Keesokan paginya.
"Windi-yah, besok malam bisa luangkan waktu?" tanya Tn. Han, beberapa saat sebelum Windi masuk ke mobilnya.
"Pagi, Siaboji. Maaf, aku bangun kesiangan, jadi tidak sempat untuk sarapan bersama tadi," sesal Windi.
"Tidak apa-apa, aku tahu kamu pasti lelah. Apakah beban perkerjaan terlalu berat?" tanya Tn. Han khawatir.
"Hanya sedikit konflik dengan beberapa staf yang mungkin masih meragukan kemampuanku," jawab Windi, dengan senyum yang dipaksakan.
"Jika kamu mengalami kendala, jangan ragu memberitahuku, aku akan bantu meringankan perkerjaanmu."
"Oh, tidak usah, Siaboji. Aku yakin ini hanya soal waktu. Jika program-program yang aku rancang berjalan lancar, sikao mereka pasti berubah dengan sendirinya."
"Yah, kamu benar. Bertahan dan bersabarlah. Aku yakin keputusanku untuk memercayakan jabatan itu padamu tidak salah."
"Terimakasih, Siaboji. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kepercayaanmu."
"Oh, ya. Ba
Ruangan Royal Cousine Oritaste Restaurant tampak mewah dengan ornamen berwarna emas dan perak. Sebuah meja panjang di penuhi makanan terletak di tengah-tengah ruangan. Di bagian belakang kursi tertempel kertas bertuliskan nama para tamu. Sedangkan di sudut-sudut ruangan aneka macam bunga melengkapi keindahan ruangan.Satu per satu keluarga Han memasuki Royal Cousine, berjalan dengan anggun dan gagah mendekati meja makan."Cih ... lihat lagak Si Tae Ho, sampai ke tempat duduk kita pun diaturnya," keluh Tae Min. Namun, ia tetap menarik kursi bertuliskan namanya, lalu duduk di atasnya, diikuti oleh suami dan anaknya."Jangan banyak protes, Kakakku yang cantik. Sebagai tamu yang di undang kita menurut saja," tanggap Tae Soo dengan senyum sarkas."Memangnya kenapa? Bukankah tujuannya baik, agar calon istri Yoo-ill lebih mudah mengenali keluarga suaminya." Kali ini Tae Joon yang buka suara. Dengan santai ia menarik kursi yang bertuliskan namanya, lalu duduk den
Tae Joon terkesiap, tidak menyangka Yoo-na akan mengajukan pertanyaan yang membuatnya terpojok. Wajah Tea Joon langsung memerah karena malu. Hal itu membuat Yoo-na semakin gencar menggodanya."Waaah! Sepertinya dugaanku benar," seru Yoo-na. "Siapa dia, Paman? Ayo, ceritakan pada kami," rengek Yoo-na seraya menarik-narik lengan kanan Tae Joon.Tae Joon semakin salah tingkah, ia tidak ingin perasaannya yang tidak pada tempatnya itu diketahui oleh orang lain, terutama Yoo-ill."Hentikan, Yoo-na. Jangan mengarang cerita," jawab Tae Joon. "Kita berkumpul bukan untuk membahas kekasihku, tapi membahas kekasih Yoo-ill," sambungnya."Ehhmm ...."Tn. Han berdehem kuat. Memberi isyarat agar semua kembali tenang dan fokus pada agenda utama mereka."Tae Joon-ah, lain waktu kau harus ceritakan padaku siapa gadis itu, oke?" ucap Tn. Han."Nanti jika tiba waktunya aku akan cerita, Hyeong," jawab Tae Joon cepat.Tn. Han mengangguk."Baik
Kang Ha-Na yang sedang makan langsung tersedak mendengar Windi menyebut namanya. Dengan gelagapan, ia memutar tubuh menghadap Windi, dan balik bertanya."Siapa? Aku?" tanyanya dengan ekspresi tidak percaya.Sebenarnya sejak tamat kuliah, Ha-Na ingin sekali berkerja di Han Enterprise, tapi sejak Tn. Han mengeluarkan semua anggota keluarganya dari jabatan eksekutif, Ha-Na pun mengurungkan niatnya itu. Namun, hari ini ia justru mendapat tawaran langsung dari Windi, tentu saja ia tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya."Ya. Aku dengar kamu lulusan SNU," jawab Windi."Ya, jurusan Bussiness Administration," kata Ha-Na."Bagus sekali. Aku yakin kamu pasti bisa melakukannya. Besok pagi, temui aku di kantor. Kita diskusikan posisi yang tepat untukmu. Oke?"Luapan kegembiraan tidak bisa lagi ia sembunyikan. Ha-Na berdiri, langsung menjura hormat ke arag Windi. Ucapan terimakasih meluncur berkali-kali dari mulutnya."Waaah! Aku senang sekali,"
Dengan gerakan cepat Tae Joon menyelipkan sepotong kertas ke tangan Windi, lalu bergegas menuju mobil miliknya yang terparkir di seberang mobil Yoo-ill.Windi kebingungan dan ingin menanyakan maksud Tae Joon, tapi ia tidak ingin membuat Yoo-ill curiga. Ia terus berjalan di samping Yoo-ill seolah-olah tidak ada yang terjadi.Namun, Yoo-ill seolah memiliki indra ke enam. Dia tahu jika saat ini Windi sedang merasa gelisah."Kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya."Oh ... oo ... ya ... aku baik-baik saja," jawab Windi terbata. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya di hadapan Yoo-ill.Tangan Yoo-ill terulur, jemarinya dengan tangkas menemukan celah di telapak tangan Windi yang terbuka. Dengan gerakan lembut, ia menjalin jemari Windi dengan jari-jarinya yang panjang."Apakah Paman Tae Joon mendekatimu?" tanyanya, seolah tahu apa yang menjadi alasan kegelisahan yang Windi rasakan."Pa-paman Tae Joon? Tidak tuh," jawab Windi, lagi-lagi dengan
Pagi itu para karyawan Han Enterprise sedang sibuk di balik kubikel masing-masing. Semua fokus dengan tugas dan tanggung jawab yang telah diberikan. Sesekali suara printer terdengar bersahutan dengan dering telepon.Dalam suasana yang begitu tenang, sepasang kaki yang panjang melangkah dengan penuh wibawa. Derap langkahnya terdengar membentuk irama yang teratur. Terdengar indah hingga menarik semua mata serentak mengalihkan pandangan untuk melihat pemilik langkah tersebut."Good morning," sapanya ramah. Giginya yang rapi menghiasi senyum di wajahnya yang tampan.Begitu mengenali sosok itu, para karyawan di ruangan itu serentak berdiri lalu memberi hormat."Selamat pagi, Tn. Han Tae Joon. Ada yang bisa saya bantu?"Lee Dong Min, sang Kepala Tim langsung mendekat, menyambut kedatangan Han Tae Joon."Oh, tidak. Aku tidak ingin mengganggu perkerjaanmu. Aku hanya mampir ingin menemui direktur yang baru," jawab Tae Joon sambil menepuk pelan pundak
Semua mata serentak menoleh ke belakang Windi, terpaku melihat tatapan tajam dari wajah tampan Tae Joon."Kau ... mengapa kau ada di sini?" tanya Tae Soo meradang."Bukan urusanmu," jawab Tae Joon pendek.Lalu ia mengalihkan pandangan kepada Windi, dan berkata:"Aku tadi ke ruangan direktur, tapi kosong.""Maaf, Tuan. Anda tidak mengabari akan berkunjung, tadi pagi saya meeting dengan kepala divisi," ujar Windi."Oh, tidak apa-apa, memang salahku karena tidak mengabari terlebih dahulu," balas Tae Joon ramah.Percakapan Windi dan Tae Joon yang terlihat akrab itu tentu saja tidak lepas dari pandangan Tae Soo."Wah, ada apa ini? Mengapa aku melihat keakraban yang tidak wajar?" tanyanya dengan nada mengejek."Jaga kata-katamu, Hyeong. Orang-orang bisa salah paham," protes Tae Joon."Mengapa kau tidak berkaca? Justru kehadiranmu di sini yang membuat mereka salah paham," sanggah Tae Soo."Ya, kan? Dari tadi kalia
Beberapa waktu kemudian, di kediaman Tn. Han, Yoo-ill sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Wajahnya tampannya memerah, sementara rahangnya bergerak-gerak menahan emosi."Baiklah, terimakasih sudah memberitahuku," ujarnya, lalu mengakhiri sambungan telepon itu.Tangannya terulur, meraba ke arah depan untuk menemukan nakas. Namun, ternyata nakas yang ia maksud masih jauh dari jangkauannya. Ia pun memutar tubuh dengan niat untuk duduk kembali di tempat tidur, tapi sayang perhitungannya tidak tepat. Yoo-ill gagal, tanpa ada yang menghalangi tubuhnya terjatuh ke lantai."Aaarrggh!" teriaknya putus asa.Dengan penuh amarah ia melemparkan ponsel yang ada di genggamannya ke lantai. Benda pipih itu pun hancur seketika."Bagaimana aku bisa melindungi Windi jika mengurus diri sendiri pun aku gagal?" erangnya dengan putus asa.Kedua tangannya memukuli kepalanya berkali-kali.Saat ini, untuk pertama kalinya Yoo-ill membenci ketidakberdaya
"Han Yoo-ill, apa maksud perkataanmu?!"Tiba-tiba Tn. Han telah berdiri di depan pintu kamar Yoo-ill. Tidak jelas sudah berapa lama pria paruh baya itu berada di sana."Appa?!" seru Yoo-ill kaget. Tidak menyangka jika ayahnya juga berada di ruangan itu.Dengan gemetar ia meraih tangan ibunya."Eomma ... apakah sejak tadi Appa ada di sini?""Tidak, sayang. Dia baru saja datang," jawab Ny. Ko."Salah. Ibumu berbohong. Aku sudah mendengar semuanya. Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu memutuskan Windi," ujar Tn. Han tegas.Yoo-ill yang masih duduk di lantai, akhirnya turut berdiri."Kalau begitu, biar aku mati saja. Aku tidak mau hidup lagi, Appa," sahut Yoo-ill.Suaranya bergetar, menahan duka dan kecewa yang begitu besar di dalam hati"Apa kamu sudah gila?! Bagaimana kamu bisa dengan mudahnya berkata mati di depan ayah dan ibumu? Kamu tidak menghargai perjuangan kami," ujar Tn. Han emosi."Namun, aku sungg
Windi terpaku di tempatnya berdiri, sementara matanya tak berkedip menatap Yoo-ill. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung dengan ekspresi bingung, terlebih saat melihat tangan Yoo-ill yang terulur padanya. Ia pun tersadar tak lama kemudian. Dengan raut wajah gelisah dan bingung, Windi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ia baru sadar kalau kursi-kursi di gereja itu telah banyak yang ditinggalkan penghuninya. Hampir separuh dari tamu undangan itu pergi setelah mengetahui pengantin prianya sosok yang berbeda.Di barisan paling depan Windi berharap menemukan keluarga Pandu, tetapi barisan itu pun terlihat lengang. Hanya rekan kerjanya yang setia menyaksikan acara pemberkatan itu sampai selesai."Ha-ni-yah. Apa yang terjadi. Mana Kak Pandu dan keluarganya?" tanya Windi dengan mata berkaca-kaca.Ha-ni yang bertugas sebagai bridesmaids tak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya kepada Windi. Ia menghampiri Windi lalu memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Win. Aku tidak bisa m
Satu jam sebelumnya. Di ruang tunggu pengantin pria, Pandu bercengkrama dengan sejumlah tamu yang merupakan teman kuliahnya dulu. Ternyata perihal pertunanganan Yoo-ill yang batal telah menyebar luas di kalangan mereka."Aku tidak mengerti dengan cara pikir si Yoo-ill itu. Padahal kalau aku tidak salah dengar, ini pertunangannya yang kedua kali. Yang pertama dulu, belum sempat dikenalin ke publik, masih di kalangan internal perusahaan aja. Tapi, hanya beberapa bulan, Yoo-ill memutuskan wanita itu secara sepihak," kata salah satu di antaranya."Tapi aku dengar wanita itu ada skandal dengan salah satu pamannya," kata yang lain pula.Namun, pria yang lain membantah dengan gerakan tangannya. "Itu tidak benar. Kamu lupa kalau aku juga bekerja di Han Enterprise? Skandal itu adalah hoaks yang diciptakan oleh Han Tae Soo, paman Yoo-ill yang lain, karena ingin menurunkan tunangan Yoo-ill dari kursi direktur.""Gila. Parah juga persaingan di perusahaan itu.""Paman Yoo-ill yang satu itu memang
Untuk beberapa saat Windi terpaku di tempatnya berdiri karena tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Windi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Yoo-ill sedang bersandar di mobilnya dengan kedua tangan yang sibuk memainkan ponsel. Windi juga heran bagaimana Yoo-ill bisa tahu tempat kerjanya."Yoo-ill? Kamu kenapa bisa ada di sini? Kamu tahu dari mana aku kerja di sini?" Windi mencecar Yoo-ill tanpa jeda.Yoo-ill mendekat tanpa melepaskan tatapannya dari wajah Windi, wajah wanita yang selama beberapa tahun terakhir ini terus mengusik hati dan pikirannya bahkan di saat tidur."Aku sudah menerima undangan pernikahanmu. Jujur ... aku kaget sekali karena tidak menyangka kalian akan menikah secepat itu," ujar Yoo-ill mengabaikan pertanyaan Windi."Apanya yang aneh? Kami memang sudah merencanakan sejak lama, hanya sedikit dipercepat saja karena keluarga Pandu inginnya begitu," jawab Windi beralasan. Padahal ia sendiri yang meminta hal itu pada Pandu, karena tidak i
Dua hari berlalu. Di kediaman keluarga Han sedang terjadi ketegangan. Pasalnya adalah kepulangan Yoo-ill setelah tiga hari menghilang pasca membatalkan pertunangannya dengan Ji-hyun.PLAK! PLAK!Tamparan keras dari tangan Tn. Han mendarat di wajah Yoo-ill. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Masih tak puas juga, tetua keluarga Han itu juga menendang Yoo-ill dengan kakinya yang memakai sepatu pantofel. Sakit? Jangan ditanya. Ringis kesakitan dari Yoo-ill sudah menjawab semua itu, betapa sakit tubuhnya yang didera pukulan bertubi-tubi dari sang ayah.Sementara Ny. Ko hanya bisa menangis tersedu sambil menahan kaki sang suami agar berhenti memukuli buah hatinya."Cukup, Yeobo. Jangan pukuli Yoo-ill lagi. Berhenti memukuli kepalanya, matanya masih sangat rentan dengan guncangan. Tolong berhentilah!" pinta Ny. Ko yang kalut melihat luka di kening Yoo-ill. Ia takut sekali penglihatan Yoo-ill kembali bermasalah akibat pukulan itu.Namun, Tn. Han mengabaikan rengekan istrinya. Matanya y
Dengan penuh tanda tanya Windi menyeret langkah menuju pintu, lalu mengintip lewat peephole yang ada di sana. Windi mengernyit heran saat melihat wajah Ji-Hyun di sana. Tak ingin memendam rasa penasarannya lebih lama, ia pun membuka pintu itu."Ji-Hyun?! Ada keperluan apa kamu di sini?" "Aku mau bicara." Dengan lancangnya, Ji-Hyun menerobos masuk lalu berkeliling kamar, masuk ke kamar mandi, membuka pintu lemari seolah sedang mencari sesuatu. Setelah gagal menemukan apa yang dicari, dia pun duduk di sofa yang tersedia di sudut kamar."Kamu sendiri?" tanyanya dengan tatapan menyelidik."Bersama Pandu. Dia sedang membeli makanan ke luar."Ji-hyun tak percaya. "Kenapa tidak pesan di restoran hotel saja?""Dia lagi pengen makan masakan Indonesia. Di restoran hotel ini tidak ada," jawab Windi asal. Padahal ia tidak tahu pasti Pandu ke mana, karena lelaki itu pergi saat dirinya sedang mandi.Windi menghela napas panjang, menutup pintu, lalu duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan Ji-hy
"Aku senang sekali, Win. Memang itu yang aku mau. Tetapi, kalau aku boleh tau, apa alasan kamu tiba-tiba ingin mempercepat pernikahan kita?" Pandu bertanya tak sabar setelah mereka berada di hotel. Tadi ia terpaksa beralasan ada pekerjaan mendadak sehingga bisa pamit lebih awal dari pesta pertunangan Yoo-ill dan Ji-hyun. Meskipun ia sendiri heran dengan sikap Windi yang bersikeras untuk pulang, tetapi demi kenyamanan sang kekasih hati ia pun menuruti permintaan Windi."Tidak ada alasan khusus. Melihat Kak Pandu dikelilingi wanita-wanita cantik saat di pesta tadi membuatku berpikir sepertinya aku harus segera mengikatmu dengan cincin pernikahan," jawab Windi beralasan. Padahal ia melakukan itu karena takut hatinya kembali goyah oleh Yoo-ill. Windi takut, nama Yoo-ill yang telah terkubur di hatinya hidup kembali karena terbayang tatapan laki-laki itu yang dipenuhi rasa bersalah saat menatapnya tadi. Sementara ia sudah berkomitmen dengan Pandu. Pandu dan keluarganya adalah orang-orang
Pandu heran melihat Yoo-ill dan Windi terdiam dengan tatapan saling bertaut, sementara wajah mereka menggambarkan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Terkejut, kecewa, luka, dan juga rindu yang tersirat dalam. Berada di antara mereka membuat Pandu mendadak merasa berada di dunia yang berbeda. Keadaan itu berlangsung cukup lama sampai suara tunangan Yoo-ill membuyarkannya. "Wah, dunia ini sempit sekali, ya. Ternyata wanita yang ingin kamu kenalkan itu Windi, Pan?" tanya Ji-hyun pada Pandu. Pandu dan Ji-hyun merupakan teman saat duduk di bangku SMA dulu, sementara Yoo-ill adalah temannya di saat kuliah. Itu sebabnya Pandu sangat antusias menghadiri pesta pertunangan ini karena kedua calon pengantin adalah temannya. "Kamu kenal Windi?" Pandu balik bertanya dengan heran. Ji-hyun melirik Yoo-ill yang masih menatap Windi tanpa jeda, lalu bergelayut manja di lengan lelaki itu. Lewat sikapnya itu ia ingin memberi tahu Windi bahwa Yoo-ill adalah miliknya. "Bukan aku yang kenal Windi sec
Windi mematut pantulan dirinya yang ada di cermin. Sungguh ia merasa takjub sendiri melihat penampilannya dalam balutan gaun malam berwarna maroon itu. Gaun pesta ala mermaid membungkus tubuh Windi yang sintal dengan indah, menonjolkan bagian-bagian tertentu dalam porsinya yang pas. Setelah merasa cukup puas dengan gaun pilihannya, Windi pun keluar dari kamar ganti itu.Pandu yang menunggu di luar kamar ganti spontan berdiri dengan bola mata membesar saat melihat Windi keluar. Mulutnya ternganga, terpesona akan kecantikan Windi yang tak biasa."Bagaimana, Kak? Cocok, tidak?" tanya Windi malu-malu. Pandu tidak menjawab, hanya tepuk tangannya yang menggema ke seantero toko. "Kamu cantik sekali, Win. Super-duper-cantik!" puji Pandu sambil berdecak panjang."Kak Pandu ini bisa saja. Jangan berlebihan, Kak. Jangan buat aku malu," ucap Windi dengan bibir mengerucut, sedikit protes, tetapi tetap saja pipinya merona."Aku tidak berlebihan. Coba saja tanya pada pramuniaga itu," sahut Pandu. "
Windi terkesiap, ia terduduk, spontan menjauh dari Pandu. Napasnya masih tersengal dan wajahnya masih memerah karena lonjakan libido. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukannya. Maafkan aku kalau mengecewakanmu," ujar Windi sambil menenangkan debaran jantungnya."It's okay, Win. Aku juga minta maaf karena telah lepas kendali tadi," ujar Pandu dengan kepala menunduk."Tidak apa, Kak. Ini salah kita berdua, jadi mari jadikan pelajaran saja," kata Windi berusaha untuk bijak.Pandu mengangguk."Silakan mandi dan ganti pakaianmu, aku akan menunggu di luar," kata Pandu.Ia keluar dari kamar, lanjut menuju dapur lalu meminum segelas air dingin. Ia butuh meredakan gelora hasratnya yang masih membara.Sementara itu, di Seoul. Sebuah acara yang mempertemukan dua keluarga baru saja berakhir. Tn. Han tampak antusias melepas kepergian tamu mereka. Tangannya tak henti melambai, dan senyumnya juga tak henti mengembang. Di sampingnya Yoo-ill berdiri dengan ekspresi datar.Mereka yang baru saja pergi ada