“Bang Fadlan belum ngabarin juga, ya?” tanya Vivi.
“Belum,” jawabku seadanya. Dia mengangguk saja percaya.
Saat ini, Vivi sedang duduk di depan teras kamar kosanku sambil makan es krim yang kubelikan beberapa menit lalu. Vivi bersembunyi untuk menghindari amukan Nyak Marni yang tadi marah karena diberi nasi bungkus yang sudah hancur akibat dibawa lari-lari.
Walau aku sudah membelikan yang baru, kemarahan Nyak Marni belum juga reda. Vivi sengaja kabur ke mari untuk menghindari omelan ibunya itu. Tahu sendirilah, kalau Nyak Marni sudah marah, hebohnya kebangetan!
“Bang, mau tambah lagii,” pintanya merengek. Memohon agar aku membelikan dia es krim lagi.
“Enggak! Itu udah yang ke tiga, Vi! Udah, ya, Abang males perginya!” tolakku secara blak-blakan.
Vivi cemberut, “Peliit!”
“Dih! Udah, mah, minta, maksa banget pula!” sungutku tak mau kalah.
Vivi malah merajuk,
Hari ini aku mengantar Nyak Marni ke stasiun kereta—stasiun Gambir—bersama dengan Vivi. Tentunya naik mobil Fadlan. Enyak berulang kali mengingatkan agar aku terus menjaga Vivi, setidaknya sampai encingnya datang.“Denger kata Enyak? Sampai encing kamu datang, Abang yang tanggung jawab.” Aku menegaskan sekali lagi ketika kami dalam perjalanan pulang.Vivi melirikku sesaat, tajam sekali.“Ogah! Sendiri lebih baik,” tolaknya secara kasar.Aku menggeleng, setelah itu tak lagi terucap kata, baik itu dariku atau Vivi sendiri. Kami pulang bersama, duduk berdampingan. Tapi hati dan pikiran entah ke mana. Biasanya aku yang berusaha mencoba mengerti pun, kini tak mau. Aku lebih mementingkan ego. Namun, aku berpikir lagi, tak tega membuatnya terlalu patah hati.“Cemburu kamu itu enggak berdasar, Vi. Kita itu enggak ada hubungan apa-apa. Kamu jangan begitu, nyiksa sendiri. Abang kasih tau dari seka
Kala ingatan kembali menarik pikiran ini ke momen saat Vivi memelukku tadi, rasanya jantung berdetak dengan ritme cepat, aku tak mampu berbuat apa-apa, dan tak mengerti mengapa begini. Kuintip wajahku di pantulan cermin hiasan dinding, terlihat semu merah jambu. Darahku terasa mengalir turun sangat cepat, wajahku memanas. Merambat hingga daun telinga.‘Ada apa denganku?’Bukan hanya itu yang kini menari-nari dalam pikiran, tapi momen ketika dia membantu aku membalutkan perban di kaki, setelah sebelumnya luka ini kusirami dengan air mengalir dan diberi salep. Katanya, Vivi semasa SMA aktif dalam ekstrakulikuler bidang PMR. Dengan bangga dia berkata kalau ilmunya masih sangat dia kuasai.‘Kuasai apanya? Ini terlalu ketat.’Selagi Vivi sibuk membalutkan kain beberapa waktu lalu, dia juga tak berhenti mengoceh, berkata kalau dirinya sangat menyukaiku, dia akan menjadi istri yang baik kalau aku mau bersamanya. Mencinta
Kembali terpikir saat Vivi menjatuhkan benda yang dipeluknya terjatuh. Ternyata yang dia peluk tadi adalah kotak P3K. Mungkin dia mau berikan itu padamu. Sayangnya malah terjatuh, dan isinya telah berserakan di tanah. Kuyakin itu akibat syok atas perbuatanku. Perbuatan dosa, yaitu bohong tentang jalinan yang baru saja aku dan Sela rangkai.Iya, awalnya dia tak percaya. Namun, Sela yang peka pun membantuku. Dia yang awalnya menggantungkan tangannya untuk menyalami Vivi pun diurung dan merangkul lenganku dengan manja. Berkata kalau kami baru saja jadian.Vivi menatap kami secara bergantian. Wajahnya mengeras, dan kuyakin dia sangat marah kepadaku.Dia tersenyum sinis lalu menyelamati kami atas hubungan palsu yang baru kujalani. Setelahnya ia berbalik dan pergi.Jujur saja aku merasa sangat menyesal karena berani berbohong begini. Tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi.‘Maafin Abang, Vi. Semua demi kebaikan kita.’
Masih ditelan isakan, Vivi belum juga mau keluar dari dalam selimut. Tubuhnya ikut gemetar ketika isakan disertai cegukan keluar lewat tenggorokan.Aku diam sejenak. Memerhatikan Vivi dengan perasaan kusut. Rasa khawatir serta bersalah bercampur dalam benak. Bukan karena khawatir akan demamnya yang baru turun sedikit, tapi karena dia tak kunjung berhenti menangis.“Vi, maafin Abang, ya. Udah jangan begini terus. Nanti malah tambah sakit,” kataku berusaha menenangkan.Dia malah semakin terisak. Ya Allah, sesakit itukah dia oleh perlakuanku? Bahkan, di saat demam begini, yang membuat dia menangis bukan sakitnya, tapi karena aku?Ah, anak ini benar-benar membuatku sedih. Semua gara-gara aku. Dia sampai ada di rumah sakit juga karenaku. Beberapa jam lalu dia menungguku di depan pagar, tak peduli hujan sudah turun deras. Vivi mempercayaiku yang akan datang menjemputnya. Dasar bodoh.Aku merasa sangat bersalah. Tapi apa boleh buat
Baik, katanya hanya tiga hari. Vivi waktu singkat untuk membuat kenangan indah denganku, lalu setelahnya dia akan melupakan rasa yang dia punya. Cinta semu yang bahkan tak mungkin bisa kubalas sampai kapan pun.Pagi ini aku berniat menjemput dia. Katanya, sih, sudah diizinkan pulang dan boleh istirahat di rumah untuk pemulihan.Ini masih jam enam, tapi ponselku sudah penuh sama notifikasi panggilan tak terjawab, dan itu dari Vivi. Pakai nomor encingnya.“Ya, ampun bawelnya. Dia kira aku akan jemput itu bohong? Dasar bocil nggak sabaran.”Gegas aku meraih kunci mobil, pergi mengendarai kendaraan roda empat mogokan itu menuju rumah sakit tempat anak ingusan itu dirawat.“Dasar. Padahal dia juga bisa naik taksi atau kendaraan lainnya. Manja banget, apa-apa harus aku yang lakukan.”Meski sebel, akhirnya aku tetap berangkat ke sana dan mengorbankan jadwal kerjaku. Hari ini adalah kedua kalinya aku minta izin cu
Hari ini langit mendung, tapi tidak hujan. Alhasil, hawa saat ini terasa begitu tak nyaman.Aku pulang dengan tidak semangat. Perut keroncongan, badan keringetan, dahaga, terlebih motor sempat mogok. Tambah bikin ruwet.Baru saja motor kustandar di halaman depan, Cing Romlah sudah teriak-teriak ngusir kucing tetangga yang nakalnya luar biasa. Aduh, telingaku tersakiti sekali.Kucing itu si Oyen namanya, sesuai dengan warna bulu dia punya. Orange. Itu makhluk bukan nakal karena tidak diperhatikan sang majikan, tapi emang suka datang cari-cari pacarnya di sini. Nyari si Ketty, kucing punya bang Agus.Kok, tahu? Jangan-jangan suka ngintip.Ish, enak aja. Aku tahu dari pemiliknya, lah. Siapa lagi.Oke, lupakan soal si Oyen. Balik lagi ke cerita rutinitasku yang melelahkan. Aku berjalan ke arah unit kosan, di sana Vivi sudah menyambut dengan muka masam. Kepalanya miring, disanggah oleh satu tangan di meja depan kosan.Dia sudah berdandan c
Di malam yang cukup gersang ini aku duduk menghadap jendela sambil makan mie buatan tangan perempuan yang kuanggap adik. Ya, walau tadi dia lupa masukan bumbunya, tetapi aku cukup bersyukur masih ada seseorang yang perhatian di sini. Sayangnya setiap kali menyuap, hatiku diburu oleh ketidaktenangan yang besar, sebab Vivi diam di sini. Nungguin selesai sebelum pergi ngedate katanya. Asem emang. Bagi dia ngedate, bagiku bukan. “Bang, nanti ke bioskop, yuk. Nonton.” Dia mengajak ke sana. Nada bicaranya sangat ceria. “Iya, boleh.” Aku menyahut tanpa menoleh, dan hanya fokus pada mie instan yang sebentar lagi akan habis. “Yeeeay!” Vivi malah pergi padaku, menggelayut manja di lengan. Ya ampun, ini sungguh membuat perasaanku tambah terbebani saja. Pergi ke bioskop? Ya Allah, kenapa pula mulutku main setuju begitu mudahnya? Padahal sebenarnya aku agak meragu, teringat janji kepada sahabatku yang kini ada di negeri orang. Ia mengharap agar aku menjaga
Sepertinya pilihan untuk pergi ke bioskop adalah pilihan yang paling tepat. Soalnya langit sungguh menurunkan hujan. Hanya rintikkan kecil, tetapi tak kunjung berhenti sedari tadi saat mulai turun di pertengahan jalan.Vivi masih semangat memilih genre film yang mau dia tonton, sementara aku sudah menunggu sambil memeluk popcorn di dada. Ukuran besar, lumayan untuk nyemil di dalam kalau bosan.“Yuk, Bang,” ajaknya tak berapa lama. Tanpa permisi, Vivi menggandeng lenganku.“Nonton apa?” Kutanya karena penasaran. Mataku mengarah tepat ke tiket yang sedang ia pegang. Lalu, aku juga berusaha melepaskan diri darinya. Malu dilihat orang.Wajahnya cemberut, tetapi Vivi tak lagi menggantungkan tangannya di lenganku. Tak lama ekspresinya kembali normal. Sungguh perempuan, tak bisa ditebak isi pikirannya. Mudah sekali ganti mood.“Film romantis sejagad raya. Ini, tuh filem yang mau Vivi tonton sejak lama. Cuma baru kesampean har
“Agam! Agam!”Mata ini terbuka lebar kala bapak memanggil dengan hebohnya. Aduh, padahal aku sedang enak-enaknya tidur siang di kursi teras yang memanjang, sambil merasakan desiran angin sepoi-sepoi. Malah terganggu.“Apa, sih, Pak? Teriak-teriak gitu.” Aku terpaksa bangun meski mata masih terasa lengket.Bapak muncul di ambang pintu. Dan kami akhirnya bertemu mata.“Owalah, di sini toh kamu. Dicariin juga!” ucap bapak menggerutu. Lantas mendekatiku. Di tangannya tersampir baju batik berwarna dasar abu-abu.Bapak mendorongku agar bisa sedikit bergeser. Lalu, ia duduk tepat di sampingku. Sementara diri ini masih saja mengucek mata, mengusir kantuk yang mendera.“Ada apa, Pak? Lagi enak-enaknya tidur malah gangguin. Enggak seru,” ujarku protes.“Sera seru, sera seru! Ini, batiknya udah jadi. Coba dulu, siapa tahu kurang pas, jadi bisa cepet-cepet diperbaiki lagi. Ini malah enak-enakan tidur. Udah tahu kita lagi sibuk buat acara lamaran besok. Mepet ini, Gam.”Bapak kalau sudah menghadap
Langit sudah mulai menguning, menampakkan warna-warna cantiknya di atas sana. Aku terdiam berdiri menghadap jendela.Dalam diamku, telintas gambaran Agam. Kenangan bersamanya saat dulu tinggal bersama di kosan nyak Marni kembali terkorek.Mata ini terpejam kala canda tawanya terngiang-ngiang di telinga.Ada suatu rasa bahagia sekaligus sedih merayapi dinding hati tanpa alasan. Dia pergi begitu harusnya aku senang, kan? Lantas, mengapa malah rasanya semakin menyiksa.“Apa salahku, Gam? Sampai kamu sudah tak ada pun, kamu tetap memberi luka lagi dan lagi,” teriakku menggila.Sial!Kepergiannya malah membuat sebagian dari diriku saling menyalahkan. Seperti akulah orang yang telah membuatnya angkat kaki dari tempat itu. Aku orangnya!“Aaargh! Kenapa, sih nggak ngilang aja sekalian! Mat—” Ucapanku menggantung di udara kala menyadari jika hampir saja diri ini mengucap doa buruk.Astagfirullah. Kulemparkan diri pada kasur besar ini, menutup wajah, merasakan sesal karena bisa-bisanya aku meny
Hari demi hari berlalu begitu saja, tetapi segunduk nyeri di hati ini tak kunjung mereda. Mengingat kembali pengkhianatan sahabatku Agam, ingin sekali aku menyayat diri dengan pisau tajam.Sayangnya aku tak cukup berani untuk melakukan itu.Jika disuruh untuk jujur, aku tak sepenuhnya menyalahkan Agam. Aku juga salah karena telah jatuh cinta dengan mudahnya pada anak nyak Marni tanpa pernah berpikir sekalipun kalau akan ada saat-saat di mana rasa sayang bak saudara itu akan berubah menjadi rasa sayang antara laki-laki dan perempuan.Ya, aku yang terlalu bodoh.Aku tahu Agam tak pernah menginginkan semua terjadi. Aku yakin dia mencoba menolak rasa yang perlahan hadir di hatinya. Akan tetapi, sepertinya aku terlalu lama pergi, sehingga dia tak lagi sanggup menahan rasa yang telah berakar kuat tanpa ia sadari sendiri.“Sial, memang!” umpatku sengaja. Kini, aku sedang menatap tembok bercat putih bersih di kamar. Kacau.Sekelebat bayangan Vivi yang menolakku mentah-mentah beberapa waktu la
Pagi menyapa dengan dinginnya. Ketika mentari masih bersembunyi di balik awan, keluargaku sudah mengintrogasi diri ini. Menanyakan alasan kepulanganku yang super mendadak ini. Untungnya mereka percaya saat mulutku berkata pulang demi ingin memulihan diri. Mereka malah mendukung seratus persen.Yah, meski bukan pemulihan diri asli, tapi pmulihan hati lebih tepatnya.***Aku masih berjibaku di halaman belakang. Sedang mencabut singkong yang ditanam bapak. Ceritanya mau makan sup singkong buatan ibu.Hampir sepuluh tahun tinggal di kota, aku sampai lupa bagaimana caranya mencabut singkong yang baik dan benar. Dua kali terjungkal rasanya telah menjadi hal wajar ketika gagal mencabutnya, kan?Setelah banyak menghabiskan tenaga, akhirnya singkong yang kumau didapat juga. Lihatlah, tubuh ini basah oleh keringat. Ibu sampai geleng-geleng sambil tertawa melihat diri ini yang merosot ke lantai usai menyerahkan singkong-singkong itu ke tangannya.Ah, yang benar saja. Cabut satu pohon singkong be
Baru saja kulihat langit gelap gulita mengelilingi diriku, mengapa dalam sekejap mata mentari naik membakar kepala?Anehnya ini bukan di bus atau jalanan kota.Gunung! Aku berada di puncak gunung.Apakah ini mimpi? Tapi, terpaan angin menggelisir di atas kulit terasa nyata. Dingin.“Abang jahat.”Deg!Aku terperanjat mendengar suara Vivi yang terdengar begitu serak. Ketika mata ini memindai seluruh tempat yang terjangkau, tampak sosoknya di kejauhan sana, menatap dengan mata yang banjir air mata.“Vivi?” Aku berlari ke arahnya.“Abang jahat.” Lagi-lagi rutukkan itu yang terdengar.“Vivi! Tunggu!” Dia berbalik, pergi meninggalkanku di sini. Di tengah rimbunan pohon yang meninggi dengan sendirinya.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Kaget dengan situasi aneh ini. Apa-apaan semua?! Aku mundur terlampau takut.“Mas, Mas,” seru suara laki-laki mengalihkan perhatian.Seketika pemandangan menyeramkan itu lenyap, berganti dengan pemandangan dalam bus yang penumpangnya sudah turun. Tak jauh dariku
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai macet. Lampu-lampu menguning sebagai penerangan jalan di dekatku mencetak dua buah bayangan di bawah kaki.Aku dan Vivi.Di antara kebisingan kota kini. Kami berdua hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam.Kubenarkan anak-anak rambutnya yang telah basah menempel di pipi. Dengan mati-matian diri ini menahan air mata yang sudah menumpuk di ujung mata. Merasakan kembali betapa pedihnya perpisahan.Dan baru aku tahu jika perpisahan karena terhalang restu ini lebih menyakitkan daripada berpisah karena dikhianati seperti yang dilakukan Gina dulu.“Bang, jangan tinggalin Vivi. Abang udah janji, plis,” rengeknya begitu erat merangkul tanganku.Berkali-kali kucoba lepas, ia kembali merangkulnya tak peduli nyak Marni sudah begitu murka. Vivi seakan tak melihat keberadaannya. Dia hanya fokus padaku. Mencegah agar diri ini tak pergi.Sementara aku hanya diam mematung. Tak kurespon ucapan juga rengekan itu. “Ayo pergi aja. Kita nikah. Abang janji, kan ma
Kawin lari? Oh, tidak. Ini sama saja dengan kami memukul genderang perang, menantang. Dan aku sungguh tak menginginkan perang itu terjadi.“Apa?! Apa lu bilang? Ka-kawin?!”Sayangnya kemarahan nyak Marni telah meledak bahkan ketika aku belum menolak ajakan Vivi itu.Bugh! Bugh!“Aw, Nyak! Nyak sakit!” pekikku setelah gagang sapu yang dipegang nyak Marni mendarat beberapa kali di kepala.Karena gagangnya panjang, jadi dengan mudah memukulku. Akan tetapi, aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Berlari, mondar-mandir, bahkan berjongkok dan melompat demi melindungi kepala ini. Kepala yang sudah mau meledak karena mumet.“Aduh, Enyaak!” Vivi mencoba menghalangi, merentangkan kedua tangannya.Nyak Marni sempat berhenti sekejap. Namun aku tahu itu tak membuat kemarahannya reda. Malah yang ada lebih membara lagi.“Lu mau dipukul juga?! Hah!” Nyak Marni segera mengangkat sapu itu ke udara. Gegas aku mengangkat tangan, niatnya ingin menangkap gagang itu.Akh! Tak tahan rasanya! Aku ingin s
Semesta telah menentang, apakah aku punya hak untuk menyalahkan semua kepada-Nya?Astagfirullah ....Dari sekian banyaknya hal yang membuatku marah, kecewa, sedih, juga menyesal, mengapa aku sampai berfikir untuk menyalahkan Sang Pencipta?Kuhela napas berat, menyesali hal yang baru saja kulakukan.“Bodoh, kamu bodoh, Gam,” gumamku seraya menggusur koper berisi pakaian juga dokumen penting lainnya.“Pergi aja, enggak usah lirik kiri, lirik kanan. Vivi dikurung sama enyak, jangan harap bisa melihatnya,” lanjutku murung.Saat ini diriku masih berdiri tegap di ujung jalan, memerhatikan pagar yang menutup sedih. Aku sedang menunggu angkot di sini.Namun, tak lama pagar terbuka. Aku tak menyangka Vivi keluar dengan membawa ... tas besar? Untuk apa itu semua?Dia berlari ke arahku.“Vivi?!” Refleks diri ini juga menyambut kedatangannya.“Abaang.” Ia merangkul lenganku dengan tangis kecil yang memenuhi telinga.Kutarik kedua bahunya dengan perasaan kaget luar biasa.“Kenapa kamu keluar? Nant
Aku telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku, dan mereka akhirnya satu-persatu memilih membenci diri ini, lalu pergi meninggalkan tanpa ragu.“Putusin anak gue, dan jangan harap elu bisa masuk ke kehidupan kami lagi. Pergi lu dari sini.”Deg!Aku terpaku ketika akhirnya kata yang amat paling kutakuti keluar juga dari mulut nyak Marni.Pagi ini aku sudah dibuat gila dengan kepergiannya orang-orang yang aku sayang.Apa ini? Mengapa jadi begini?Mengapa mencintai satu perempuan muda saja sampai menghancurkan setengah dari hidupku, juga hidup orang lain?Apakah ini hukuman dari Yang Maha Kuasa karena aku melanggar janji kepada Fadlan? Ataukah ini karma karena aku melanggar janji kepada nyak Marni untuk tidak memacari putrinya?Astagfirullah ... jika ini terjadi sebagai bentuk ujian dari-Mu, hamba ikhlas. Namun, hamba mohon, jangan sampai Fadlan atau nyak Marni terus menutup hatinya dan terus marah sepanjang waktu. Jika berpisah dengan Vivi adalah jalan satu-satunya agar hamba mend