Setelah semuanya usai, Zafira memilih tidur memunggungi Gilang sambil berbantalkan lengan kokoh milik Gilang. Sementara Gilang mendekap pinggangnya dari belakang dengan lengan kokohnya yang lain. Keduanya masih berusaha mengatur nafas yang sama-sama memburu setelah aktifitas menguras tenanga yang baru saja mereka lakukan.
“Mas,” panggil Zafira lirih.
“Hmmmmm,” gumam Gilang.
“Boleh nanya sesuatu?”
“Hmmmm.”
“Apa Mas Gilang sudah sangat ingin memiliki bayi?”
“Hmmmm ....” Gilang kembali menjawab hanya dengan gumaman.
“Ihh, dari tadi cuma menggumam. Mas Gilang sudah tidur?” Zafira memilih membalikkan badannya dan kini wajahnya berada tepat di depan wajah dengan rahang kokoh dan hidung mancung Gilang.
“Kenapa bertanya begitu, Sayang? Bukankah memiliki bayi adalah impian semua pasangan menikah?” Gilang berusah
“Gimana tidunya semalam, nyenyak?” sapa Bi Asih ketika Gilang tengah menunggu Zafira menyiapkan air panas untuk mandi.“Eh, iya. Nyenyak, Bi.” Gilang menjawab sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mengingat semalam dia hanya tidur beberapa jam akibat aktifitas menyenangkan yang dilakukannya dengan Zafira.Baru beberapa saat terlelap, Zafira sudah membangunkannya untuk mandi sebelum adzan subuh dan menyuruhnya menemani Paman Edy sholat subuh ke masjid kecil yang terletak di kaki bukit.“Kalo kamu nggak subuhan, paman pasti akan bertanya, Mas.” Begitu kata Zafira saat dia merengek masih mau tidur karena mengantuk.“Maaf ya, Nak. Kamar di rumah ini hanya seadanya gini. Dinding-dinding kayunya bahkan sudah pada lapuk. Pasti tak senyaman di rumah Nak Gilang.” Ucapan Bi Aish membuyarkan lamunannya.“Ng-nggak kok Bi. Kamarnya nyaman kok,” jawab Gilang asal.
Zafira merasa heran ketika melihat ekspresi Bu Fauzia dan Gilang yang sama-sama terkejut ketika mereka saling bertatapan. Gilang sedikit terhuyung, bahkan Zafira merasa tangannya dicengkeram kuat oleh Gilang seolah mencari kekuatan.“Gilang!”“Mama!”Suara lirih penuh keterkejutan yang keluar dari bibir Bu Fauzia dan Gilang justru membuat tubuh Zafira ikut terhuyung dan merasa kelihangan tenaga. Dalam sekejap Zafira mengerti, kenapa ia selalu merasa begitu mengenal tatapan tajam dari mata Bu Fauzia. Rupanya ia melihat itu di mata suaminya.“Gilang!” Air mata Bu Fauzia berderai memandang anak lelakinya yang kini berdiri tepat di depan matanya.Tangan wanita paruh naya itu bergerak hendak menyentuh Gilang ketika lelaki itu justru mundur dan menghindari sentuhan tangan Bu Fauzia.“Mas?” ucap Zafira menatap Gilang.“Aku tunggu di mobil.” Gilang melepaskan pegangannya pada t
“Papa sedang koma di rumah sakit, Ma.”“Astaghfirullaaladzim!” pekik Bu Fauzia.Gilang mengangguk.“Dan sedihnya lagi, Papa di sana hanya dirawat oleh perawat yang Gilang bayar khusus untuk mengurus Papa, juga asistennya yang Gilang suruh untuk menemaninya. Gilang hanya sesekali menemani Papa karena Gilang punya banyak tanggungjawab mengurus perusahaan setelah Papa koma. Sekaranglah waktunya Mama kembali,” pinta Gilang.“Maafkan Mama, Nak. Tapi mama tidak bisa memenuhi keinginanmu. Sudah bukan tugas Mama lagi mengurus Papamu, Nak.”Gilang menatap tajam mata Bu Fauzia.“Papa tak pernah menikah lagi setelah Mama pergi. Hidup Papa bahkan perusahaan Papa bahkan hancur setelah kepergian Mama. Beruntung Om Alex membantu Papa hingga perusahaan Papa bisa bertahan. Sementara Papa hanya berkonsentrasi untuk mencari Mama dan mengurus Gilang waktu itu. Kembalilah ke rumah, Ma!”“Ma
Zafira mencium punggung tangan Gilang dengan takzim dan penuh rasa haru setelah mereka berdua selesai melaksanakan sholat subuh dan bahkan dilengkapi dengan Gilang membaca Ayat-Ayat Al-Qur’an setelah sholat. Ini adalah kali pertama Zafira merasakan sholat dengan diimami oleh suaminya. Perasaan bahagia campur haru membuat air mata Zafira tak mengalir begitu saja dan membasahi pipinya serta membasahi tangan Gilang yang masih diciumnya seakan tak rela melepasnya.“Maafkan aku baru kali ini bisa mengimamimu, Istriku.” Kalimat sederhana Gilang sukses membuat air mata Zafira malah semakin deras, bahkan kini disertai dengan isakan lirih.Bahkan pada saat sholat tadi air mata Zafira sudah menetes satu persatu ketika mendengar bagaimana Gilang dengan fasih dan lancar membaca Surah-Surah dan bacaan sholat serta mengaji dengan suara yang terdengar sangat merdu baginya. Sungguh ini adalah subuh yang begitu syahdu bagi Zafira.Gilang menarik tangannya perla
Gilang melangkah pasti memasuki pintu rumah mewah Alex. Asisten Alex menyambutnya di depan pintu masuk dan mempersilahkannya masuk setelah Alex mengangguk dan malah ikut berdiri menyambut Gilang di bepan pintu. Gilang melirik sekilas pada asisten Alex ketika melihat beberapa lebam di wajah pria yang berbadan tegap itu.“Wah, selamat datang Gilang. Om tau cepat atau lambat kamu pasti akan datang ke mari. Ayo, masuk. Kita bicara di dalam.” Om Alex menyambut Gilang sambil menepuk-nepuk pundak Gilang.“Terima kasih atas sambutannya Om. Ada hal penting yang harus segera Gilang bicarakan,” ucap Gilang dengan suara tegas.“Om tau ... Om tau.” Alex melirik sekilas ke arah Toni yang masih berdiri tegap di depan pintu.Ada kilatan amarah di mata Gilang ketika berhadapan dengan Tante Rossa yang tengah duduk di ruang tengah bersama Claudia. Amarahnya atas jebakan Tante Rossa belum padam, namun Gilang
“Hentikan, Cla. Ini bahaya,” seru Gilang panik.Tangan Claudia dalam genggamannya terasa sangat lemah tak bertenaga, sungguh berbeda dengan Claudia yang dulu akan merespon dengan sangat bersemangat jika Gilang menyentuhnya. Rasa iba membuat Gilang akhirnya meraih kepala Claudia kemudian membenamkannya ke dalam pelukannya. ‘Maafkan aku, Fira. Aku kembali mengingkari janjiku’, batin Gilang.“Tenanglah Cla. Jangan membenci dirimu seperti ini,” ucap Gilang sambil membelai rambut Claudia. Claudia semakin terisak dalam dekapannya sehingga membuat kemeja Gilang basah oleh air mata Claudia.“Ada yang mau kau ceritakan padaku?” tanya Gilang saat Claudia sudah mulai tenang.Gilang pun sudah melepaskan pelukannya dan kembali memilih duduk berhadapan dengan Claudia. Claudia mengangguk pelan, kemudian dengan terbata-bata sambil sesekali menyeka air matanya gadis itu menceritakan bagaimana d
Gilang berpamitan pada Om Alex dan Tante Rossa setelah memastikan bahwa Claudia sudah lebih tenang bahkan sudah mulai tersenyum kembali.“Aku akan mempertimbangkan untuk menerima niat ayah dari bayi ini untuk bertanggungjawab,” ucap Cluadia lirih ketika Gilang berpamitan padanya.“Aku tau kamu gadis yang baik, Cla. Aku dan Fira akan selalu mendoakan kebahagiaanmu.”Gilang berhenti sebentar di hadapan Toni ketika akan keluar dari rumah Alex.BUGGHHH!!!Satu kepalan tinju Gilang melayang tepat di wajah Toni.“Itu untuk Cla!”BUGGGHH!!Gilang meninju wajah Toni sekali lagi.“Itu untukku!”“Kurasa kau tau kenapa aku memukulmu!” ucap Gilang sambil mengusap tinjunya.Sedangkan Om Alex hanya memandanginya tanpa berkata apapun.“Tanggungjawab atas apa yang sudah kau perbuat!” Gilang berlalu meninggalkan Ton
Juan dan Sinta menatap Zafira dan Gilang yang tengah duduk di ruang tamu rumah mereka. Ada rasa canggung ketika Gilang menerima tatapan tajam dari ibu mertuanya. Pertemuan terakhir mereka memang sedikit menyisakan kesalahpahaman di antara Gilang dan Bu Sinta. Juan yang menyadari situasi yang sedikit tegang sesekali berdehem atau sekedar menanyakan hal-hal receh pada Gilang maupun Zafira. Zafira pun bukannya tak menyadari tatapan kurang bersahabat dari ibunya pada suaminya. Rasa sayang ibunya yang begitu besar padanya membuat wanita yang biasanya ramah pada semua orang itu menjadi sedikit kurang bersahabat pada Gilang.“Mas, Fira tinggal ke dalam sebentar ya,” pamit Zafira pada Gilang yang dijawab dengan anggukan dan kuluman senyum dari Gilang padanya.Zafira membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam kamarnya, sementara Bu Sinta mengikutinya dari belakang.“Ibu masih marah pada Mas Gilang?” tanya Zafira lembu
Gilang memarkirkan mobilnya di parkiran klinik, lalu turun dan membukakan pintu mobil untuk Zafira.“Hati-hati, Sayang,” ucapnya sambil menyambut uluran tangan Zafira.“Jangan berlebihan, Mas. Aku nggak apa-apa.”Gilang menggeleng. “Aku harus berlebihan kalau itu menyangkut kamu dan anak kita. Aku nggak mau kehilangannya lagi.”Akhirnya Zafira mengalah ketika Gilang dengan posesifnya mengantarkannya ke dalam klinik hingga terdengar suara Felix menyapa mereka.“Hai, Fira.”Gilang dan Zafira menoleh. Felix tersenyum dapa Zafira, namun mengabaikan pria posesif di samping wanita itu.“Eh, lu nggak ngeliat gue?” sengit Gilang.Felix tertawa. “Oh, iya. Maaf nggak kelihatan. Makanya jangan terlalu sering di samping Fira, soalnya yang lain nggak kelihatan ditutupi sama auranya dia.”Gilang semakin gusar ketika merasa Felix sedang memprovokasiny
Gilang mengantar Zafira ke klinik dr. Hesty sebelum berangkat bekerja. Telepon dari Felix yang mengajak Zafira bertemu pagi ini benar-benar membuat Gilang gelisah. Maka saat istrinya mengatakan jika Felix mengajak bertemu di klinik tempat Zafira dulu bekerja, Gilang memilih mengantarkan sendiri istrinya ke sana. Meski awalnya Gilang menolak, namun rengekan Zafira membuatnya luluh. Gilang masih ingat bagaimana tadi pagi mereka berselisih paham akibat telepon dari dr. Felix.“Felix minta ketemu Fira, Mas. Katanya ada yang ingin ditanyakan,” ucap Zafira tadi pagi setelah mengibrol dengan Felix di bawah tatapan tajam Gilang.“Ngapain dokter gila itu minta ketemu kamu? Dia masih ngejar-ngejar kamu?”Zafira mengerucutkan bibirnya.“Jangan mulai deh, Mas. Kemarin-kemarin udah enak ngeliat kalian damai,” kata wanita hamil itu.“Aku nggak ngizinin! Kalau mau ketemu suruh ketemu aku saj
Kehamilan Zafira kali ini ternyata masih sama dengan kehamilannya sebelumnya, di mana Gilang lah yang harus setiap hari menahan mual dan tak berselera makan, sedangkan Zafira terpengaruh apa-apa. Ia bahkan makin terlihat segar karena Gilang menyuruh semua ART di rumahnya untuk memperhatikan semua kebutuhan istrinya.“Jangan banyak bergerak!”“Kalau perlu apa-apa bilang sama Maria atau yang lainnya!”“Jangan urusin taman!”“Kalau jalan pelan-pelan!”Serta masih banyak kalimat-kalimat Gilang yang setiap hari harus didengar oleh Zafira. Sesekali Zafira merasa iba jika melihat kondisi Gilang yang justru semakin kurus dan pucat karena mual dan muntah yang dialaminya setiap pagi.Pria itu bahkan beberapa kali mengunjungi dokter untuk meminta obat penghilang rasa mual dan morning sick yang dialaminya. Namun tak ada satu pun obat-obatan yang mempan dan bisa menghilangkan
"SELAMAT ULANG TAHUN PAK GILANG!"Gilang tersenyum membaca spanduk yang terbentang di sana. Gilang baru menyadari jika hari ini adalah hari ulang tahunnya. Perlahan Gilang melangkah ke arah Zafira, lelaki itu tau jika ini semua pasti ide istri kesayangannya itu."Pantasan dari kemarin kamu kelihatan sibuk banget telpon sana sini, ternyata nyiapin ini ya. Terima kasih, Sayang." Gilang mengecup kening istrinya."Uwuwuwuuuu!!!""Ciumnya di bibir dong, Pak Boss!""Ternyata Boss kita romantis banget, ya!"Gilang dan Zafira hanya tersenyum mendengar teriakan-teriakan dari para karyawannya."Cium bibirnya offline dong! Itu adegan khusus, nggak boleh jadi tontonan!" seru Gilang sambil mengedipkan matanya pada Zafira, yang disambut oleh kalimat-kalimat godaaan berikutnya dari para karyawannya pada mereka berdua.Gi
Tanpa kata, Gilang mendorong kursi roda Zafira meninggalkan area pemakaman, diikuti oleh keluarga mereka yang tak pernah lepas mendampingi mereka dan memberi semangat pada kedua orang tua yang baru saja diberi cobaan hidup itu. Selain kedua orang tua Gilang dan Zafira, Felix dan Claudia serta dr. Hesti, bahkan dr. Stella dan dr. Hera pun masih berada di sana menemani Zafira dan Gilang hingga keduanya meninggalkan area pemakaman. Suasana berkabung masih sangat terasa di rumah besar Irawan. Semua keryawan yang bekerja di sana ikit merasakan kesedihan mendalam majikan mereka. Begitupun di dalam kamar Gilang dan Zafira, suasana sunyi sangat terasa. Tak ada percakapan di antara mereka berdua, Gilang dan Zafira hanya bisa saling menatap kemudian saling berpelukan memberi kekuatan entah siapa kepada siapa, karena pada kenyataannya mereka berdua sama-sama terpukul.Zafira menyadari bahwa pada akhirnya semua akan kembali pada takdir masing-masing. Manusia hanya perlu men
Sudah seminggu ini Zafira diperbolehkan pulang ke rumah, namun bayinya masih dirawat intensif di rumah sakit. Hal itu membuat Gilang dan Zafira harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mengantarkan ASIP agar bayi mereka tetap bisa meminum ASI Zafira. Dengan telaten Gilang mendampingi Zafira dan menyemangatinya pada saat memompa ASI nya. Zafira selalu saja bersedih karena belum bisa menyusui bayinya secara langsung, yang membuat Gilang akan selalu berada di sampingnya dan menyemangati Zafira agar tidak selalu bersedih. Gilang bahkan belum pernah masuk ke kantor sejak Zafira melahirkan. Dia lebih memilih mempercayakan pekerjaan pada asistennya dan sesekali memeriksa hasil pekerjaan mereka di rumahnya.Siang ini, Gilang dan Zafira kembali mengunjungi bayi mereka di rumah sakit. Gilang bersiul-siul senang sambil mendorong kursi roda Zafira menuju ruang perawatan bayinya. Gilang belum memperbolehkan Zafira berjalan dan memilih menyuruhnya duduk di atas kursi roda meskipun Zafira sel
“Maafin aku, Mas. Aku nggak bisa menjaganya dengan baik, bayi kita lahir sebelum waktunya,” lirih Zafira terbata-bata dengan mata yang basah.“A- apa? Bayi kita sudah lahir?”“Ini bayi Anda, Pak Gilang. Istri Anda sudah melahirkan beberapa menit yang lalu. Bayi laki-laki dengan berat 1,9 Kg. Namun karena bayinya lahir pada usia yang belum matang, yang dalam bahasa medis disebut prematur, maka bayi Anda masih akan berada dalam perawatan dan pengawasan kami. Perkenalkan, ini dr. Hera, dokter anak terbaik di rumah sakit ini. Selanjutnya beliau yang akan bertanggung jawab atas perawatan bayi Anda. Karena terus terang saja, Nyonya Zafira tadi terpaksa melahirkan bayinya di usia kandungan yang belum genap 37 minggu. Kami terpaksa mengambil tindakan ini tadi karena saat tiba di sini, Ny. Zafira sudah dalam keadaan kontraksi dan sudah mengalami pembukaan rahim.” Penjelasan dr. Stella bagaikan petir yang menyambar Gilang. Zafira sudah melahir
Gilang menyetir mobil sport merah nya dengan kepanikan luar biasa. Kabar tentang Zafira yang baru saja didengarnya membuat dunianya seakan gelap gulita. Berbagai pikiran buruk melintas di benaknya, membuat lelaki itu mengeraskan rahangnya dan sesekali memukul setir mobilnya.“Shittt!!!” seru Gilang ketika di depannya terlihat antrian kemacetan kendaraan. Berkali-kali Gilang mengusap kasar wajahnya memandakan betapa frustasinya pria itu saat ini. Kalimat-kalimat Maria di telpon tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.“Nyonya Zafira kesakitan setelah terjatuh tadi, Tuan.”“Dia menyuruh kami tak menghubungi Tuan Gilang. Kata Ny. Zafira dia baik-baik saja.”“Untungnya Nona Claudia kebetulan datang berkungjung.”“Nona Claudia dan pacarnya yang mengantar Nyonya Zafira ke rumah sakit.”“Arrggghhhh!!!” Gilang kembali memukul keras setir mob
Namun satu hal yang selalu ditunggu-tunggu Gilang sejak Zafira hamil adalah malam hari. Setiap malam Zafira selalu berubah menjadi sangat menyenangkan, melayaninya dengan cara-cara yang bahkan Gilang tak pernah membayangkannya. Membuatnya setiap malam selalu tertidur sangat pulas setelah mengerang puas atas perlakuan-perlakuan liar Zafira padanya. Yang lebih membahagiakan lagi, itu semua selalu terjadi atas inisiatif Zafira sendiri, tanpa Gilang memintanya. Karena Gilang masih mematuhi saran dr. Stella untuk tidak menganggu Zafira dulu selama trimester pertama kehamilannya. Malam-malam yang dibayangkan Gilang akan menjadi hambar karena tak boleh menyentuh dan melakukan hal-hal yang dulu selalu dilakukannya pada Zafira justru menjadi malam-malam panjang yang selalu ditunggu-tunggu Gilang. Ibu hamil yang sangat “hot”, begitu Gilang selalu memberikan pujian ketika Zafira melakukan hal-hal yang sangat menyenangkan padanya.“Nanti malam pakai gaya apa lagi, Sayan