"Kau benar-benar sudah baik-baik saja, Sima?" sembari mencatat stok kain yang baru datang, Kinara bertanya. Atensi kedua netra indah itu lantas beralih sepenuhnya pada wajah jelita Sima, salah satu sahabat baiknya selain Anindita. Wanita yang tengah hamil muda itu tampak semakin pucat sore ini. "Jangan dipaksakan jika masih belum kuat."Kepala dengan rambut menjuntai panjang itu menoleh, sesaat menghentikan kegiatannya menata gaun-gaun terbaru pada display di hadapannya. "Aku baik, Nara ... aku masih butuh uang, makanya aku harus berangkat bekerja." Ia lantas kembali melanjutkan pekerjaannya."Ah, apakah suamimu yang pelukis itu sudah gulung tikar?" Anindita—dengan sebuah gaun berwarna peach di kedua tangannya—menimpali sembari mengangkat satu alisnya kala bersitatap dengan Sima, namun tiada menghentikan langkah kakinya menuju meja kasir. Sedangkan di belakang tubuh ramping itu terlihat dua sosok yang mengekorinya. Ah, wanita itu sedang melayani pelanggan rupanya.Tentu Sima menoleh c
Kedua netra indah itu tampak sayu, memandang tak fokus pada botol-botol soju di atas meja; tepat di hadapannya. Tangan kanannya tampak memutar-mutar gelas berkaki yang separuh terisi dengan gerakan bosan. Sedangkan dirinya tampak duduk bersimpuh di kaki sofa, pada permadani merah yang tergelar di bawah tubuhnya.Ingatannya mundur pada beberapa jam ke belakang, mengingat kejadian setelah mengantar Anindita pulang. Sungguh, pemandangan ketika ia tanpa sengaja melihat Daniel dan anaknya tengah bercengkerama dengan Karin selalu berputar dalam angan. Di mata Kinara, mereka terlihat begitu bahagia. Tentu melihat hal tersebut sukses kembali menggores hatinya, menambah jajaran luka. Ah, harinya semakin kelam saja. Lebih muram lagi karena sang ayah sedang tiada di rumah, sehingga ia tiada memiliki tempat untuk berkeluh kesah.Setelah kejadian tersebut, pada akhirnya ia memutuskan untuk membeli beberapa botol soju untuk menemani malamnya. Ia berpikir, ia butuh cairan beralkohol tersebut untuk
Daniel menjatuhkan kedua lututnya di atas karpet tebal yang tergelar, agar mampu menatap wajah wanita di depannya lebih dekat. Raut wajah itu tak pernah berubah di mata birunya, tetap cantik nan mempesona seperti dahulu kala. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mungil namun mancung, dan kedua belah bibir sewarna cherry yang ranum. Bibir itu ... bibir yang dahulu menjadi candu baginya. Ada setitik hasrat untuk kembali memagutnya saat itu juga. Tetapi, ia memilih untuk menahan, ia bukanlah pria yang senang mencuri kesempatan.Tanpa terasa kedua bibir pria itu melengkungkan senyuman, seiring angannya kembali mengingat masa silam. Masa ketika Kinara pertama kali mencoba menenggak alkohol setelah hari kelulusan sekolahnya, tentu ia mendampinginya. Sebagai kekasih yang baik ia tentu berusaha menjaga miliknya, apalagi ia lebih dewasa dari Kinara; tiga tahun jarak usia mereka.Kala itu ia menjadi satu-satunya pria yang menyaksikan bagaimana gilanya wanita itu ketika kehilangan kesadara
[Maaf.]Hanya satu kata.Ya, hanya satu kata yang Kinara baca kala membuka chat yang baru masuk dalam handphonenya, tentu saja dari Daniel; pria yang membagi kehangatan dengan dirinya semalaman.Ia tersenyum miris sembari mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Dengan posisi setengah terlentang, pula handphone yang erat tergenggam, ia menatap sendu sisi tempat tidurnya. Titik tersebut yang beberapa jam lalu masih terasa hangat, kini mendingin setelah pria itu pergi meninggalkan dirinya. Seorang diri. Seperti sedia kala.Tanpa ia sadari, air bening pada kedua sudut matanya mengalir, seakan berlomba menuruni pipi tirus yang belakangan ini sering berderai air mata. Ia merasa bagai pelacur yang baru saja ditinggalkan pelanggannya sekarang. Ia merasa bagai wanita murahan yang dengan mudahnya memberikan tubuhnya pada sang pria Kanada; meskipun ia dalam pengaruh alkohol. Meskipun samar, sejujurnya Kinara mengingatnya. Mengingat bagaimana sentuhan tangan pria itu ketika mencumbui s
Langkah panjang itu terayun dengan pasti memasuki bangunan butik lebih dalam lagi, membuat obrolan kedua wanita di sana terhenti. Sedangkan balita tampan yang sedari tadi sibuk bermain, kini segera bangkit berdiri kala menyadari kehadirannya. Sosok kecil itu lantas berlari terseok menerjang tubuh besar sang pria berambut bak arunika. Benar, Daniel adalah seseorang yang datang ketika langit senja mulai memayungi cakrawala. Ia memang sengaja mengunjungi butik milik sang mantan kekasih untuk menemuinya; untuk membahas kejadian semalam tentu saja. Namun, nyatanya ia cukup beruntung karena dapat sekaligus bertemu sang putra tercinta. "Paman~ Axel lindu." Pria kecil kopian sang pria Kanada berteriak riang sebelum akhirnya langkah kecil itu menjejak udara ketika kedua tangan besar Daniel meraih tubuhnya, lantas menghujaninya dengan ciuman.Sungguh, hati pria itu terasa menghangat setiap kali mendekap anaknya. Dadanya membuncah takjub setiap kali menyadari bahwa entitas dalam gendongannya a
Tidak seperti kebanyakan balita, Axel adalah tipe anak yang cukup tenang. Dibandingkan dengan anak-anak kecil lain yang terlihat asyik bermain kejar-kejaran, ia justru memilih duduk diam pada bangku di sisi ayahnya. Bahkan di usianya yang masih cukup dini, bocah pirang itu sudah pandai menyuap makanannya sendiri. Tangan kanan mungil itu tampak menyendok crepes cake-nya dengan garpu, dengan gerakan hati-hati. Meskipun remah-remah cake sewarna pelangi itu terlihat berhamburan di sekeliling piringnya, namun hal tersebut masih mampu mempertahankan senyuman sang pria dewasa kala menatapi tingkah laku anaknya. Bagi Daniel, Axel terlihat begitu menggemaskan dengan noda-noda makanan yang menghiasi kedua sisi pipinya yang tembam. Bayi kecilnya semakin besar saja. Anak lelakinya tumbuh dengan begitu mandiri, dan ia merasa bangga. Ibunya benar-benar mengajarkan hal-hal baik pada putra mereka.'Ibunya, ya?'Daniel terhenyak ketika pemikiran tersebut melintasi kepalanya, disusul dengan senyumann
Gaun tidur telah melekat di tubuhnya yang ramping, pun wangi sabun beraroma mawar menguar dari setiap jengkal kulitnya yang terawat. Kini wanita beranak satu itu telah siap untuk menuju lelap setelah berjam-jam lalu berendam dalam bathub; hal yang sangat jarang ia lakukan setelah melahirkan.Ia memang sengaja mengubur dirinya sendiri berlama-lama di dalam air untuk merilekskan pikiran, pula mencoba melupakan kejadian ketika bersama si pria pirang. Satu lagi hari yang berat telah terlewati, meskipun sebenarnya sangat sukar untuk ia jalani. Bibirnya masihlah membengkak, dan rasanya teramat perih; sepertinya Daniel sengaja menggigitnya terlalu kuat tadi. Ah, Kinara yakin jika esok luka di bibirnya akan berubah menjadi sariawan. Bahkan Dirga tiada henti bertanya mengenai hal itu ketika mengantar dirinya pulang, namun tentu saja Kinara memilih untuk diam.Jujur saja, menghadapi Daniel yang seperti itu membuatnya takut. Pria itu benar-benar telah berubah, bukan lagi Daniel yang lembut pada
Ada yang berbeda dengan interaksi mereka malam ini. Suasana canggung mendominasi meja yang Daniel beserta Karin tempati. Mereka yang biasanya banyak berbicara, kini tampak berdiam diri dengan pikiran masing-masing, mengabaikan beberapa menu makanan dan minuman yang telah tersaji. Bahkan alunan musik dari home band di sudut restoran sana, tiada sekali pun menyita perhatian.Daniel menghela napas, entah untuk yang ke berapa kali. Tangan kanannya meraih gelas wine di hadapannya, meneguk cairan merah itu perlahan untuk mengalihkan suasana hati. Sedangakan mata birunya melirik Karin yang kini mulai menyentuh makan malamnya dalam diam.Bibir berlipstik nude itu memanglah tampak mengukir senyuman kecil, namun hal tersebut masih belum mampu membuat perasaan pria berhelaian pirang itu merasa lebih baik. Ia merasa tak enak hati.Entahlah, setelah wanita di depannya mengungkapkan perasaan padanya malam itu, ia tak mampu lagi bersikap seperti sedia kala. Dahulu ia tak akan sungkan untuk mengawali
"B-bergeraklah. Maafkan aku." Dia berucap dengan begitu lirih, diakhiri satu kecupan lembut di bibirku.Sudahkah aku bilang bahwa Nara adalah satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan hatiku, bahkan hanya dengan sekali kecupan?Hanya dengan satu tindakan kecil nan manis darinya, rasa kesalku menguap seketika, lenyap entah ke mana. Tak ingin membuang waktu, aku bergerak mencari kembali mulutnya. Menyatukan indera pengecap sembari bergerak dengan khidmat hingga erangan penuh nikmat Nara menjadi musik paling merdu di telinga.Aku menegakkan tubuhku setelah puas bermain lidah, melihat wajah memerah Nara yang diselubungi nafsu membuat tubuhku semakin panas saja. "Aku mencintaimu, Nara. Kumohon jangan mengatakan hal-hal aneh lagi."Dan dia hanya mengerang menjawab ucapanku. Kedua dada ranumnya berguncang-guncang ketika gerakanku semakin brutal. Sungguh, pemandangan indah itu membuat mulutku bergerak maju secara spontan, mengecap ujung-ujungnya yang menantang, membalutnya dengan lidah panasku
Apa yang ada di dalam benak kalian ketika mendengar kata 'malam pertama'?Apakah ... malam puncak setelah acara pernikahan yang melelahkan?Ataukah ... malam penuh gairah yang begitu dinanti-nantikan?Yah, keduanya memang benar bagiku. Dan kami tengah berada di dalam fase itu sekarang. Meskipun lelah, namun aku tak pernah berpikir sedikit pun untuk menunda ritual sakral ini untuk segera dilakukan.Kamar kami di mansion Maheswara dihias dengan seromantis mungkin. Ah, ini pasti ulah Mama. Banyak sekali lilin-lilin aroma terapi dalam keadaan menyala ketika aku dan Nara melangkah memasukinya, sedangkan taburan kelopak bunga mawar merah tampak memenuhi permukaan ranjang yang akan segera kami gunakan saat ini, membentuk simbol hati.Aku terlebih dahulu menyingkirkan semua kekacauan tersebut sebelum merebahkan tubuh Nara dengan begitu hati-hati ke atas permukaannya, tentu setelah melucuti segala kain yang melekat pada raganya. Tentunya aku pun melakukan hal serupa pada tubuhku; menanggalkan
"Mau kubuktikan?" pertanyaan dariku sukses memancing rasa ingin tahu Nara, terbukti dari gerakan kepalanya yang segera menoleh padaku."Membuktikan ap—hmmkkk!" sebelum ia menyelesaikan kata, aku segera membungkam mulutnya dengan ciuman dalam, tanpa peduli jika posisi kami masih berada di tengah-tengah arena pesta, tanpa peduli jika apa yang kami perbuat kini menjadi pusat perhatian semua tamu undangan yang datang.Aku meraih tengkuknya, memperdalam pagutan pada mulut istriku tercinta. Ah, selalu saja begini. Melakukan French kiss bersama Nara selalu membuatku lupa diri. Bibir tipis nan lembut istriku terasa begitu manis, bagaikan candu. Ketika kedua indera pengecap kami saling berdansa, euforia seakan hampir meledak memenuhi dada. Sudah tak kupedulikan lagi pemerah bibirnya yang bisa saja hilang akibat apa yang kulakukan.Jika terus begini, mana bisa aku tahan untuk tidak melemparkannya ke ranjang, kemudian berolah raga malam hingga pagi menjelang?Ah, sial! Kenapa pestanya jadi teras
Seseorang pernah berkata, level tertinggi dalam mencintai adalah mengikhlaskan. Mungkin kalimat tersebut memang ada benarnya, namun bagiku sedikit berbeda. Bagiku, tingkatan paling tinggi ketika mencintai seseorang adalah dengan menikahinya, seperti apa yang telah kulakukan sekarang.Benar, aku dan Nara telah menikah pagi tadi, mengikrarkan janji suci sehidup semati di salah satu gereja katedral yang ada di pusat kota. Setelah acara pemberkatan selesai, kami berdua segera melanjutkan resepsi pernikahan di hotel bintang lima milik keluarga Maheswara. Yap, salah satu hotel besar milik ayah mertuaku.Ngomong-ngomong, beliau baru saja kembali dari perjalanan bisnis dua bulan lalu. Ayah mertuaku sempat kaget ketika mendapati jika kami kembali bersatu, namun aku begitu yakin beliau merasa bahagia sebab beliau percaya bahwa aku adalah satu-satunya pria yang mampu membahagiakan putri tunggalnya.Ah, apakah aku sudah menceritakan tentang respons kedua orang tuaku?Sepertinya belum, ya?Baiklah
Seakan tertarik sebuah gaya gravitasi, atensi mata biru itu tak mampu sedikit pun berpaling dari kedua iris indah Kinara. Bahkan sampai di detik ke sepuluh pun tiada sepatah kata pun yang keluar dari mulut manis di depannya. Jari-jemari lentik yang tampak saling meremat itu tak lepas dari perhatian sang pemilik surai sewarna arunika.Sedangkan Kinara tampak menundukkan kepala, seakan memang sengaja menghindari kontak mata. Wanita itu bingung harus menjawab bagaimana, lidahnya kelu secara tiba-tiba. Sungguh, mengakui cinta ketika tahu bahwa dirimu sudah tak lagi menjadi wanita sempurna terasa begitu berat."Kenapa justru diam, hm?"Kepala bersurai legam bergelombang itu mendongak cepat, seakan tersentak oleh pertanyaan pria di hadapannya, memecah sepi yang tercipta."K-kita bisa berteman. Kita bisa bersama-sama mengurus Axel hingga ia dewasa." Yah, pada akhirnya hanya itu yang mampu Kinara katakan sebagai jawaban.Jawaban yang sudah Daniel duga sejak awal. Meskipun sudah menduganya, ny
Sungguh, tiada pagi yang lebih indah selain pagi ini bagi Kinara. Ia memang sudah terjaga sedari beberapa menit lalu, namun dirinya masih betah berlama-lama tetap berada di atas ranjang. Enggan rasanya untuk bangkit kemudian menyambut hari baru. Bahkan kalau bisa, rasanya ingin sekali ia menghentikan waktu untuk selamanya berada di detik itu.Mengabaikan rasa pegal di sekujur badan karena lelah 'bermain' semalaman, ia memutar kepala ke sisi kanan, seiring memiringkan posisi tidurnya. Dan Kinara tak mampu untuk tidak tersenyum haru ketika menatap dua sosok lelaki yang begitu dicintainya berada di satu ranjang bersamanya, masih menutup mata dengan damai, terlelap dalam buaian mimpi.Ia merasa ... bagaikan memiliki keluarga kecil nan utuh sekarang. Ah, andaikan kata 'bagaikan' tidak pernah ada, hidupnya pasti sudah sangat sempurna. Senyuman wanita itu berubah miris ketika hal tersebut terlintas di kepala.Semalam setelah selesai menuntaskan birahi, pula saling membasahi diri, mereka memi
"Aku akan pulang ke Kanada, beberapa hari lagi. Aku hanya tak ingin keyakinanku kembali goyah ketika melihat anak kita." Sembari memasang senyum pedih, tangannya tiada beranjak sedikit pun dari kepala sang putra. Secara perlahan Daniel mengangkat muka, mempertemukan tatapan mata dengan wanita di sisinya. "Terlebih ... dirimu."Sungguh, Kinara tak mampu berkata-kata kala mendengar kalimat terakhir yang lolos dari celah bibir pria yang ia cinta. Tubuhnya menegang. Mulutnya sedikit membuka, namun tiada suara. Bola matanya kembali memanas seketika."Aku sangat menyedihkan, bukan?" merasa tiada balasan, sudut bibir merah kecokelatan itu naik sebelah; tersenyum hampa, senyuman yang tercipta kala rasa putus asa mendominasi jiwa. Pria itu membuang muka setelahnya."K-kalau begitu, bukankah lebih baik jika kau bertahan di sini, setidaknya lebih lama lagi." Kinara menekan dadanya sedikit kuat, suaranya entah kenapa seakan tercekat ketika berucap.Kepala pirang itu menoleh cepat, balas menatap m
Tatapan polos Axel tak beralih sedikit pun dari ibunya. Tatapan penuh harap yang mampu Kinara tangkap. Membuat senyuman manis wanita itu lenyap, sebab apa yang diinginkan sang putra nyatanya belum dapat terwujud hingga sekarang; Daniel lagi-lagi tak menjawab panggilan telepon darinya."Tidak diangkat, Sayang. Papamu sedang sangat sibuk sepertinya." Ponsel itu diturunkan perlahan dari daun telinga, kembali diletakkannya di atas meja."Huee~ Axel mau Papa! Axel mau digendong Papa!"Embusan napas panjang lolos dari kedua belah bibir wanita itu. Sungguh, Kinara tak tega melihat bagaimana putranya menangis tersedu begitu. Kesedihan Axel adalah bagian dari kesedihannya juga. Ia pun bingung harus berbuat apa lagi, Daniel seakan menghilang bagai ditelan bumi secara tiba-tiba setelah malam itu. Pamit keluar sebentar, namun sampai detik ini tidak ada kabar.Khawatir? Sudah pasti. Apalagi ketika ia mengingat bagaimana penyesalan yang tampak pada raut wajah pria yang ia cinta. Pria yang selama in
"... Karin?" Kinara berujar lirih, seakan tengah memastikan bahwa presensi yang ia lihat saat ini adalah benar seseorang yang diingatnya; seorang wanita cantik yang berstatus sebagai kekasih dari pria yang ia cinta.Terkejut? Tentu saja. Banyak sekali pertanyaan yang saat ini hinggap di dalam pikirannya mengenai kedatangan wanita di depan sana yang secara tiba-tiba.Ada urusan apakah dengannya?Sedangkan wanita itu melangkah maju, memutus jarak dengan dirinya. Senyuman manis menghiasi kedua belah bibir merah nan penuh itu, bibir yang sempat beradu dengan milik sang pria Kanada. Tanpa sadar Kinara tersenyum miris ketika memori tersebut melintasi kepalanya, seiring rasa perih yang seakan meremas jantungnya."Kau tahu namaku?" suara feminin itu teralun begitu merdu ketika bertanya. Ah, nyatanya Karin mendengar ucapan serupa bisikan Kinara. Kedua mata itu tak teralih sedikit pun dari kedua matanya."Ya. Dan yang mengatakannya padaku," jawab Kinara. Namun, bola matanya bergerak gusar ketik