“Pa ... itu bukan mimpi. Beberapa waktu belakangan ini Mama memang ada di sini, menemani Papa dengan setia, melakukan hal-hal yang tadi Papa ceritakan. Itu bukan mimpi, Pa, Itu nyata. Gilang sudah menemukan Mama, Gilang menemukannya, Pa ...” ucap Gilang terbata-bata, lelaki itupun tak mampu menahan butir-butir bening dari kelopak matanya.
“A- apa? Itu nyata? Itu bukan mimpi? Mamamu ada di sini? Kau ... kau menemukannya? Lalu dimana Mamamu sekarang? Apa dia ada di sini?” Irawan berusaha bangkit dari tidurnya.
“Jangan memaksakan diri, Pa!” pekik Zafira melihat usaha susah payah Irawan untuk duduk.
“Mama sedang dalam perjalanan kemari, Pa. Aku dan Fira sudah mengabari Mama tadi. Semalam Mama minta diantar pulang sebentar, katanya ada sedikit urusan dan akan segera kembali setelah urusannya selesai. Namun ternyata Papa terbangun dari koma disaat Mama sedang tak berada di sini. Gilang sudah menyuruh asisten Gilang menjemput M
“Mas!!!” Zafira melototkan matanya dengan penuh amarah pada Gilang. Wajahnya merona merah ketika melihat Bu Fauzia dan Felix yang masih berdiri di depan pintu tengah menatap ke arah mereka.“Hehe ... Maaf,” ucap Gilang datar tanpa rasa bersalah.“Permisi, Bu. Saya akan kembali lagi nanti,” pamit Felix pada Bu Fauzia kemudian menutup pintu. Zafira sempat melihat sekilas bagaimana tatapan terkejut Felix tadi.Gilang dan Zafira hanya terdiam ketika Felix sudah berlalu dari sana sementara Bu Fauzia masih menatap mereka dengan penuh tanda tanya.“Maaf, Ma,” ucap Gilang tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.“Nggak usah heran, udah biasa tuh putramu menggila begitu. Apalagi di depan orang yang membuatnya cemburu buta,” ucap Irawan pelan sambil terkekeh, sementara Bu Fauzia masih terlihat bingung.“Awwww!! Sakit, Sayang!” Gilang terpekik ketika Zafira tanpa amp
Bu Fauzia yang sudah bertahun-tahun meninggalkan rumah besar itu masih sedikit ragu ketika Irawan memintanya mendorong kursi rodanya menuju kamar utama di rumah itu. Bertahun-tahun hidup sendiri di rumah sangat sederhana di kaki bukit membuat wanita itu ragu, namun usapan tangan suaminya di punggung tangannya yang membuatnya mengangguk dan mengikuti kemauan Irawan. Ternyata masuk ke kamar yang dulunya merupakan kamar mereka membuat wanita tua itu semakin menitikkan air mata haru. Tidak ada yang berubah di sana, masih sama seperti ketika dulu dia meninggalkan rumah itu. Bahkan ketika membuka lemari baju di walk in closet, wanita itu mendapati semua baju-bajunya dulu masih tersusun rapi di sana. Foto mereka berdua saat acara pernikahan pun masih ada di dinding kamar.“Kenapa membiarkannya seperti ini selama bertahun-tahun?”“Aku tak mau kehilangan jejakmu di kamar kita.”“Kenapa kau tak menikahi wanita itu?” Pertanyaan yang seja
“Besok kita ke rumah Ayah, ya, Sayang.” Gilang membuka pembicaraan dengan Zafira namun matanya masih fokus pada layar laptopnya.“Ngapain, Mas? Kemarin kan Ayah dan Ibu sudah ke sini ketemu Mama dan Papa.”“Papa nyuruh ngundang Ayah dan Ibu, kata Papa hari Minggu mau ngadain acara syukuran. Papa juga nyuruh ngundang dr. Hesti,” jawab Gilang, masih sambil menatap layar laptopnya. “Sayang, ke sini sebentar dong, bantuin aku milih beberapa desain.”“Desain apa ini, Mas?” tanya Zafira yang sudah duduk di samping Gilang sambil ikut memperhatikan layar laptop. Kehadiran Zafira tepat di sampingnya tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gerakan lembut ditariknya tubuh Zafira hingga Zafira terduduk di pangkuannya.“Hmmmm,” gumam Gilang menghirup aroma rambut Zafira sambil memeluk erat tubuh istrinya itu. “Kamu kenapa selalu manis gini sih, Sayang. Bikin aku kecanduan dengan ar
“Hoekkk ... hoekkk ...” Gilang memuntahkan isi perutnya di watafel.Irawan dan Fauzia saling menatap melihat keanehan sepasang manusia di hadapannya itu. Yang satu menangis karena sebab yang sepele, sedangkan yang satu muntah-muntah bahkan sebelum sempat menyantap sarapannya. Keduanya kenudian saling tersenyum penuh arti.Zafira yang merasa matanya masih berembun oleh air mata yang jatuh tanpa kompromi menatap sedikit kesal pada mertuanya yang malah saling menatap dan tersenyum ketika melihat putranya muntah-muntah. Dengan malas Zafira pun bangkit dan mendekati Gilang, dengan lembut Zafira memijat-mijat tengkuk Gilang, sementara Gilang masih saja terus menumpahkan isi perutnya. “Hoekk ... Hoekk ... Nggak udah ke sini, kamu duduk aja di sana,” ucap Gilang dengan nada sedikit meninggi disela-sela muntahnya.“Aku cuma mau nolongin kamu, Mas. Kenapa malah membentakku?” Zafira semakin tersinggung dan memilih beranjak dari sana deng
Gilang tersenyum senang dan mengecup kening istrinya. “Iya, Sayang. Ternyata istriku pinter banget deh, sepertinya sudah baca banyak artikel. Sudah sangat siap menjadi ibu dari anak-anakku. Jadi mau ya coba test,” ucap Gilang sambil mengedipkan matanya.“Ih, gombal deh kamu, Mas. Tapi ... tapi kalau hasilnya nggak sesuai keinginan, Mas Gilang jangan kecewa ya.”“Nggak dong, Sayang. Kalau negatif ya kita bikin lagi, sekarang juga.” Gilang mnggerakkan alisnya naik turun.Menit-menit selanjutnya Gilang duduk dengan gelisah menunggu Zafira keluar dari kamar mandi. Sudah kurang lebih 10 menit Zafira di dalam namun tak kunjung keluar juga.“Sayang, bisa gunainnya? Perlu bantuan? Aku boleh masuk nggak?” seru Gilang di depan pintu toilet. “Nggak usah, Mas. Aku bisa kok. Mas Gilang tunggu aja.” Suara Zafira terdengar menggema dari dalam kamar mandi. Namun, hingga hampir 20 menit kemudi
“Yang bulat itu kantung rahim, nah yang bulat kecil sebesar biji kacang itu babynya ....” dr. Stella masih terus menjelaskan. Sementara Zafira merasakan genggaman di tangan kanannya semnaki mengerat.“Setak jantungnya juga bagus ya. Sekarang kita ukur dulu. Wah, sudah 2,5 cm nih ... sudah besar ya ... kalau dari hasil USG ini diperkirakan usianya 8 minggu. Sehat-sehat ya sayang, tuh lihat Mama dan Papa excited banget tuh ketemu kamu sampai terharu gitu,” ucap dr. Stella mengakhiri pemeriksaan kemudian perut Zafira dibersihkan oleh perawat dari bekas-bekas gel tadi.“Mas ...” ucap Zafira lirih ketika Gilang masih menggenggam erat tangannya dan mencium ubun-ubunnya. Dr. Stella tersenyum melihat sepasang manusia yang sepertinya sedang merasakan kebagahiaan tiada taranya itu.“Ini obat dan vitaminnya jangan lupa diminum ya. Oiya, apa Mbak Fira merasa mual dan muntah di pagi hari?” tanya dr. Stella. Namun bingung ketika
“Mas, tadi Felix nyariin kamu,” ucap Zafira di malam hari ketika acara syukuran sudah usai. Selama acara tadi, Gilang hanya turun sebentar ke bawah ketika acara pembacaan doa-doa oleh Ustaz yang diundang. Setelah itu dia memilih kembali ke kamarnya karena tak tahan dengan rasa mual yang terus dirasakannya sepanjang hari ini, sehingga beberapa tamu dan keluarga yang datang menanyakan keberadaannya dan dengan sabar Zafira seharian ini harus menjelaskan tentang kondisi Gilang yang sedang tidah fit.“Ngapain nyari aku, kesempatannya tuh deket-deketin kamu karena aku nggak ada,” ketusnya.“Mas! Selalu gitu deh! Mas tau nggak Felix tadi datang sama siapa?” tanya Zafira tersenyum.“Nggak penting!” jawabnya masih dengan nada ketus. Namun Zafira yang merasa kasihan karena kondisi ngidam Gilang membuatnya memilih tak menanggapi keketusan Gilang. Zafira bahkan memberanikan diri duduk di pangkuan suaminya itu.“Fe
“Mas, hari ini jadwal kontrol kandungan ke dr. Stella. Mas Gilang nemanin kan?” tanya Zafira. Kini usia perutnya yang tadinya rata sudah mulai kelihatan membuncit.“Harus hari ini ya, Sayang? Pagi ini aku ada meeting penting. Coba kamu hubungi dr. Stella deh, bisa nggak jadwalnya digeser besok?” jawab Gilang sambil merapikan dasinya. Kini kamar mereka berdua sudah pindah ke lantai bawah, sebab sejak Zafira hamil Gilang sama sekali tak membolehkan istrinya itu kelelahan, termasuk harus naik turun tangga. Kamar yang menurut Zafira malah lebih luas dibanding kamar Gilang sebelumnya. Zafira sendiri bingung kenapa selama ini Gilang memilih kamarnya berada di lantai atas, namun menurut penjelasan Irawan, Gilang yang memang dulunya sering menyendiri sehingga memilih kamarnya berada di lantai 2 dengan alasan lebih privasi.Gilang menoleh heran sekaligus panik ketika mendapati Zafira tengah menatapnya sayu dengan mata yang sudah basah. Lagi-lagi, istriny
Gilang memarkirkan mobilnya di parkiran klinik, lalu turun dan membukakan pintu mobil untuk Zafira.“Hati-hati, Sayang,” ucapnya sambil menyambut uluran tangan Zafira.“Jangan berlebihan, Mas. Aku nggak apa-apa.”Gilang menggeleng. “Aku harus berlebihan kalau itu menyangkut kamu dan anak kita. Aku nggak mau kehilangannya lagi.”Akhirnya Zafira mengalah ketika Gilang dengan posesifnya mengantarkannya ke dalam klinik hingga terdengar suara Felix menyapa mereka.“Hai, Fira.”Gilang dan Zafira menoleh. Felix tersenyum dapa Zafira, namun mengabaikan pria posesif di samping wanita itu.“Eh, lu nggak ngeliat gue?” sengit Gilang.Felix tertawa. “Oh, iya. Maaf nggak kelihatan. Makanya jangan terlalu sering di samping Fira, soalnya yang lain nggak kelihatan ditutupi sama auranya dia.”Gilang semakin gusar ketika merasa Felix sedang memprovokasiny
Gilang mengantar Zafira ke klinik dr. Hesty sebelum berangkat bekerja. Telepon dari Felix yang mengajak Zafira bertemu pagi ini benar-benar membuat Gilang gelisah. Maka saat istrinya mengatakan jika Felix mengajak bertemu di klinik tempat Zafira dulu bekerja, Gilang memilih mengantarkan sendiri istrinya ke sana. Meski awalnya Gilang menolak, namun rengekan Zafira membuatnya luluh. Gilang masih ingat bagaimana tadi pagi mereka berselisih paham akibat telepon dari dr. Felix.“Felix minta ketemu Fira, Mas. Katanya ada yang ingin ditanyakan,” ucap Zafira tadi pagi setelah mengibrol dengan Felix di bawah tatapan tajam Gilang.“Ngapain dokter gila itu minta ketemu kamu? Dia masih ngejar-ngejar kamu?”Zafira mengerucutkan bibirnya.“Jangan mulai deh, Mas. Kemarin-kemarin udah enak ngeliat kalian damai,” kata wanita hamil itu.“Aku nggak ngizinin! Kalau mau ketemu suruh ketemu aku saj
Kehamilan Zafira kali ini ternyata masih sama dengan kehamilannya sebelumnya, di mana Gilang lah yang harus setiap hari menahan mual dan tak berselera makan, sedangkan Zafira terpengaruh apa-apa. Ia bahkan makin terlihat segar karena Gilang menyuruh semua ART di rumahnya untuk memperhatikan semua kebutuhan istrinya.“Jangan banyak bergerak!”“Kalau perlu apa-apa bilang sama Maria atau yang lainnya!”“Jangan urusin taman!”“Kalau jalan pelan-pelan!”Serta masih banyak kalimat-kalimat Gilang yang setiap hari harus didengar oleh Zafira. Sesekali Zafira merasa iba jika melihat kondisi Gilang yang justru semakin kurus dan pucat karena mual dan muntah yang dialaminya setiap pagi.Pria itu bahkan beberapa kali mengunjungi dokter untuk meminta obat penghilang rasa mual dan morning sick yang dialaminya. Namun tak ada satu pun obat-obatan yang mempan dan bisa menghilangkan
"SELAMAT ULANG TAHUN PAK GILANG!"Gilang tersenyum membaca spanduk yang terbentang di sana. Gilang baru menyadari jika hari ini adalah hari ulang tahunnya. Perlahan Gilang melangkah ke arah Zafira, lelaki itu tau jika ini semua pasti ide istri kesayangannya itu."Pantasan dari kemarin kamu kelihatan sibuk banget telpon sana sini, ternyata nyiapin ini ya. Terima kasih, Sayang." Gilang mengecup kening istrinya."Uwuwuwuuuu!!!""Ciumnya di bibir dong, Pak Boss!""Ternyata Boss kita romantis banget, ya!"Gilang dan Zafira hanya tersenyum mendengar teriakan-teriakan dari para karyawannya."Cium bibirnya offline dong! Itu adegan khusus, nggak boleh jadi tontonan!" seru Gilang sambil mengedipkan matanya pada Zafira, yang disambut oleh kalimat-kalimat godaaan berikutnya dari para karyawannya pada mereka berdua.Gi
Tanpa kata, Gilang mendorong kursi roda Zafira meninggalkan area pemakaman, diikuti oleh keluarga mereka yang tak pernah lepas mendampingi mereka dan memberi semangat pada kedua orang tua yang baru saja diberi cobaan hidup itu. Selain kedua orang tua Gilang dan Zafira, Felix dan Claudia serta dr. Hesti, bahkan dr. Stella dan dr. Hera pun masih berada di sana menemani Zafira dan Gilang hingga keduanya meninggalkan area pemakaman. Suasana berkabung masih sangat terasa di rumah besar Irawan. Semua keryawan yang bekerja di sana ikit merasakan kesedihan mendalam majikan mereka. Begitupun di dalam kamar Gilang dan Zafira, suasana sunyi sangat terasa. Tak ada percakapan di antara mereka berdua, Gilang dan Zafira hanya bisa saling menatap kemudian saling berpelukan memberi kekuatan entah siapa kepada siapa, karena pada kenyataannya mereka berdua sama-sama terpukul.Zafira menyadari bahwa pada akhirnya semua akan kembali pada takdir masing-masing. Manusia hanya perlu men
Sudah seminggu ini Zafira diperbolehkan pulang ke rumah, namun bayinya masih dirawat intensif di rumah sakit. Hal itu membuat Gilang dan Zafira harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mengantarkan ASIP agar bayi mereka tetap bisa meminum ASI Zafira. Dengan telaten Gilang mendampingi Zafira dan menyemangatinya pada saat memompa ASI nya. Zafira selalu saja bersedih karena belum bisa menyusui bayinya secara langsung, yang membuat Gilang akan selalu berada di sampingnya dan menyemangati Zafira agar tidak selalu bersedih. Gilang bahkan belum pernah masuk ke kantor sejak Zafira melahirkan. Dia lebih memilih mempercayakan pekerjaan pada asistennya dan sesekali memeriksa hasil pekerjaan mereka di rumahnya.Siang ini, Gilang dan Zafira kembali mengunjungi bayi mereka di rumah sakit. Gilang bersiul-siul senang sambil mendorong kursi roda Zafira menuju ruang perawatan bayinya. Gilang belum memperbolehkan Zafira berjalan dan memilih menyuruhnya duduk di atas kursi roda meskipun Zafira sel
“Maafin aku, Mas. Aku nggak bisa menjaganya dengan baik, bayi kita lahir sebelum waktunya,” lirih Zafira terbata-bata dengan mata yang basah.“A- apa? Bayi kita sudah lahir?”“Ini bayi Anda, Pak Gilang. Istri Anda sudah melahirkan beberapa menit yang lalu. Bayi laki-laki dengan berat 1,9 Kg. Namun karena bayinya lahir pada usia yang belum matang, yang dalam bahasa medis disebut prematur, maka bayi Anda masih akan berada dalam perawatan dan pengawasan kami. Perkenalkan, ini dr. Hera, dokter anak terbaik di rumah sakit ini. Selanjutnya beliau yang akan bertanggung jawab atas perawatan bayi Anda. Karena terus terang saja, Nyonya Zafira tadi terpaksa melahirkan bayinya di usia kandungan yang belum genap 37 minggu. Kami terpaksa mengambil tindakan ini tadi karena saat tiba di sini, Ny. Zafira sudah dalam keadaan kontraksi dan sudah mengalami pembukaan rahim.” Penjelasan dr. Stella bagaikan petir yang menyambar Gilang. Zafira sudah melahir
Gilang menyetir mobil sport merah nya dengan kepanikan luar biasa. Kabar tentang Zafira yang baru saja didengarnya membuat dunianya seakan gelap gulita. Berbagai pikiran buruk melintas di benaknya, membuat lelaki itu mengeraskan rahangnya dan sesekali memukul setir mobilnya.“Shittt!!!” seru Gilang ketika di depannya terlihat antrian kemacetan kendaraan. Berkali-kali Gilang mengusap kasar wajahnya memandakan betapa frustasinya pria itu saat ini. Kalimat-kalimat Maria di telpon tadi terus terngiang-ngiang di telinganya.“Nyonya Zafira kesakitan setelah terjatuh tadi, Tuan.”“Dia menyuruh kami tak menghubungi Tuan Gilang. Kata Ny. Zafira dia baik-baik saja.”“Untungnya Nona Claudia kebetulan datang berkungjung.”“Nona Claudia dan pacarnya yang mengantar Nyonya Zafira ke rumah sakit.”“Arrggghhhh!!!” Gilang kembali memukul keras setir mob
Namun satu hal yang selalu ditunggu-tunggu Gilang sejak Zafira hamil adalah malam hari. Setiap malam Zafira selalu berubah menjadi sangat menyenangkan, melayaninya dengan cara-cara yang bahkan Gilang tak pernah membayangkannya. Membuatnya setiap malam selalu tertidur sangat pulas setelah mengerang puas atas perlakuan-perlakuan liar Zafira padanya. Yang lebih membahagiakan lagi, itu semua selalu terjadi atas inisiatif Zafira sendiri, tanpa Gilang memintanya. Karena Gilang masih mematuhi saran dr. Stella untuk tidak menganggu Zafira dulu selama trimester pertama kehamilannya. Malam-malam yang dibayangkan Gilang akan menjadi hambar karena tak boleh menyentuh dan melakukan hal-hal yang dulu selalu dilakukannya pada Zafira justru menjadi malam-malam panjang yang selalu ditunggu-tunggu Gilang. Ibu hamil yang sangat “hot”, begitu Gilang selalu memberikan pujian ketika Zafira melakukan hal-hal yang sangat menyenangkan padanya.“Nanti malam pakai gaya apa lagi, Sayan