"Tunggu bentar, aku cek." Trisha mengeluarkan handphone dari dalam tas. Dia lalu mengetik nomor orang misterius itu. "Nggak ada, Ar. Nomor ini tidak ada di handphoneku. Memangnya sejak kapan kamu dikirimi pesan seperti ini?""Sejak bergabung di grup angkatan. Aku sudah cari nomor itu di grup. Tetapi tidak ada. Aku juga sudah coba mencari lewat aplikasi penemu kontak handphone, tetapi tetap tidak ada. Makanya aku bertanya ke kamu. Siapa tahu kamu mengenalnya."Aku dan Trisha kini terdiam. Mungkin Trisha sedang memikirkan cara untuk menemukan pemilik nomor ini, sama sepertiku.Trisha lalu kembali membaca pesan. Aku hanya melihatnya yang sedang fokus. Semoga saja Trisha menemukan cara untuk membantuku. "Tunggu, aku mau tanya. Apa semua pesan yang dikirim sesuai dengan yang kamu lakukan saat itu? Misalnya ini nih, dia menyuruh kamu untuk jangan telat makan. Terus tadi malam, dia juga menyuruhmu jangan pulang larut malam dan hati-hati di jalan. Maksudku gini loh, Ar. Kalau misalnya tidak s
"Mungkin dulu ada yang naksir kamu waktu masih sekolah." Trisha kembali berkata. "Apalagi itu, Tris. Sangat mustahil jika ada orang yang menyukaiku," ujarku tanpa ragu."Tidak ada yang mustahil. Kenapa tidak ada yang menyukaimu? Memangnya apa yang salah dengan kamu, Ar?" Trisha berkata dengan percaya diri. Mungkin dia hanya ingin menyenangkan hatiku. Berusaha untuk menemukan. Tetapi sungguh, tidak ada. Dulu waktu sekolah, lelaki yang pernah mengatakan suka padaku hanya Yuda. Tetapi kan dia hanya bercanda. Mana mungkin serius. Lelaki sepertinya pasti menginginkan perempuan yang sepadan dengannya. "Aku serius, Tris. Nggak ada orang yang pernah naksir aku di sekolah. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, hanya kamu teman dekatku. Tidak ada yang aku sembunyikan dari kamu. Lagi pula kalau ada yang naksir padaku, kamu pasti tahu." Aku berkata dengan menggebu-gebu. Aku frustasi, hingga kini belum menemukan siapa pelaku pesan misterius. "Iya juga sih, Ar. Waktu sekolah dulu, kita kem
Mataku membola. Orang misterius itu ada di sini. Berarti dia tahu lokasi warungku. Ah, ya iya lah, dia tahu. Saat aku pulang larut, dia tahu. Ketika aku telat makan, dia tahu. Ketika aku sedang kelimpungan, dia juga tahu. Sepertinya dia tahu hampir semua tentangku.Aku pun segera berdiri dan keluar dari ruang kerja. Ketika berada di bagian depan warung yang menjadi tempat pengunjung makan, aku kebingungan. Di sini ada dua orang yang makan sendiri dan ada satu pula anggota keluarga. Satu perempuan, dia tak berjilbab dan sedang menelpon. Yang satunya lagi adalah seorang lelaki bertopi, dia makan sambil menghadap ke jalan, lelaki itu duduk di dekat pintu keluar. Sepertinya tidak mungkin jika orang misterius itu perempuan. Aku bisa berpikir begitu karena saat ini mataku sedang menatap perempuan itu. Dia sedang makan sambil menelpon, dan dia tidak memperlihatkan respon apapun saat melihatku.Langkahku kini menuju lelaki bertopi yang sedang makan menghadap jalan. Tanganku mulai dingin. R
Aku yakin, Yuda sedang merencanakan sesuatu yang buruk untukku. Sangat tidak mungkin jika dia naksir padaku. Pasti dia masih nekat karena belum mendapatkanku. Mungkin taruhan bersama teman-temanya bernilai besar. Sehingga sampai sekarang, dia tidak berhenti. Ya, dia masih terus mengejarku.Aku coba menetralkan rasa. Tidak boleh nampak emosi. Aku harus bisa terlihat elegan berhadapan dengan lelaki ini. Jika tidak, dia akan semakin merendahkan aku. Ya, aku merasa rendah mendengar pernyataan cinta darinya. Kalau saja aku cantik, mungkin tidak akan ada lelaki yang berani mempermainkan aku. "Sebenarnya apa mau kamu, Yuda? Belum cukup kah dulu kamu selalu menggangguku? Berapa uang di janjikan oleh teman-temanmu? Aku tahu kamu mengejarku karena sedang taruhan dengan teman-temanmu! Kamu pasti merasa tertantang, makanya hingga sekarang masih saja mengejar. Apa jumlah uang dijanjikan oleh mereka terlalu besar?" Awalnya aku berbicara dengan pelan. Namun, di tengah kalimat, emosiku memuncak. Ak
"Itu siapa, Mbak? Dia lumayan lama duduk di sini." Suara Mbak Nurul mengagetkan aku. Ternyata dia sedang membersihkan meja yang ada di sampingku. Aku bahkan tidak menyadari kehadirannya."Dia teman SMA ku, Mbak. Sejak kapan dia di sini?" tuturku lembut. Entahlah, suaraku bukan lembut, tetapi tak bertenaga. Setelah melihat Yuda, aku jadi malas beraktifitas. "Tidak lama setelah teman Mbak tadi datang, dia sudah di sini. Aku tawari makan, tetapi dia katakan masih ingin duduk dulu. Sepertinya tadi dia pesan makanan setelah teman Mbak pulang," ujar Mbak Nurul sambil berdiri.Ternyata dia sudah lama di sini. Tadi aku cerita bersama Trisha lebih dari sejam. Aku semakin penasaran dengan niat di balik tingkah Yuda."Untung saja dia datang saat warung sedang sepi. Kalau tidak, mungkin aku sudah mengusirnya. Bagaimana tidak, aku pikir dia hanya numpang istirahat tanpa memesan makanan." Mbak Nurul kini berkata sambil merapikan kursi. Dia nampak kesal dengan Yuda."Tidak apa-apa, Mbak. Kalau or
Kini jarum jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Warung makan telah di tutup. Aku sedang bergegas untuk pulang ke kos. Saat baru saja keluar, seseorang yang duduk diatas motor mengganggu penglihatanku.Aku memelankan langkah. Siapa orang yang memarkir motor tepat di depan pintu masuk warung. Aku tak bisa melihat jelas wajahnya yang sedang tertutup helm. Orang itu menoleh padaku, namun tidak menggeser motornya.Mbak Wati, Mbak Siti dan Mbak Nurul sudah pulang, sejak tiga puluh menit yang lalu. Jika saja masih ada mereka, mungkin aku tidak akan takut. Harusnya aku tidak perlu takut. Sekarangkan masih ramai."Sini aku antar pulang!"Suara itu menghentikan langkahku. Yuda! Lelaki ini Yuda. Aku sangat kenal suaranya. Baru saja tadi kami bertemu, belum hilang di ingatan tentang semua yang terucap dari bibirnya."Kenapa kamu berada di sini?" tanyaku dengan wajah jutek.Yuda membuka helm lalu tertawa pelan. Kenapa orang ini hobi sekali tertawa saat melihatku marah? Apa ketika marah, aku sep
Aku masih termenung. Apa maksud perkataan Yuda, sejak dulu menjagaku? Bukankah dulu dia hanya menyapa ketika tidak dilihat oleh banyak orang? Aku tidak pernah merasa jika dia menjagaku."Aku pulang dulu, kamu jangan tidur larut malam ini," tutur Yuda sambil tersenyum.Tanpa menunggu aku berkata, dia telah melangkah. Aku masih berdiri di pintu gerbang. Menatap langkah Yuda yang kian menjauh. Terlalu banyak ucapan Yuda yang tidak aku pahami. Hingga kini aku belum percaya jika di menyukaiku. Entah sampai kapan, aku tidak bisa memastikan. Semua ucapan Yuda terdengar aneh di telingaku. Bagiku, dia hanya ingin bermain-main."Kenapa harus aku yang kamu pilih untuk dipermainkan, Yuda? Aku memang tidak secantik perempuan lain di luar sana. Tetapi aku punya harga diri. Tidak ingin dihina seperti ini," lirihku sambil menatap Yuda yang kian menjauh.Lelaki itu melangkah sambil menunduk. Aku benci dirinya. Tidak suka dengan semua ucapannya. Jika punya kuasa, aku sudah membalas semua yang dia lak
***"Ada hal penting apa, ibuku sayang? Tumben ibu menelpon jam segini. Ini kan masih terlalu pagi!" ujarku setelah mengangkat telepon.Bagaimana aku tidak mengatakan jika ini terlalu pagi, sekarang masih jam setengah enam. Aku sedang membersihkan kos, ibu menelepon. Tidak biasanya ibu menelpon di jam segini.["Kamu dimana, Nak? Belum ke warung kan?] Suara ibu terdengar sangat lembut. Aku jadi rindu ingin bertemu. Terakhir aku pulang, empat bulan yang lalu. Padahal aku merencanakan bisa pulang sebulan sekali, meskipun hanya tinggal sehari di kampung. "Aku tidak serajin itu, Bu, ke warung di jam segini. Nanti jam tujuh baru aku ke sana," ujarku yang kini telah duduk di ranjang tidur. Sepertinya yang ingin dibahas oleh ibu sangat penting. Dari tadi ibu masih saja berbasa basi.["Kalau begitu bagus lah, Nak. Ada yang ingin ibu sampaikan. Tetapi kita harus bahas dengan kepala yang tenang"]"Memangnya ada apa, Bu? Dari tadi ibu sudah membuat aku penasaran. Hal sepenting apa yang sudah me
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t