Jeni terpaksa mengatakan itu, padahal ia hanya ingin tahu reaksi Louis. Kalaupun Louis justru memang mendukungnya, ia pun tidak akan tega membunuhnya, tentu saja Steven pasti akan membencinya.
“Apa yang terjadi denganmu Jeni, bukankah kamu masih sangat mencintaiku?”
“Tidak penting, apa kamu menginginkannya?” cecar Jeni.
Louis masih terdiam.
“Ya, aku menginginkannya. Tolong jangan membunuhnya,” tegas Louis.
Entah kenapa Jeni seperti mendapat kiriman hawa segar dari balik handphonenya, ia tersenyum haru. Jeni tidak menyangka Louis menginginkannya.
“Lalu kenapa kamu tidak datang menemuiku Louis? aku... aku sangat merindukanmu.”
Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari mulut Jeni, seharian ini ia begitu tersiksa menahan rasa rindunya kepada Louis.
“Aku pasti akan datang menemuimu.”
“Kapan?”
“Besok, di hari ulang tahunmu. Aku tidak pernah melupakannya.”
“Thanks Louis.”
Luluh, Jeni luluh begitu saja seakan Louis tak pernah membuat kesalahan besar apapun padanya, ia bahkan saat ini tersenyum begitu senang dan melayang ke puncak kebahagiaan tertinggi.
Jeni sampai mencium handphonenya berkali-kali dengan teriakan kecilnya saat Louis sudah menghakhiri pembicaraan itu, hal itu membuat Steven bangun, dengan mata yang masih sangat mengantuk ia terheran melihat Jeni yang begitu kegirangan seperti itu.
“Apa dengannya? Apa Louis baru saja menghubunginya?” batin Steven.
Steven sampai geleng-geleng kepala sendiri melihat tingkah Jeni, diliriknya jam tangan rolex hitam itu baru menunjukkan pukul 23.30 WIB, masih ada setengah jam lagi untuk kembali tidur dan menunggu Tania juga Tamara datang untuk memberi surprise kepada Jeni.
Jeni, yang sedang sangat bahagia itu tidak tahu kalau diam-diam diperhatikan Steven. Ia tak sabar menunggu hari esok, maka ia terlelap begitu nyenyak.
Semuanya, terlelap begitu nyenyak di tempat masing-masing, baik itu Stven yang kelelahan bekerja, juga Tania dan Tamara yang juga kelelahan jalan-jalan bersama mamanya yang baru pulang dari Singapura. Semua lupa dengan ulang tahun Jeni.
Hingga pagi menjelang, jam 6 pagi saat Jeni masih tidur dengan begitu nyenyak, Steven tergeragap bangun, ia lalu menghubungi Tania dan Tamara untuk menyuruhnya ke rumah sakit.
Dan setelah beberapa menit kemudian.
“Surprise!”
Steven, Tania dan Tamara meneriaki Jeni yang masih tidur sambil membawa kue ulang tahun juga confetti popper yang segera ditaburkan ke langit-langit ruangan. Jeni seketika bangun dan justru membuat mereka semua tercengang.
“Lou...”
Steven, Tania, Tamara seketika tercengang dan saling berpandangan, namun Tamara segera mencairkan kembali suasana yang ada.
“Happy birthday Jeni, God bless for you,” ujar Tamara sambil memeluk erat Jeni.
Jeni segera membalas pelukan hangat sahabatnya itu sambil berkaca-kaca karena terharu, bergantian juga Tania yang ikut memeluknya. Mereka bertiga hanyut dalam ketenangan dan kebahagiaan saat berpelukan bertiga seperti ini.
Sementara Steven begitu senang melihat persahabatan mereka yang terlihat begitu tulus dan saling menyayangi satu sama lain, namun ia tidak bisa mengusir pikiran saat Jeni tadi salah menyebut nama Louis saat mereka datang. Steven terlihat kecewa.
“Thank you semuanya,” ujar Jeni kemudian sambil melepas pelukan Tania dan Tamara.
“Thanks a lot juga Stev,” lanjutnya membuyarkan lamunan Steven.
“Oh iya, ini semua ide mereka,” kilah Steven.
Jeni tersenyum kecil, ia tahu ada kekecewaan yang sedang menyelimuti hati Steven, Steven terlihat tidak bersemangat lagi.
“Bukannya hari ini kamu boleh pulang?” Tania angkat bicara.
Jeni mengangkat bahunya sambil melirik ke arah Steven yang sedang berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
“Sepertinya Steven sedikit kecewa padamu Jen,” bisik Tamara kemudian.
“I know, aku harus bagaimana? Aku tidak bisa tidak memikirkan Louis, apalagi tadi malam Louis menghubungiku.”
“Untuk apa dia menghubungimu?” tanya Tania kesal.
“Dia janji akan menemuiku hari ini.”
“Dan kamu percaya?”
Jeni diam, ia tahu kedua sahabatnya sudah sangat muak dengan Louis sejak kejadian di apartemen beberapa hari lalu, terlebih Tania.
“Aku masih mengharapkannya,” balas Jeni lirih, matanya berkaca-kaca lagi hendak menangis.
Tania memutar bola malas lalu mengangkat bahunya dan menjauh ke sofa, berbeda dengan Tamara yang lebih menenangkan Jeni dan membuatnya kembali ceria.
“Kami hanya berharap kamu bahagia Jen,” ucap Tamara kemudian.
“Thank you Tam.”
Saat itu, Steven keluar dari kamar mandi dengan gaya casualnya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, entah kenapa melihat itu jantung Jeni berdegup kencang, ada kekaguman yang tak bisa ia ungkapkan, hingga ia melihat Steven tanpa kedip.
“Jen, mandilah! Setelah ini kita akan pulang,” seru Steven yang membuat Jeni tergeragap dari posisi sebelumnya.
Jeni lalu mengangguk dan segera turun dari tempat tidurnya dibantu oleh Tamara.
Sementara di tempat lain, Louis sedang siap-siap untuk menemui Jeni sesuai janjinya tadi malam, namun baru saja ia melangkah keluar dari apartemennya, Renata yang tampak sudah sangat rapi dan cantik dengan mini dress pinknya tiba-tiba masuk.
“Ada apa Renata?” tanya Louis sedikit bingung dengan kemunculan Renata yang tiba-tiba, apalagi ini masih sangat pagi dari biasanya Renata berkunjung ke apartemennya.
“Ayo temani aku sekarang!” serunya memaksa.
Louis mengerutkan kening.
“Kamu juga sudah rapi, ayo kita berangkat Louis!”
“Kemana?”
“Hari ini pembukaan butik mama di cabang Senayan yang akan diserahkan padaku.”
Louis mematung sesaat, lalu terlintas bayangan Jeni yang sudah menunggu kedatangannya.
“Tapi...”
Renata tak memberi kesempatan, ia langsung menggelendeng tangan Louis keluar agar segera mengikuti langkahnya.
“Kita tidak punya banyak waktu Louis,” paksanya.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?” tanya Louis kesal saat mereka sudah berada di mobil.
“Aku lupa, memangnya tadinya kamu mau kemana?”
“Papa memintaku pulang dan ingin mengajakku bertemu cliennya,” kilah Louis.
Renata menatap Louis lekat-lekat, ia tak percaya, tapi ia tak peduli, baginya sekarang yang terpenting Louis sudah bersamanya. Renata sangat egois.
***
Jeni siap pulang dari rumah sakit, kondisinya sudah sangat membaik. Steven menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobilnya karena ia ingin memberi surprise pada Jeni, sementara Tania dan Tamara yang sudah mengetahui hal itu beralasan pamit karena sudah memberi kado untuk Jeni, mereka pun berpisah saat di parkiran.
“Steven,” panggil Jeni lirih saat mereka sudah dalam perjalanan.
“Ya.”
“Apa kamu marah?”
“Tidak.”
“Kamu terlihat marah,”
Steven menggeleng cepat, namun ekpresinya masih datar.
“Aku minta maaf Stev, aku sudah terlalu merepotkanmu.”
“No, diamlah! Aku akan memberimu sebuah kejutan, semoga kamu suka,” balas Steven sambil membanting setir ke arah lain dan itu bukan jalan menuju ke kos Jeni.
“Kita mau kemana Stev?” tanya Jeni sedikit panik.
Steven diam, ia justru memutar lagu ‘Someone you loved’ sambil menggunakan headset di telinganya, membuat Jeni kesal.
“Kenapa dengan orang-orang di sekitarku, kenapa mereka hobi sekali membuatku kesal? terlebih di hari spesialku, dan Louis, apa kamu juga akan membuatku kesal hari ini?” batinnya.
“Grande Apartemen?” Tanya Jeni heran sambil melirik ke arah Steven dengan murung.Steven tak peduli, ia segera turun dari mobilnya, berbeda dengan Jeni yang masih duduk diam di mobil, ia enggan turun. Jeni berpikir negatif tentang Steven.Steven mengernyitkan dahi saat beberapa menit menunggu Jeni yang masih anteng di dalam mobilnya hingga ia mengetuk jendela mobilnya sendiri agar Jeni segera turun, tapi pikiran Jeni sudah mengembara kemana-mana, berpikir negatif, ia trauma dengan kejadian beberapa bulan lalu saat Louis tiba-tiba mengajaknya ke apartemen, hingga membuahkan janin sekarang.“Kenapa kamu tidak turun?” tanya Steven sedikit kesal karena ia harus kembali ke mobil dan menengok Jeni.Jeni menggeleng, wajahnya merah dan murung, ia ingin sekali menangis.Steven menghela nafas, melalui sorot mata Jeni yang seperti orang ketakutan, Steven segera tahu isi pikiran Jeni.“Kamu tahu? Aku sanga
Seketika itu Jeni membanting handphonenya ke sembarang arah sembari berteriak menangis penuh frustasi.Sementara di tempat lain, Renata tampak menyeringai senang setelah mengirim pesan itu kepada Jeni, ia tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Jeni, maka ia sengaja untuk mengacaukan semuanya dengan datang pagi-pagi sekali ke apartemen Louis dan mengajaknya ke acara butik mamanya.Bukan hal yang kebetulan, sebenarnya acara penyerahan butik kepada Renata harusnya diaadakan beberapa hari ke depan, namun Renata merengek kepada orang tuanya untuk memajukan acara penting itu. Karena Renata anak tunggal, dengan mudah mamanya pun menyetujui.Berbeda dengan Renata yang terlihat bahagia, Louis tampak gelisah, berkali-kali ia mengecek jam tangan Richard Mille hitam yang melingkar di tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 02.00 pm tapi Renata justru mengajaknya keluar untuk makan siang.“Renata, aku harus pulang,” ujar Louis memberanikan diri.&ld
“Kamu hamil kan?” Cecar Tania dan Tamara saat Jeni keluar dari toilet.Mereka memandang Jeni dengan sorotan tajam dan penuh intimidasi, berharap Jeni akan mengaku setelah itu, tapi Jeni justru membalas dengan tatapan yang tak kalah mengerikan.“Jika aku hamil, apakah aku akan membiarkan Louis pergi begitu saja dariku? Aku bahkan baru saja putus dengannya.”Tania dan Tamara tidak bisa membantah, mereka yang mengaku sangat mengenal karakter Jeni yang buta cinta, segera membenarkan sanggahan sahabatnya, maka dalam sekejap mereka langsung merasa bersalah dan meminta maaf.“Maafkan kami Jeni, istirahatlah, kami tidak akan mengganggumu hari ini, aku akan pergi sendiri mengantar Tania ke bandara.”Jeni mengangguk, dalam hati Jeni merasa sangat lega karena mereka berdua langsung percaya begitu saja.Jeni lalu mengantar mereka berdua sampai ke gerbang kos, setelah mobil Tamara sudah tak terlihat lagi, Jeni kembali
Steven baru saja keluar dari ruang kerja Aditya Saloka untuk mengambil kunci mobilnya, ternyata ia tidak sengaja berpapasan dengan Louis yang baru saja keluar dari kamarnya.“Kebetulan, aku tidak perlu mencarimu ke apartemen.”
“Benar begitu Louis?” tanya Aditya Saloka dengan tatapan tajam seperti pisau. Laki-laki berusia separuh abad itu tidak pernah menaruh kepercayaan kepada putranya sendiri, ia justru lebih menyukai karakter Steven yang penurut dan pekerja keras seperti dirinya di masa muda, namun Louis justru oposisi dari mereka berdua, lebih menyukai dunia luar yang bebas. Louis hanya mengangguk lemah sambil merintih kesakitan. “Awas saja kalau kamu terbukti bersalah dan menyinggung seseorang, Papi tidak akan segan untuk menghukummu lagi,” tegas Aditya. “Pi, aku yakin Louis kali ini adalah korban, percayalah!” Aditya Saloka hanya mengangkat alisnya lalu keluar dari kamar Louis bersama aura dingin dan ketegasannya. Barulah Louis seakan bisa merasakan kembali udara bebas, terbukti ia langsung menghela nafas lega. Ia lalu mencari ponselnya dan menjawab pesan dari Renata. 'Aku tidak menemui Jeni, percayalah. Pergilah ke rumahku besok kalau kamu tida
Steven tiba lima menit kemudian, beruntung saat mobilnya hendak memasuki area kos, ia sempat menangkap mobil Renata dari kejauhan. Maka Steven langsung mengurungkan niatnya untuk masuk ke kos itu dan justru mengejar mobil yang ia curigai, Steven yakin semua ini pasti ada sangkut-pautnya dengan Renata, mengingat Renata pernah seperti seorang psikopat saat di London dulu.Dengan kakinya menginjak pedal gas, mobil itu pada dasarnya melayang, Steven tak peduli, yang terpenting baginya adalah keselamatan Jeni dan janinnya. Ia bahkan bersumpah tidak akan mengampuni Renata jika Jeni terluka sedikit saja.Merasa diikuti oleh seseorang, Renata menyuruh pengawalnya untuk mempercepat laju mobilnya, tapi mobil Steven semakin dekat, membuat Renata ketakutan dan menyuruh pengawal lainnya untuk mengeluarkan Jeni dari mobilnya begitu saja.“Apa Bos yakin? Itu sangat berbahaya, bagaimana kalau...”“Diam! Pelankan mobilnya dan buang dia ke jalan secepat m
Di Presidential Residence, Louis yang masih terbatas geraknya karena luka lebam yang masih menunjukkan efek sakit, hanya bisa meraung marah melihat video yang dikirim Renata padanya.“Jadi ini alasan dia memutus hubungan denganku?” ujar Louis dengan senyum dingin dan sorot mencibir di matanya.“Baiklah Jeni, aku turuti kemauanmu, tapi aku tidak akan sudi melihatmu hamil anak Steven. Janin itu tidak seharusnya hidup,” lanjutnya dipenuhi kebencian dan kebengisan.Ya, Louis bersumpah dalam hati akan membuat janin itu lenyap, entah bagaimanapun caranya. Hatinya sudah dirasuki oleh hawa amarah dan dendam, maka selepas ia sehat nanti apapun akan dilakukannya agar Jeni tidak lagi mengandung anak Steven.Memikirkan rencana jahatnya, Louis tersenyum sinis, ia lalu mematikan lampu meja di sampingnya dan menarik selimut untuk bergegas tidur.Di tempat yang berbeda, Grande Apartment, Jeni tidak bisa sedikitpun terlelap, meski ia sudah m
***Di ruang presiden Axel Corp, Steven sedang duduk dengan begitu serius bersama tumpukan dokumen yang harus ia periksa dan tanda tangani, ia selalu serius dalam bekerja, tak heran meski Axel Corp merupakan anak perusahaan Saloka Group, tapi belakangan ini sejak Steven yang memimpin semuanya, prestasi dan pencapaian Axel Corp bahkan melampaui ekspektasi Aditya Saloka, proyek-proyek besar dengan perusahaan dalam dan luar negeri selalu selesai dengan baik dan rapi di tangan Steven.Tepat pada saat Steven akan menandatangani surat kerja sama proyek perhotelan dengan Rena Group, Felix datang dan melaporkan bahwa ia sudah mengetahui latar belakang penculikan Jeni yang semuanya adalah murni rencana Renata dan pemilik kos terlibat membantu proses penculikan itu.Aura Steven berubah gelap saat mendengar semua itu, sudah ia duga bahwa sifat buruk Renata pada beberapa tahun lalu di London akan ia ulangi juga pada Jeni.“Tapi saya sudah memanggil polisi untuk
Jeni dan Louis tidak bisa menahan tawa dan mereka berdua mengangguk setuju demi menyenangkan putri kecilnya.“Berhentilah tertawa Ma, Pa. Ayo kita sarapan!” Louis mengerutkan keningnya dan dia menoleh ke arah Jeni. Maksudnya Jeni saja baru bangun tidur, siapa yang menyiapkan sarapannya? Tidak mungkin Aluna sendirian.Seolah mengerti pemikiran Louis, Jeni menjelaskannya, “Aku menyewa Bibi untuk memasak setiap pagi di sini.” “Kenapa tidak kamu sendiri yang memasak?” “Karena aku harus menulis setiap pagi, aku merasa itu waktu yang paling tepat untukku.” Louis tampak tidak setuju.“Lalu bagaimana kalau kita sudah menikah lagi? Apa kamu tidak akan memasak untukku?” tanyanya cemberut.Jeni tersenyum lembut dan ia mengelus wajah Louis dengan gemas, “Itu lain lagi.” Louis berubah senang sehingga ia ingin sekali menarik Jeni dalam pelukannya dan memagut bibirnya seperti semalam.Namun pemikiran itu segera diusir cepat oleh Aluna ya
Jeni dengan cepat menepis tangan Louis, lalu merubah posisinya lagi dan kali ini memunggunginya.Louis tak menyerah, ia justru semakin berulah. Aluna di gendongnya pelan-pelan dan dipindah ke tempatnya dengan guling besar di sisinya agar tidak terjatuh, sementara Louis saat ini menempati posisi Aluna hingga berada sangat dekat dengan Jeni. “L... Louis, tolong jangan macam-macam!” Cegah Jeni dengan suara pelan namun sebenarnya ia sangat ketakutan.Padahal Louis hanya memeluknya dari belakang dan membenamkan kepalanya ke punggung Jeni sambil mencuri aroma khas lily of the valley pada tubuh Jeni yang membuat Louis sangat nyaman.“Louis, lepas!” desis Jeni dengan suara setengah berbisik karena takut membangunkan putrinya.Namun, pelukan Louis semakin erat hingga bokong Jeni bisa merasakan sesuatu yang tegang di tengah Louis. Ia bergidik ketakutan dengan degup jantung tak karuan, ia sudah lama sekali tidak mengalami sentuhan seperti ini karena Steven
“Aluna, apa kamu tidak menyayangi uncle?” Tanya Jeni waktu itu sebelum akhirnya ia benar-benar menyetujui permintaan Steven untuk bercerai.Jeni masih ingin mempertahankannya, meski godaan dari Louis luar biasa. Jeni yang masih sangat mencintai Louis selalu saja hampir goyah dengan perhatian yang Louis berikan selama di Singapura. Tapi ia benar-benar masih meneguhkan hatinya untuk Steven, ia pantang menjanda kedua kalinya, juga karena Steven sudah berbaik hati padanya selama ini saat ia berada di posisi terburuk. Tapi jawaban Aluna membuat seolah dirinya tertampar keras oleh sebuah kenyataan.“Sayang Ma, tapi Aluna lebih sayang sama Papa.”“Kenapa? Uncle juga sangat baik sama Mama dan Aluna.” Aluna mengangguk-angguk membenarkannya, tapi gadis cilik itu memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang tepat.“Tapi Aluna ingin Mama dan Papa,” lirihnya.Meski hanya pernyataan singkat dengan menekankan kata ‘ingin’ itu sudah sangat jelas di mata Je
“Ehem...” Deheman Steven sukses membuat keduanya melepas dengan gugup. Terutama Jeni, ia menoleh ke arah Steven dengan pandangan horor, sangat takut sehingga ia mengigit bibir bawahnya, tidak berani mengatakan apapun meski hanya sedikit penjelasan.“Itu tidak seburuk yang kamu lihat Stev.” Perkataan Louis setidaknya sedikit membantunya untuk menjelaskan pada Steven yang saat ini menahan ribuan emosi dengan tatapan tajamnya. Steven mengangkat sudut bibirnya membentuk seringai sinis. Setelahnya ia mengangkat satu tangannya di udara dan berbalik, ia terlihat sangat kecewa.“Jaga Aluna sebentar.” Seru Jeni sambil buru-buru mengejar Steven.Louis hanya diam dan merasa iba dengan Jeni. Jika saja ia tidak meninggalkan Jeni waktu itu, Jeni pasti masih menjadi miliknya sampai sekarang dan tidak perlu mengalami posisi yang sangat sulit seperti ini. Louis menghela nafas sebelum akhirnya menjatuhkan dirinya di sofa dan memijat pelipisnya.Di koridor r
Jeni dan Louis kembali saat Aluna sedang menangis keras. Melihat hal itu Jeni Louis sangat panik dan ia setengah berlari untuk menghampiri Aluna. “Steven, Aluna kenapa?” Jeni bertanya heran sambil memeluk Aluna yang terisak. Steven hanya diam dan menatap Aluna dengan rasa bersalah. “Apakah kamu mencoba bertengkar dengan putri kecilku Stev?” Tuduhan Louis sontak membuat Steven berubah emosi dengan cepat, ia menatap Louis geram. “Una, mau Papa.” Teriak Aluna sebelum Steven bisa menjelaskannya. Louis tersenyum ke arah Steven penuh kemenangan dan langsung menghampiri putrinya. “Ya Sayang, apa uncle menyakitimu?”Steven memelototi Louis tajam dan nafasnya terengah-engah karena terlalu banyak emosi yang ia tahan hanya demi janjinya terhadap Jeni. Menyadari tatapan tajam di balik punggungnya, bibir Louis berkedut membentuk senyum samar, ia sangat senang dengan posisinya saat ini karena Aluna lebih menginginkannya. “Papa, una mau de
Louis datang dengan sekantung belanjaan di kedua tanganny, Jeni yang sangat kelaparan langsung antusias begitu melihatnya. “Beli apa aja?” “Semua kesukaan kamu.” Bibir Jeni berkedut dan membentuk senyuman tipis. Entah kenapa hatinya berbunga-bunga padahal jelas dia istri Steven sekarang. Baru sadar kalau dia istri Steven, Jeni cepat-cepat menepis pemikiran tentang Louis, ia membuka kantung makanan itu dan lagi-lagi hatinya goyah, rasanya ingin melonjak seperti anak kecil yang diperbolehkan makan es krim favorit oleh ibunya. Jeni jadi berubah sangat plin-plan, hatinya terlalu lemah untuk Louis. Louis tersenyum senang mendapati kebahagiaan Jeni. “Lengkap kan? Itu bukti aku tidak sepenuhnya melupakanmu Jen, hanya saja kemarin... Mungkin Renata menyihirku.” Jeni hampir tersedak salivanya sendiri dan ia tidak tahu harus tertawa atau menangis sekarang.“Dan sekarang menurutmu sihir itu sudah hilang?” sahut Jeni menggoda. Louis men
Louis tersenyum tipis dan tidak mengatakan apapun lagi, ia mengikuti Jeni untuk menyandarkan punggungnya ke sofa lebih nyaman sambil menoleh ke samping memperhatikan Jeni yang saat ini tengah tertidur.“Kenapa dia sangat cantik sekarang? Apa karena dulu aku tidak pandai merawatnya?” batinnya.“Aku janji Jen, begitu Tuhan mengijinkanku untuk kembali padamu suatu saat nanti, aku akan menjadikanmu perempuanku selama sisa hidupku.” Lanjutnya.Jeni yang sebenarnya tidak berniat tidur, bisa merasakan tatapan Louis yang begitu intim padanya jadi dia sengaja membuka mata.“Kenapa kamu melihatku seperti itu? Aku sepupu iparmu sekarang.” Jeni mencoba mengingatkan Louis dengan kesal.Louis menarik sudut bibirnya membentuk senyuman jahat yang membuat Jeni bergidik, jadi ia langsung bangkit dan pindah duduk di samping tempat tidur Aluna. Ia membuka ponselnya dan mengecek pesan yang ia kirimkan pada Steven kemarin, masih tidak
Hari ini adalah hari ulang tahun Aluna, meski tanpa perayaan mewah dan resmi seperti ulang tahun sebelumnya, namun Jeni masih berusaha menyenangkan putri kecilnya yang saat ini masih terbaring lemah di rumah sakit.Ia beserta mamanya dan Louis datang dengan membawa kue ulang tahun berlapis dan beberapa kado kecil. Aluna sangat senang dan wajahnya berubah kembali ceria meski masih terlihat pucat.“Selamat ulang tahun Aluna kesayangan Mama, cepat sembuh ya.” Jeni mencium kening Aluna begitu lama dengan air mata yang tiba-tiba mengalir pelan di pipinya.“Una duga cayang Mama. Yup yu.”Jeni terkekeh pelan sambil menyeka air matanya, “Love u too.”“Selamat ulang tahun anak Papa yang cantik, cepat sembuh ya.”Louis yang berada di sebelah lainnya langsung menciumi pipi Aluna. Aluna sangat senang dan wajah anak itu benar-benar berbinar bahagia.“Una cayang Papa,” balasnya.Lou
Steven tidak berani membantah apapun dan langsung menuruti keinginan Jeni untuk membawa ke rumah sakit tempat Aluna dirawat. Meski dalam hatinya ada sedikit kekecewaan mengingat hari ini adalah hari pertamanya dan Jeni sebagai pasangan suami istri.Tentu ia sama dengan laki-laki pada umumnya yang masih menginginkan kebahagiaan sebagai pengantin baru. Untuk itu dia diam-diam mendengus getir saat dalam perjalanan ke rumah sakit.“Stev, cepatlah! Apa kamu sengaja melakukannya?” Jeni berteriak kesal menyadari Steven mengosongkan pikirannya dan melajukan mobilnya dengan malas-malasan.“Aku minta maaf.” Lirih Steven.Setelah itu Lamborghini tiba-tiba melaju seperti mobil pembalap dunia, alhasil mereka tiba di rumah sakit dengan sangat cepat.Begitu Lamborghini baru saja terparkir, Jeni langsung berlari tanpa mempedulikan Steven, di pikirannya hanya ada Aluna dan Aluna.“Bagaimana keadaan Aluna, Ma?” Jeni bertany