Juan dan Sinta menatap Zafira dan Gilang yang tengah duduk di ruang tamu rumah mereka. Ada rasa canggung ketika Gilang menerima tatapan tajam dari ibu mertuanya. Pertemuan terakhir mereka memang sedikit menyisakan kesalahpahaman di antara Gilang dan Bu Sinta. Juan yang menyadari situasi yang sedikit tegang sesekali berdehem atau sekedar menanyakan hal-hal receh pada Gilang maupun Zafira. Zafira pun bukannya tak menyadari tatapan kurang bersahabat dari ibunya pada suaminya. Rasa sayang ibunya yang begitu besar padanya membuat wanita yang biasanya ramah pada semua orang itu menjadi sedikit kurang bersahabat pada Gilang.
“Mas, Fira tinggal ke dalam sebentar ya,” pamit Zafira pada Gilang yang dijawab dengan anggukan dan kuluman senyum dari Gilang padanya.
Zafira membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam kamarnya, sementara Bu Sinta mengikutinya dari belakang.
“Ibu masih marah pada Mas Gilang?” tanya Zafira lembu
“Mas, aku nggak punya perasaan apapun padanya. Meski bertemu setiap hari pun nggak akan berpengaruh apa-apa padaku. Rasaku sudah habis untukmu, tak ada yang tersisa lagi.” Zafira berusaha meluluhkan Gilang dengan kalimat rayuan, meskipun pipinya merona merah.Gilang melirik sejenak ke arah traffic light dan memperhatikan hitungan menit lampu merah yang ada disana. Merasa lampu merah masih lama, Gilang segera menggerakkan tangannya dengan cekatan, menyusupkan jemarinya di belakang tengkuk Zafira dan menarik kepala wanita itu untuk mendekat padanya.Gerakan spontan dari Gilang membuat Zafira terkejut namun akhirnya pasrah ketika Gilang mulai menjelajahi bibirnya dan sedikit memberi gigitan kecil di sana. Gilang baru melepaskan pagutannya ketika mendengar suara klakson dari belakang yang menandakan lampu lalu lintas sudah kembali hijau.“Kebiasaan deh, Mas!” protes Zafira sambil merapikan jilbabnya yang sedikit kusut karena ulah Gilang barus
Felix yang sedang berjalan menyusuri koridor rumah sakit menghentikan langkahnya ketika melihat sesosok wanita yang terlihat duduk merenung sendirian di depan ruang praktek dr. Stella. Wanita itu terlihat sesekali mengusap-usap perutnya kemudian sesekali juga menyeka sudut matanya.“Claudia ...,” sapa Felix lembut.Claudia menoleh mendengar seseorang memanggil namanya. Gadis itu menyeka sudut matanya kemudian tersenyum tipis ketika melihat Felix sedang berdiri di hadapannya.“Mau ketemu dokter Stella?” tanya Felix sedikit canggung ketika menyadari mata Caludia yang terlihat merah khas orang yang sedang menangis.“Sudah,” jawab Claudia singkat.“Sudah periksa?” tanya Felix lagi.Claudia hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.“Tadi ke sini sama siapa, Cla?” Felix kembali bertanya memecah suasana hening.“Aku ... aku sendirian,” jawab Claudia lirih.
“Fira? Sejak kapan di sini?” tanya Felix sedikit grogi menerima tatapan penasaran Zafira.“Udah beberapa jam yang lalu, Fe,” jawab Zafira masih menatap Claudia dan Felix.“Cla, kamu duduk di sofa itu dulu, ya,” ucap Felix pada Claudia sambul menunjuk sofa panjang yang ada di ruangan rawat inap.Zafira yang melihat kondisi lemah Claudia pun berdiri dan berusaha membantu Felix memapah Claudia menuju ke sofa. Zafira mengambil bantal dan meletakkannya di bawah kepala Claudia.“Terima kasih, Fira,” lirih Claudia.“Istirahat dulu ya, Cla. Sepertinya kamu sangat kelelahan,” ucap Zafira tersenyum. Zafira melirik penuh tanya pada Felix setelah Claudia merebahkan tubuhnya di sofa. Felix hanya menjawab tatapan Zafira dengan menaikkan bahunya.“Gimana keadaan Om Irawan?” tanya Claudia lirih.“Papa baik-baik saja, Cla. Hanya saja beliau memang belum bangun dari koma. Kam
Hari sudah menjelang malam ketika Zafira dan Alex masih berada di ruangan rawat inap Irawan. Claudia sendiri masih tertidur lelap di sofa, entah sudah berapa jam wanita hamil itu tertidur di sana. Dari cerita Alex, Zafira tau bahwa selama ini Claudia memang sudah tidur dan susah makan. Terlebih saat Alex menyarankan padanya untuk menikahkannya dengan Toni, ayah biologis dari bayi yang dikandungnya, Claudia semakin terlihat tak bersemangat. Padahal, Alex menyarankan itu karena melihat bagaimana Toni yang tak lain adalah asistennya benar-benar berniat baik untuk bertanggungjawab pada bayi yang dikandung Claudia, selain itu juga Alex tidak ingin cucunya lahir tanpa seorang ayah. Namun Claudia selalu menolak niat baik Toni, Claudia selalu beralasan tidak punya perasaan sedikitpun pada Toni.“Meskipun bayi itu hadir karena kecelakaan pada saat keduanya sedang mabuk, namun bayi juga berhak lahir di tengah keluarga yang lengkap, di tengah ayah dan ibunya. Om sudah merusaha mem
Bu Fauzia tak kalah terkejutnya melihat Alex ada di sana, sementara Gilang juga terkejut melihat sosok Claudia yang tertidur di sofa. Zafira berdiri dan menyambut kedatangan ibu mertuanya dengan meraih punggung tangan Bu Fauzia dan menciumnya dengan takzim kemudian memberi pelukan hangat pada ibu mertuanya.“Terima kasih sudah mau datang, Ma,” lirih Zafira.“Aku kok nggak dipeluk, Sayang,” gumam Gilang memprotes yang dibalas Zafira dengan melototkan matanya pada Gilang.“Kenapa dia bisa ada di sini?” bisik Gilang tepat di kuping Zafira membuat gadis itu sedikit bergidik geli.“Ntar aja ceritanya,” jawab Zafira ikut berbisik.Sementara Bu Fauzia sudah berdiri tepat di samping ranjang di mana tubuh Irawan terbaring tak bergerak dalam komanya. Tetes air mata mengalir deras di pipi wanita paruh baya itu melihat kondisi lelaki yang masih berstatus suaminya itu. Perlahan dengan tangan yang sedikit gemetar w
“Mau merasakan sensasi baru?” bisik Gilang. Zafira kembali bergidik merasakan hembusan hangat nafas Gilang menerpa telinga dan tengkuknya.“Hmmm?” Zafira bertanya dengan menggumam.“Kita lakukan di dalam mobil.”“Heyy! Tungguin dong, Sayang!” seru Gilang sambil berlari kecil menyusul langkah Zafira.Zafira meneruskan langkahnya tanpa mempedulikan panggilan Gilang. Tawaran “sensasi baru” dari Gilang barusan membuatnya terburu-buru memasang jilbabnya kemudian membuka pintu mobil Gilang untuk menghindari kegilaan suaminya.“Sombong amat, Neg. Dipanggil-panggil nggak noleh,” ucap Gilang mensejajarkan langkahnya di samping Zafira.“Ihh kamu sih, Mas. Ngomongnya suka aneh-aneh.” Zafira menoleh ke samping dan memasang wajah cemberut.“Kan aku nawarin, Sayang. Siapa tau mau merasakan sensasi berbeda di dalam mobil, kalo nggak mau ya nggak usah ngambek gi
“Mas Gilang nggak mandi dulu?” Zafira berusaha membangunkan Gilang namun ternyata pria itu sudah berada di alam mimpinya.Zafira tersenyum mendengar suara dengkuran halus dari suaminya.“Sleep tight, alien mesum ku,” ucap Zafira lirih sambil memberi ciuman lembut pada pipi Gilang kemudian menyibakkan bed cover dan tidur di sebelah Gilang.Namun, ternyata Zafira tak bisa tidur. Rasa lelah yang dirasakannya tak mampu mengalahkan rasa gelisah yang sedang dirasakannya. Beberapa pernyataan Gilang dan Bu Fauzia tentang bayi hari ini begitu mengganggu pikirannya. Apakah Zafira mampu memenuhi keinginan Gilang dan keluarganya? Apakah dia akan bernasib sama seperti kedua orangtuanya yang baru bisa menghadirkan dirinya setelah belasan tahun usia pernikahan? Ataukah dia justru akan bernasib sama seperti Paman Edy dan Bi Asih yang hingga hari tuanya hanya berdua tanpa adanya keturunan? Apakah Gilang akan berpaling darinya jika ternyata dirinya t
“Terima kasih,” ucap Zafira sambil membetulkan letak dasi Gilang. Gilang tak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung menelusupkan wajahnya di balik leher Zafira ketika Zafira sedang membetulkan dasinya.“Ih, gimana mau rapi sih kalo Mas Gilang gini!” protes Zafira.“Masih bisa satu ronde ini, Sayang,” ucap Gilang melirik jam dinding.“Udah rapi gini, Mas. Lagian tadi kan udah.” Zafira mengingatkan kejadian tadi subuh setelah Gilang pulang dari mesjid di kompleks perumahan untuk menunaikan sholat subuh. Zafira yang saat itu sedang merapikan mukenanya terkejut ketika Gilang tiba-tiba menarik tubuhnya kembali ke tempat tidur.“Aku sudah mandi.”“Terus?”“Bukannya tadi malam istriku ini minta sesuatu? Apa perlu kuingatkan?” Lalu kemudian tanpa menunggu kesipan dan persetujuan Zafira, Gilang sudah memulai semua hal-hal menyenangkan yang belakangan ini semakin serin
Gilang memarkirkan mobilnya di parkiran klinik, lalu turun dan membukakan pintu mobil untuk Zafira.“Hati-hati, Sayang,” ucapnya sambil menyambut uluran tangan Zafira.“Jangan berlebihan, Mas. Aku nggak apa-apa.”Gilang menggeleng. “Aku harus berlebihan kalau itu menyangkut kamu dan anak kita. Aku nggak mau kehilangannya lagi.”Akhirnya Zafira mengalah ketika Gilang dengan posesifnya mengantarkannya ke dalam klinik hingga terdengar suara Felix menyapa mereka.“Hai, Fira.”Gilang dan Zafira menoleh. Felix tersenyum dapa Zafira, namun mengabaikan pria posesif di samping wanita itu.“Eh, lu nggak ngeliat gue?” sengit Gilang.Felix tertawa. “Oh, iya. Maaf nggak kelihatan. Makanya jangan terlalu sering di samping Fira, soalnya yang lain nggak kelihatan ditutupi sama auranya dia.”Gilang semakin gusar ketika merasa Felix sedang memprovokasiny
Gilang mengantar Zafira ke klinik dr. Hesty sebelum berangkat bekerja. Telepon dari Felix yang mengajak Zafira bertemu pagi ini benar-benar membuat Gilang gelisah. Maka saat istrinya mengatakan jika Felix mengajak bertemu di klinik tempat Zafira dulu bekerja, Gilang memilih mengantarkan sendiri istrinya ke sana. Meski awalnya Gilang menolak, namun rengekan Zafira membuatnya luluh. Gilang masih ingat bagaimana tadi pagi mereka berselisih paham akibat telepon dari dr. Felix.“Felix minta ketemu Fira, Mas. Katanya ada yang ingin ditanyakan,” ucap Zafira tadi pagi setelah mengibrol dengan Felix di bawah tatapan tajam Gilang.“Ngapain dokter gila itu minta ketemu kamu? Dia masih ngejar-ngejar kamu?”Zafira mengerucutkan bibirnya.“Jangan mulai deh, Mas. Kemarin-kemarin udah enak ngeliat kalian damai,” kata wanita hamil itu.“Aku nggak ngizinin! Kalau mau ketemu suruh ketemu aku saj
Kehamilan Zafira kali ini ternyata masih sama dengan kehamilannya sebelumnya, di mana Gilang lah yang harus setiap hari menahan mual dan tak berselera makan, sedangkan Zafira terpengaruh apa-apa. Ia bahkan makin terlihat segar karena Gilang menyuruh semua ART di rumahnya untuk memperhatikan semua kebutuhan istrinya.“Jangan banyak bergerak!”“Kalau perlu apa-apa bilang sama Maria atau yang lainnya!”“Jangan urusin taman!”“Kalau jalan pelan-pelan!”Serta masih banyak kalimat-kalimat Gilang yang setiap hari harus didengar oleh Zafira. Sesekali Zafira merasa iba jika melihat kondisi Gilang yang justru semakin kurus dan pucat karena mual dan muntah yang dialaminya setiap pagi.Pria itu bahkan beberapa kali mengunjungi dokter untuk meminta obat penghilang rasa mual dan morning sick yang dialaminya. Namun tak ada satu pun obat-obatan yang mempan dan bisa menghilangkan
"SELAMAT ULANG TAHUN PAK GILANG!"Gilang tersenyum membaca spanduk yang terbentang di sana. Gilang baru menyadari jika hari ini adalah hari ulang tahunnya. Perlahan Gilang melangkah ke arah Zafira, lelaki itu tau jika ini semua pasti ide istri kesayangannya itu."Pantasan dari kemarin kamu kelihatan sibuk banget telpon sana sini, ternyata nyiapin ini ya. Terima kasih, Sayang." Gilang mengecup kening istrinya."Uwuwuwuuuu!!!""Ciumnya di bibir dong, Pak Boss!""Ternyata Boss kita romantis banget, ya!"Gilang dan Zafira hanya tersenyum mendengar teriakan-teriakan dari para karyawannya."Cium bibirnya offline dong! Itu adegan khusus, nggak boleh jadi tontonan!" seru Gilang sambil mengedipkan matanya pada Zafira, yang disambut oleh kalimat-kalimat godaaan berikutnya dari para karyawannya pada mereka berdua.Gi
Tanpa kata, Gilang mendorong kursi roda Zafira meninggalkan area pemakaman, diikuti oleh keluarga mereka yang tak pernah lepas mendampingi mereka dan memberi semangat pada kedua orang tua yang baru saja diberi cobaan hidup itu. Selain kedua orang tua Gilang dan Zafira, Felix dan Claudia serta dr. Hesti, bahkan dr. Stella dan dr. Hera pun masih berada di sana menemani Zafira dan Gilang hingga keduanya meninggalkan area pemakaman. Suasana berkabung masih sangat terasa di rumah besar Irawan. Semua keryawan yang bekerja di sana ikit merasakan kesedihan mendalam majikan mereka. Begitupun di dalam kamar Gilang dan Zafira, suasana sunyi sangat terasa. Tak ada percakapan di antara mereka berdua, Gilang dan Zafira hanya bisa saling menatap kemudian saling berpelukan memberi kekuatan entah siapa kepada siapa, karena pada kenyataannya mereka berdua sama-sama terpukul.Zafira menyadari bahwa pada akhirnya semua akan kembali pada takdir masing-masing. Manusia hanya perlu men
Sudah seminggu ini Zafira diperbolehkan pulang ke rumah, namun bayinya masih dirawat intensif di rumah sakit. Hal itu membuat Gilang dan Zafira harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mengantarkan ASIP agar bayi mereka tetap bisa meminum ASI Zafira. Dengan telaten Gilang mendampingi Zafira dan menyemangatinya pada saat memompa ASI nya. Zafira selalu saja bersedih karena belum bisa menyusui bayinya secara langsung, yang membuat Gilang akan selalu berada di sampingnya dan menyemangati Zafira agar tidak selalu bersedih. Gilang bahkan belum pernah masuk ke kantor sejak Zafira melahirkan. Dia lebih memilih mempercayakan pekerjaan pada asistennya dan sesekali memeriksa hasil pekerjaan mereka di rumahnya.Siang ini, Gilang dan Zafira kembali mengunjungi bayi mereka di rumah sakit. Gilang bersiul-siul senang sambil mendorong kursi roda Zafira menuju ruang perawatan bayinya. Gilang belum memperbolehkan Zafira berjalan dan memilih menyuruhnya duduk di atas kursi roda meskipun Zafira sel
“Maafin aku, Mas. Aku nggak bisa menjaganya dengan baik, bayi kita lahir sebelum waktunya,” lirih Zafira terbata-bata dengan mata yang basah.“A- apa? Bayi kita sudah lahir?”“Ini bayi Anda, Pak Gilang. Istri Anda sudah melahirkan beberapa menit yang lalu. Bayi laki-laki dengan berat 1,9 Kg. Namun karena bayinya lahir pada usia yang belum matang, yang dalam bahasa medis disebut prematur, maka bayi Anda masih akan berada dalam perawatan dan pengawasan kami. Perkenalkan, ini dr. Hera, dokter anak terbaik di rumah sakit ini. Selanjutnya beliau yang akan bertanggung jawab atas perawatan bayi Anda. Karena terus terang saja, Nyonya Zafira tadi terpaksa melahirkan bayinya di usia kandungan yang belum genap 37 minggu. Kami terpaksa mengambil tindakan ini tadi karena saat tiba di sini, Ny. Zafira sudah dalam keadaan kontraksi dan sudah mengalami pembukaan rahim.” Penjelasan dr. Stella bagaikan petir yang menyambar Gilang. Zafira sudah melahir
Gilang menyetir mobil sport merah nya dengan kepanikan luar biasa. Kabar tentang Zafira yang baru saja didengarnya membuat dunianya seakan gelap gulita. Berbagai pikiran buruk melintas di benaknya, membuat lelaki itu mengeraskan rahangnya dan sesekali memukul setir mobilnya.“Shittt!!!” seru Gilang ketika di depannya terlihat antrian kemacetan kendaraan. Berkali-kali Gilang mengusap kasar wajahnya memandakan betapa frustasinya pria itu saat ini. Kalimat-kalimat Maria di telpon tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.“Nyonya Zafira kesakitan setelah terjatuh tadi, Tuan.”“Dia menyuruh kami tak menghubungi Tuan Gilang. Kata Ny. Zafira dia baik-baik saja.”“Untungnya Nona Claudia kebetulan datang berkungjung.”“Nona Claudia dan pacarnya yang mengantar Nyonya Zafira ke rumah sakit.”“Arrggghhhh!!!” Gilang kembali memukul keras setir mob
Namun satu hal yang selalu ditunggu-tunggu Gilang sejak Zafira hamil adalah malam hari. Setiap malam Zafira selalu berubah menjadi sangat menyenangkan, melayaninya dengan cara-cara yang bahkan Gilang tak pernah membayangkannya. Membuatnya setiap malam selalu tertidur sangat pulas setelah mengerang puas atas perlakuan-perlakuan liar Zafira padanya. Yang lebih membahagiakan lagi, itu semua selalu terjadi atas inisiatif Zafira sendiri, tanpa Gilang memintanya. Karena Gilang masih mematuhi saran dr. Stella untuk tidak menganggu Zafira dulu selama trimester pertama kehamilannya. Malam-malam yang dibayangkan Gilang akan menjadi hambar karena tak boleh menyentuh dan melakukan hal-hal yang dulu selalu dilakukannya pada Zafira justru menjadi malam-malam panjang yang selalu ditunggu-tunggu Gilang. Ibu hamil yang sangat “hot”, begitu Gilang selalu memberikan pujian ketika Zafira melakukan hal-hal yang sangat menyenangkan padanya.“Nanti malam pakai gaya apa lagi, Sayan