Setelah satu minggu lebih mempelajari proyek-proyek Jisung Mine & Co, Windi menemukan ada kejanggalan atas rating A yang diraih oleh perusahaan itu.
Tambang-tambang Jisung Mine & Co belum ada yang menghasilkan. Perusahaan itu tergolong masih baru dan belum memiliki track record yang cukup.
"Ji-Wan-ssi, menurutku perusahaan Jisung Mine & Co ini tidak layak untuk mendapatkan rating A. Tambang yang mereka kelola masih pada tahap awal begini," adu Windi pada Han Ji-Wan siang itu.
Ji-Wan tidak menanggapi aduan Windi. Dia hanya mengangkat bahu, seolah tidak berminat untuk mendiskusikan lebih lanjut.
"Selesaikan tugasmu saja, Win. Buat prospektusnya tanpa banyak tanya," jawab Ji-Wan dingin.
Sesaat, Windi terpaku di tempatnya berdiri. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap dingin yang Ji-Wan tunjukkan. Bahasa tubuh pria itu seolah mengatakan, "Jangan campuri keputusanku."
"Baiklah. Maaf sudah mengganggu waktumu," sahut Windi, lalu bergegas
Windi berjalan menuju cubiclenya dengan galau. Sikap Tn. Kim benar-benar menguras energinya. Sebisa mungkin ia ingin menghindari Manajer HRF itu, tapi sebagai karyawan baru ia bisa berbuat apa selain menurut perintah atasan?Lagi pula Windi juga tidak ingin keberadaannya menarik perhatian. Sebisa mungkin ia ingin membangun karir dengan nyaman tanpa ada gosip miring sedikit pun.Sudah cukup pengalaman masa lalu saat ia menjadi Direktur Han Enterprise memberinya pelajaran berarti bahwa gosip buruk memang bisa menghancurkan hidup seseorang, dan Windi adalah bukti nyatanya.Han Ji-Wan lewat di depan cubicle Windi sambil melempar pandangan lewat sudut matanya. Ia melihat Windi sedang fokus menatap layar komputer yang ada di depannya."Serius sekali, sih. Apakah dia tidak melihatku lewat?" batin Ji-Wan penasaran.Ia bahkan mondar-mandir hingga tiga kali di depan cubicle gadis itu, tapi tetap saja pandangan Windi sedikit pun tidak teralihkan.Sadar
Sibuk dengan tugas prospektus Jisung Mine & Co yang sedang ia kerjakan, membuat Windi lupa dengan waktu. Ia tidak sadar jika waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat.Tidak banyak lagi karyawan yang masih berada di kantor di hari Jumat malam itu. Maklum saja, siapa sih yang mau menghabiskan weekend dengan setumpuk berkas?Meski begitu, tidak terlihat tanda-tanda Windi akan mengakhiri jam kerjanya. Ia tetap fokus menyelesaikan prospektus itu agar bisa diserahkan sebelum tenggat waktu habis.Lagi pula memang tidak ada alasan yang membuatnya harus pulang lebih awal. Paling hanya televisi dan tumpukan baju yang belum disetrika yang dengan setia menunggu kepulangannya.Dalam suasana hening begitu, tiba-tiba Tn. Kim masuk ke cubicle Windi tanpa permisi."Baguslah kamu masih di sini. Kamu tidak melupakan janji makan malam kita, 'kan?" tanyanya tanpa basa-basi.Windi kaget dengan kedatangan Tn. Kim yang begitu tiba-tiba.
"Han Tae Joon?!" seru Windi kaget.Kaki Windi lemas seketika. Ia nyaris saja terjatuh, tapi logika membawanya kembali pada realita. Tanpa memedulikan panggilan itu, Windi kembali tegak lalu mempercepat larinya."Taxi!" panggilnya pada taxi yang lewat.Rasa syukur tak henti-henti meluncur dari mulutnya karena taxi itu kosong. Tanpa membuang waktu, Windi naik ke taxi itu."Cepat jalan, Pak," perintahnya setelah menyebutkan alamat tujuannya.Sementara itu Han Tae Joon pun tidak mau menyerah begitu saja. Ia yakin yang dilihatnya itu Windi. Gadis yang selama empat tahun ini ia cari keberadaannya.Begitu melihat Windi masuk ke dalam taxi, Tae Joon pun langsung mengikutinya dari belakang.Taxi yang membawa Windi terus melaju menyusuri jalan kota Busan yang padat. Windi tidak menyadari jika Tae Joon sedang membuntutinya."Berhenti di sini saja, Pak," ujar Windi ketika mereka sampai di depan sebuah komplek
"Kamu serius, Win?" tanya So-Hyun dengan ekspresi tidak percaya saat Windi menceritakan kejadian semalam."Serius. Buat apa aku bohong," jawab Windi yakin."Hiiyy ... kok serem banget, sih," So-Hyun bergidik ngeri."Kamu aja yang mendengar ceritanya merinding, bayangin deh gimana perasaan aku waktu itu," ujar Windi sambil memijat keningnya yang terasa berat."Aigoo ... malangnya kamu, Win," kata So-Hyun, kasihan dengan nasib rekan kerjanya itu."Iyaaa, huhuhu. So-Hyun-ah, aku harus bagaimana? Sekarang setiap ke kantor aku jadi takut bertemu dia," rengek Windi frustrasi.So-Hyun tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaan Windi. Ia hanya menepuk-nepuk pundak Windi memberi gadis itu kekuatan dan dukungan agar tetap semangat untuk menghadapi cobaan itu."Kamu laporkan aja, Win," kata So-Hyun kemudian."Lapor ke mana? Dia itu 'kan manajer HRD. Seharusnya kita lapor sama dia, kan? Tapi kalau pelakunya dia sendiri, apa gunanya?" tany
Windi kembali ke mejanya dengan niat untuk langsung mempelajari berkas Jisung Mine & Co yang baru saja ia ambil dari ruangan Ji-Wan. Namun, notifikasi email masuk di sudut layar monitor mengalihkan perhatiannya.Ia pun membuka notifikasi itu, ternyata email dari Manager HRD yang memintanya untuk menghadap. Namun, Windi pura-pura tidak membaca email itu, ia lanjut mengerjakan tugasnya yang tadi sempat tertunda.Akan tetapi, nasib baik sepertinya masih belum mau berpihak pada Windi. Di saat ia berusaha menghindar dari Tn. Kim, Windi justru bertemu dengan pria tambun itu di ruangan fotokopi."Oh, rupanya kamu di sini," kata Tn. Kim disertai senyum lebar.Windi sudah hapa tabiat laki-laki di hadapannya itu, senyum yang terpampang di wajahnya jelas bukanlah senyum yang tulus.Windi tidak mengacuhkannya dan lanjut memfotokopi dokumen-dokumen yang ada di tangannya. Namun, memang Tn. Kim itu manusia muka badak, bukannya tersinggung dengan sikap acuh Wi
Windi sampai di studio miliknya sekitar pukul tujuh malam. Dari sekian banyak masalah yang membelitnya akhir-akhir ini, setidaknya Windi harus mensyukuri beberapa hal.Pertama ia masih memiliki uang untuk bertahan hidup. Bahkan tanpa berkerja pun sebenarnya ia masih mampu bertahan selama sepuluh hingga lima belas tahun ke depan. Namun, apa gunanya akal dan tubuh sehat yang Tuhan berikan padanya jika tidak dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu. Saat ini Windi memang bukan gadis miskin lagi, tetapi ia tetap ingin menjadi wanita mandiri. Dengan begitu ia merasa dirinya tetap berharga sebagai manusia.Kedua, Windi telah menemukan studio kecil yang ternyata cukup dekat dengan gedung JoonSoo Ratings. Dengan begitu, Windi bisa pergi dan pulang berkerja dengan berjalan kaki. Tidak butuh lama, hanya sepuluh menit saja, anggap saja sebagai olahraga pagi dan sore.Windi kembali menapak pada kenyataan.Tubuhnya terasa lengket oleh keringat. Kejadian di ruang fotocopy
'Mutasi ke Jeongseon? Itu 'kan kota kecil di Gangwon? Jumlah penduduknya saja ga sampai lima puluh ribu jiwa. Apa yang bisa aku lakukan di sana?' batin Windi resah."Terimakasih atas tawaran promosinya, Pak. Namun, saat ini saya sedang dikejar deadline membuat prospektus untuk Jisung Mine & Co. Jadi menurut saya le ....""Kamu tidak perlu khawatir, perkerjaan itu akan ada yang mengambil alih," potong Tn. Kim cepat. "Bantuanmu sangat dibutuhkan oleh kantor cabang kita di Jeongseon, Windi. Jadi kamu harus secepatnya berangkat. Selamat untuk promosinya," sambung Tn. Kim.Ia berdiri lalu mengulurkan tangan untuk menyalami WIndi. Windi paham, itu adalah sebuah pertanda bahwa meeting mereka sudah berakhir.Windi keluar dari ruangan Tn. Kim dengan perasaan kesal.'Promosi? Promosi macam apa itu? Kalau promosi itu dari kantor cabang ke kantor pusat. Kalau sebaliknya, bukan promosi namanya, tetapi diasingkan,' teriak Windi di dalam hati.Wa
"Halo, Windi. Sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?" tanya sebuah suara yang sangat familiar di telinga Windi.Windi terpaku. Setengah jiwanya seolah pergi meninggalkan tubuhnya."Han Tae Soo?!" desis Windi kaget.'Bagaimana bisa lelaki jahat itu ada di sini? Apakah dia sosok partner yang dimaksud?' tanya Windi di dalam hati."Ke-kenapa ka-kamu ada di—"Kalimat Windi terpotong karena sebuah suara familiar lainnya kembali terdengar."Windi?! Ternyata kamu berkerja di sini? Aku sudah mencarimu ke mana-mana."Han Tae Joon muncul dari ruangan kaca yang ada di belakang Tae Soo. Ia tampak kaget, tapi juga bahagia dalam waktu yang bersamaan."Han Tae Joon?!" pekik Windi.'Bagaimana bisa dua bersaudara yang paling ia benci berada di hadapannya saat ini?"Dalam momen yang singkat itu, otak cerdas Windi langsung menganalisis. Sebuah benang merah terhubung di kepalanya. Akhirnya Windi mengulas senyum. Ya, ia tersenyum p
Windi terpaku di tempatnya berdiri, sementara matanya tak berkedip menatap Yoo-ill. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung dengan ekspresi bingung, terlebih saat melihat tangan Yoo-ill yang terulur padanya. Ia pun tersadar tak lama kemudian. Dengan raut wajah gelisah dan bingung, Windi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia baru sadar kalau kursi-kursi di gereja itu telah banyak yang ditinggalkan penghuninya. Hampir separuh dari tamu undangan itu pergi setelah mengetahui pengantin prianya sosok yang berbeda.Di barisan paling depan Windi berharap menemukan keluarga Pandu, tetapi barisan itu pun terlihat lengang. Hanya rekan kerjanya yang setia menyaksikan acara pemberkatan itu sampai selesai."Ha-ni-yah. Apa yang terjadi. Mana Kak Pandu dan keluarganya?" tanya Windi dengan mata berkaca-kaca.Ha-ni yang bertugas sebagai bridesmaids tak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya kepada Windi. Ia menghampiri Windi lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Win. Aku tidak bisa m
Satu jam sebelumnya. Di ruang tunggu pengantin pria, Pandu bercengkrama dengan sejumlah tamu yang merupakan teman kuliahnya dulu. Ternyata perihal pertunanganan Yoo-ill yang batal telah menyebar luas di kalangan mereka."Aku tidak mengerti dengan cara pikir si Yoo-ill itu. Padahal kalau aku tidak salah dengar, ini pertunangannya yang kedua kali. Yang pertama dulu, belum sempat dikenalin ke publik, masih di kalangan internal perusahaan aja. Tapi, hanya beberapa bulan, Yoo-ill memutuskan wanita itu secara sepihak," kata salah satu di antaranya."Tapi aku dengar wanita itu ada skandal dengan salah satu pamannya," kata yang lain pula.Namun, pria yang lain membantah dengan gerakan tangannya. "Itu tidak benar. Kamu lupa kalau aku juga bekerja di Han Enterprise? Skandal itu adalah hoaks yang diciptakan oleh Han Tae Soo, paman Yoo-ill yang lain, karena ingin menurunkan tunangan Yoo-ill dari kursi direktur.""Gila. Parah juga persaingan di perusahaan itu.""Paman Yoo-ill yang satu itu memang
Untuk beberapa saat Windi terpaku di tempatnya berdiri karena tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Windi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Yoo-ill sedang bersandar di mobilnya dengan kedua tangan yang sibuk memainkan ponsel. Windi juga heran bagaimana Yoo-ill bisa tahu tempat kerjanya."Yoo-ill? Kamu kenapa bisa ada di sini? Kamu tahu dari mana aku kerja di sini?" Windi mencecar Yoo-ill tanpa jeda.Yoo-ill mendekat tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Windi, wajah wanita yang selama beberapa tahun terakhir ini terus mengusik hati dan pikirannya bahkan di saat tidur."Aku sudah menerima undangan pernikahanmu. Jujur ... aku kaget sekali karena tidak menyangka kalian akan menikah secepat itu," ujar Yoo-ill mengabaikan pertanyaan Windi."Apanya yang aneh? Kami memang sudah merencanakan sejak lama, hanya sedikit dipercepat saja karena keluarga Pandu inginnya begitu," jawab Windi beralasan. Padahal ia sendiri yang meminta hal itu pada Pandu, karena tidak i
Dua hari berlalu. Di kediaman keluarga Han sedang terjadi ketegangan. Pasalnya adalah kepulangan Yoo-ill setelah tiga hari menghilang pasca membatalkan pertunangannya dengan Ji-hyun.PLAK! PLAK!Tamparan keras dari tangan Tn. Han mendarat di wajah Yoo-ill. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Masih tak puas juga, tetua keluarga Han itu juga menendang Yoo-ill dengan kakinya yang memakai sepatu pantofel. Sakit? Jangan ditanya. Ringis kesakitan dari Yoo-ill sudah menjawab semua itu, betapa sakit tubuhnya yang didera pukulan bertubi-tubi dari sang ayah.Sementara Ny. Ko hanya bisa menangis tersedu sambil menahan kaki sang suami agar berhenti memukuli buah hatinya."Cukup, Yeobo. Jangan pukuli Yoo-ill lagi. Berhenti memukuli kepalanya, matanya masih sangat rentan dengan guncangan. Tolong berhentilah!" pinta Ny. Ko yang kalut melihat luka di kening Yoo-ill. Ia takut sekali penglihatan Yoo-ill kembali bermasalah akibat pukulan itu.Namun, Tn. Han mengabaikan rengekan istrinya. Matanya y
Dengan penuh tanda tanya Windi menyeret langkah menuju pintu, lalu mengintip lewat peephole yang ada di sana. Windi mengernyit heran saat melihat wajah Ji-Hyun di sana. Tak ingin memendam rasa penasarannya lebih lama, ia pun membuka pintu itu."Ji-Hyun?! Ada keperluan apa kamu di sini?" "Aku mau bicara." Dengan lancangnya, Ji-Hyun menerobos masuk lalu berkeliling kamar, masuk ke kamar mandi, membuka pintu lemari seolah sedang mencari sesuatu. Setelah gagal menemukan apa yang dicari, dia pun duduk di sofa yang tersedia di sudut kamar."Kamu sendiri?" tanyanya dengan tatapan menyelidik."Bersama Pandu. Dia sedang membeli makanan ke luar."Ji-hyun tak percaya. "Kenapa tidak pesan di restoran hotel saja?""Dia lagi pengen makan masakan Indonesia. Di restoran hotel ini tidak ada," jawab Windi asal. Padahal ia tidak tahu pasti Pandu ke mana, karena lelaki itu pergi saat dirinya sedang mandi.Windi menghela napas panjang, menutup pintu, lalu duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan Ji-hy
"Aku senang sekali, Win. Memang itu yang aku mau. Tetapi, kalau aku boleh tau, apa alasan kamu tiba-tiba ingin mempercepat pernikahan kita?" Pandu bertanya tak sabar setelah mereka berada di hotel. Tadi ia terpaksa beralasan ada pekerjaan mendadak sehingga bisa pamit lebih awal dari pesta pertunangan Yoo-ill dan Ji-hyun. Meskipun ia sendiri heran dengan sikap Windi yang bersikeras untuk pulang, tetapi demi kenyamanan sang kekasih hati ia pun menuruti permintaan Windi."Tidak ada alasan khusus. Melihat Kak Pandu dikelilingi wanita-wanita cantik saat di pesta tadi membuatku berpikir sepertinya aku harus segera mengikatmu dengan cincin pernikahan," jawab Windi beralasan. Padahal ia melakukan itu karena takut hatinya kembali goyah oleh Yoo-ill. Windi takut, nama Yoo-ill yang telah terkubur di hatinya hidup kembali karena terbayang tatapan laki-laki itu yang dipenuhi rasa bersalah saat menatapnya tadi. Sementara ia sudah berkomitmen dengan Pandu. Pandu dan keluarganya adalah orang-orang
Pandu heran melihat Yoo-ill dan Windi terdiam dengan tatapan saling bertaut, sementara wajah mereka menggambarkan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Terkejut, kecewa, luka, dan juga rindu yang tersirat dalam. Berada di antara mereka membuat Pandu mendadak merasa berada di dunia yang berbeda. Keadaan itu berlangsung cukup lama sampai suara tunangan Yoo-ill membuyarkannya. "Wah, dunia ini sempit sekali, ya. Ternyata wanita yang ingin kamu kenalkan itu Windi, Pan?" tanya Ji-hyun pada Pandu. Pandu dan Ji-hyun merupakan teman saat duduk di bangku SMA dulu, sementara Yoo-ill adalah temannya di saat kuliah. Itu sebabnya Pandu sangat antusias menghadiri pesta pertunangan ini karena kedua calon pengantin adalah temannya. "Kamu kenal Windi?" Pandu balik bertanya dengan heran. Ji-hyun melirik Yoo-ill yang masih menatap Windi tanpa jeda, lalu bergelayut manja di lengan lelaki itu. Lewat sikapnya itu ia ingin memberi tahu Windi bahwa Yoo-ill adalah miliknya. "Bukan aku yang kenal Windi sec
Windi mematut pantulan dirinya yang ada di cermin. Sungguh ia merasa takjub sendiri melihat penampilannya dalam balutan gaun malam berwarna maroon itu. Gaun pesta ala mermaid membungkus tubuh Windi yang sintal dengan indah, menonjolkan bagian-bagian tertentu dalam porsinya yang pas. Setelah merasa cukup puas dengan gaun pilihannya, Windi pun keluar dari kamar ganti itu.Pandu yang menunggu di luar kamar ganti spontan berdiri dengan bola mata membesar saat melihat Windi keluar. Mulutnya ternganga, terpesona akan kecantikan Windi yang tak biasa."Bagaimana, Kak? Cocok, tidak?" tanya Windi malu-malu. Pandu tidak menjawab, hanya tepuk tangannya yang menggema ke seantero toko. "Kamu cantik sekali, Win. Super-duper-cantik!" puji Pandu sambil berdecak panjang."Kak Pandu ini bisa saja. Jangan berlebihan, Kak. Jangan buat aku malu," ucap Windi dengan bibir mengerucut, sedikit protes, tetapi tetap saja pipinya merona."Aku tidak berlebihan. Coba saja tanya pada pramuniaga itu," sahut Pandu. "
Windi terkesiap, ia terduduk, spontan menjauh dari Pandu. Napasnya masih tersengal dan wajahnya masih memerah karena lonjakan libido. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukannya. Maafkan aku kalau mengecewakanmu," ujar Windi sambil menenangkan debaran jantungnya."It's okay, Win. Aku juga minta maaf karena telah lepas kendali tadi," ujar Pandu dengan kepala menunduk."Tidak apa, Kak. Ini salah kita berdua, jadi mari jadikan pelajaran saja," kata Windi berusaha untuk bijak.Pandu mengangguk."Silakan mandi dan ganti pakaianmu, aku akan menunggu di luar," kata Pandu.Ia keluar dari kamar, lanjut menuju dapur lalu meminum segelas air dingin. Ia butuh meredakan gelora hasratnya yang masih membara.Sementara itu, di Seoul. Sebuah acara yang mempertemukan dua keluarga baru saja berakhir. Tn. Han tampak antusias melepas kepergian tamu mereka. Tangannya tak henti melambai, dan senyumnya juga tak henti mengembang. Di sampingnya Yoo-ill berdiri dengan ekspresi datar.Mereka yang baru saja pergi ada