"Padahal bisa gue jemput sendiri," kata Bianca begitu Mila memasuki rumahnya. Ada seekor anjing berbulu hitam di gendongan temannya itu.
"Kan gue yang bawa dia, ya gue yang balikin dong." Mila menaruh anjing milik Bianca itu di lantai. Membiarkannya berlarian senang karena mungkin sudah rindu dengan rumah Bianca.
"Kuku kangen sama Mommy, ya?" tanya Bianca dengan suaranya yang dibuat lucu. Kedua tangannya direntangkan menyambut Kuku yang berlari ke arahnya.
Sudah satu minggu dua makhluk itu tidak saling bertemu. Mila meminjam Kuku untuk dijadikan teman di rumahnya selama suaminya pergi dinas ke luar kota. Dan sebagai teman yang baik, Bianca mengizinkan meski dirinya yang merasa kesepian.
"Tumbenan lo belum berangkat ke Cafe?"
Bianca membawa Kuku duduk di atas pangkuannya. "Libur gue hari ini," balas wanita itu.
"Capek?"
Bianca mengangguk.
"Ngangkang berapa jam lo semalam?"
Bianca berdecak, sikutnya mendorong lengan Mila p
Bianca berdecih mendengar kalimat yang dilontarkan Ravindra. Wanita itu kemudian duduk di sebelah si pria, bukan di atas paha sesuai yang diminta. Membuat Ravindra jadi berdecak sebal. "Kalau aku bilang duduk di sini harusnya kamu nurut," kata Ravindra kesal. "Kenapa?" Ravindra memasang wajah masam. "Tentu saja karena aku sudah membayar cukup mahal." Saat Sarah mengatakan ada tamu untuknya yang membayar mahal, Bianca tidak pernah berpikir kalau orang itu adalah Ravindra. Mengingat bagaimana dirinya selalu menolak dan Ravindra juga tidak lagi menemuinya. Bianca kira Ravindra tidak akan lagi muncul di hadapannya, ternyata ia salah besar. Ravindra masih sangat percaya diri untuk muncul di hadapannya. "Aneh rasanya mendengar seorang Adiwijaya berkata mahal," ujar Bianca sinis. "Usia lo berapa?" "Kenapa tiba-tiba tanya usia?" Ravindra memang sepertinya tidak diberi kesempatan untuk kesal dengan Bianca berlam
Ravindra mencengkram erat pinggang Bianca, tangannya mengusap liar paha yang dibiarkan terbuka seksi itu. Mereka merubah sudut kepala dan semakin memperdalam ciuman. Bianca bahkan tanpa sadar sudah merengkuh tengkuk Ravindra. Menekannya agar semakin memperdalam lagi ciuman berhasrat mereka. Ravindra memutus tautan bibir itu dengan enggan, ia menjauhkan kepalanya dan menatap mata wanitanya yang sayu. Sebagai pria normal yang sudah dewasa, Ravindra jelas tahu apa yang diinginkan wanita itu. Namun, dirinya sekuat tenaga menahan diri. Ia tidak ingin menyentuh Bianca untuk saat ini. Tidak jika Bianca mau dijamah olehnya hanya karena uang. Karena bagi Ravindra, perasaanlah yang terpenting. Ia ingin wanita itu mendekat karena cinta, bukan karena uang. "Tugasmu sudah selesai," bisik Ravindra di depan bibir Bianca yang terbuka. Suaranya yang tiba-tiba serak membuat bulu kuduk Bianca berdiri. Wanita itu meremang dan semakin menginginkan sentuhan dari
Bianca menggeram kesal dan memutar bola matanya malas dalam dekapan Ravindra. Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu mendorong bahu si pria, melepaskan pelukan yang Ravindra buat. "Ngapain lo ke sini? Ada apa?" Ravindra menatap dua kotak makanan yang sudah ada di atas meja. "Mau sarapan bareng kamu." Bianca menatap datar makanan yang tadi di bawa Ravindra. Ia tidak suka seperti ini, ia tidak mau orang yang mengenal dirinya sebagai pelacur menjadi dekat. Cukup Mila saja yang selama ini mengetahui sisi buruk dan baiknya. Orang seperti Ravindra tidak perlu. Dirinya tidak mau repot-repot bertanya dari mana pria ini tahu rumahnya, karena Ravindra saja sudah mengetahui hutang yang ditinggalkan orang tuanya. Tetapi, datang ke rumah seperti ini sama sekali tidak pernah Bianca duga sebelumnya. "Pergi!" hardik Bianca. Matanya sudah menatap tajam Ravindra, tetapi si pria malah tetap tenang. Sama sekali tidak merasa ciut dengan bentakan Bianca.
Setelah kepergian Ravindra dari rumahnya, Bianca segera mempersiapkan diri untuk bekerja di cafe. Wanita cantik itu memguncir rambutnya separuh, sedangkan sisanya dibiarkan terurai sampai punggung. Sekali lagi, ia menatap penampilannya yang tampak segar dengan kaos hijau dan jeans abu-abu selutut. Bianca tersenyum puas ketika penampilannya mampu membuat dirinya tampak jauh lebih muda. Sebenarnya ia lebih suka pakaian santai dan sederhana seperti ini, daripada pakaian ketat dan menggoda yang ia pakai di club. Saat Bianca mengeluarkan motor matic dari dalam rumahnya, ia bisa melihat dengan jelas beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul, tengah berbisik sembari melirik padanya. Bianca menghela napas dam mengedikkan bahu tak peduli. Mencoba bodoh amat. Mereka pasti sedang membicarakan Ravindra yang datang ke rumahnya pagi-pagi. "Mbak Bianca." Salah satu dari mereka memanggil. Wanita manis itu hanya mengangguk lalu menjalankan mo
Selama delapan tahun bergelut di dunia gelapnya malam, baru kali ini Bianca tidak menerima satu pelanggan pun. Tidak ada pria yang membooking dirinya malam ini, dan itu berhasil membuat Bianca merasa kesal. Kalau bukan karena hutang yang menumpuk, wanita itu pasti akan senang-senang saja kalau dia lagi sepi seperti ini. Bianca menyugar rambut panjangnya yang terurai. Ia menatap sekeliling, banyak pria kaya tapi sudah ada gadis di sekitar mereka. Bianca pantang merebut incaran orang lain. Lagi pula dirinya selama ini juga tidak pernah mengincar pria lebih dulu. Mereka lah yang rela mendatanginya, melempar uang padanya, dan mendapatkan kepuasan dari tubuh Bianca. "Ini serius gak ada yang booking gue?" tanya Bianca pada sarah, entah sudah keberapa kalinya. "Belum ada, Bi. Gue juga heran, kok. Tunggu aja, masih sore ini." Bianca mendengus. Sore apanya? Ini sudah hampir tengah malam dan club sudah semakin ramai, namun, tak ada s
Tas dan sepatu yang terlempar asal itu membuktikan jika pemiliknya sedang tidak dalam mood yang baik sekarang. Bianca juga melepas jaket dan celana panjang yang ia pakai dengan kesal. Kemudian berjalan ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air yang dingin. Wanita itu menghela napas. Lelah, marah, sekaligus kesal. Semuanya bercampur jadi satu di dalam diri Bianca. Membuat wanita itu menjambak rambutnya frustasi. Ini sungguh hari yang buruk. Dipecat dan tak ada pria yang menggunakannya adalah kombinasi memuakkan bagi Bianca. Hanya tersisa dua hari bagi wanita itu untuk mengumpulkan uang. Bianca jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi yang dingin. Menangis tanpa suara, merutuki kehidupannya yang sangat mencekik. Sepuluh tahun lalu dirinya masih bisa bahagia karena orang tuanya masih ada. Tetapi sekarang, ia bahkan tak tahu harus bersandar ke mana. Ayahnya meninggalkan hutang yang sangat banyak sebelum meninggal, membuat Bianca sel
"Sudah mulai putus asa?" Bianca langsung memalingkan wajah mendapat pertanyaan seperti itu. Kendati yang dikatakan Ravindra benar, tetapi dirinya masih enggan mengakuinya. Bianca merasa malu karena sudah menjilat ludah sendiri. Namun, keadaan sungguh mendesaknya sekarang. Ia membutuhkan uang dengan cepat. Ravindra menenggelamkan kedua tangannya pada saku celana dengan pandangan menyorot ke lantai bawah. "Apa ada sesuatu yang mendesak?" Ravindra melirik Bianca dengan sudut mata, mencoba meneliti ekspresi wajah wanita cantik di sebelahnya. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk satu senyum tipis. Ravindra selalu senang saat dirinya bisa sedekat ini dengan Bianca. Wanita itu jauh lebih sexy dan cantik setelah tidak ia temui beberapa hari. "Jangan sungkan untuk bilang. Tawaranku masih sama," ujar Ravindra. Seakan menegaskan kalau dirinya masih menginginkan Bianca. Bianca memainkan lidah di dala
Kebanyakan saat bermain dengan seorang pria, Bianca menjadi wanita yang mengendalikan. Selalu menjadi orang yang memulai adalah keahlian Bianca. Wanita itu tidak pernah membiarkan dirinya dikuasai meski dirinya lah pihak yang dibayar. Namun, kali ini dia tidak diberi kesempatan. Ravindra begitu dominan dengan gayanya yang agresif. Pria itu melumatnya dengan brutal dan penuh tuntunan, tetapi Bianca masih bisa menikmatinya. Bianca mengumpat dalam hati, ciuman seorang Ravindra sangat memabukkan. Hanya dengan lidahnya saja bagian bawahnya sudah gatal dan basah. Bianca tidak menyangka kalau Ravindra akan sehebat ini. "Rav," lirih Bianca ketika bibir Ravindra menyapu leher mulus si wanita. "Hm?" Ravindra benar-benar menikmati kulit mulus Bianca dengan bibirnya yang hangat dan lembut. Kedua tangannya sudah melingkar di pinggang Bianca, menarik tubuh ramping itu semakin mendekat padanya. Ravindra berpindah kembali pada bibir Bianca yang sexy
Ravindra menggeram kesal sekaligus gemas. Merasakan tangan lembut Bianca meremas miliknya di bawah sana membut darah Ravindra berdesir. Sebagai pria normal jelas dia ingin melakukannya. Jika ingin mengikuti nafsu Ravindra pasti sekarang sudah menyeret Bianca dan membuatnya tak bisa menjauh dari tempat tidur. Hanya saja, jika Ravindra melakukan itu maka dia sama saja dengan pria berengsek lain yang memperlakukan Bianca sebagai wanita pemuas nafsu. "Jangan keterlaluan, Bi," peringat Ravindra dengan suara dalam. Namun, Bianca bukanlah tipe wanita penakut yang akan menuruti Ravindra begitu saja. Dia sudah terlanjur kesal dan malu. "Lo yang jangan keterlaluan," balas Bianca kesal. Lalu mendorong tubuh Ravindra menjauh sebelum akhirnya masuk ke dalam bar. Meninggalkan Ravindra yang menatap kepergiannya dengan wajah mengeras. "Bapak ada di sini?" Ketika mendengar suara tanya dalam Bahasa, Ravindra menoleh ke belakang. Menemukan Ilham, sekretarisnya, yang sedang berjalan ke arahnya. Ali
"Bi?" Bianca pura-pura tak dengar, dia lebih sibuk scroll beranda sosial medianya dengan tak minat. Masih kesal dengan Ravindra yang menghancurkan suasana begitu saja dengan kalimatnya yang ajaib. Ingin tapi tak bisa? Hah, dasar gila! Belum pernah Bianca menemui pria yang menolak melakukan hubungan sex padahal sudah turn on. Terlebih si wanita juga menginginkan hal yang sama. Bianca berdecak dan sedikit menjauh ketika tangan hangat Ravindra menyentuh pundaknya. Rasa kesal Bianca membuat kamar presiden suite ini terasa seperti kamar kos yang kecil. Sangat memuakkan. "Bi, jangan marah. Aku cuma nggak mau ngelakuin hal itu tanpa cinta," kata Ravindra menjelaskan. Lelaki dengan rambut hitam dan hidung bangir itu meringis. Tahu kalau jawabannya mungkin tidak masuk akal. Namun, sungguh. Dia benar-benar tidak mau menyatukan tubuh mereka sebelum ada cinta di hati Bianca. Karena Ravindra tidak mau hubungan mereka ke depannya hanya berbalut nafsu. "Bullshit! Kalau gitu kenapa nyari pelac
Kedatangan Ravindra ke Korea Selatan sebenarnya karena ada urusan hotel yang harus dia selesaikan. Hanya saja, dia pikir untuk liburan setelah menyelesaikan pekerjaan bukan lah sesuatu yang buruk. Karena itu, Ravindra membawa Bianca juga untuk ikut dengannya. "Berapa lama kita di Korea nanti?" tanya Bianca setelah menyesap wine dari gelas dengan gagang tinggi yang cantik. Wanita dua puluh delapan tahun itu melihat ke jendela, tersenyum bahagia. Tak menyangka kalau dia bisa meniki pesawat dan bepergian ke luar negeri dalam hidupnya. Mana pakai pesawat pribadi keluarga Adiwijaya lagi. Ravindra menggulung lengan kaos putihnya yang panjang sampai siku. Kaca mata yang sejak tadi ia kenakan dilepas. Melihat Bianca dengan mata telanjang jauh lebih memuaskan. Lelaki itu merentangkan tangan ke belakang tubuh Bianca. Telapaknya mengusap lembut pundak Bianca yang terbuka. "Satu minggu, aku akan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat biar kita bisa jalan-jalan." Bianca menoleh, menatap lelaki
"Yang pink coba, Mel. Kayaknya cantik buat kamu." Melodi mengangguk, kembali masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti pakaian yang sudah entah sudah keberapa kali, dia sendiri sudah pusing karena sudah hampir dua jam terus mencoba baju di butik langganan mamanya. Tapi, sebagai anak penurut yang tak pernah membantah tentu saja Melodi hanya bisa menyanggupi. Tak berani protes sama sekali. Melodi kembali muncul di depan mamanya dengan midi dress satin berwarna baby pink. Dia tidak terlalu menyukai warna pink yang menurut mamanya cantik ini. "Tuh, kan, cantik. Beli itu aja buat kencan sama Ravindra kapan-kapan." Meski sudah mengatakan cantik pada beberapa gaun, nampaknya mama Melodi tak berniat untuk berhenti melihat-lihat. Terbukti dari wanita paruh baya itu yang kembali melangkah menyusuri deretan baju. "Mama udah, hampir tiga jam kita di sini." Melodi berkata lembut, mencoba menghentikan mamanya. "Ravindra kayaknya bakalan bosen kalau kamu pakek yang sopan terus," balas wanita itu
Bianca membuka matanya perlahan, tangannya terangkat mengusap sudut mata yang terasa risih. Berniat segera bangun dan menemui Kuku, namun ia merasakan sesuatu yang berat di perutnya. Wanita itu menoleh dan langsung menemukan Ravindra yang tertidur pulas. Bianca mengerjap perlahan, kemudian menghela napas setelah mengingat alasan Ravindra tidur di sebelahnya. Lelaki itu tidak ingin tidur terpisah dengannya. Wajah pulas Ravindra yang imut membuat Bianca menyunggingkan senyum. Tangan lentiknya mengusap rambut si pria, dengan lembut. Merasa semakin tertarik untuk memperhatikan lebih, Bianca merubah posisinya miring menatap Ravindra. "Lucu banget, sih," ujarnya pelan lalu terkikik. Bianca gemas sendiri melihat wajah Ravindra yang polos. Tidak ada raut wajah berengsek atau pun dingin, yang ada hanya wajah bayi yang lucu dan seakan menarik Bianca untuk menciumnya. Wanita itu menggigit bibir bawah sembari tangannya menusuk dada si lelaki beberapa kali. Merasa kalau Ravindra tak akan bangu
Bianca termenung di sudut lift, memikirkan semua kalimat Mila. Tentang bagaimana jadinya hubungan dia dengan Ravindra. Bianca memang tidak berharap lebih, lelaki itu cukup memberikan dia hidup yang layak saja sudah cukup. Tapi, perasaan manusia bisa saja berubah, right? Lihatlah dirinya. Dulu begitu gigih menolak semua tawaran Ravindra. Dengan yakin mampu berdiri dibawah kakinya sendiri dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Tapi, sekarang Bianca menjilat ludahnya sendiri. Dia menjadi simpanan, selingkuhan atau apapun itu sebutannya bagi Ravindra. Dia juga tidak lagi bekerja, pengeluarannya ditanggung oleh bungsu Adiwijaya itu. Dentingan pintu lift membuat Bianca menegakkan tubuh, bersiap keluar. Langkahnya melambat menuju satu-satunya pintu di lantai tertinggi gedung apartemen ini. Masih belum menyangka kalau sekarang di sini lah tempat dia tinggal. Bianca menaruh sidik jarinya sebelum membuka pintu. "Udah pulang?"Ravindra langsung keluar dari dapur ketika mendengar pintu terb
Selama membelah padatnya kota, Bianca tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Wajahnya yang cantik menjadi sangat cerah, dengan kepala bergerak menikmati kesenangan ini. Ia memang ingin memiliki mobil, tetapi, tidak menyangka kalau akan memilikinya secepat ini. Ditambah lagi ini adalah mini cooper. Mobil impian Bianca. Sepertinya Ravindra menyelidikinya dengan baik. Lelaki itu tahu mobil apa yang dia inginkan tanpa bertanya. "Na na na na na Ice on my wrist, yeah, I like it like this. Get the bag with the cream. If you know what i mean." Binca bernyanyi dengan riang sampai tanpa sadar sudah sampai di tempat yang ia tuju. "Ravindra memang yang terbaik," ucapnya dengan riang. Bianca memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mila. "Ya ampun, ternyata lo, Bi. Gue kira siapa numpang parkir," seru Mila ketika Bianca sudah keluar dari mini cooper merahnya. Kedua wanita yang adalah sahabat itu berpelukan. Kemudian beriringan masuk ke dalam rumah Mila. "Mobil baru, cuy. Sugar daddy gue ya
Ravindra keluar dari mobil sport yang setiap hari ia gunakan. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, menatap kamar Melodi yang jendela balkonnya baru saja ditutup saat mobilnya tiba. Sepertinya gadis dua puluh tiga tahun itu menunggu kehadirannya sejak tadi. Kaki panjang Ravindra melangkah memasuki halaman rumah mewah keluarga Rahadi. Ia langsung disambut dengan pemandangan Melodi yang berlari turun melewati tangga. Tubuh mungil gadis itu langsung menabrak Ravindra sampai membuatnya mundur satu langkah. "Kirain bukan Kakak yang jemput," ucap Melodi. "Aku nggak ada kerjaan yang penting hari ini." Ravindra melepaskan pelukan Melodi. "Mana Mama?" Melodi menggenggam kedua tangan tunangannya. Kepalanya mendongak untuk menatap wajah Ravindra yang sempurna tanpa kekurangan. "Sudah pergi, tadinya mau nunggu Kakak tapi aku bilang nggak usah. Mama bakalan tanya macam-macam nanti," balas Melodi. Meski berkata demikian, tapi Ravindra tahu kalau dia masih harus menjelaskan suara Bianca tad
Bianca membentuk huruf O dengan mulutnya ketika tahu Ravindra sedang menerima telepon. Wanita itu kemudian berlalu pergi dengan membiarkan pintu kamar Ravindra terbuka. "Nanti aku jemput jam sepuluh. Udah dulu, ya." Ravindra tidak tahu siapa yang mendengarkan suaranya di telepon, tapi rasanya dia ingin mengubur diri sendiri sekarang. Bisa panjang urusannya kalau sampai hal ini terdengar di telinga Mamanya. Ada beberapa notif pesan beruntun yang muncul ketika Ravindra sudah mematikan smbungan telepon. Mungkin itu adalah Melodi, tapi Ravindra enggan untuk langsung membalas. Maka, lelaki itu memilih turun ke bawah dan mengantarkan koper Bianca ke kamarnya. "Ini pakaiannya, semalam lupa mau ngangkat ke sini." Bianca yang sedang sibuk bermain ponsel mengangguk dan langsung menghampiri. Membuka koper dan memilih pakaian mana yang ingin dia kenakan. "Sorry untuk tadi, gue nggak tau kalau lo lagi telponan. Gue ketuk pintu nggak dibuka-buka, sih." Ravindra menatap arah walk in closet yang