayangkan, khususnya di media sosial. Karena itulah saat proses pengambilan gambar aku lebih banyak hanya menonton saja. Namun, tetap harus memperhatikan detail segala sisi produk yang kami iklankan. Siapa tahu ada yang perlu di revisi dari rencana awal.Di bagian haluan kapal syuting sedang berlangsung. Dua model tengah berpose di depan kamera sesuai dengan skenario yang telah dibuat oleh tim. Matahari di laut Labuan Bajo tengah terik-teriknya, sangat mendukung untuk iklan produkbody serumyang mengandung tabir surya. Kulit para model yang telah diaplikasikan body serum terliharbersinar di bawah terik matahari dan tak tampak terbakar.Mataku secara jeli menyaksikan proses syuting dari bawah atap yang terlindungi panas secara langsung. Sesekali kuteguk es lemon yang asam sekaligus menyegarkan. Beberapa hari ini aku suka makanan asam. Apa karena efek kehamilan?“Nih, se
“Kenapa? Mau makan?” tanya pria itu terdengar perhatian.Namun, aku menggeleng. Baru satu jam lalu aku ngemil tumbek, jajanan khas Lombok yang terbuat dari ketan, sehingga masih belum terlalu lapar. Pandanganku kini terpaku pada para kru yang tengah beristirat sembari menikmati minuman serta makan siangnya.“Apa Kamu sudah tahu bagaimana waktu itu kita bisa mengonsumsi obat laknat itu?” tanyaku menerawang.Farhan bergeming tak segera menjawab. Jika dihitung, sudah kurang lebih tiga bulan pasca kecelakaan memalukan itu terjadi. Belum pernah kutahu alasan bagaimana obat itu bisa sampai ke meja kami. Apakah itu disengaja atau tidak, aku tidak tahu.Bukan tidak ingin menyelidiki, hanya saja aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Bayangan kegilaan kami pun terus berkelindan, hingga urung aku mencari jawaban.“Pramusaji salah memberikan pesanan,” jawab Farhan setelah beberapa saat terdiam.Jawaban
“Nay,” panggil mbak Zahira bernada prihatin. Ia juga mengusap bahuku yang bergetar menahan perih yang sedang kualami. “Ini adalah hukuman untukku setelah begitu jahat pada kalian, Mas, Mbak. Aku minta maaf, aku menyesal,” timpalku yang semakin tidak tahu malu mengucapkan maaf bertubi pada keduanya. “Semua pasti ada hikmahnya,” balas mbak Zahira menenangkanku. “Kenapa kalian baik sekali dan tidak membalasku? Aku malu,” ungkapku kemudian. “Kami tidak membalas bukan berarti tidak pernah marah atau sakit hati padamu, Nay, tapi kami juga bukan Tuhan yang bisa mengadili kesalahan orang lain. Memang berat, tapi kami belajar untuk ikhlas. Dendam hanya membuat hati terbebani,” jelas Mas Farhan dengan tatapan teduhnya. Aku mengangguk setuju, karena memang itulah yang kurasakan saat dulu bertubi-tubi menyakiti mereka dengan dalih sakit hati. Tak ada keuntungan yang kudapat selain gana-gini, itu pun sekarang sudah hilang dicuri orang. “Mas, aku mau membuat pengakuan,” ujarku kemudian sambi
“Ayo masuk! Barusan Nayla dicek sama perawat, Alhamdulillah katanya sudah semakin baik,” ujar papa menyambut dua tamu yang kian mendekat pada brankar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Masih belum siap rasanya bertemu dengan mereka. Rasa bersalah dan malu beruntun menghantam bahkan sejak sebelum melihat pasangan itu. “Nay, ini ada Farhan sama Zahira,” ujar papa sambil menepuk bahuku. “Papa tahu Kamu gak tidur, ayo disapa! Bukannya Kamu mau minta maaf sama mereka?” bisiknya tepat di telinga hingga mau tidak mau aku pun membuka kelopak mata. Mereka, dua orang yang sudah sangat kusakiti demi bisa bersatu dengan kak Dion. Tak sanggup rasanya menunjukkan wajah ini. Namun, aku sangat yakin jika mereka datang bukan untuk menambah penderitaanku. Mas Farhan, mbak Zahira, jika aku tidak salah menilai, mereka bukanlah sosok pendendam. Bahkan saat aku bertubi menyakiti, mereka tak pernah membalas. Bisa-bisanya aku menyakiti orang sebaik mereka. “Kami baru tahu semalam kalau Kamu mengalami
“Ayo, sesuap lagi terus obatnya diminum biar cepat pulih!”Papa mengulurkan sendok berisi bubur khas rumah sakit dengan tangan tuanya. Kerutan di kulit itu baru kusadari telah bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Betapa abainya aku selama ini pada satu-satunya pria yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa syarat. Salah paham bahkan membuatku sempat membenci dan menjauhinya.Selama hampir satu bulan dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan di Puncak yang kupikir akan merenggut nyawa ini, papa tak sehari pun absen menjagaku. Bahkan Ibun yang kupikir selalu ada untukku belum tentu setiap hari menjenguk. Datang pun paling hanya satu dua jam, lalu pergi lagi.“Sudah kenyang, Pa, langsung minum obat saja,” tolakku menutup mulut.“Sekali lagi!” desak pria berusia kepala enam dengan sebagian rambut memutih tersebut.Kuhela napas panjang sambil mengerucutkan bibir tanda protes. Namun, papa tidak luluh hingga akhirny
Tak terasa sehari sudah aku berkutat dengan desain pakaian untuk koleksi terbaru. Pukul delapan malam aku baru sampai rumah yang kak Dion beli sebelum kami menikah. Beberapa lampu sudah tampak menyala memberikan penerangan. Mobil kak Dion juga sudah berada dicarport.Tumben, biasanya aku yang lebih dulu sampai di rumah, karena ia praktik sampai jam sembilan malam.“Kak!” sapaku setelah membuka pintu ruang tamu.Pemandangan tak biasa segera memenuhi mata. Tas, snelli, hingga stetoskop kak Dion berceceran di lantai. Pria itu juga kutemukan tengah mencengkram rambutnya di atas sofa dengan penampilan yang berantakan. Kaleng-kaleng bir bergelimpangan di atas meja, membuat aroma alkohol menguar tajam.“Kakak kenapa?” tanyaku beringsut mendekat padanya dan meraih bahu kak Dion.Saat kepalanya terangkat, kekacauan di wajah tampan itu semakin jelas terlihat. Matanya pun merah, tetapi menatap kosong.“Nay,&rd
Kuhela napas panjang dengan dengan hati yang diselimuti oleh kekecewaan. Untuk kesekian kalinya gumpalan berwarna merah menunjukkan jejak di celana. Lagi-lagi usaha kami untuk mendapatkan keturunan ternyata harus tertunda. Celana pun segera kuganti dan tak lupa tampon ikut terpasang untuk menampung darah bulanan yang keluar.“Kak, gagal, aku bulanan lagi,” aduku tepat setelah menutup pintu kamar mandi.Di depan cermin rias sana suamiku menghentikan kegiatannya merapikan rambut. Kepalanya menengok dan seperti yang kuduga, wajah tampan itu menunjukkan rasa tidak suka setelah mendengar laporanku.“Kok bisa?” tanyanya tidak masuk akal.“Ya mana aku tahu? Memangnya aku bisa mengontrol kapan haid dan kapan harus hamil?” dengkusku seraya menjatuhkan tubuh di atas peraduan kami.Ia berdecak seraya berkacak pinggang lalu menyuarakan kegundahannya. “Mama pasti bakalan ngomel lagi kalau tahu.”“Teru
“Kamu mau aku gituin juga?” tanyanya menawari, membuatku mengernyit. Perempuan ini malu-malu, tapi liar juga ternyata. Mengejutkan. “Memangnya bisa?” tanyaku sangsi. “Ajari, Kamu sukanya yang gimana?” balasnya sambil menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresinya yang semakin membuatku membuncah. Senyumku tak diberi kesempatan untuk luntur. Mumpung sudah ditawari, tak mungkin kutolak. Jadi, kuurungkan niat membuka sendiri celana dan mendekat pada istriku. “Bukain, setelah itu manjain dia,” ujarku meminta. Walau awalnya ragu, sampai juga tangannya pada celanaku. Diturunkannya perlahan, membuatku menahan napas berkat rasa yang membuncah. Ia sempat terkesiap saat tubuhku pun sama polosnya. Kepalanya mendongak, menatapku seperti kucing yang sedang meminta bantuan. Kuraih tangannya lalu menukar posisi hingga kini akulah yang berada di bawah, tetapi setengah duduk. Setelah itu kuajari Ira cara untuk menyenangkanku. Sentuhannya yang amatir anehnya mampu menerbangkanku ke atas awan. Tak
Sebelah tangan menahan tengkuk Ira, sebelah lagi menekan tomboloff remote TV. Bukan hanya aku yang modus menyentuh dengan dalih pijatan, istriku pun sengaja memilihfilmyang ternyata memang sesuai dengan judulnya. Misteri thriller yang dibumbui adegan panas tokoh utama pada beberapascene.Tak ada lagi suara lain di kamar ini selain decapan ciuman kami yang saling bersambut. Sepertinya inilah hasil dari latihan kami selama ini. Istriku sudah lebih luwes membalas pagutanku, bahkan tanpa aba-aba pun ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.Perlahan kurebahkan tubuhnya hingga telentang dan mengungkungnya di bawahku. Suhu udara semakin naik, AC telah kehilangan wibawanya. Deru napas meningkat, begitupula dengan degup jantung yang berangsur semakin cepat.Lengan Ira mengalung di leher dan seperti biasa ia mulai mengacak rambutku saat sudah terbawa suasana. Jika biasanya saat tanganku menjelajah Ira akan memekik terke
Setelah makan malam serta membersihkan alat makan bekas pakai bersama-sama, kami kembali ke kamar. Bukan langsung melakukan kegiatan yang sudah diberi lampu hijau oleh istriku, tetapi untuk menjalankan salat Isya serta dua rakaat sunnah.“Net*flix, yuk!” ajakku sembari melipat sajadah, mengalihkan kegugupan yang sekali lagi tampak dari gelagat istriku.Sudah seperti anak perawan yang mau malam pertama saja, padahal sudah punya anak. Eh, tapi bisa dikatakan Ira memang masih gadis, sih. Aku terkekeh dalam hati.“Yuk!” sahutnya antusias. “Sambil ngemilcakeyang Kamu beli tadi. Tunggu sebentar, aku ambil dulu,” lanjutnya seraya menyimpan mukena.“Yes, sugar rush!” selorohku.“Apaan, sih?” Istriku berdecak sambil menggelengkan kepala kemudian berlalu ke arah pintu.“Sekalian isi kadoku tadi dipakai,” pekikku mengantar kepergiannya.&l
“Boleh ‘kan? Aku menginginkanmu, Sayang,” jujurku dengan degup jantung bergemuruh, menunggu jawaban Ira yang tak kunjung terucap.Apa ia masih ragu padaku? Apa ia masih belum bisa menerimaku setelah tubuh ini pernah dinikmati oleh wanita lain? Mungkinkah Ira seidealis itu, padahal kini aku hanyalah miliknya?Bergemingnya wanita itu membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, hati ini sangat yakin jika Ira tak akan seperti itu. Kenapa? Karena jika ia keberatan, pasti akan memilih berpisah dariku walau ada Faza di antara kami.Meskipun Ira juga kerap kali tidak peka pada orang lain, tapi ia adalah tipe perempuan yang tahu apa yang dirinya inginkan. Apa pun risikonya, akan ia hadapi. Ya, aku yakin ini hanya masalah waktu dan kesiapan Ira saja.“Aku lapar, makan malam dulu,” ujarnya melepas kaitan jemarinya di balik leherku. “Sebentar lagi Isya terus kita salat, baru setelah itu kita bicarakan lagi keinginanm