Beberapa hari ini aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Sebenarnya, berusaha mengingkari jika aku sudah mengencani pria yang usianya sembilan tahun lebih muda dariku. Kuabaikan panggilan dan pesan-pesan yang dikirim Tobias. Aku ingin menjauh darinya, melupakan dia kalau bisa. Karena aku yakin hubungan kami tidak akan berhasil.
Bahkan saat di apartemen pun aku tidak ingin berhenti, sedetik saja aku tidak beraktivitas, bayangan Tobias selalu menghampiri.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.21, seperti biasa mataku belum ingin terpejam, tapi semua pekerjaanku sudah beres. Baiklah, aku akan menghabiskan malam dengan membaca atau menonton film horor, hal tersebut selalu berhasil mengalihkan pikiranku. Aku mematikan laptop dan pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Selesai menyikat gigi aku menatap cermin, melihat seorang wanita dewasa dengan rambut blonde yang tergelung asal, mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek. Sorot matanya memancarkan rasa sepi. Yah ... aku
Lima belas hari ini aku benar-benar merasa seperti mayat hidup, menjalani aktivitas tanpa hati. Satu bulan yang lalu aku baik-baik saja, tapi sekarang semuanya terasa kacau. Aku tidak percaya, pria muda itu sudah begitu memengaruhiku, meski dengan benteng yang sudah kubangun selama tujuh tahun. “Em, dipanggil Bos!” seru Andrew salah satu rekan kerjaku. Aku mengerang lelah. “Ada apa lagi?” desahku. Sudah kelima kali ini dia memanggilku. “Kulihat dia sangat ingin memakanmu,” cengir Andrew. Aku membungkam Andrew dengan lirikan yang mematikan, berdiri dari kursiku sambil meraih sebuah map dan segera menuju ruang kerja atasanku. Baxter tua yang biasanya memiliki wajah ramah kini tampak masam saat aku melongokkan kepala di pintu ruang kerjanya yang terbuka. Aku mengetuk pintunya pelan meski dia sudah melihatku. “Kau memanggilku, Bos?” tanyaku santai. “Masuklah, Emily!” serunya pelan. Aku melangkah mendekatinya. “Duduk
Meski sudah terbiasa melihat Tobias di dapurku, tetap saja jantungku berdesir setiap menyaksikan kekasihku itu memasak. Apalagi sekarang dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjangnya. Dalam keadaaan seperti ini aku cuma bisa duduk sambil memandangi pria itu, mengkhayalkan membenamkan wajahku di dadanya, mungkin bermain dengan sedikit jilatan. Oh, Tuhan … sepertinya aku sudah kecanduan Tobias. Tarikan napasku sepertinya menarik perhatian pria itu, dia menoleh dan bertanya, “Kenapa?” Aku menggeleng. “Aku hanya tidak habis pikir, kenapa Tuhan menciptakanmu dengan segala keindahan yang ada pada tubuhmu,” gumamku melantur. Tobias yang sedang mengocok telur menghentikan aktivitasnya. Dia berbalik dan bersandar pada meja dapur sambil bersedekap. Pada bibirnya tersungging senyum tipis yang menyiratkan rasa geli. “Aku bertanya-tanya, apa Tuhan sedang sangat bahagia ketika menciptakanmu? Hingga terbentuk sesosok makhluk cantik yang luar biasa seksi,” bal
Pagi ini aku terbangun dengan wajah yang terasa tebal, kemudian mengerang ketika melihat pantulan diriku dalam cermin. Mata bengkak, bibir terluka karena aku menggigitinya semalaman, meredam isakan yang tidak bisa kutahan. Astaga … jika aku mengingat hal tersebut saat ini, aku sungguh malu. Reaksiku kemarin benar-benar di luar kendaliku. Siapa pun tahu aku wanita tangguh, orang yang selalu bisa mengontrol perasaan dan mengendalikan pikiran, tapi tidak dengan kemarin. Aku bertingkah seperti anak remaja yang baru saja patah hati, memalukan sekali.Ada yang salah denganku, aku tahu itu. Sejak bersama Tobias, aku merasa ada sesuatu yang lain yang bangkit dari dalam diriku. Sesuatu yang tidak pernah kuberi kesempatan tumbuh apalagi sampai mendominasi tubuhku bahkan sejak aku kecil. Sesuatu yang selalu bisa kutenggelamkan dalam-dalam ke dasar hatiku yang paling dasar, dan sekarang muncul ke permukaan tanpa bisa terbendung.Emosi.Aku, Emily Gale, tidak pernah m
Aku pernah bercerita tentang garasi rumah Tobias yang juga berfungsi sebagai bengkel pribadinya, bukan? Garasi itu kini menjadi tempat favorit kita berdua. Aku sering menghabiskan waktu di sana, sekadar untuk berbincang atau menemani Tobias memperbaiki Crimson seperti sekarang. Rumah Tobias merupakan bangunan satu lantai yang tidak terlalu besar, letaknya di daerah pinggiran Los Angeles, tepatnya di Porter Ranch. Seperti yang sudah pernah ia ceritakan sebelumnya, Tobias tinggal bersama neneknya. Aku biasa memanggilnya Laila. Halaman rumah Tobias menyambung langsung ke jalan raya tanpa dibatasi pagar, sebuah pohon karang afrika ditanam di salah satu sudutnya sebagai peneduh. Suasananya yang menenangkan dengan embusan angin yang segar selalu bisa membuatku tahan berlama-lama di sini. Saat Tobias sedang asyik dengan Crimson, tiba-tiba sebuah pikiran melintas di otakku. Apakah Allison Clay juga pernah menaiki Crimson bersama Tobias? Atau mereka malah pernah bercinta di s
Summer itu semangat. Ia adalah poros dari segala puncak kemeriahan. Seperti Tobias. Dia itu bagaikan awal musim panas, hangat dan dipenuhi cahaya mentari yang melimpah. Semangat akan hidup dan gairah kemudaannya begitu menular. Menghadirkan kegembiraan bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Itu bisa kulihat dari wajah teman-temannya jika mereka berkumpul. Erin Lamb, sahabatnya; Joseph Bush sang Bos yang biasa dipanggil Joey; lalu rekan-rekannya di bengkel, mereka semua menyukai Tobias. Meski begitu, aku tetap merasa khawatir ketika tiba-tiba Mom meneleponku, menanyakan kebenaran hubunganku dengan Tobias. “Elian bilang kau mengencani pria yang lebih muda darimu, Dear?” Aku hanya bisa mengumpat kelakuan sepupuku dalam hati, dia benar-benar tidak bisa menjaga mulutnya. “Ajak dia ke rumah, Mom heran kau tidak mengenalkan dia pada kami sejak awal, kau tahu rumah kita tidak terlalu jauh dari apartemenmu kan, Sayang.” “Oh, itu hany
Akhir pekan ini aku lebih gugup dari biasanya. Rencana mempertemukan Tobias dengan keluargaku benar-benar menguras emosi dan pikiran. Mereka hanya tahu Tobias lebih muda dariku, tapi tidak sembilan tahun. Aku khawatir tentang tanggapan mereka begitu mengetahui hal tersebut. Mungkin Mom akan tetap tersenyum, karena dia sangat pintar menyembunyikan suasana hati, tapi berbeda dengan Dad. Aku khawatir dia akan bertindak sesuatu yang menyakiti Tobias. Bukan dalam artian fisik tentu saja, Dad bukan type orang yang suka memukul kencan putrinya hanya karena dia lebih muda. Tapi, firasatku sungguh tidak enak. Tobias memarkir mobilnya di pinggir jalan depan rumahku. Aku menggandenganya dan mengajak ia masuk. Dia mengenakan T-shirt hijau cerah yang dimasukkan ke dalam celana, menyisir rambutnya rapi dan berpenampilan layaknya hendak bertemu orang penting. Aku cukup bangga dengan usahanya menarik simpati keluargaku. Aku menemukan Mom dan Dad di kebun belakang, dan yang
Ada yang berbeda dengan Tobias. Aku merasakannya. Sikapnya memang tidak berubah, perlakuannya padaku masih semanis biasanya. Tapi dari bahasa tubuhnya aku tahu ada yang tidak beres dengannya.Aku terbiasa menilai seseorang dari bahasa tubuh mereka, itu sangat berguna bagi reporter sepertiku. Dan dengan pengalaman tidak terbatasku, aku yakin Tobias menyembunyikan sesuatu.Kejadiannya akhir pekan kemarin, seperti biasa dia menginap di apartemenku. Malam saat aku terjaga, Tobias tidak berada di ranjang. Aku segera bangun dan mengenakan kaos milik Tobias yang kutemukan, beranjak keluar dari kamar.Suara samar yang terdengar dari arah pantry membawa kakiku ke sana. Namun saat pendengaranku bisa menangkap suara itu dengan lebih jelas, aku sengaja berhenti. Tobias sedang menelepon seseorang. Di tengah malam seperti ini? Siapa? Dan yang membuatku curiga, dia berbicara sambil berbisik seolah tidak ingin ada yang mendengar percakapannya.Beberapa patah kat
Kata-kata yang baru saja diucapkan Tobias seperti sebuah bom yang baru saja menimpaku. Aku bukan penggemar MMA, atau jenis olah raga kasar semacam itu. Melihat orang-orang bertubuh besar yang berkelahi sampai berdarah-darah selalu membuatku mual.“Kau tidak serius kan, Tobias?”Pria di sampingku tidak menjawab, dia hanya menatapku sendu. Namun aku bisa melihat tekad yang terpancar di matanya. Tanpa dia berbicara aku sudah tahu apa jawabannya. Tenggorokanku terasa kering, bayangan Tobias yang bertarung di atas ring menimbulkan perasaan ngeri.“Kenapa?” tanyaku pendek, dengan suara serak. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih panjang, apa yang menyebabkan dia ingin kembali bertarung? Kenapa mendadak dia ingin kembali bertarung? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, tapi aku tidak sanggup mengucapkannya.“Aku hanya ingin melakukannya, Em. Beruang tidak hibernasi selamanya,” gumamnya mengalihkan pandangan dariku. Aku tahu bukan
Jika musim panas menggambarkan keceriaan, musim gugur adalah bagian romantisnya. Jadi mengadakan pesta pernikahan pada saat musim gugur, kenapa tidak?Kami membicarakan pernikahan secepat putaran jarum jam. Gaun, tempat,catering, disiapkan dengan mendadak. Semua ikut berperan, teman-teman kami, para sepupuku, bahkan kedua orangtuaku ikut antusias menyiapkan pesta pernikahan kami.Mengenai ayahku, mata hatinya telah terbuka begitu melihat perjuangan Tobias dalam mendapatkan restunya.Dadmenyadari, pria yang mau berjuang sedemikian rupa bukan hanya untuk wanitanya, tapi juga demi ayah si wanita adalah pria yang pantas untuk sang putri. Dia mengatakan hal tersebut padaku. Dan aku dengan rasa bangga, memeluknya penuh kasih sayang.Jadi di sinilah kami sekarang, di sebuah lahan kosong milik pamanku yang sudah disulap menjadi tempat pernikahan paling romantis sedunia. Dikelilingi pepohonan yang daunnya sudah berubah warna. Angin lemb
Tobias sembuh dengan cepat. Dia masih haruscheck upbeberapa kali setelah keluar dari rumah sakit, tapi semua hasilnya sangat memuaskan. Dokter menyatakan Tobias telah sembuh total. Tidak ada dampak buruk pada tubuhnya akibat luka tembak kemarin kecuali bekas luka operasi pada bagian atas telinga kanannya. Walau menurutku itu sama sekali bukan sesuatu yang buruk, Tobias terlihat lebih seksi dengan bekas luka itu.Hari terakhir di rumah sakit, Tobias melamarku. Sama sekali bukan lamaran yang romantis, entah siapa yang merencanakan ide konyol itu.Pagi itu perban yang membebat kepala Tobias akan dibuka. Aku agak cemas karena mengkhawatirkan lukanya, tapi dia malah menertawakan kecemasanku. Seolah hal tersebut memang pantas ditertawakan seperti sebuah permainan.“Aku mencemaskanmu dan kau malah menertawakanku,” gerutuku sebal. Sementara dia berusaha menahan senyumnya.“Maaf, NB. Aku tidak bermaksud,” katanya, terli
Hari kesembilan belas Tobias terbaring koma.Aku bangun pagi-pagi sekali bahkan sebelum matahari terbit. Sinar matahari musim gugur memang tidak sehangat matahari musim panas, tapi itu tidak menjadikanku bermalas-malasan. Apalagi hari ini adalah hari besar, siang nanti aku ada janji dengan agen properti. Ada sebuah rumah yang kriterianya sesuai dengan keinginanku dan aku ingin melihatnya.Saat sedang menggosok gigi, ponselku berdering. Aku segera berkumur dan langsung mencuci muka, mengelapnya dengan handuk, lalu buru-buru kembali ke kamar untuk menjawab panggilan.“Halo ... ya, benar ... apa? ... Anda serius? ... Baik, saya akan segera ke sana.”Panggilan terputus, aku mendekap telepon genggamku di depan dada dengan perasaan tidak percaya. Sesaat otakku membeku, begitu juga dengan tubuhku yang tidak bisa bergerak. Namun kebalikannya, jantungku justru berdegup sangat kencang.Dan ketika kesadaranku kembali, tidak ada yang ingin
Dua minggu sudah Tobias terbaring dalam keadaan koma. Namun belum ada tanda-tanda dia akan segera sadar. Seperti biasa hari ini aku duduk di samping Tobias sambil menggenggam tangannya, hal yang selalu kulakukan setiap kali aku berkunjung.“Hai, Tobias ... apa kabarmu hari ini?” bisikku lembut setelah mencium keningnya. Kutatap wajahnya yang terlihat damai, perasaan sedih yang selalu kurasakan saat melihatnya timbul kembali.“Kau tahu? Kemarin aku mengunjungi Laila, dia terlihat bahagia di tempatnya yang sekarang.” Sejak Tobias dirawat di rumah sakit, Laila memutuskan untuk tinggal di panti jompo. Sebenarnya aku mengajak dia tinggal bersamaku, tapi dengan sopan wanita tua itu menolaknya. Katanya dia tidak terlalu suka tinggal di gedung apartemen, terasa seperti bukan di rumah saja.“Dia masih sedih karena kamu belum bangun juga, tapi dia memiliki banyak teman yang menghiburnya di sana,” aku meneruskan. “Dia merindukanmu,
Aku melihatnya, terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan peralatan medis yang menempel pada tubuhnya. Rasanya tidak percaya melihat Tobias yang ceria dan penuh semangat kini terkapar tak berdaya, tanpa ada tanda kehidupan kecuali grafik pada layarbedsidemonitor.Dokter memberi tahu kami bahwa mereka berhasil mengeluarkan peluru dari kepala Tobias, tapi meski begitu mereka tidak bisa menjanjikan kondisinya akan semakin membaik. Saat ini Tobias dalam keadaan koma, dan pihak rumah sakit tidak bisa melakukan tindakan apa pun kecuali perawatan.Berapa lama Tobias akan koma? Tidak ada yang bisa memastikan. Bisa hanya beberapa hari, minggu, bulan, tahun, atau yang terburuk, tidak pernah terbangun sama sekali.Sesuatu yang berat terasa menghantam jantungku, rasa sakit sekaligus sesak membuatku susah bernapas sehingga dadaku terasa membengkak. Membayangkan Tobias tidak pernah terbangun lagi ... itu adalah mimpi terburuk buatku.Aku melangk
Tanganku yang memegang roda kemudi tidak bisa berhenti gemetar, air mata yang terus mengalir kuusap berkali-kali agar tidak mengaburkan pandangan. Aku berusaha tenang, menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan teratur. Namun suara Elian terus menggema dalam otakku.Tobias tertembak, Emily. Tobias tertembak!Ya, Tuhan … bagaimana dia bisa tertembak?! Itu pertandingan MMA, bukan kompetisi menembak!Mobilku meluncur kencang membelah jalan raya, melewati entah berapa mobil, aku hanya ingin cepat sampai rumah sakit tempat Tobias ditangani. Menemuinya; mengetahui dia baik-baik saja. Namun apakah dia baik-baik saja?Pertanyaan itu sungguh mengganggu, sayangnya saat menelepon tadi, Elian tidak menceritakan apa-apa, dia hanya memintaku cepat ke sana. Aku hanya bisa berharap tidak ada hal buruk yang terjadi padanya, oh Tuhan ... aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.Saat harus berhenti ka
Begitu yakin dengan kehamilanku, aku mengambil keputusan yang sama sekali tidak pernah aku rencanakan. Resign.Ya, aku memutuskan akan meninggalkan California, pergi ke pinggiran kota dan menetap di sana selama beberapa waktu. Kurasa tabunganku sudah cukup untuk hidup berdua dengan anakku sampai beberapa tahun, setelah itu aku bisa kembali bekerja.“Coba pikirkan sekali lagi, Em.” Baxter terlihat enggan melepasku. “Ambillah cuti, pergi berlibur dan kemudian kembali ke sini, aku membutuhkanmu.”“Terima kasih, Bob. Tapi aku hanya ingin resign,” sahutku mantap.Baxter menghela napas. “Kalau kau punya masalah, ceritakan padaku. Kau tahu aku selalu bisa diandalkan, bukan?”“Aku tahu, kau salah satu yang terbaik, Bobbie,” aku berkata tulus.“Bagaimana dengan liputanmu? Kau berjanji akan memberiku berita spektakuler.”Aku terdiam, ucapan Baxter menginga
Entah berapa lama aku menangis dalam pelukannya, selama itu Tobias terus mendekapku dengan lembut, membelai rambutku, dan sesekali mengecup puncak kepalaku. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Tobias, dia hanya melakukan hal tersebut, terus menerus, sampai akhirnya tanpa sadar aku tertidur.Saat terbangun, aku masih berada dalam pelukan Tobias. Akan tetapi dengkuran halus yang kudengar memberitahuku jika pria itu sudah terlelap. Kulepaskan dekapan tangannya dengan hati-hati, lalu beranjak turun dari tempat tidur.Kupandangi wajah pria yang beberapa bulan terakhir mengisi kehidupanku, yang sudah memoles ruang abu-abuku dengan keceriaan aneka warna, mengajarkanku tentang pengorbanan dan cinta tanpa batasan.Dadaku terasa sesak, meski kebersamaan kami hanya semusim, tapi begitu banyak yang telah kami lewati. Setiap detik yang kulalui bersamanya adalah waktu yang paling berharga, yang tidak akan pernah aku lupakan.Aku membereskan barang-barangku tanpa
“Kekasih Anda pasti mempunyai alasan kenapa tidak berkata jujur pada Anda,” kata Sam menghiburku.Aku tersenyum masam.“Aku punya sesuatu yang mungkin akan sedikit mengobati rasa kecewamu, Miss.” Sam keluar dari balik meja bar dan menuju meja kerjanya, lalu mengambil sesuatu dari laci. Setelah itu dia langsung kembali.Dia mendorong selembar tiket yang ia letakkan di atas meja ke hadapanku. “Malam ini pacar Anda bertarung. Saya membeli tiket karena ingin menonton dia, tapi mendadak istri dan putri saya pergi ke rumah orangtua istri saya, jadi saya harus menunggu pub. Bayar seharga saya beli saja, 247 dolar. Tolong uang kes.”Tanpa banyak bicara aku mengeluarkan dompetku dan menguras isinya, meletakkan 12 lembar uang kertas 20 dolar dan satu lembar 10 dolar ke atas meja. Untungnya aku baru mengambil uang tunai di ATM tadi.Aku meraih tiket dan langsung pergi meninggalkan pub.Langkahku gontai saat menyusuri