Kini jarum jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Warung makan telah di tutup. Aku sedang bergegas untuk pulang ke kos. Saat baru saja keluar, seseorang yang duduk diatas motor mengganggu penglihatanku.Aku memelankan langkah. Siapa orang yang memarkir motor tepat di depan pintu masuk warung. Aku tak bisa melihat jelas wajahnya yang sedang tertutup helm. Orang itu menoleh padaku, namun tidak menggeser motornya.Mbak Wati, Mbak Siti dan Mbak Nurul sudah pulang, sejak tiga puluh menit yang lalu. Jika saja masih ada mereka, mungkin aku tidak akan takut. Harusnya aku tidak perlu takut. Sekarangkan masih ramai."Sini aku antar pulang!"Suara itu menghentikan langkahku. Yuda! Lelaki ini Yuda. Aku sangat kenal suaranya. Baru saja tadi kami bertemu, belum hilang di ingatan tentang semua yang terucap dari bibirnya."Kenapa kamu berada di sini?" tanyaku dengan wajah jutek.Yuda membuka helm lalu tertawa pelan. Kenapa orang ini hobi sekali tertawa saat melihatku marah? Apa ketika marah, aku sep
Aku masih termenung. Apa maksud perkataan Yuda, sejak dulu menjagaku? Bukankah dulu dia hanya menyapa ketika tidak dilihat oleh banyak orang? Aku tidak pernah merasa jika dia menjagaku."Aku pulang dulu, kamu jangan tidur larut malam ini," tutur Yuda sambil tersenyum.Tanpa menunggu aku berkata, dia telah melangkah. Aku masih berdiri di pintu gerbang. Menatap langkah Yuda yang kian menjauh. Terlalu banyak ucapan Yuda yang tidak aku pahami. Hingga kini aku belum percaya jika di menyukaiku. Entah sampai kapan, aku tidak bisa memastikan. Semua ucapan Yuda terdengar aneh di telingaku. Bagiku, dia hanya ingin bermain-main."Kenapa harus aku yang kamu pilih untuk dipermainkan, Yuda? Aku memang tidak secantik perempuan lain di luar sana. Tetapi aku punya harga diri. Tidak ingin dihina seperti ini," lirihku sambil menatap Yuda yang kian menjauh.Lelaki itu melangkah sambil menunduk. Aku benci dirinya. Tidak suka dengan semua ucapannya. Jika punya kuasa, aku sudah membalas semua yang dia lak
***"Ada hal penting apa, ibuku sayang? Tumben ibu menelpon jam segini. Ini kan masih terlalu pagi!" ujarku setelah mengangkat telepon.Bagaimana aku tidak mengatakan jika ini terlalu pagi, sekarang masih jam setengah enam. Aku sedang membersihkan kos, ibu menelepon. Tidak biasanya ibu menelpon di jam segini.["Kamu dimana, Nak? Belum ke warung kan?] Suara ibu terdengar sangat lembut. Aku jadi rindu ingin bertemu. Terakhir aku pulang, empat bulan yang lalu. Padahal aku merencanakan bisa pulang sebulan sekali, meskipun hanya tinggal sehari di kampung. "Aku tidak serajin itu, Bu, ke warung di jam segini. Nanti jam tujuh baru aku ke sana," ujarku yang kini telah duduk di ranjang tidur. Sepertinya yang ingin dibahas oleh ibu sangat penting. Dari tadi ibu masih saja berbasa basi.["Kalau begitu bagus lah, Nak. Ada yang ingin ibu sampaikan. Tetapi kita harus bahas dengan kepala yang tenang"]"Memangnya ada apa, Bu? Dari tadi ibu sudah membuat aku penasaran. Hal sepenting apa yang sudah me
Aku tak perlu menunggu lama. Semua harus dituntaskan hari ini. Aku pun menelpon Yuda. Tak perlu mengirim pesan. Kalau dia lama membalas, aku tak akan bisa tenang.Kini di layar tertera nomor baru. Aku memang tidak menyimpan nomor Yuda. Untuk apa di simpan? Aku rasa tidak penting."Kita harus bertemu hari ini," ujarku dengan nada tegas, setelah Yuda mengangkat panggilan.["Waalaikumsalam, nanti aku ke warung kamu."]Yuda berkata dengan lembut. Kenapa dia menjawab salam? Padahal tadi aku tidak mengucap salam sama sekali. Sepertinya aku harus menghubungi pihak rumah sakit jiwa untuk mengurusnya."Aku mau kita bertemu pagi ini. Jam tujuh!" ["Boleh, ini aku sudah siap. Mau ketemuan di mana?"]Apakah Yuda tidak bisa menyadari lewat suara, jika aku membencinya. Dari tadi aku sudah berucap dengan nada yang kasar, tetapi dia selalu merespon dengan suara lembut."Kita ketemuan di warung bubur ayam depan sekolah."["Okey. Sekarang sudah jam enam lewat. Aku jemput kamu ya."] Yuda masih saja ber
"Kurang meyakinkan apa, Ar, aku mencarimu lebih dari sepuluh tahun. Sejak SMA aku sudah mengejarmu. Aku tak pernah mencintai perempuan selain kamu. Apa semua itu kurang meyakinkan? Kamu masih saja mengira jika aku bercanda. Kamu masih saja berpikir jika aku hanya ingin mempermainkan kamu. Apa kamu tidak bisa melihat jika aku sangat bersungguh-sungguh?" ujar Yuda, masih dengan mata yang menatapku.Aku tak mampu berkata. Dia seolah menghipnotis lewat tatapannya. Sulit untuk di percaya, orang seperti Yuda bisa menyukaiku. Di luar sana banyak perempuan yang lebih dalam segala hal, kenapa dia memilihku?"Apa yang membuat kamu ragu, Arumi? Apa yang membuat kamu tidak percaya dengan semua ucapanku? Aku tidak tahu apa alasanmu keluar dari grup angkatan, tetapi saat itu aku sangat kacau. Aku tidak tahu apa alasanmu mengganti nomor handphone setelah lulus SMA. Tetapi yang pasti, aku selalu berusaha menemukan nomor kamu yang baru. Aku tidak pernah pacaran. Aku tidak ingin dekat dengan seorang pu
Aku hari ini memilih untuk tidak ke warung. Toh jika bekerja, pasti tidak akan fokus. Aku tak ingin karyawan tahu jika aku sedang ada masalah. Aku memerintahkan Mbak Nurul untuk mengurus dapur, Mbak Wati untuk menjaga kasir dan mengantar makanan. Dan Mbak Siti mengurus piring kotor. Beberapa kali handphone berdering, aku tak mengangkat. Pasti Yuda yang menelponku. Siapa lagi? Akhir-akhir ini hanya dia yang menjadi pengganggu.Kini benda pipih di tanganku kembali berdering. Aku pun melihat layar. Ternyata Trisha. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengangkat.["Assalamualaikum, Ar. Kamu dimana? Kok nggak angkat telponku?"]Terdengar suara Trisha yang menggebu."Aku di kosan, Tris. Ada apa?" ujarku pelan.["Lah, kamu tidak ke warung. Ini aku sudah di warung kamu. Tapi kata karyawan, kamu tidak datang ke sini hari ini."]"Iya, Tris. Hari ini aku tidak ke warung."["Kalau begitu, aku ke kosan kamu sekarang. Kamu kirim lokasi ya, aku tidak tahu alamatmu"]"Iya, Tris. Aku akan kirim. Nanti
***POV LilisAku sedang berada di Rumah Mbak Susi. Hari ini jadwal arisan keluarga besar Mas Amar. Yang mendapatkan arisan adalah Mbak Susi.Sebenarnya aku malas untuk datang. Aku tidak memiliki teman cerita. Dulu di awal nikah, keluarga Mas Amar memperlakukan aku dengan ramah. Namun lama-kelamaan, perlakuan mereka berubah. Aku tak tahu apa salahku? Apakah karena aku belum memberikan keturunan untuk Mas Amar? Tetapi kan pernikahan kami baru setahun. Masa gara-gara itu aku dikucilkan.Saat ini aku dan semua keluarga besar Mas Amar sedang duduk melantai di ruang tamu Rumah Mbak Susi. Dari tadi, aku terus diam karena tidak ada yang mengajak cerita. Beberapa orang tersenyum menyapa. Namun ada pula orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Aku tidak mengerti arti tatapan itu."Lilis, kok kamu belum hamil hamil juga. Kamu dan Amar sudah setahun lebih menikah loh! Keluarga suamiku kemarin baru habis lahiran. Padahal kamu yang lebih dulu menikah. Dia sudah hamil setelah dua bulan menikah,"
POV Lilis "Jangan sembarangan bicara kamu, Lilis. Di keluarga besar kami, tidak ada yang sulit punya anak. Kamu bisa lihat kan, semuanya punya keturunan. Jangan menuduh kalau tidak punya bukti. Atau mungkin, sebenarnya kamu sudah bersekongkol dengan dokter yang melakukan pemeriksaan, supaya Mas Amar dikatakan sulit punya keturunan."Kali ini yang berkata bukan Mbak Susi. Aku lupa namanya. Yang pasti, dia Tante dari Mas Amar. Cara bicaranya hampir mirip dengan Mbak Susi, tidak punya etika.Aku tidak menyangka. Ucapan yang baru saja keluar dari bibirku akan mendapat respon seperti ini. Aku pikir mereka akan menasehati dan menenangkan Mas Amar. Dugaanku sangat salah!Aku tidak menyangka akan mendapat tuduhan seperti ini. Bagaimana cara aku menjelaskan? Mas Amar sama sekali tidak berkutik. Aku menatap ibu mertuaku. Lewat isyarat meminta pertolongan, agar bantu menjelaskan tentang kebenaran pada semua orang yang ada di sini. Tetapi ibu mertuaku juga hanya diam saja."Tidak mungkin aku mel
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t