'Kok, Yudha sih, duh ada apa dengan diriku ini?' Hati Ardhia berteriak-teriak. Sepertinya ia tak rela hatinya berceloteh tentang Yudha. Bukankah tadi siang dia sudah menyebutnya gendut, tapi kan bilang cantik juga? Bingung deh jadinya Xl, hati terbelah menjadi dua kubu, yang satu membenci Yudha, satu lagi tertarik. Aduh dia harus ikut yang mana sedangkan dua-duanya adalah hatinya yang utuh kalau bersatu.
"Ngelamunin apa, hayo?" kata Bapak.
"Bapak mengagetkan saja, bagaimana kalau anak Bapak yang cantik tiada duanya ini kena serangan jantung," rutuk Ardhia.
Bapak cuma tertawa, giginya yang putih masih berbaris rapi di tempatnya, belum ada yang tanggal. Xl pikir dan pandang-pandang Bapak itu memang ganteng. Jadi, sudah tahu ya sekarang, Xl cantik itu turunan dari mana? gadis itu senyum-senyum sendiri.
"Lah itu, malah senyum-senyum gak jelas," kata Bapak. "Pasti lagi mikirin pacar, eh anak Bapak memang sudah punya pacar?" sambungnya bertanya.
"Mana ada pacar, Pak, yang ada laki-laki takut padaku," jawab Xl prihatin. Tentu saja ia yang body seperti bis pariwisata ditambah lagi dengan keberanian terhadap orang yang merundungnya membuat pria mundur teratur. Lebih baik mundur daripada badan penyok, ya kan, hihihi ... mungkin seperti itu pikiran mereka isinya.
"Aku mau bertanya serius, Pak," cetus Xl pada Bapaknya. Tiba-tiba terlintas di kepalanya untuk bertanya perihal perjodohan itu.
"Tentang apa? Tumben muka anak Bapak serius," Bapak bertanya sambil meledeknya.
"Yudha, Pak," jawabnya.
"Kenapa ... kenapa? Kamu tertarik? Nanti Bapak bicarakan lagi dengan teman Bapak, Pak Seno," katanya.
Duh, Bapak ini selalu membuat senang hati anaknya, eh, gimana sih? Ardhia tidak suka Yudha, itu yang mesti diinget, Ardhia, fix, hatinya menjerit-jerit.
"Bukan begitu, Pak, masa iya zaman modern ini masih dijodoh-jodohkan, apalagi aku lihat keluarga Yudha seperti itu," cecarnya. Nah, yang keluar dari mulut Xl memang manis sekali, kan? Tidak ada ketertarikan dalam nadanya. Dasar munafik, hihihi.
"Seperti bagaimana?" tanya Bapak penasaran.
"Ibunya sama Yudha itu, sepertinya mereka sombong," paparnya. 'Tentu saja mereka sombong, Yudha melihatku dengan pandangan seperti mengejek, Ibunya juga mencuri-curi pandang ke arahku, pasti hatinya bilang, ih gadis kok gendut. Aku pastikan itu, yakin!' batin Ardhia.
"Tidak baik menilai orang yang baru kenal selayang pandang." Bapak bicara sok bijaksana. "Sudahlah, Bapak ngantuk mau tidur. Sebaiknya kamu juga tidur, istirahat, biar cepat pulih kesehatanmu," suruh Bapak.
Gadis itu mengangguk dan beranjak ke kamar. Kamar yang ia cat berwarna pink, warna kesukaan para gadis-gadis yang mendambakan cinta sejati, yang akan membawanya pergi mengarungi bahtera kehidupan sesungguhnya. Halah, terlalu berat berpikir tentang cinta sejati. Ardhia masih ingin menikmati hidup tanpa ikatan yang membelenggu kebebasan.
Tidak dapat dipungkiri setelah menikah, kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri sudah menanti. Aduh apaan sih? Mikir jauh-jauh amat, helow ... pacar aja belum ada, sudah mikir tentang kewajiban. Skip ah ... Ardhia malu sendiri.
****
Keesokan harinya, Farah, Dina dan Sonia datang lagi menjenguk. Rame lagi rumah Xl dengan canda-canda mereka.
"Aduh kok kita di rumah terus ya?" tanya Sonia. "Tiang listrik aja di luar masa kita kalah, di dalam terus," sambungnya disambut gelak tawa.
"XL kan masih sakit, masa kita tinggal bersenang-senang di luar sementara dia, manyun terus di rumah," kata Dina. Sok perhatian kali maksudnya.
"Magic com keles di rumah terus, kamu sudah kuat belum kalau jalan-jalan?" tanya Farah. Sepertinya ia jenuh ingin refreshing keluar rumah.
"Belum masih lemas, nanti saja kalau kita melamar pekerjaan, kita berangkat rame-rame," jawab Xl.
"Oke, fix, Senin depan kita berangkat," kata Sonia.
"Memang tempat kerjamu kenapa?" aku bertanya heran. Seingat Xl, Sonia sudah bekerja.
"Aku males, masa aku makan kue bubuknya aja, gajiku ditahan sehari," papar Sonia getir.
Sonia memang bekerja pabrik pembuatan kue kaleng. Ardhia cuma manggut-manggut saja.
Ngobrol ngalor-ngidul gak jelas, membuat waktu tidak terasa. Hari sudah sore ketika mereka pamit. Berjanji hari Senin bertemu di halte depan sebuah universitas dekat asrama Brigif.
Tiga hari cukup untuk diri Xl memulihkan kondisi tubuhnya. Kini ia tidak pernah lagi menahan lapar demi berat badan berkurang beberapa ons.
Hari yang dinanti tiba, Xl sedikit berdandan biar wajah tidak pucat, atau disangka tidak mandi karena kucel. Harap-harap cemas ia bersama Farah duduk menunggu wawancara.
Yes.
Mereka diterima bekerja di pabrik elektronik. Xl dan yang lainnya dibawa ke sebuah ruangan untuk dipilih oleh kepala kelompok departemen. Masing-masing diberikan baju seragam.
Ardhia dan Farah ternyata tidak satu departemen, Farah di departemen audio dan Ardhia di televisi. Senangnya hati diterima bekerja. Tugas Xl adalah mengencangkan secrew di PCB. Biasalah anak baru belum dikasih tugas yang rumit-rumit. Ada istirahat lima menit di jam sepuluh dan jam tiga, sekedar buat meluruskan punggung.
"Hai anak baru, sini!" seru seseorang saat istirahat lima menit itu. Ia senior, kata orang-orang sih senang ngebully orang.
Dengan perasaan segan Xl datangin dia. Xl tahu namanya dari kartu karyawan yang tersemat di dadanya.
"Ya, Mbak Titik," jawab Xl sambil mendekat.
"Coba kamu muter ke belakang," katanya.
Rupanya wanita itu mau merundung, tetapi XL
ikutin saja. Gadis itu berputar sedikit. Wanita itu dan kawan-kawannya cekikikan pelan sambil menutup mulutnya. Xl menatapnya, dalam hatinya berkata, 'Tunggu saja perhitunganku.'
Jam istirahat utama tiba, semua keluar untuk makan di kantin. Xl sang anak baru pun tidak ketinggalan. Ia mengikuti arus orang-orang, karena belum tahu seluk beluk pabrik tempatnya bekerja.
Brukkk.
Satu suara terdengar, lalu diikuti suara riuh tertawa. Seseorang jatuh terlentang di belakang Xl, saat ditengok ternyata Mbak Titik. Ia nampak sangat malu. 'Lunas,' hati Xl tertawa.
Farah yang melihat dari kejauhan melambaikan tangannya kepadanya. Cepat-cepat gadis itu mendekat, Xl senyum-senyum ingat kejadian barusan.
"Aku curiga nih, ada apa?" tanya Farah.
"Aku dibully orang," jawabnya sambil berbisik.
"Oleh siapa?"
"Itu yang barusan jatuh dan jadi tertawaan orang," jawab Xl sambil tersenyum penuh arti.
"Aku curiga dengan senyummu." Farah yang sudah tahu sifat temannya memandang curiga. Xl hanya tertawa kecil. "Kamu apakan dia?" Ia bertanya seperti rentetan peluru. Dar der dor.
Gadis gendut itu mengeluarkan tangannya yang sejak tadi tersembunyi di kantong baju seragam. Mata Farah membulat saat Xl mengeluarkan sesuatu dari sana. Xl menutup mulutnya menahan tawa. Xl memasukkan kembali benda itu ke dalam kantongnya.
"Bagaimana caranya kau buat dia terjatuh?" tanya Farah semakin penasaran.
"Kasih tahu gak ya," jawabnya sambil mengerling nakal.
"Pakai rahasia-rahasia segala," cibir Farah kesal.
"Sini aku kasih tahu." Xl mendekatkan bibirnya ke telinga Farah. Farah tergelak mendengarnya. Beberapa orang nampak menoleh mendengar tawa Farah.
"Ssstt ...."
Ardhia menempelkan telunjuk di bibir, isyarat agar Farah diam.
*Duuh, Ardhia bikin penasaran saja deh, apa sebenarnya benda tersebut? Tunggu bab selanjutnya*
"Sini, dengarkan," bisik Ardhia."Apa?" jawab Farah."Pas dia lewat, aku sebarkan ini di depannya, lantai keramik kan licin, jadi ... brukkk!" Xl membalikkan tangan sambil mendelikkan mata, terlihat lucu sih.Farah tertawa sambil menutup mulutnya, Xl pun ikut-ikutan tertawa. Dasar memang pada gak ada akhlak, orang kena musibah malah senang, hihihihi. 'Inilah aku, Xl, daripada makan hati dibully orang, masih mending putar otak untuk membalas, benar kan?' kata batinnya.Seharian ini Xl belajar banyak tentang pekerjaan barunya, pokoknya siapa yang keteteran di kelompok, maka kursi ditarik ke sana. Menyenangkan sekali, bekerja tidak terlalu capek.Ardhia melihat Mbak Titik, orang yang tadi terjatuh di kantin, memandang padanya dengan sorot mata yang aneh. Ih masa bodoh lah ya, siapa suruh mentertawakan. Bukankah Ardhia dan dia sama-sama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.Sepulang kerja Ardhia dan Farah berencana mau makan-makan di warung pecel
Setelah kejadian di warung makan itu, XL seperti orang linglung. Rupanya dia sakit karena terkena panah asmara. Namun, dia berusaha untuk tidak menampakannya."Pak, memang Bapak serius mau menjodohkan aku sama Yudha?" tanya XL suatu hari. Rupanya XL sudah tidak tahan menahan rasa sukanya sama Yudha. Maka dicarilah alasan untuk bertanya tentang perjodohan yang pernah bapaknya dahulu bahas."Kamu tertarik?" tanya Bapak. Matanya tetap fokus pada surat kabar yang dibacanya."Mampus gue!" serunya dalam hati. "Bapak tahu isi hatiku, aku harus pura-pura tidak tertarik.""Bukan begitu," kilah XL. "Kalau memang benar, aku setuju saja, demi baktiku kepada orang tua." Halah, munafik. Memang dia paling bisa deh, pura-pura berbakti, padahal hatinya ngebet. Hahaha, bisa saja bapaknya dikibulin."Nanti Bapak bicara lagi dengan Pak Seno, sudah waktunya memang kalian berumah tangga," jawab bapak. Oh, Tuhan … tidak ada jawaban yang paling membahagiakan bagi XL, kecuali ini. Bapaknya dan calon mertuany
XL tertawa kecut melihat teman-temannya kaget. Reaksi mereka persis seperti dia saat calon mertua menyuruhnya untuk langsing. XL tidak menyangka perkenalan dengan Yudha di rumah sakit waktu itu kini menumbuhkan perasaan lain di hatinya. Gadis itu begitu terpesona dengan ketampanan pemuda itu."Operasi apa?" Dina mengulang pertanyaan. "Operasi … operasi lambung apa, ya, katanya tadi. Itu tuh seperti artis yang dulunya gemoy sekarang berubah langsing setelah operasi itu. Padahal aku takut." XL menunduk, dia menyembunyikan kegelisahannya.“Gila saja, jangan mau!” teriak Farah. “Hanya makan tiga sendok makan sehari yang masuk perutmu, apa kamu kuat?” Gadis itu menggelengkan kepala, tidak habis mengerti dengan pikiran orang-orang macam itu.XL menunduk menyembunyikan semburat gelisah di matanya. Andai teman-temannya tahu, dirinya juga sangat takut dengan meja operasi. Berbagai macam pisau-pisau itu berdentingan suaranya di otaknya. Tiba-tiba dirinya bergidik."Hii … takut aku. Aku tidak
“Duduk!” suruh Dina kepada XL. XL memandang bingung, ekspresinya lucu karena tidak mengerti dengan maksud temannya itu. Namun Dina tidak peduli, dia terus mengeluarkan alat-alat perangnya. Ada bedak, lipstik, maskara dan sebagainya. Alat kosmetik itu akan dipergunakan untuk menyulap XL menjadi seperti bidadari.“Mau diapain?” tanya XL pura-pura tidak mengerti. Gadis itu cengengesan sambil memegang pipinya. “Awas jika tidak secantik artis,” ancamnya pula. Hatinya was-was ingin segera melihat hasilnya.“Dasar tidak tahu diri, pakai ngancam segala. Hadeuuh … takdirku punya teman seperti ini,” keluh Dina.“Sabar … gendut begitu juga dia lebih beruntung daripada kita. Calon suaminya tampan rupawan. Lah kita ….” Farah menghibur dengan mencoba berkata bijak.“Hehe … itulah diriku, banyak sekali kelebihannya.” XL menimpali. Gadis itu berdiri dengan tangan di dada. Mencoba untuk menyombongkan diri di hadapan teman-temannya. Membungkuk sedikit sambil menganggukkan kepala. Gadis itu berputar,
Yudha memandang ke arah pintu cafe. Rasanya sudah tak sabar dia menunggu kedatangan Ardhia. Gadis gendut calon istrinya itu, mendadak ingin bertemu dengannya. Syukur-syukur jika datang untuk membatalkan rencana pernikahannya. “Tentu si gendut itu tidak sanggup jika harus menjalani operasi.” Begitu pikir Yudha. Dia tersenyum sendiri, membayangkan kemenangannya. Tentu saja dirinya akan melenggang menggandeng Nissa ke pelaminan. Wanita yang dicintainya, hanya gadis itu dari beberapa gadis yang dipacarinya. “Aku harus sering-sering membuat mentalnya down, biar dengan sendirinya dia mundur. Tidak sudi aku beristrikan gadis gendut seperti kuda nil.” Yudha masih sibuk dengan kata hatinya. Dia yakin kedatangan XL kali ini untuk menyerah. “Mana dia, lama sekali?”Di saat Yudha sibuk dengan gerutuannya, XL tengah harap-harap cemas di dalam mobil yang dikemudikan Sonia. Mereka bertiga pergi mengawal XL untuk makan malam bersama Yudha.“Santai saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Minyak da
Yudha yang tengah bersuka cita dengan rencananya akhirnya tertidur dengan pulas. Pemuda itu tersenyum dalam tidurnya, rupanya dia tengah bermimpi indah. Namun, mimpinya harus terputus saat terasa olehnya ada sebuah keanehan.Yudha kaget saat menyibak selimut. Lelaki itu mendapatkan wajah Nissa di sana. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar. Dia bangkit dan mundur ke arah pintu.Duk!Rasa sakit menjalari punggungnya yang membentur dinding dengan keras."Nissa! Berhenti menghantuiku, mengapa kamu tiba-tiba berada di kamarku?" bentak Yudha. Dia melihat jika tubuh di hadapannya melayang seperti hantu."Aaah." Terdengar erangan dari arah tubuh tersebut, lalu berbaring di tempat tidur dan berselimut.Yudha terkejut, dia juga mengkhawatirkan Nissa. "Ini hantu atau Nissa beneran?" Pemuda itu berpaling ke arah pintu yang tetap tertutup."Nissa … Nissa!" teriak Yudha. Dia semakin khawatir gadis itu tidak bangun juga. Matanya kini tertuju ke arah divan. "Eemhh!"Suara erangan terdengar lagi dari
Yudha terpaksa meninggalkan Nissa. Dia harus bekerja, bisa-bisa dicoret dari kartu keluarga jika dirinya malas-malasan. "Tanda-tangan ini!" suruh Seno begitu anaknya itu muncul. Tentu saja Yudha terperangah, tidak menyangka jika ayahnya sudah menunggu di ruang tamu. Sepagi ini mereka sudah mempersiapkan surat-surat syarat untuk pengambil-alihan perusahaan."Apa ini?" tanya Yudha tidak mengerti. Bukankah dirinya sudah tahu perjanjian itu. Mengapa ayahnya seperti mau mengubah isi perjanjian.Yudha melihat ibunya cemberut di sampingnya ayahnya. Sudah dipastikan ada yang aneh dengan perjanjian baru tersebut."Ada apa, Bu?" tanya Yudha. Pemuda itu memandang ibunya minta penjelasan. "Gak tahu tuh, Ayahmu," sahut ibunya menggerutu. Tidak habis pikir dia dengan pikiran suaminya. Kesal dia jadinya.Yudha duduk dan membaca isi perjanjian. Dia terkejut karena dalam perjanjian disebutkan, jika bercerai dengan Ardhia segala isinya akan batal. Hancur sudah apa yang sudah direncanakan olehnya dan
Setelah semalaman mendapatkan teror dari hantu. Nissa merasa trauma tinggal sendiri di apartemennya. Mengharapkan Yudha datang sudah tidak mungkin. Baru tadi pagi laki-laki itu pulang ke rumahnya. Gadis itu tercenung memikirkan siapa kira-kiranya yang bisa menemaninya hari ini. Ini hari Minggu, semua orang sedang menikmati akhir pekan."Arini … ya, aku harus memanggilnya ke sini." Tiba-tiba Nissa dapat ide cemerlang. Sudah lama dirinya tidak bertemu sahabatnya itu.Mereka bertemu, melepas kangen setelah lama tidak bersua. Banyak cerita mengalir saling bergantian. Nissa dengan kisah yang baru dialaminya sedangkan Arini dengan kisah masa kecilnya.Arini menghela napas sebentar. Terlihat gadis itu ragu-ragu, sejenak melihat ke mata gadis di depannya–Nissa. Ini adalah rahasia besar, tidak baik jika sampai tersebar. Arini adalah temannya Nissa, baru saja Nissa bercerita tentang dirinya yang melabrak Ardhia."Cerita saja, aman rahasiamu!" ujar Nissa meyakinkan Arini. Sahabatnya itu mengangg
Mendengar keributan yang terjadi antara Yudha dengan ibunya membuat Ardhia bangun. Dia mengendap-ngendap keluar dari kamarnya dan mendengar percakapan mereka.Ardhia sedih mendengar kata-kata mamanya alias mertuanya, tidak menyangka sebegitu bencinya mertuanya itu kepadanya.Masih beruntung Yudha membelanya walau tidak sepenuhnya. Ardhia dengan cepat balik lagi ke kamar setelah mendengar Yudha menaiki tangga. Namun, masih terdengar olehnya Wina mengumpat Yudha“Astaga Ibu macam apa seperti itu. Kamu beruntung Nak, mempunyai Ibu seperti aku. Ibu tidak akan berlaku seperti itu kepadamu, kamu baik-baik, ya di dalam perut Ibu,” bisik Ardhia sambil mengusap perutnya.Ardhia memasang telinganya baik-baik, mendengar ada suara mendatangi kamarnya. “Apakah itu Yudha?” tanyanya dalam hati. “Mau apa dia ke sini? Sial pintunya belum dikunci lagi tadi,” gumam Ardhia sambil membetulkan selimutnya, pura-pura tertidur pulasKlotak! Terdengar pintu dibuka, Yudha melongokkan kepalanya ke kamar Ardhia
Hari demi hari dijalani Ardhia dengan bimbang. Sementara Yudha belum berubah dan Wina bertambah tidak menyukainya. Hanya Seno yang selalu memperhatikannya dan itu membuat Wina cemburu.“Papa … Mama nggak suka ya, kalau Papa terlalu memperhatikan Ardhia! Apakah Papa suka sama dia?” tanya Wina tanpa tedeng aling-aling. Tentu saja Seno terkejut mendapat pertanyaan dari Wina seperti itu. Matanya melotot, hampir melompat dari tempatnya.“Suka bagaimana? Fari dulu juga Papa suka sama Ardhia. Makanya dia Papa jadikan menantu, aneh-aneh aja,” jawab Seno sambil memandang istrinya tajam. Tidak suka sama sekali dengan ucapan istrinya.“Maksud Mama bukan itu. Papa suka sama dia?” tanya Wina lagi semakin kurang ajar. Wanita itu memandang penulis selidik.“Jaga ucapanu! Mama tidak pantas berbicara seperti itu. Ardhia itu menantuku dan dia sekarang sedang mengandung anak Yudha!” ujar Seno keras karena emosi. Dia keceplosan dan berbicara tentang kehamilan Ardhia.“Apa hamil? tanya Wina gak kalah kag
Perlahan-lahan tangan keriput itu menyentuh perut Ardhia, rupanya butuh tenaga ekstra agar bisa mendapatkan apa yang dimaksud. Soalnya perut ardia sedikit gendut walaupun dia sudah berkurang beberapa kilogram tapi perutnya masih besar.Dengan harap-harap cemas Ardhia memegang perut dan tangan nenek parah. Dia terkikik sendiri.“Kamu diam tangannya! Jangan dipegang tangan Nenek,” ujar nenek sambil tersenyum. Dia maklum jika Ardhia belum pernah diurut.“Geli Nek … geli, hihi hihihi,” kata ardia sambil cekikikan lagi. Dia merasa tidak tahan saat tangan neneknya Farah menjelajahi perutnya.“Tahan sedikit, kamu mau tahu nggak, hamil atau tidaknya?” tanya neneknya Farah. Tangannya tetap menelusuri perut Ardhia yang sudah licin berminyak. Tiba-tiba nenek itu terdiam saat merasakan sesuatu, ditekannya lagi berkali-kali untuk memastikan perasaannya.Farah tahu apa yang ditemukan neneknya itu, dia memandang tegang ke arah neneknya. Ardhia juga memandang ke wajah nenek dan Farah dengan bingung
Ardia dan Farah duduk menghadapi masing-masing semangkuk mie ayam. Ardhia menunduk setelah mendengar perkataan dokter tadi.“Negatif.”Kata-kata dokter tadi membuatnya sedikit kecewa. Sesungguhnya dia berharap keajaiban terjadi. Dia ingin hamil dan mengandung anak Yudha. Seandainya mereka pisah nanti ada kesibukan mengurus anak.“Baguslah kamu nggak hamil,” kata Farah. Dia melihat ke arah sahabatnya itu, hatinya ikut merasakan sakit mendengar penuturan Ardhia yang tidak diperbolehkan mertuanya untuk satu kamar dengan Yuda.“Eh buset, harusnya aku hamil ini,” tukas Ardhia sambil mengaduk-aduk mie.“Lho, gimana sih, tadi katanya masih perawan, hamil anak siapa jadinya?” Ardhia tertawa mendengar perkataan sahabatnya itu. Kelebihan Ardhia adalah, mampu menyembunyikan rasa sakit dalam senyuman.“Tapi kok aku seperti orang hamil, ya? Ini aja mual-mual tiap pagi. Sebenarnya aku punya rahasia, tapi ini cuma kamu dan aku saja ya.” Ardhia berbisik sambil memandang Farah.Terlihat keraguan dari
Esok harinya mereka pulang kembali ke Jakarta. Wina masih tetap ketakutan dengan boneka hantu tersebut, dirinya tetap mengira jika kamar Ardhia ada hantunya.“Pokoknya aku mau pulang hari ini,” kata Wina. Dia membereskan kopernya, tanpa jalan-jalan ke pantai ataupun belanja oleh-oleh. Pokoknya harus pulang hari ini, begitu pikirnya“Ya, udah Mama saja yang pulang. Aku masih seminggu di sini,” kata Ardhia dia tidak mau mengikuti kata mertuanya itu. “Salah sendiri ikut-ikutan bulan madu, pengantin juga bukan,” pikir Ardhia.“Ya udah, kalau kita mau pulang,” kata Seno. “Biarkan Yudha dan Ardhia tetap di sini.”“Tidak bisa … tidak bisa, Yudha harus pulang juga. Ardhia cepat bereskan bajumu!” suruh mertuanya itu.Ardhia memanyunkan bibirnya, dia kesal dengan campur tangan mertuanya itu. Urusannya apa dia ikut-ikutan ke Bali. “Huh ngapain, sih? Dia sekarang ngerecokin lagi. Sudah jauh-jauh malah ikut-ikutan datang ke sini. Bulan maduku jadi gagal,” gerutu Ardhia dalam hati. Kemarin digang
Ardhia yang tengah tertidur pulas terganggu dengan dinyalakannya lampu oleh Seno. Dia terkejut saat bapak mertuanya ada di kamarnya. Tidak sadar kapan masuknya. “Papa sedang apa?” tanya Ardhia. Gadis itu cepat bangkit dari tidurnya. Merasa curiga dengan mertuanya diam-diam dirinya memeriksa tubuhnya. Tidak ada yang mencurigakan.“Mamamu bilang ada boneka hantu di sini?” kata Seno. Terbungkuk-bungkuk lelaki itu mencari boneka yang dimaksud.“Mana ada boneka hantu … tidak ada,” kata Ardhia. “Ayo lihat, kita periksa bareng-bareng!” ajak Ardhia sambil berdiri. Wanita itu mengawasi sekitar, tidak terlihat ada yang aneh dan mencurigakan“Dasar mamakmu, ada-ada saja,” sahut Seno kesal. Lelaki itu juga mencari-cari tidak ada boneka apalagi boneka hantuTidak lama kemudian datang Yudha bersama Wina, rupanya pemuda itu terganggu tidurnya karena kegaduhan mereka.“Ada apa sih selalu ribut-ribut … dari tadi ribut sekarang ribut,” gerutu Yudha. “Mama kamu nih, selalu bikin onar, sekarang dia bi
Yudha datang sambil berkacak pinggang, dia melongo melihat orang tuanya datang. Tadi sempet juga ibunya menelpon tapi tidak digubrisnya dia sangat terpukul dengan kejadian semalam. Eh … rupanya tadi itu sudah di bandara.“Apa-apaan ini?” tanya Yuda. Dia tidak habis pikir mengapa mama dan papanya ada di sini. Mau apa mereka datang. “Mama jelaskan padaku!” suruh Yudha. Kepalanya semakin mumet rasanya. Nyut-nyutan seperti mau pecah.“Mama aja tidak mau terjadi apa-apa dengan Ardhia.” Wina memandang menantu gendutnya itu. Ardhia jadi salah tingkah, merasa jika mertuanya itu sebenarnya perhatian padanya.“Maksudnya apa?” tanya Ardhia. Rasanya dia sudah bisa mengurus dirinya sendiri. “Mama tidak usah terlalu khawatir.” Wina terlihat gugup mendengar pertanyaan ardia sementara Seno hanya melongo saja. Lelaki itu tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Biasanya juga orang bulan madu itu tidak membawa keluarga.“Mama, ayo ke kamar kita!” ajak Seno. Dia merasa istrinya itu sudah ngelantur. Bil
Ardhia terkekeh melihat Yudha meremas kepalanya. Lelaki itu merasa sangat bodoh dengan kejadian ini. Dia meyakini bahwa ini benar-benar terjadi.“Mengapa kamu tidak tidur di bawah semalam?” tanya Yudha dengan wajah keruh. “Itu … itu … darah per ….” Yudha tidak melanjutkan perkataannya. Dia maklum sendiri, apa yang sudah terjadi sesungguhnya. Sedikit kelegaan menjalar di hatinya. “Ternyata dia masih gadis tulen.”“Enak aja suruh tidur di bawah, kucing di rumahku aja tidur di kasur.” Ardhia menjawab tak kalah judes. Dia sudah menemukan jati dirinya. Tidak akan terima begitu saja direndahkan oleh Yudha. Wanita itu harus mengikuti permainan Yudha.Gadis itu tahu, suaminya itu takut dengan ayahnya alias mertuanya. Sedangkan Ardhia adalah menantu pilihannya. Jadi, dia kini tidak akan mengalah begitu saja. Sok aja kalau berani.“Lalu … semalam itu?” Yudha rupanya masih menyesali perbuatannya. Masih berharap dirinya hanya tidur tanpa grapa grepe ke istrinya. Namun, sulit dipercaya jika tidak
Ardhia tertawa puas sambil menutup mulut. Dia berjingkat-jingkat menuju kursi dekat meja rias. Ingin melihat siapa saja yang komen. “Hah, ibu mertuaku kasih emot melongo. Ckckck … di luar nurul.” Ardhia senang karena orang-orang yang dibidiknya sudah melihat siaran langsungnya. Cepat-cepat Ardhia menghapus postingannya tersebut.Ping ping ping ping.Terdengar tanda pesan masuk di HP Yudha. Entah berapa puluh kali, pasti itu dari Nissa. Puas rasanya Ardhia sudah melakukan sesuatu yang memaksa mereka untuk mengakuinya sebagai istri Yudha.“Kurus aku jika lama-lama makan hati.” Ardhia mengusap lehernya yang rata. Tidak ada tulang menonjol seperti model-model. Dia yakin jika ikut senam BL (Body Language) juga dirinya pasti langsing. “Hoam.” Terganggu dengan bunyi ponselnya, Yudha membuka matanya. Dia meraba-raba kasur mencari benda tersebut sambil menguap.Rupanya rasa kantuk yang luar biasa tidak membuat lelaki itu membuka ponselnya. Dia malah tertidur lagi dengan layar ponsel yang terb