POV Amar Percakapan kami terhenti saat seorang pelayan membawa minuman yang dipesan oleh Zali. Setelah pelayan pergi, Zali kembali mengulang pertanyaan. Sepertinya aku harus bercerita agar mendapatkan simpati dari Zali. Berharap dengan aku merendahkan diri, dia mau membantu."Aku sebenarnya belum memiliki anak, Bro. Maaf waktu itu sudah berbohong."Zali tampak sangat kaget mendengar ucapanku. Terserah, jika dia akan menganggapku pembohong. Aku sudah tidak peduli. Memang kenyataan, aku pernah membohonginya demi harga diri yang tidak ingin diinjak."Bukan kah dulu kamu sudah lama menikah? Aku pernah dengar dari teman. Kalau tidak salah, saat aku masih merintis usaha, kamu sudah menikah. Dan kalau tidak salah ingat, kamu yang lebih dulu menikah daripada aku."Aku pun mulai merangkai cerita tentang masa lalu yang belum ingin di lupa. Masa lalu bersama Arumi sangat indah. Aku masih belum rela jika masa itu kini telah menjadi kenangan. Masa yang sangat menyimpan rasa penyesalan. Masa yang
POV Amar ***Aku kembali mendatangi rumah sakit yang ada di kota. Namun kali ini bukan lagi karena mengantar Mbak Maya, tetapi mengantar ibu. Dokter umum yang ada di rumah sakit daerah merujuk Ibu ke rumah sakit kota karena rumah sakit daerah tidak memiliki dokter spesialis saraf.Aku tak menyangka, teman yang dulu sering aku hina, kini dialah yang membantu saat susah. Tanpa dendam dan terlihat tulus. Semua biaya berobat ibu ditanggung oleh Zali tanpa aku harus melunasi. Dia juga melunasi biaya tunggakan BPJS ibu.Aku tidak tahu akan membalas kebaikan Zali dengan apa. Dia sudah terlalu baik. Ya, meskipun dia tidak membantuku melunasi hutang. Bagiku membantu pengobatan ibu sudah lebih dari cukup."Ibu, aku tinggal bentar ya. Mau mengambil obat di Apotik," ibu hanya mengangguk. Entah kenapa, sekarang ibu sudah jarang bicara dan tidak seceria dulu. Aku terpukul melihat keadaan ibu yang sekarang. Dulu, awal terkena stroke, ibu masih mau aku ajak bicara. Setidaknya setiap kali aku beruca
POV Amar Saat masuk ke dalam kamar, ibu ternyata masih berbaring. Aku menghampirinya."Bu, makan dulu ya. Sekarang sudah waktunya untuk makan. Setelah itu ibu minum obat supaya cepat sembuh," ujarku lembut pada ibu. Aku mengusap rambut ibu yang sudah memutih sebagian. Ibu menggelengkan kepala. Aku tersenyum untuk merespon. Beberapa hari ini, ibu memang agak susah disuruh untuk makan. Aku harus membujuk ibu dengan sangat sabar agar mau makan."Kalau ibu tidak makan, kapan akan sembuh? Ibu bisa kehabisan tenaga. Ibu juga tidak bisa minum obat kalau belum makan. Karena obat yang diresepkan dokter harus diminum setelah makan. Sekarang ibu makan, ya," ujar ku lembut masih dengan tangan yang mengusap puncak kepala ibu. "Ingin mati," ujar ibu dengan terbata. Bibirnya masih sulit untuk berkata dengan jelas. Kemarin dokter sudah melakukan pemeriksaan pada ibu. Setelahnya ibu diperbolehkan untuk rawat jalan. Hanya saja setelah pulang dari dokter, badan ibu panas tinggi. Aku tidak ingin gega
POV Amar Aku tersenyum sinis mendengar ucapan Mbak Mira. Dia terlalu percaya diri mengatakan dirinya cantik. Kalau Mbak Maya, aku akui dia cantik. Tetapi Mbak Mira tidak secantik Mbak Maya. Entah apa yang sudah terjadi denganku. Kini pikiranku tentang Mbak Mira sangat buruk. Mungkin karena terlalu membencinya. Sehingga apapun yang dia katakan, aku tidak suka."Arumi menikah dengan lelaki kaya raya, wajar kalau sekarang dia cantik. Kalau dulu 'kan, aku hanya memberinya uang satu juta. Itu pun hanya cukup untuk makan sehari-hari. Mana bisa merawat diri? Uang yang aku kasih saja kurang. Apalagi kedua kakakku sering mengambil makanan di rumahku. Untung Arumi perempuan yang penyabar, tidak pernah mengeluh dengan sedikitnya uang yang aku kasih. Jangankan mau perawatan, bahkan aku tidak pernah membelikannya baju baru. Uangku habis untuk menyenangkan hati Mbak Mira dan Mbak maya." "Kamu apa-apaan sih, Amar? Kenapa sekarang ucapanmu sangat baik terhadap Arumi. Dia itu perempuan tidak baik.
POV Amar "Maafkan aku, Bu. Aku tidak bisa mengendalikan emosi mendengar ucapan Mbak Mira."Aku memahami kondisi ibu. Pasti sangat terluka melihat dua orang anaknya selalu bertengkar. Tetapi aku juga tidak bisa mengalah. Perkataan Mbak Mira selalu saja membuat emosiku memuncak."Amar, apakah benar Arumi sudah menikah? Benarkah sekarang dia telah hamil?" tutur ibu dengan suara yang sangat pelan dan terbata.Aku menatap sendu perempuan di depanku. Aku lalu mengangguk. "Sudah, Bu. Aku tidak tahu sudah berapa bulan dia hamil. Perut Arumi sekarang sudah besar.""Kamu lihat Arumi dimana?" Ibu kembali bertanya. "Sebenarnya dulu waktu Mbak Maya berobat di sini, aku pernah bertemu Arumi. Dia jalan bersama suaminya. Tadi juga aku bertemu dengannya."Cukup sampai di situ penjelasanku. Tidak perlu menceritakan semuanya ke ibu.Aku teringat di waktu itu. Saat suami Arumi memukulku membabi buta. Saat itu aku berbohong pada ibu jika jatuh dari motor. Tidak mungkin berkata jujur jika telah dipukul o
***"Bu, diluar ada orang yang ingin bertemu dengan ibu," ujar Bi Ita — Asisten rumah yang dipekerjakan oleh Yuda untuk membantuku. Kini aku sedang berdiri di depan pintu. Tangan masih memegang ganggang pintu. "Siapa, Bi?" tanyaku dengan wajah heran.Siapa yang datang mencariku? Kalau Trisha, tidak mungkin. Setiap kali Trisha ingin ke sini, dia selalu menghubungiku. Kalau ibu dan ayah juga tidak mungkin."Aku juga tidak tahu, Bu. Katanya, saudara ibu dari kampung." Saudara dari kampung? Siapa? Lama berpikir, aku tak kunjung menemukan. Ah, mungkin memang benar saudara dari kampung, mereka datang tanpa menghubungi terlebih dahulu. Untung saja aku sedang berada di rumah. Jika tidak, kasihan sudah datang dari jauh, tapi tak bertemu denganku."Kalau begitu aku ke dapur dulu, Bu." Aku mengangguk. "Iya, makasih ya." Bi Ita kini meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu kamar. Dia menunduk hormat terlebih dahulu sebelum melangkah. Aku senang dengan kehadiran Bi Ita di sini. Kebe
Aku sudah mengenal mereka dalam waktu yang lama. Sudah sangat tahu karakter jahat mereka. Aku yakin, mereka sedang merencanakan sesuatu. Bukan ingin berburuk sangka, namun itulah kenyataannya. Aku sangat yakin."Kamu ternyata belum berubah ya, Arumi! Selalu kasar saat bicara dengan orang tua. Memang susah, kalau berbicara dengan anak yang tidak pernah dididik oleh orang tuanya," ujar ibu tua yang berada di hadapanku. Perkataan tidak beradab namun bibir membentuk garis senyum. Ibu tua ini juga tidak membentak seperti yang sering dilakukan dulu padaku. Mungkin merasa jika tidak ada yang salah dengan perkataannya. Dia orang yang tidak pernah sadar diri. Ya Allah, aku sedang hamil. Tolong lindungi aku dari bahasa kasar. Tolong jaga pikiranku agar tidak stres.Kenapa mereka harus datang sekarang, di saat aku sedang hamil? Sangat takut terjadi hal buruk padaku. Kalau tahu jika tamu yang datang mencariku adalah mereka, aku sudah menyuruh Bi Ita untuk mengusir, tanpa harus menemui."Mohon m
Aku hanya menatap. Membiarkan ibu tua ini berkata sesuka hati. Aku sudah kebal dengan hinaan dan bahasa kasar. Hari ini aku harus bisa tenang menghadapi mereka."Kalau begitu, kami langsung saja pada intinya. Sebenarnya kami datang ke sini ingin meminta pengembalian semua uang yang dulu Amar berikan ke kamu."Aku mengerutkan alis atas perkataan Mbak Mira. "Maksudnya?" Mbak Mira dan ibunya tertawa cengengesan. Sesekali saling menatap, lalu melihatku bersamaan. Mbak Mira lalu lanjut berkata, "ternyata kamu memang tidak sadar diri ya. Dulu 'kan Amar selalu memberikan kamu uang bulanan. Nah, kami datang kesini untuk meminta uang itu dikembalikan. Jangan pura-pura lupa. Jangan pura-pura hilang ingatan. Semua uang makan kamu dulu dari hasil kerja Amar. Iya 'kan, Bu." Aku membelalakkan mata. Ya Allah Ya Robbi Ya Tuhan! Sungguh, dua orang perempuan yang ada dihadapanku ini sangat tidak tahu malu. Mereka pasti sudah gila!Aku memejamkan mata sejenak. Menarik napas, lalu berkata, "pulanglah!
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli
POV Amar "Sekarang bapak ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran." Aku pun keluar dari ruang UGD. Sekedar melangkah untuk menuju ke sana. Tidak tahu apa yang harus dilakukan saat tiba di kasir. Aku tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, yang sudah pasti mahal.Ingin menghubungi suami Arumi, tetapi aku tidak memiliki nomor handphonenya. Mungkin jika aku tidak nekat datang ke rumahnya, Arumi tidak akan seperti ini. Tadi, saat keluar dari rumah, dia masih terlihat baik-baik saja. Bahkan tidak ada wajah pucat yang menandakan akan pingsan."Adik aku akan dioperasi melahirkan. Dokter menyuruh ke sini." Aku berkata dengan suara pelan saat di kasir. "Oh baik, Pak. Aku hitung dulu semua biayanya." Aku terdiam sejenak. Bibir lalu berkata, "maaf, Pak. Saat ini aku tidak memegang dompet dan uang. Tadi adikku pingsan dan aku lupa membawa perlengkapan. Aku telah menghubungi orang rumah, tetapi tidak ada yang mengangkat.Jika boleh, aku akan melunasi semua biaya setelah adikku telah se
POV Amar***"Arumi! Arumi!" panggilku sambil menepuk-nepuk pipi Arumi. Aku juga mengguncang tubuh tak berdaya Arumi, namun tak ada respon. Dia tetap menutup mata. Aku memanggil nama Arumi berulang kali, berusaha membangunkan, tetapi matanya masih saja tertutup. Keadaan Arumi yang tak sadar membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya. Apalagi saat ini dia sedang hamil. Rasa khawatir ini sangat besar.Aku membaringkan tubuh Arumi ke lantai. Lalu berdiri di depan pintu, bibir mengucap salam. Dua kali berucap salam, tetapi tak ada balasan. Tak ada pula tanda-tanda asisten rumah memunculkan diri. "Kemana asisten itu pergi? Aku harus bagaimana sekarang. Setidaknya aku butuh seseorang yang bisa membantuku membawa Arumi ke rumah sakit. Ya Allah, aku bingung," lirihku sambil menatap Arumi dengan gelisah.Aku berlari ke depan, menuju pos satpam. Tadi di pos itu tidak ada orang, berharap sekarang masih ada orang di sana. Namun setelah tiba, ternyata kosong. Aku melihat tubuh tak berdaya Arumi
Setelah berkata, aku langsung berbalik. Tetapi saat belum melangkah, Mas Amar sudah kembali berucap."Jangan karena sekarang sudah menjadi orang kaya, kamu bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku akui, Arumi. Dulu aku sudah menyakiti kamu. Tetapi, bukan berarti sekarang kamu bisa membalaskan dendammu pada ibuku. Kasihan dia, Arumi! Dia sedang sakit! Aku sangat tidak menyangka Arumi, perempuan yang tampak sholehah seperti kamu ternyata sangat licik. Kalau kamu ingin berbuat jahat, kalau ingin membalas dendam, langsung saja ke aku. Jangan ke ibuku … ibuku tidak bersalah apa-apa!" Aku berbalik dan kembali melihat wajah Mas Amar. Raut tampak merah. Sangat jelas jika sedang marah."Aku tidak mengerti maksud kamu, Mas? Kalau bisa, sebelum datang ke sini, tanyakan terlebih dahulu pada ibumu, apa yang sudah dia lakukan. Oh, tidak! Ibumu 'kan selalu memfitnahku. Dia orang yang selalu memutar balikan fakta sehingga kamu selalu menyalahkan aku. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Jadi t