“Bagaimana kalau aku keberatan?” tanyaku hati-hati.“Maka aku harus memikirkan cara lain untuk melakukan pekerjaan ini atau mungkin aku harus beralih pada bisnis yang lain,” jawab Keenan. Raut wajahnya terlihat biasa saja.Aku tidak tahu, apakah Keenan merasa sedih atau hanya bercanda dengan ucapannya. Lagi pula, tidak mungkin aku memaksa Keenan meninggalkan bisnis yang sudah ditekuninya sejak lama, bukan? Keenan sudah menjalankan bisnis ini sebelum bertemu denganku. Ditambah, bisnis ini sudah mulai berkembang. Sayang kalau harus ditinggal begitu saja.“Ah, aku hanya bercanda. Kamu tidak perlu meninggalkan bisnis ini.” Aku memaksakan diri untuk tersenyum sambil mengibaskan tangan.“Serius juga tidak apa-apa. Ini yang dikatakan sebagai proses komunikasi.” Keenan berkata. Kali ini wajahnya baru terlihat serius.“Aku akan mengikuti prosesnya saja. Kalau kita memang harus berjauhan maka aku akan menjalaninya,” jawabku. Kali ini aku terpaksa mengatakan yang tidak sebenarnya. Maksudku … tid
“Li, kamu tahu kalau aku akan selalu ada untukmu. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, sebaiknya kamu bicara. Nanti traumanya kambuh lho.” Cheryl berusaha mengajakku bicara.Aku menghela napas pelan.Aku tidak tahu, bagaimana reaksi Cheryl jika aku cerita? Apakah dia akan menghakimiku atau mendukungku? Namun, yang pasti aku memang butuh mengungkapkan isi hatiku ini.“Tidak ada yang salah dengan Keenan dan pekerjaannya. Tidak ada yang salah dengan Indonesia. Tidak ada yang salah dengan Jakarta. Aku hanya tidak ingin pulang ke rumah,” lirihku.Cheryl menarikku agar duduk di sofa. Dia lantas duduk menghadap ke arahku dengan raut wajah serius.“Kenapa?” tanya Cheryl.“Mama sangat membenciku. Papa bahkan harus diam-diam untuk memberiku sesuatu. Sedangkan kakakku sudah bekerja di perusahaan. Rasanya pasti aneh kalau aku pulang. Aku khawatir akan terjadi masalah,” jawabku sedih, “lagi pula melihat Mama mengabaikanku itu rasanya lebih baik menolak cinta Keenan daripada harus kembali ke rumah.”
“Bagaimana rasanya mau pulang, Kee?” Tiba-tiba Papa bertanya, mengejutkanku.“Berdebar-debar,” jawabku jujur.“Pasti berdebar-debar memikirkan Mama.” Papa menebak.“Tidak seratus persen benar dan tidak seratus persen salah,” jawabku apa adanya.Papa terlihat hanya tersenyum untuk menanggapi.“Papa belum memberi tahu Mama dan Kei kalau kamu akan pulang,” ujar Papa.“Hm,” gumamku.Mungkin bagi Kei, kedatanganku ini bisa menjadi kejutan untuknya. Namun, aku tidak yakin Mama akan senang melihatku.“Apa urusan sekolahmu semua sudah selesai?” tanya Papa.“Sudah lama selesai, Pa, jawabku sambil tersenyum.Sewaktu aku wisuda, Papa dan Mama memang tidak bisa datang. Jadi, mungkin saja Papa lupa kalau aku sudah lama menyelesaikan kuliah.“Terima kasih sudah menghemat uang Papa dengan lulus lebih cepat,” ucap Papa.“Aku yang terima kasih karena Papa sudah membantuku mengurus sekolah dan sekarang mau menjalin kerja sama bisnis denganku juga,” sahutku.“Kamu itu anak Papa, Kee. Masa iya Papa biar-
Tidak sedetik pun Mama berhenti dan membalikkan badan untuk membalas sapaanku.Papa menepuk bahuku seakan ingin berkata agar aku bersabar saja. Sedangkan aku hanya duduk di sofa sambil tersenyum tipis.Aku sudah bisa menduga dan mempersiapkan hati untuk sikap Mama ini. Meskipun demikian, rasanya seperti ada yang mencubit hatiku. Kehadiranku seakan tidak diharapkan di rumah ini.Ah, baiklah … aku hanya akan fokus pada pekerjaan saja. Bukankah tujuanku datang ke Bali untuk bekerja?“Mamamu urusan Papa. Jangan terlalu dipikirkan!” ujar Papa.“Iya, Pa. Santai saja,” jawabku berusaha menenangkan. Tidak lupa aku juga tersenyum seakan semua baik-baik saja.“Tidak perlu pura-pura sama Papa. Papa ini orang tua kamu. Bersikaplah realita!” ujar Papa lagi.Tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang Mama, aku memilih untuk tersenyum saja.“Apa aku masih bisa masuk kamar?” tanyaku.“Bicara apa kamu ini? Tentu saja bisa. Masuklah dulu! Bersihkan tubuhmu dan keluarlah satu jam lagi! Kita pergi ke k
Lilian POVSetelah sekian lama selalu pulang dari kantor bersama Cheryl atau Keenan, sore ini aku pulang sendiri. Ralat! Lebih tepatnya aku pulang diantar oleh Mr. Bernard, supir keluarga Om Danendra.Tadi Keenan mengirimkan pesan untuk mengatakan bahwa dia sudah tiba di Pulau Bali.Entah mengapa, walaupun seharian ini Kim Tan mengerjakan pekerjaannya di ruanganku dan dia hampir tidak berhenti bercerita, aku tetap merasa kesepian.Kalau sudah begini, aku baru sadar, ternyata aku benar-benar bisa menerima dan mencintai Keenan.Kadang kala aku masih sering merasa bersalah karena diam-diam aku suka menatap ke arah langit sekadar untuk menyapa atau menceritakan sesuatu pada Finn. Pun aku merasa bersalah pada Finn karena mau berkencan dengan Keenan. Seolah-olah hatiku sedang mendua.Aku sendiri tidak memiliki niat untuk mendua. Aku hanya terbiasa bicara sendiri seolah-olah sedang bicara dengan Finn. Sikapku ini harus diubah. Aku harus mulai menceritakan kebiasaanku pada Keenan. Bukan berar
Keenan POVSesudah memutuskan sambungan telepon, aku bersama Kei bergegas menuju ke ruang makan. Papa sudah menunggu kami untuk sarapan.“Mama mana, Pa?” tanyaku.“Mama sudah pergi sejak pagi. Ada pengantin yang minta dirias,” jawab Papa.Ah, aku baru ingat, di akhir pekan seperti ini, salon dan bridal milik Mama pasti sangat ramai.Sejujurnya aku merasa lega karena bisa sarapan tanpa melihat raut wajah Mama yang terkesan tidak suka padaku. Tapi, suka atau tidak, Mama tetap mamaku, bukan?Ting!Aku melirik ke arah ponsel dan melihat sebuah pesan dari Lilian yang masuk.“Aku ingin minta izin untuk mengunjungi makam Finn. Apa boleh?” tanya Lilian melalui isi pesannya.Tanpa berpikir panjang, aku langsung membalas, “Boleh. Hati-hati di jalan, Sayang!”Aku kemudian meletakkan ponsel di atas meja dan melanjutkan makan.“Senyum-senyum sendiri … siapa yang kirim pesan, Kak?” tanya Kei.Aku melirik sekilas ke arahnya, lalu menjawab, “Lilian.”“Ah, pantas saja. Senyumnya itu lho … ganteng bang
“Papa, Mama, ada yang ingin aku katakan,” ujarku begitu masuk di dalam kamar.Berhubung Mama masih terlihat sibuk dengan ponselnya, Papa berdeham sambil melirik ke arah Mama.Dengan raut wajah kesal, Mama duduk di sebelah Papa, menungguku bicara.“Ada apa, Kee?” tanya Papa beralih menatapku.“Aku akan langsung bicara agar tidak terlalu lama,” jawabku sambil melirik ke arah Mama, “sebenarnya aku memiliki kekasih, namanya Lilian. Aku serius menjalin hubungan dengannya.”“Apa kalian sudah akan menikah dalam waktu dekat?” tanya Papa. Tentu saja Papa hanya pura-pura bertanya di depan Mama. Papa sudah tahu jawabanku. Namun, bukan itu inti aku bicara malam ini.“Sebelum membicarakan tentang pernikahan, aku membutuhkan restu dari Papa dan Mama,” jawabku penuh harap.“Aku sudah bertemu Lilian di Singapura. Anaknya cantik, manis, cerdas, dan sopan.” Papa menambahkan.“Jika ada kesempatan, aku pasti akan mengajaknya berkenalan dengan Mama juga,” sahutku antusias. Tak lupa aku juga menunjukkan f
Lilian POV“Kee, aku tidak bisa bernapas,” ujarku setelah sekian menit membiarkan Keenan memelukku erat.“Aku kangen kamu banget,” bisik Keenan.“Iya, tapi … ini sesak,” jawabku berusaha melepaskan diri.Aku mendorong Keenan pelan hingga dia melepaskan pelukannya.“Hei, ada apa?” tanyaku terkejut melihat Keenan berkaca-kaca.“Sudah kubilang … aku kangen kamu banget,” ujar Keenan sambil melangkah masuk dan duduk di sofa.Aku menutup dan mengunci pintu. Aku lantas menghampiri Keenan dan bertanya, “Mau minum apa?”“Mau peluk kamu lagi, boleh?” Bukannya menjawab, Keenan justru balik bertanya.“Tidak boleh,” ringisku, “belum halal … nanti takut ketagihan kan repot aku.”Keenan tertawa pelan.“Sudah bisa bercanda, nih,” sahut Keenan sambil menarik tanganku agar duduk di sebelahnya.“Memangnya kemarin-kemarin nggak bisa?” tanyaku balik.“Enggak … kamu bawaannya nangis dan sedih melulu,” jawab Keenan cepat.“Masa sih? Nih … senyumku.” Aku tersenyum selebar mungkin.“Kamu terlihat lebih bahagi
Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h
Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta
Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,
“Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera