Selama delapan tahun bergelut di dunia gelapnya malam, baru kali ini Bianca tidak menerima satu pelanggan pun. Tidak ada pria yang membooking dirinya malam ini, dan itu berhasil membuat Bianca merasa kesal. Kalau bukan karena hutang yang menumpuk, wanita itu pasti akan senang-senang saja kalau dia lagi sepi seperti ini.
Bianca menyugar rambut panjangnya yang terurai. Ia menatap sekeliling, banyak pria kaya tapi sudah ada gadis di sekitar mereka.Bianca pantang merebut incaran orang lain.Lagi pula dirinya selama ini juga tidak pernah mengincar pria lebih dulu. Mereka lah yang rela mendatanginya, melempar uang padanya, dan mendapatkan kepuasan dari tubuh Bianca."Ini serius gak ada yang booking gue?" tanya Bianca pada sarah, entah sudah keberapa kalinya."Belum ada, Bi. Gue juga heran, kok. Tunggu aja, masih sore ini."Bianca mendengus. Sore apanya? Ini sudah hampir tengah malam dan club sudah semakin ramai, namun, tak ada sTas dan sepatu yang terlempar asal itu membuktikan jika pemiliknya sedang tidak dalam mood yang baik sekarang. Bianca juga melepas jaket dan celana panjang yang ia pakai dengan kesal. Kemudian berjalan ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air yang dingin. Wanita itu menghela napas. Lelah, marah, sekaligus kesal. Semuanya bercampur jadi satu di dalam diri Bianca. Membuat wanita itu menjambak rambutnya frustasi. Ini sungguh hari yang buruk. Dipecat dan tak ada pria yang menggunakannya adalah kombinasi memuakkan bagi Bianca. Hanya tersisa dua hari bagi wanita itu untuk mengumpulkan uang. Bianca jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi yang dingin. Menangis tanpa suara, merutuki kehidupannya yang sangat mencekik. Sepuluh tahun lalu dirinya masih bisa bahagia karena orang tuanya masih ada. Tetapi sekarang, ia bahkan tak tahu harus bersandar ke mana. Ayahnya meninggalkan hutang yang sangat banyak sebelum meninggal, membuat Bianca sel
"Sudah mulai putus asa?" Bianca langsung memalingkan wajah mendapat pertanyaan seperti itu. Kendati yang dikatakan Ravindra benar, tetapi dirinya masih enggan mengakuinya. Bianca merasa malu karena sudah menjilat ludah sendiri. Namun, keadaan sungguh mendesaknya sekarang. Ia membutuhkan uang dengan cepat. Ravindra menenggelamkan kedua tangannya pada saku celana dengan pandangan menyorot ke lantai bawah. "Apa ada sesuatu yang mendesak?" Ravindra melirik Bianca dengan sudut mata, mencoba meneliti ekspresi wajah wanita cantik di sebelahnya. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk satu senyum tipis. Ravindra selalu senang saat dirinya bisa sedekat ini dengan Bianca. Wanita itu jauh lebih sexy dan cantik setelah tidak ia temui beberapa hari. "Jangan sungkan untuk bilang. Tawaranku masih sama," ujar Ravindra. Seakan menegaskan kalau dirinya masih menginginkan Bianca. Bianca memainkan lidah di dala
Kebanyakan saat bermain dengan seorang pria, Bianca menjadi wanita yang mengendalikan. Selalu menjadi orang yang memulai adalah keahlian Bianca. Wanita itu tidak pernah membiarkan dirinya dikuasai meski dirinya lah pihak yang dibayar. Namun, kali ini dia tidak diberi kesempatan. Ravindra begitu dominan dengan gayanya yang agresif. Pria itu melumatnya dengan brutal dan penuh tuntunan, tetapi Bianca masih bisa menikmatinya. Bianca mengumpat dalam hati, ciuman seorang Ravindra sangat memabukkan. Hanya dengan lidahnya saja bagian bawahnya sudah gatal dan basah. Bianca tidak menyangka kalau Ravindra akan sehebat ini. "Rav," lirih Bianca ketika bibir Ravindra menyapu leher mulus si wanita. "Hm?" Ravindra benar-benar menikmati kulit mulus Bianca dengan bibirnya yang hangat dan lembut. Kedua tangannya sudah melingkar di pinggang Bianca, menarik tubuh ramping itu semakin mendekat padanya. Ravindra berpindah kembali pada bibir Bianca yang sexy
Mendengar ucapan Ravindra tidak membuat Bianca lebih baik. Wanita itu justru merasa semakin kesal. Perkataan Ravindra seolah hanya untuk meyakinkan kalau memang bukan karena alasan itu dia berhenti. Tidak mau melakukan itu sebelum memiliki? Bullshit! Bianca tahu pasti Ravindra tadi begitu menginginkannya. Namun, karena sudah terlanjur kesal, Bianca mendorong bahu Ravindra menjauh. Ia memakai pakaiannya sendiri dan berniat untuk keluar dari kamar itu sebelum Ravindra menghalangi jalannya. "Kamu marah?" "Engga!" "Kamu kelihatan marah." "Itu bukan urusan lo," balas Bianca ketus. "Tutupin tuh burung lo," katanya menunjuk bagian diri Ravindra yang memang masih berdiri tegak. Bianca semakin tak mengerti dengan Ravindra yang menurutnya sangat munafik. Terlihat menginginkan tetapi enggan meraih padahal kesempatan sudah ada di depan mata. Bianca berdecih sebelum ia benar-benar pergi. Ravindra menghela
Bianca membanting pintu kamarnya dengan keras. Tubuhnya langsung ia hempaskan ke atas ranjangnya yang sempit. Dengan badan menelungkup, Bianca mulai terisak pelan. Merenungi nasibnya yang memang tidak pernah baik sejak dulu.Tidak ada tempat yang bisa dia jadikan bersandar kalau sedang kalut seperti ini. Dirinya tidak terlalu dekat dengan Sarah dan juga tidak mau menceritakan hal seperti ini pada sahabat dekatnya, Mila. Bianca khawatir Mila akan sangat khawatir padanya nanti.Selama ini Bianca merasa sudah sangat merepotkan sahabatnya itu. Karenanya Bianca merasa enggan jika ingin meminta tolong.Getaran yang ia rasakan di saku jaket membuat Bianca merubah posisinya menjadi duduk. Tangannya mengusap kasar air mata yang masih belum berhenti mengalir. Melihat pesan masuk dari nama Ravindra membuat Bianca langsung melempar ponselnya asal tanpa berniat membaca lebih dulu."Sialan, gue kesel banget," gerutunya sembari terisak.Tidak hanya kesal, tetapi
Bianca menggigit jari ketika dirinya sama sekali tidak mendapatkan satu pun pelanggan di Club. Padahal ia sudah berpakaian lebih terbuka dari biasanya. Sengaja agar para lelaki tidak mampu menolak. Namun, kenyataannya sama saja. Meski dirinya sudah mondar-mandir ke seluruh sudut Club pun, Bianca tetap diabaikan. Ia sangat malu. Sekarang dia pasti sudah menjadi bahan olok-olokan para wanita lain. "Bi, ada yang nyari." Bianca menegakkan tubuh, menatap Sarah dengan wajah sedikit senang. "Siapa? Tua apa masih muda?" Sarah yang mengerti maksud Bianca langsung menatap prihatin. Wanita berusia empat puluhan itu menggeleng. "Bukan pelanggan, tapi preman di luar sana." *** "Mana uangnya?" Kali ini tidak hanya empat, tapi hampir sepuluh orang yang berada di sekeliling Bianca. Bohong kalau wanita itu tidak merasa takut. Bianca hanya pura-pura terlihat tidak terpengaruh sama sekali dengan jumlah mereka, meski sebenarnya jantungnya berdetak dengan cepat. "Beri waktu lagi lah kalian ini. La
Karena Bianca tidak kunjung menghubungi dirinya, dengan tidak sabar Ravindra mendatangi kembali rumah wanita itu. Wajah tampannya masih terlihat menawan meski seharian sudah sibuk bekerja. Dengan langkah pasti, Ravindra masuk ke dalam pekarangan rumah Bianca. Tangannya mengetuk pintu dua kali. Kemudian mengulanginya lagi setelah ia tidak mendapatkan jawaban apapun. Ravindra menjilat bibir bawahnya, menurut sekretarisnya Bianca sudah ada di rumah. Jadi, tidak mungkin wanita itu tidak mendengar suara ketukan pintunya, kan? Ravindra melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Sudah pukul sembilan malam, satu jam lagi rombongan Panji pastinya akan datang menagih. Apakah Bianca bersembunyi? "Bianca?" Ravindra kembali mengetuk pintu. "Bianca? Ini aku, Ravindra." Masih tidak ada jawaban. Namun, kali ini ketika Ravindra akan mengetuk, pintu sudah terbuka. Mata tajam Ravindra langsung bertabrakan dengan netra putus asa Bianca. "Ravindra?" Bianca melangkah mundur, membiarkan Ravindra m
Bianca menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Tangannya meraih bantal untuk menutupi wajah. Rasanya ia ingin menjerit sekarang juga. Bianca lega karena dia sudah tidak memiliki hutang, namun juga berdebar karena dia sekarang adalah milik Ravindra. Ia tidak pernah menyangka jika akan melunasi hutang hanya dengan menjadi simpanan Ravindra. Kalau sudah seperti ini, rasanya Bianca ingin meluapkan kemarahan pada orang tuanya. Bisa-bisanya mereka meninggalkan hutang pada anak perempuan mereka. Bianca menyingkirkan bantal dari wajahnya. Ravindra sudah pulang setengah jam yang lalu. Tapi, kenapa bau parfum lelaki itu masih tercium? "Gue mau gila kayaknya," geram Bianca kesal. Wanita itu melepas pakaian yang melekat pada tubuhnya, kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Berharap air dingin bisa mendinginkan kepalanya juga. *** "What? Kenapa lo nggak minta tolong sama gue, sih?" Mila menepuk lengan Bianca cukup keras. Merasa kesal karena Bianca tidak meminta tolong padanya terkait hutang.
Ravindra menggeram kesal sekaligus gemas. Merasakan tangan lembut Bianca meremas miliknya di bawah sana membut darah Ravindra berdesir. Sebagai pria normal jelas dia ingin melakukannya. Jika ingin mengikuti nafsu Ravindra pasti sekarang sudah menyeret Bianca dan membuatnya tak bisa menjauh dari tempat tidur. Hanya saja, jika Ravindra melakukan itu maka dia sama saja dengan pria berengsek lain yang memperlakukan Bianca sebagai wanita pemuas nafsu. "Jangan keterlaluan, Bi," peringat Ravindra dengan suara dalam. Namun, Bianca bukanlah tipe wanita penakut yang akan menuruti Ravindra begitu saja. Dia sudah terlanjur kesal dan malu. "Lo yang jangan keterlaluan," balas Bianca kesal. Lalu mendorong tubuh Ravindra menjauh sebelum akhirnya masuk ke dalam bar. Meninggalkan Ravindra yang menatap kepergiannya dengan wajah mengeras. "Bapak ada di sini?" Ketika mendengar suara tanya dalam Bahasa, Ravindra menoleh ke belakang. Menemukan Ilham, sekretarisnya, yang sedang berjalan ke arahnya. Ali
"Bi?" Bianca pura-pura tak dengar, dia lebih sibuk scroll beranda sosial medianya dengan tak minat. Masih kesal dengan Ravindra yang menghancurkan suasana begitu saja dengan kalimatnya yang ajaib. Ingin tapi tak bisa? Hah, dasar gila! Belum pernah Bianca menemui pria yang menolak melakukan hubungan sex padahal sudah turn on. Terlebih si wanita juga menginginkan hal yang sama. Bianca berdecak dan sedikit menjauh ketika tangan hangat Ravindra menyentuh pundaknya. Rasa kesal Bianca membuat kamar presiden suite ini terasa seperti kamar kos yang kecil. Sangat memuakkan. "Bi, jangan marah. Aku cuma nggak mau ngelakuin hal itu tanpa cinta," kata Ravindra menjelaskan. Lelaki dengan rambut hitam dan hidung bangir itu meringis. Tahu kalau jawabannya mungkin tidak masuk akal. Namun, sungguh. Dia benar-benar tidak mau menyatukan tubuh mereka sebelum ada cinta di hati Bianca. Karena Ravindra tidak mau hubungan mereka ke depannya hanya berbalut nafsu. "Bullshit! Kalau gitu kenapa nyari pelac
Kedatangan Ravindra ke Korea Selatan sebenarnya karena ada urusan hotel yang harus dia selesaikan. Hanya saja, dia pikir untuk liburan setelah menyelesaikan pekerjaan bukan lah sesuatu yang buruk. Karena itu, Ravindra membawa Bianca juga untuk ikut dengannya. "Berapa lama kita di Korea nanti?" tanya Bianca setelah menyesap wine dari gelas dengan gagang tinggi yang cantik. Wanita dua puluh delapan tahun itu melihat ke jendela, tersenyum bahagia. Tak menyangka kalau dia bisa meniki pesawat dan bepergian ke luar negeri dalam hidupnya. Mana pakai pesawat pribadi keluarga Adiwijaya lagi. Ravindra menggulung lengan kaos putihnya yang panjang sampai siku. Kaca mata yang sejak tadi ia kenakan dilepas. Melihat Bianca dengan mata telanjang jauh lebih memuaskan. Lelaki itu merentangkan tangan ke belakang tubuh Bianca. Telapaknya mengusap lembut pundak Bianca yang terbuka. "Satu minggu, aku akan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat biar kita bisa jalan-jalan." Bianca menoleh, menatap lelaki
"Yang pink coba, Mel. Kayaknya cantik buat kamu." Melodi mengangguk, kembali masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti pakaian yang sudah entah sudah keberapa kali, dia sendiri sudah pusing karena sudah hampir dua jam terus mencoba baju di butik langganan mamanya. Tapi, sebagai anak penurut yang tak pernah membantah tentu saja Melodi hanya bisa menyanggupi. Tak berani protes sama sekali. Melodi kembali muncul di depan mamanya dengan midi dress satin berwarna baby pink. Dia tidak terlalu menyukai warna pink yang menurut mamanya cantik ini. "Tuh, kan, cantik. Beli itu aja buat kencan sama Ravindra kapan-kapan." Meski sudah mengatakan cantik pada beberapa gaun, nampaknya mama Melodi tak berniat untuk berhenti melihat-lihat. Terbukti dari wanita paruh baya itu yang kembali melangkah menyusuri deretan baju. "Mama udah, hampir tiga jam kita di sini." Melodi berkata lembut, mencoba menghentikan mamanya. "Ravindra kayaknya bakalan bosen kalau kamu pakek yang sopan terus," balas wanita itu
Bianca membuka matanya perlahan, tangannya terangkat mengusap sudut mata yang terasa risih. Berniat segera bangun dan menemui Kuku, namun ia merasakan sesuatu yang berat di perutnya. Wanita itu menoleh dan langsung menemukan Ravindra yang tertidur pulas. Bianca mengerjap perlahan, kemudian menghela napas setelah mengingat alasan Ravindra tidur di sebelahnya. Lelaki itu tidak ingin tidur terpisah dengannya. Wajah pulas Ravindra yang imut membuat Bianca menyunggingkan senyum. Tangan lentiknya mengusap rambut si pria, dengan lembut. Merasa semakin tertarik untuk memperhatikan lebih, Bianca merubah posisinya miring menatap Ravindra. "Lucu banget, sih," ujarnya pelan lalu terkikik. Bianca gemas sendiri melihat wajah Ravindra yang polos. Tidak ada raut wajah berengsek atau pun dingin, yang ada hanya wajah bayi yang lucu dan seakan menarik Bianca untuk menciumnya. Wanita itu menggigit bibir bawah sembari tangannya menusuk dada si lelaki beberapa kali. Merasa kalau Ravindra tak akan bangu
Bianca termenung di sudut lift, memikirkan semua kalimat Mila. Tentang bagaimana jadinya hubungan dia dengan Ravindra. Bianca memang tidak berharap lebih, lelaki itu cukup memberikan dia hidup yang layak saja sudah cukup. Tapi, perasaan manusia bisa saja berubah, right? Lihatlah dirinya. Dulu begitu gigih menolak semua tawaran Ravindra. Dengan yakin mampu berdiri dibawah kakinya sendiri dan tidak membutuhkan bantuan siapapun. Tapi, sekarang Bianca menjilat ludahnya sendiri. Dia menjadi simpanan, selingkuhan atau apapun itu sebutannya bagi Ravindra. Dia juga tidak lagi bekerja, pengeluarannya ditanggung oleh bungsu Adiwijaya itu. Dentingan pintu lift membuat Bianca menegakkan tubuh, bersiap keluar. Langkahnya melambat menuju satu-satunya pintu di lantai tertinggi gedung apartemen ini. Masih belum menyangka kalau sekarang di sini lah tempat dia tinggal. Bianca menaruh sidik jarinya sebelum membuka pintu. "Udah pulang?"Ravindra langsung keluar dari dapur ketika mendengar pintu terb
Selama membelah padatnya kota, Bianca tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Wajahnya yang cantik menjadi sangat cerah, dengan kepala bergerak menikmati kesenangan ini. Ia memang ingin memiliki mobil, tetapi, tidak menyangka kalau akan memilikinya secepat ini. Ditambah lagi ini adalah mini cooper. Mobil impian Bianca. Sepertinya Ravindra menyelidikinya dengan baik. Lelaki itu tahu mobil apa yang dia inginkan tanpa bertanya. "Na na na na na Ice on my wrist, yeah, I like it like this. Get the bag with the cream. If you know what i mean." Binca bernyanyi dengan riang sampai tanpa sadar sudah sampai di tempat yang ia tuju. "Ravindra memang yang terbaik," ucapnya dengan riang. Bianca memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mila. "Ya ampun, ternyata lo, Bi. Gue kira siapa numpang parkir," seru Mila ketika Bianca sudah keluar dari mini cooper merahnya. Kedua wanita yang adalah sahabat itu berpelukan. Kemudian beriringan masuk ke dalam rumah Mila. "Mobil baru, cuy. Sugar daddy gue ya
Ravindra keluar dari mobil sport yang setiap hari ia gunakan. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, menatap kamar Melodi yang jendela balkonnya baru saja ditutup saat mobilnya tiba. Sepertinya gadis dua puluh tiga tahun itu menunggu kehadirannya sejak tadi. Kaki panjang Ravindra melangkah memasuki halaman rumah mewah keluarga Rahadi. Ia langsung disambut dengan pemandangan Melodi yang berlari turun melewati tangga. Tubuh mungil gadis itu langsung menabrak Ravindra sampai membuatnya mundur satu langkah. "Kirain bukan Kakak yang jemput," ucap Melodi. "Aku nggak ada kerjaan yang penting hari ini." Ravindra melepaskan pelukan Melodi. "Mana Mama?" Melodi menggenggam kedua tangan tunangannya. Kepalanya mendongak untuk menatap wajah Ravindra yang sempurna tanpa kekurangan. "Sudah pergi, tadinya mau nunggu Kakak tapi aku bilang nggak usah. Mama bakalan tanya macam-macam nanti," balas Melodi. Meski berkata demikian, tapi Ravindra tahu kalau dia masih harus menjelaskan suara Bianca tad
Bianca membentuk huruf O dengan mulutnya ketika tahu Ravindra sedang menerima telepon. Wanita itu kemudian berlalu pergi dengan membiarkan pintu kamar Ravindra terbuka. "Nanti aku jemput jam sepuluh. Udah dulu, ya." Ravindra tidak tahu siapa yang mendengarkan suaranya di telepon, tapi rasanya dia ingin mengubur diri sendiri sekarang. Bisa panjang urusannya kalau sampai hal ini terdengar di telinga Mamanya. Ada beberapa notif pesan beruntun yang muncul ketika Ravindra sudah mematikan smbungan telepon. Mungkin itu adalah Melodi, tapi Ravindra enggan untuk langsung membalas. Maka, lelaki itu memilih turun ke bawah dan mengantarkan koper Bianca ke kamarnya. "Ini pakaiannya, semalam lupa mau ngangkat ke sini." Bianca yang sedang sibuk bermain ponsel mengangguk dan langsung menghampiri. Membuka koper dan memilih pakaian mana yang ingin dia kenakan. "Sorry untuk tadi, gue nggak tau kalau lo lagi telponan. Gue ketuk pintu nggak dibuka-buka, sih." Ravindra menatap arah walk in closet yang