"Halo, Windi. Sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?" tanya sebuah suara yang sangat familiar di telinga Windi.
Windi terpaku. Setengah jiwanya seolah pergi meninggalkan tubuhnya.
"Han Tae Soo?!" desis Windi kaget.
'Bagaimana bisa lelaki jahat itu ada di sini? Apakah dia sosok partner yang dimaksud?' tanya Windi di dalam hati.
"Ke-kenapa ka-kamu ada di—"
Kalimat Windi terpotong karena sebuah suara familiar lainnya kembali terdengar.
"Windi?! Ternyata kamu berkerja di sini? Aku sudah mencarimu ke mana-mana."
Han Tae Joon muncul dari ruangan kaca yang ada di belakang Tae Soo. Ia tampak kaget, tapi juga bahagia dalam waktu yang bersamaan.
"Han Tae Joon?!" pekik Windi.
'Bagaimana bisa dua bersaudara yang paling ia benci berada di hadapannya saat ini?"
Dalam momen yang singkat itu, otak cerdas Windi langsung menganalisis. Sebuah benang merah terhubung di kepalanya. Akhirnya Windi mengulas senyum. Ya, ia tersenyum p
Han Tae Joon tidak mau menyerah begitu saja. Dia pernah kehilangan Windi di masa lalu, dia tidak kejadian yang sama terulang lagi. Dengan langkah kaki panjang Tae Joon menyusul Windi menggunakan lift lainnya.Sekarang dia sudah tahu Windi berkerja di perusahaan saudaranya, jadi ia tahu harus mencari wanita itu kemana. Tae Joon menekan tombol lima, lantai yang ia yakini tempat Windi tuju saat ini. Lift berdenting, Tae Joon langsung melesat mencari Windi di area lantai itu. Sayangnya, Windi sudah tidak ada lagi. Berita pengunduran diri Windi bahkan sudah santer terdengar dari mulut para pekerja di lantai itu.Tae Joon memutar tubuhnya, kembali berlari mencari Windi di luar gedung. Ia sangat yakin Windi masih belum jauh, sehingga masih bisa disusul.Tae Joon sampai di jalan raya, bergegas menuju halte terdekat, tetapi nihil, Windi tidak ada di halte itu. Ia kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nasib baik berpihak padanya, ia melihat Windi melangkah tergesa
Suasana rumah sakit mendadak ramai oleh kerumunan karyawan. Berita kecelakaan yang dialami Tae Joon ternyata sudah tersiar ke mana-mana. Sementara itu Windi yang masih berada di rumah sakit menjadi bingung sendiri karena terjebak di depan ruang operasi. Dia ingin pergi sejak tadi, tetapi Tae Soo masih belum juga datang menampakkan batang hidungnya."Tuan Tae Soo, apakah Anda masih lama?" tanya Windi.Dengan terpaksa ia menguatkan diri untuk menghubungi sosok yang paling ia benci itu. Kalau bukan demi Tae Joon, Windi tidak akan sudi berbicara dengan Tae Soo yang arogan, licik, dan bermulut tajam."Kenapa? Kalau tidak bisa sabar menunggu pergi saja!" jawabnya kasar. Dengan seenaknya, Tae Soo menutup telepon tanpa menunggu respon dari Windi.Windi menggertakkan rahang menahan amarah."Aaarggh, sial banget sih aku hari ini!" pekik Windi kesal. Ia melirik penuh emosi ke ruang operasi yang lampunya masih menyala, menandakan operasi masih berlangsung.
Dari arah lift Windi melihat Yoo-ill berjalan mendekat. Langkahnya penuh wibawa dengan sorot mata bersahabat. Pandangan mereka bertemu, menghadirkan getaran setara ratusan volt di hati Windi.'Syukurlah, penglihatannya sudah pulih kembali,' bisik Windi di dalam hati."Apa kabar, Windi? Lama tidak berjumpa," sapanya Yoo-ill dengan sorot mata menembus lurus ke manik Windi."Ba-baik," jawab Windi gugup. "Kamu sudah mendapatkan donor. Syukurlah," sambung Windi dengan ekspresi lega."Yah, satu minggu setelah kepergianmu, kabar baik itu datang," jawab Yoo-ill tanpa melepaskan pandangan dari wajah Windi."Syukurlah," jawab Windi, dengan senyum yang sangat dipaksakan.Ia menghindari kontak mata dengan Yoo-ill, berulang kali menunduk dengan sambil mengetuk ujung sepatu ke lantai. Windi mengangkat kepalanya, lalu mengalihkan pandangan pada Yoona yang berdiri di samping Yoo-ill."Senang bertemu denganmu, Yoona. Karena kalian sudah ada di sini, s
Tak tahan dengan penasaran yang mengusik hati dan pikirannya, Windi pun berjalan mendekati Yoo-ill."Yoo-ill-ssi, ada apa dengan matamu? Mengapa kamu sangat kesakitan?" tanya Windi cemas.Kehadiran Windi yang begitu tiba-tiba menarik perhatian Yoona dan Jihyun yang berada di samping Yoo-ill."Eonni ... kau masih di sini?" Yoona balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Windi."Ya, aku ... teringat sesuatu, makanya kembali lagi," jawab Windi. "Ada apa dengan Yoo-ill, Yoona-ssi?" Windi kembali bertanya.Yoona belum sempat menjawab, tiba-tiba Jihyun sudah berdiri di hadapan Windi."Apakah kamu yang bernama Windi?" tanyanya dengan tatapan tajam."Ya, benar. Anda siapa?" jawab Windi seraya balik bertanya.Tiba-tiba tangan Jihyun sudah berada di kedua lengan Windi, mencengkeramnya dengan kuat seraya mendorong tubuh Windi ke belakang. Windi hampir saja terjungkal kalau saja dirinya tidak berpegang pada ranjang tempat Yoo-ill berbaring.
Windi menatap nanar plafon kamarnya. Sudah tiga puluh menit ia seperti itu, terbaring di atas ranjang dengan tatapan kosong menatap langit-langit. Di sudut matanya, bulir-bulir bening terus mengucur dengan deras.'Ya, Tuhan. Mengapa sulit sekali menghindari keluarga mereka? Apakah ini memang takdir yang Kau tetapkan untukku?' 'Ya, Tuhan. Apakah permintaanku terlalu mewah untuk dikabulkan?''Haruskah aku kembali ke Indonesia? Tetapi makam kedua orang tuaku ada di negara ini. Tempatku berkeluh kesah ada di sini. Jika aku pergi, kemana lagi tempatku mengadu?''Tuhan, tolong bantu aku melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan ini. Kirimkanlah padaku seseorang tempatku bersandar, tempat untuk melimpahkan semua cinta yang tak bersambut ini.'Windi terus bermonolog hingga larut malam, hingga rasa kantuk itu datang, ia pun tertidur tanpa sempat mengganti pakaiannya.***Matahari telah meninggalkan peraduannya, siap bertugas memberikan terang pad
Kesendirian dan kesepian mungkin menjadi dua hal yang akan selalu ada di dalam hidup Windi. Terkadang Windi merasa hidup begitu tidak adil padanya. Tidak cukupkah penderitaan yang ia alami saat kecil dulu, mengapa hingga dewasa pun ia belum juga bisa mencicip kebahagiaan. Ia sempat berpikir jika cinta Yoo-ill akan membawanya pada kebahagiaan yang ia idamkan, tetapi justru cinta pria itu yang membuatnya semakin jatuh dan terpuruk dalam kubang kesedihan.Hari ini, untuk kesekian kalinya, Windi pergi menjauh dari semua orang bermarga Han itu.Di sebuah desa, di pulau Jeju, jauh dari siapa pun, Windi menenggelamkan diri dengan berkerja di sebuah bank daerah. Turun profesi? Turun jabatan? Terserah apa namanya, Windi tidak peduli lagi.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, itu berarti sudah waktunya ia untuk pulang. Sebuah pesan singkat menghentikan aktivitasnya dalam berberes."Hm, dari Ny. Baek," gumam Windi.Ny. Baek adalah salah satu k
"Duduklah, Win. Mari kita bercerita tentang masa depan. Seandainya saja aku tahu kalau wanita yang selalu nenek puji itu adalah kamu, aku pasti akan pulang lebih awal," ujar Pandu dengan tangan menepuk kursi kosong di sebelahnya.Windi tersenyum mendengar kata-kata Pandu, tanpa membuang waktu lagi ia pun duduk di sebelah Pandu."Boleh aku bertanya sesuatu yang pribadi?""Tentu, silakan.""Saat kita bertemu di bandara empat tahun yang lalu, aku penasaran akan sesuatu.""Apa?""Maaf, bukan aku bermaksud merendahkanmu atau sejenisnya—""To the point aja, Kak. Aku gak suka bertele-tele," sela Windi."Oh, oke. Waktu itu kamu duduk di bangku penumpang first class, 'kan?""Iya.""Itu yang membuatku bertanya-tanya. Sepanjang pengetahuanku, kamu tidak diadopsi oleh keluarga mana pun, status kamu juga masih mahasiswa 'kan saat itu. Sementara harga tiket first class itu mahal sekali.""Ooh ... jadi Kak Pan
"Mari kita saling melengkapi, Win. Apakah kamu bersedia memberiku kesempatan untuk menjadi calon suamimu?"Windi terpaku menatap Pandu yang tengah menatapnya dengan penuh rasa. Ia bingung harus bereaksi seperti apa, karena kata-kata Pandu sangat tiba-tiba. Di hari pertama bertemu setelah empat tahun lebih tidak bertemu, Windi tidak percaya jika Pandu meminta hal itu. Bagaimana bisa? Pacaran saja tidak pernah, kenapa tiba-tiba melamar?Eh ... tunggu, kalimat Pandu tadi bisa diartikan lamaran, 'kan?Windi menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal."Kakak memintaku untuk apa? Memberi kesempatan untuk menjadi suamiku?" ulang Windi masih dengan tatapan tidak percaya."Ya. Kita berdua sudah sama-sama dewasa dan juga memiliki latar belakang yang sama. Mungkin saat ini di antara kita belum ada rasa, tetapi sepertinya hal itu bisa tumbuh belakangan asalkan kita berdua saling mengenal dengan baik."Pandu terus berusaha meyakinkan Windi agar
Windi terpaku di tempatnya berdiri, sementara matanya tak berkedip menatap Yoo-ill. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung dengan ekspresi bingung, terlebih saat melihat tangan Yoo-ill yang terulur padanya. Ia pun tersadar tak lama kemudian. Dengan raut wajah gelisah dan bingung, Windi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia baru sadar kalau kursi-kursi di gereja itu telah banyak yang ditinggalkan penghuninya. Hampir separuh dari tamu undangan itu pergi setelah mengetahui pengantin prianya sosok yang berbeda.Di barisan paling depan Windi berharap menemukan keluarga Pandu, tetapi barisan itu pun terlihat lengang. Hanya rekan kerjanya yang setia menyaksikan acara pemberkatan itu sampai selesai."Ha-ni-yah. Apa yang terjadi. Mana Kak Pandu dan keluarganya?" tanya Windi dengan mata berkaca-kaca.Ha-ni yang bertugas sebagai bridesmaids tak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya kepada Windi. Ia menghampiri Windi lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Win. Aku tidak bisa m
Satu jam sebelumnya. Di ruang tunggu pengantin pria, Pandu bercengkrama dengan sejumlah tamu yang merupakan teman kuliahnya dulu. Ternyata perihal pertunanganan Yoo-ill yang batal telah menyebar luas di kalangan mereka."Aku tidak mengerti dengan cara pikir si Yoo-ill itu. Padahal kalau aku tidak salah dengar, ini pertunangannya yang kedua kali. Yang pertama dulu, belum sempat dikenalin ke publik, masih di kalangan internal perusahaan aja. Tapi, hanya beberapa bulan, Yoo-ill memutuskan wanita itu secara sepihak," kata salah satu di antaranya."Tapi aku dengar wanita itu ada skandal dengan salah satu pamannya," kata yang lain pula.Namun, pria yang lain membantah dengan gerakan tangannya. "Itu tidak benar. Kamu lupa kalau aku juga bekerja di Han Enterprise? Skandal itu adalah hoaks yang diciptakan oleh Han Tae Soo, paman Yoo-ill yang lain, karena ingin menurunkan tunangan Yoo-ill dari kursi direktur.""Gila. Parah juga persaingan di perusahaan itu.""Paman Yoo-ill yang satu itu memang
Untuk beberapa saat Windi terpaku di tempatnya berdiri karena tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Windi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Yoo-ill sedang bersandar di mobilnya dengan kedua tangan yang sibuk memainkan ponsel. Windi juga heran bagaimana Yoo-ill bisa tahu tempat kerjanya."Yoo-ill? Kamu kenapa bisa ada di sini? Kamu tahu dari mana aku kerja di sini?" Windi mencecar Yoo-ill tanpa jeda.Yoo-ill mendekat tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Windi, wajah wanita yang selama beberapa tahun terakhir ini terus mengusik hati dan pikirannya bahkan di saat tidur."Aku sudah menerima undangan pernikahanmu. Jujur ... aku kaget sekali karena tidak menyangka kalian akan menikah secepat itu," ujar Yoo-ill mengabaikan pertanyaan Windi."Apanya yang aneh? Kami memang sudah merencanakan sejak lama, hanya sedikit dipercepat saja karena keluarga Pandu inginnya begitu," jawab Windi beralasan. Padahal ia sendiri yang meminta hal itu pada Pandu, karena tidak i
Dua hari berlalu. Di kediaman keluarga Han sedang terjadi ketegangan. Pasalnya adalah kepulangan Yoo-ill setelah tiga hari menghilang pasca membatalkan pertunangannya dengan Ji-hyun.PLAK! PLAK!Tamparan keras dari tangan Tn. Han mendarat di wajah Yoo-ill. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Masih tak puas juga, tetua keluarga Han itu juga menendang Yoo-ill dengan kakinya yang memakai sepatu pantofel. Sakit? Jangan ditanya. Ringis kesakitan dari Yoo-ill sudah menjawab semua itu, betapa sakit tubuhnya yang didera pukulan bertubi-tubi dari sang ayah.Sementara Ny. Ko hanya bisa menangis tersedu sambil menahan kaki sang suami agar berhenti memukuli buah hatinya."Cukup, Yeobo. Jangan pukuli Yoo-ill lagi. Berhenti memukuli kepalanya, matanya masih sangat rentan dengan guncangan. Tolong berhentilah!" pinta Ny. Ko yang kalut melihat luka di kening Yoo-ill. Ia takut sekali penglihatan Yoo-ill kembali bermasalah akibat pukulan itu.Namun, Tn. Han mengabaikan rengekan istrinya. Matanya y
Dengan penuh tanda tanya Windi menyeret langkah menuju pintu, lalu mengintip lewat peephole yang ada di sana. Windi mengernyit heran saat melihat wajah Ji-Hyun di sana. Tak ingin memendam rasa penasarannya lebih lama, ia pun membuka pintu itu."Ji-Hyun?! Ada keperluan apa kamu di sini?" "Aku mau bicara." Dengan lancangnya, Ji-Hyun menerobos masuk lalu berkeliling kamar, masuk ke kamar mandi, membuka pintu lemari seolah sedang mencari sesuatu. Setelah gagal menemukan apa yang dicari, dia pun duduk di sofa yang tersedia di sudut kamar."Kamu sendiri?" tanyanya dengan tatapan menyelidik."Bersama Pandu. Dia sedang membeli makanan ke luar."Ji-hyun tak percaya. "Kenapa tidak pesan di restoran hotel saja?""Dia lagi pengen makan masakan Indonesia. Di restoran hotel ini tidak ada," jawab Windi asal. Padahal ia tidak tahu pasti Pandu ke mana, karena lelaki itu pergi saat dirinya sedang mandi.Windi menghela napas panjang, menutup pintu, lalu duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan Ji-hy
"Aku senang sekali, Win. Memang itu yang aku mau. Tetapi, kalau aku boleh tau, apa alasan kamu tiba-tiba ingin mempercepat pernikahan kita?" Pandu bertanya tak sabar setelah mereka berada di hotel. Tadi ia terpaksa beralasan ada pekerjaan mendadak sehingga bisa pamit lebih awal dari pesta pertunangan Yoo-ill dan Ji-hyun. Meskipun ia sendiri heran dengan sikap Windi yang bersikeras untuk pulang, tetapi demi kenyamanan sang kekasih hati ia pun menuruti permintaan Windi."Tidak ada alasan khusus. Melihat Kak Pandu dikelilingi wanita-wanita cantik saat di pesta tadi membuatku berpikir sepertinya aku harus segera mengikatmu dengan cincin pernikahan," jawab Windi beralasan. Padahal ia melakukan itu karena takut hatinya kembali goyah oleh Yoo-ill. Windi takut, nama Yoo-ill yang telah terkubur di hatinya hidup kembali karena terbayang tatapan laki-laki itu yang dipenuhi rasa bersalah saat menatapnya tadi. Sementara ia sudah berkomitmen dengan Pandu. Pandu dan keluarganya adalah orang-orang
Pandu heran melihat Yoo-ill dan Windi terdiam dengan tatapan saling bertaut, sementara wajah mereka menggambarkan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Terkejut, kecewa, luka, dan juga rindu yang tersirat dalam. Berada di antara mereka membuat Pandu mendadak merasa berada di dunia yang berbeda. Keadaan itu berlangsung cukup lama sampai suara tunangan Yoo-ill membuyarkannya. "Wah, dunia ini sempit sekali, ya. Ternyata wanita yang ingin kamu kenalkan itu Windi, Pan?" tanya Ji-hyun pada Pandu. Pandu dan Ji-hyun merupakan teman saat duduk di bangku SMA dulu, sementara Yoo-ill adalah temannya di saat kuliah. Itu sebabnya Pandu sangat antusias menghadiri pesta pertunangan ini karena kedua calon pengantin adalah temannya. "Kamu kenal Windi?" Pandu balik bertanya dengan heran. Ji-hyun melirik Yoo-ill yang masih menatap Windi tanpa jeda, lalu bergelayut manja di lengan lelaki itu. Lewat sikapnya itu ia ingin memberi tahu Windi bahwa Yoo-ill adalah miliknya. "Bukan aku yang kenal Windi sec
Windi mematut pantulan dirinya yang ada di cermin. Sungguh ia merasa takjub sendiri melihat penampilannya dalam balutan gaun malam berwarna maroon itu. Gaun pesta ala mermaid membungkus tubuh Windi yang sintal dengan indah, menonjolkan bagian-bagian tertentu dalam porsinya yang pas. Setelah merasa cukup puas dengan gaun pilihannya, Windi pun keluar dari kamar ganti itu.Pandu yang menunggu di luar kamar ganti spontan berdiri dengan bola mata membesar saat melihat Windi keluar. Mulutnya ternganga, terpesona akan kecantikan Windi yang tak biasa."Bagaimana, Kak? Cocok, tidak?" tanya Windi malu-malu. Pandu tidak menjawab, hanya tepuk tangannya yang menggema ke seantero toko. "Kamu cantik sekali, Win. Super-duper-cantik!" puji Pandu sambil berdecak panjang."Kak Pandu ini bisa saja. Jangan berlebihan, Kak. Jangan buat aku malu," ucap Windi dengan bibir mengerucut, sedikit protes, tetapi tetap saja pipinya merona."Aku tidak berlebihan. Coba saja tanya pada pramuniaga itu," sahut Pandu. "
Windi terkesiap, ia terduduk, spontan menjauh dari Pandu. Napasnya masih tersengal dan wajahnya masih memerah karena lonjakan libido. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukannya. Maafkan aku kalau mengecewakanmu," ujar Windi sambil menenangkan debaran jantungnya."It's okay, Win. Aku juga minta maaf karena telah lepas kendali tadi," ujar Pandu dengan kepala menunduk."Tidak apa, Kak. Ini salah kita berdua, jadi mari jadikan pelajaran saja," kata Windi berusaha untuk bijak.Pandu mengangguk."Silakan mandi dan ganti pakaianmu, aku akan menunggu di luar," kata Pandu.Ia keluar dari kamar, lanjut menuju dapur lalu meminum segelas air dingin. Ia butuh meredakan gelora hasratnya yang masih membara.Sementara itu, di Seoul. Sebuah acara yang mempertemukan dua keluarga baru saja berakhir. Tn. Han tampak antusias melepas kepergian tamu mereka. Tangannya tak henti melambai, dan senyumnya juga tak henti mengembang. Di sampingnya Yoo-ill berdiri dengan ekspresi datar.Mereka yang baru saja pergi ada