Di tengah perjalanan, ponsel Steven berdering, sebuah panggilan dari Tamara dan Steven langsung menjawabnya.
“Halo Tam.”
“Kamu dimana Stev?” tanyanya dengan suara yang terdengar begitu panik.
“Aku perjalanan menuju Thamrin, kenapa Tam?”
“Jeni kecelakaan, aku tadi gak sengaja lewat Thamrin dan ada kecelakaan di situ, rame banget, ternyata itu Jeni dan Louis.”
Steven semakin panik namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“Lalu bagaimana keadaannya?”
“Jeni agak lumayan parah, kalau Louis masih sadar, aku sharelok rumah sakitnya sekarang.”
Steven tak menjawab, di dadanya gemuruh kemarahan yang sulit ia ungkapkan. Panggilan pun berakhir dan Steven segera mendapat alamat rumah sakit dari Tamara.
Tidak asing dengan alamat rumah sakit yang dikirim Tamara, Steven segera menginjak pedal gas mobilnya dan membuat mobilnya seakan melayang seketika.
Beberapa m
Steven baru tiba di rumah sakit dan ia mendapati Tamara yang sedang menangis tersedu-sedu, ia kebingungan bahkan lebih mendominasi perasaan takut terjadi sesuatu dengan Jeni.“Tamara, kamu kenapa menangis? Apa yang terjadi dengan Jeni?”Seketika Tamara mendorong tubuh Steven kuat-kuat, ia sangat marah, Tamara curiga Steven sudah tahu hal ini dan ia berusaha membantu Jeni untuk menyembunyikan semua ini darinya dan juga Tania.Steven terhuyung dan ia bingung.“Tamara apa yang terjadi denganmu?”“Jeni hamil, kamu pasti sudah tahu itu kan?” tanya Tamara dengan isak tangisnya.Steven membeku sesaat, wajahnya tertunduk.“Jawab aku Stev!” bentak Tamara.Tatapan Steven beralih sesaat sebelum akhirnya ia merendahkan suaranya dan bergumam, “Maafkan aku Tam.”Tamara kembali membanting tubuhnya di tempat duduk sambil menutup wajahnya dan menangis dengan frustasi.Ste
Mendengar hal itu, Jeni tercengang kemudian wajahnya tertunduk, detik berikutnya ia merasakan wajahnya memerah dan jantungnya berdebar kencang, seakan mensinyalir perasaan baru yang sedang bersemi di hatinya.Setelah penghianatan dan sikap Louis yang tak ada habisnya menyakiti dirinya, mata Jeni seakan terbuka lebar dan ia tidak sekeras kepala dulu, apalagi Steven selalu ada di sampingnya dan menjadi garda terdepan di setiap masa sulitnya.Tapi Jeni merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menerima Steven, maka ia begitu bimbang.Melihat Jeni yang terdiam begitu lama, Steven segera menyela dan meralat ucapannya.“Maafkan aku Jeni, sepertinya aku harus pergi sebentar,” ujar Steven begitu gugup.“Steven tunggu!”“Jeni, aku....”“Steven, aku tidak masalah dengan perkataanmu, rasanya aku begitu bodoh jika aku terus-menerus menyia-nyiakan orang yang sangat baik sepertimu, tapi aku minta maaf k
Lama menunggu jawaban Louis, membuat Renata begitu kesal, ia mematikan sambungan teleponnya dan fokus menyetir, ia harus cepat sampai ke kantor Rena Group.Sepuluh menit berikutnya, mini cooper milik Renata tiba di Rena Group, ia buru-buru masuk dan mencapai private lift menuju ruangannya.“Serena, apa yang sebenarnya terjadi?”“Saya tidak tahu, saya sudah memeriksa semuanya dan harusnya ini tidak terjadi, tiga klien penting kita bahkan baru saja menelfonku untuk memutus kerja sama dengan perusahaan kita, jadi hampir semua klien mengagalkan dan memberhentikan kerja sama dengan Rena Group dalam waktu yang bersamaan Nona, apa ini masuk akal?”Kepala Renata rasanya ingin meledak saat itu juga, sebuah kejadian tidak masuk akal terjadi begitu saja di perusahaannya dan itu membuatnya gila.Renata jadi tiba-tiba teringat dengan seseorang dan jantungnya langsung bereaksi untuk berdegup semakin kencang.“Apa semua ini ad
“Kalau kamu tidak mau membantuku lebih baik kamu pergi sekarang!” bentaknya kemudian.Louis tak mengindahkan perkataan Renata, ia tetap berdiri dengan tatapan dingin.“Renata aku akan membantumu, tapi jujurlah! Jangan sampai aku sendiri yang menanyakannya pada Steven,” ujar Louis murka.“Pergi!”Louis akhirnya menyerah dan ia memilih pergi dari ruangan Renata. Melihat Louis pergi, Renata semakin emosi sehingga ia membuat seluruh dokumen dan barang-barang yang ada di meja kerjanya jatuh berserakan ke lantai.***Di rumah sakit, kondisi Jeni semakin membaik, hal itu membuatnya tidak ingin tinggal terlalu lama di rumah sakit ini.“Steven, kapan aku akan diperbolehkan pulang?”“Aku belum tanyakan itu pada dokter, memangnya kamu sudah merasa lebih baik?”Jeni mengangguk-angguk, entah kenapa ia merasa tidak nyaman tinggal di rumah sakit, itu karena Jeni lebih memikirk
“Dia tidak mau jujur padaku.”“Kamu yakin ingin tahu yang sebenarnya?”“Iya.”Steven mematikan kemudian mematikan ponselnya dan mengirim pesan pada Louis berupa rekaman CCTV cafe sekaligus tangkapan layar pesan Felix.Alisnya kemudian terangkat sambil menampakkan senyuman yang tidak terlihat seperti senyuman, Steven lalu kembali ke ruangan Jeni dan menormalkan ekspresinya.***Di Graha Ayu Residence, Tamara tampak membanting tubuhnya di tempat tidur, pikirannya masih penuh tentang berita kehamilan Jeni, hal itu membuatnya frustasi, ia tidak menyangka Jeni yang ia kenal begitu kalem akan menyerahkan harta berharganya sebagai seorang perempuan kepada laki-laki yang tak bertanggung jawab seperti Louis.Tamara melenguh nafas berat, tangan kanannya kemudian bergerak-gerak meraih ponselnya dan ia menghubungi Tania.Kebetulan Tania sudah kembali di Indonesia hanya saja masih berada di kota lain di r
Sisa hari itu berlalu begitu cepat, tak terasa malam hari dan saat ini Louis sedang makan malam bersama kedua orang tuanya di rumah.Ada yang ingin Louis katakan pada papinya, namun entah kenapa tenggorokannya seperti tercekat, akhirnya Louis mengisyaratkan matanya untuk menyuruh maminya.“Pi,” tegur Monica di sela makan malam itu.“Iya.”Aditya Saloka menjawab tanpa menatap, ia terlalu fokus pada makan malamnya karena seharian tadi ia begitu sibuk hingga tidak memperhatikan perutnya yang belum terisi apapun selain air mineral.“Louis, sebenarnya mau bicara sama Papi, kalau dia ingin melamar pekerjaan di perusahaan Papi,” lanjut Monica.Aditya Saloka hampir tersedak, ia buru-buru meraih minumnya dan kemudian menghentikan aksi sendok garpunya.“Benar begitu Louis?” tanyanya dengan tatapan penuh selidik.Pasalnya selama ini Louis selalu menolak dengan dalih ingin menyelesaikan kulia
***Pagi-pagi sekali Tania tiba di rumah Tamara, pada saat itu Tamara sedang sarapan sendirian di ruang makan dan ia dikagetkan oleh kepulangan Tania, Tamara sangat senang dan ia memeluk Tania dengan erat.“Aku kangen sama kamu Tan.”“Aku juga, kamu baik kan?”Tamara mengangguk, namun ia berubah murung saat ingat masalah Jeni, Tania segera bereaksi untuk bertanya kepada Tamara, “Kenapa kamu tiba-tiba sedih?”“Ayo kita sarapan dulu, aku janji nanti akan cerita semuanya sama kamu Tan.”Tania mengangguk setuju karena perutnya sudah keroncongan akibat perjalanan pagi-pagi menuju ke Jakarta.Mereka sarapan berdua kemudian Tamara menggiring Tania ke kamarnya ketika selesai sarapan.“Ada yang ingin aku ceritain sama kamu Tan, tapi kamu jangan kaget ya?”Tania mengangguk ragu-ragu meski dalam hatinya justru sangat deg-degan.“Ini soal Jeni Tan, jadi ternyat
“Nanti malam saya akan mengudang semua dewan eksekutif perusahaan juga beberapa perusahaan lain untuk makan malm di ballrom hotel Saloka, saya akan mengumumkan berita baik ini kepada mereka semua, meski Louis belum lulus kuliah tapi saya percaya dia bisa sama hebatnya sepertimu Stev, kalian penerus keluarga Saloka yang luar biasa, sembari mengawasi kinerja kalian, saya juga ingin mengembangkan perusahaan Saloka secara global, saya akan lebih memperhatikan beberapa perusahaan yang ada di luar negeri,” lanjut Aditya Saloka begitu semangat.Steven menanggapi hal itu dengan suka cita, akhirnya Saloka Group dipercayakan padanya, setidaknya ia sudah mewujdukan impian almarhum sang ayah.Sementara Louis merasa tidak senang karena Axel Corp hanya perusahaan kecil baginya, ia lebih menginginkan kedudukan di Saloka Group, maka ia tidak bisa menahan diri untuk tidak protes kepada ayahnya.“Maaf Pi, tapi kenapa saya harus ditugaskan di Axel Corp? Bukankah
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany