Sejak sore sebenarnya Amara sudah dilanda kecemasan yang memberi efek mirip obat pencahar bagi perutnya. Dia tahu kalau kemampuannya menyesuaikan diri dengan orang-orang baru tergolong mengkhawatirkan. Amara takut dia akan membuat Ji Hwan merasa tidak nyaman saat diperkenalkan dengan keluarga cowok itu. Atau bahkan sampai malu. Amara bahkan sempat tergoda ingin membawa beberapa buah lolipop.
Seperti biasa, Sophie memilih menjadi penyelamat yang berusaha membuat Amara lebih percaya diri. Entah berapa banyak kalimat penyemangat yang diucapkan gadis itu sejak datang ke rumah Amara. Hingga Amara tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain menepati janjinya pada Ji Hwan.
“Masa-masa ngemut lolipop itu berlalu ribuan tahun silam, Mara. Anggap aja sebagai masa transisi dari Amara yang suka cemas jadi Amara yang berani. Percaya sama aku, semua bakalan baik-baik aja tanpa kendala berarti. Kalaupun ada sedikit masalah, ada aku yang bakalan selalu nemenin kamu.”
A
Sebagai tuan rumah, Ji Hwan dan ayahnya sudah menyediakan aneka makanan yang memanjakan lidah. Meski Amara dan Sophie mengaku sudah kekenyangan, tak membuat keduanya berhenti mengunyah. Apalagi saat disajikan aneka cake potong ukuran kecil yang baru datang belakangan. Amara bahkan ketagihan setelah mencoba sepotong cake cokelat berkaramel. Belum lagi aneka buah dan salad dalam beberapa mangkuk ukuran besar.“Kenapa tiap setengah jam ada makanan baru?” komentar Sophie sambil melahap cake vanila bertabur kacang mede.“Mungkin ini bagian dari menjamu tamu ala keluarga Ji Hwan,” sahut Amara asal-asalan. “Perutku beneran udah penuh tapi mulutku nggak bisa berhenti mengunyah.”“Sama,” komentar Sophie dengan mulut penuh.Perhatian Amara teralihkan karena Ji Hwan mendatangi mereka dengan sebuah piring berisi jagung dan sosis panggang. Ronan menggantikan cowok itu mengurusi barbeque
“Serius? Kalau kamu beneran tertarik, ntar kita praktik di sini atau di mana pun kamu mau, Soph,” respons Ji Hwan, ikut antusias. Amara mendadak merasa tidak nyaman. Wajahnya berubah muram hanya dalam waktu sepersekian detik.“Kenapa kamu kok malah cemberut, Heartling?” tanya Ji Hwan dengan suara lembut. Saat itu Sophie kembali beranjak dari kursinya untuk mengambil camilan lagi.“Aku tau kamu bakalan ngomong apa. Tapi kadang aku tetap merasa agak terganggu karena nggak punya kemampuan oke urusan dapur. Aku nggak kayak Sophie. Dia jago masak. Kadang aku....”Ji Hwan tidak memberi kesempatan kepada Amara untuk menggenapi kalimatnya. “Oke, Sophie jago masak. Trus, apa masalahnya? Tiap orang punya kelebihan masing-masing. Juga kekurangan. Kamu itu udah sempurna, Mara. Kamu sempurna karena punya kekurangan.”Amara terhibur dengan cara Ji Hwan membangkitkan semangatnya. Senyumnya merekah kemudian, mengusir rasa t
“Nanti, kita bisa ngeliat kembang api dengan leluasa dari halaman belakang. Ada semacam gazebo yang cukup tinggi di sana. Papaku suka duduk di sana saat sore atau malam hari,” beri tahu Ji Hwan. Cowok itu bangkit dari kursinya. “Aku masih harus ngurusin daging panggang dan sebagainya sampai setengah jam ke depan. Kalau kamu pengin sesuatu, ngomong aja ya, Heartling.”“Oke,” jawab Amara sembari menahan jengah. Diam-diam dia berdoa semoga tak ada sepupu Ji Hwan yang mendengar panggilan sayang dari cowok itu untuknya. Gadis itu merasakan senggolan di lengan kiri setelah Ji Hwan menjauh.“Gimana rasanya, Mara?” tanya Sophie tanpa menjelaskan lebih lanjut.“Gimana apanya?” Amara menaikkan alis sambil menatap sahabatnya.“Gimana rasanya bolak-balik merasa jengah karena dirayu Ji Hwan? Mukamu dari tadi berubah warna melulu. Sebentar merah sebentar normal,” komentar Sophie dengan nada santai.
“Kamu kedinginan, ya? Kenapa tadi nggak bawa jaket?” tanya Ji Hwan penuh perhatian. “Atau, mau kupinjemin jaket bersih?”Amara menggeleng seraya melihat sekilas ke arah kemeja sweter tipis dengan lengan panjang yang membungkus tubuhnya. “Aku nggak kedinginan dan bajuku udah memadai.” Amara agak mendongak ke kiri, mengalihkan tatapannya ke arah Ji Hwan. “Aku cuma penasaran. Apa kamu punya obsesi sama rambutku, ya?” kelakarnya.Cowok itu menyipitkan mata sekilas sebelum menjawab dengan suara rendah agar cuma Amara yang mendengarnya. “Ya, tentu aja. Bukan cuma sama rambutmu, sih. Tapi sama cewek yang namanya Amara Izabel. Satu paket lengkap.”Amara tersenyum simpul. “Eh, iya, baru ingat. Kamu nggak ngomong hal-hal aneh tentang kita sama papa dan keluarga besarmu, kan?” Itu pertanyaan yang sudah mengendap sejak Amara baru menginjakkan kaki di rumah bergaya kolonial tersebut.“Hal an
Sophie dan Ronan sedang mengobrol dengan beberapa orang sepupu Ji Hwan, tepat di sebelah alat pemanggang. Amara tak ingin mengganggu sahabatnya. Karena itu, dia langsung melewati pintu yang sudah dibukakan oleh Ji Hwan.Setelah melewati ambang pintu, Amara langsung berhadapan dengan ruang makan yang didominasi warna dawn glow. Ji Hwan menunjuk salah satu pintu yang tertutup dengan tangan kanannya yang bebas.“Heartling, kamar mandinya yang itu. Aku tunggu di sini, ya?”Amara mengangguk. Dia melangkah ke arah pintu kamar mandi. Di belakangnya, Amara mendengar ponsel Ji Hwan berbunyi. Lelaki itu bicara di gawainya selama beberapa saat.“Heartling, kalau kamu udah kelar dari kamar mandi, langsung keluar lagi aja, ya? Aku mau ke halaman samping sebentar. Ini ada yang datang nganterin makanan dari mamaku.”“Oke,” sahut Amara sebelum menutup pintu kamar mandir yang ternyata cukup luas itu. Gadis itu bertahan d
Ji Hwan menatap Amara dengan perasaan bingung. Kening cowok itu berkerut. Bukan pertanyaan Amara yang mengusiknya. Melainkan karena sikap gadis itu yang tak biasa. Dia bisa memindai wajah gadisnya yang memucat meski Amara tak memandang ke arahnya. Rasa tidak nyaman dalam sekedip pun bersarang di dadanya. Namun dia harus menjawab pertanyaan Amara lebih dahulu sebelum mencari tahu perubahan sikap Amara yang begitu jelas.“Kamu kenal Cello?” tanyanya. “Aku nggak tau kalau kamu kenal dia. Maaf ya, harusnya tadi kalian kukenalin. Cello tadi datang untuk nganterin makanan dari Mama. Padahal aku udah bilang sama Mama, nggak perlu repot-repot karena di sini udah banyak makanan. Tapi Mama udah pesan dan kurirnya salah antar. Bukannya diantar ke sini, malah dikirim ke alamat pemesan. Alhasil, Cello terpaksa nganterin ke sini walau udah tengah malam gini.”Ji Hwan menatap ke depan, ke arah kembang api yang sedang menghiasi langit. Jika mereka naik ke gazeb
“Heartling, ada apa? Kalian mau ke mana? Jangan pulang dulu, kira harus ngobrol,” katanya tanpa basa-basi. “Apa kamu kenal Cello?”Sophie yang lebih dulu berhenti dan memandang Ji Hwan dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. Amara masih berusaha terus melangkah dan melepaskan tangannya dari genggaman Ji Hwan. Akan tetapi, kemudian Sophie turut menahan tangan kanannya yang bebas. Sehingga Amara tak memiliki pilihan lain kecuali berhenti melangkah.“Kamu harus ngasih tau Ji Hwan, Mara. Jangan langsung pergi aja,” kata Sophie pelan.“Ada apa sih sebenarnya? Kenapa kalian mau buru-buru pergi? Kalian mau ke mana? Ini bahkan baru lewat tengah malam.” Ji Hwan berusaha keras menekan dalam-dalam rasa panik yang mulai menyedotnya. “Aku akan nganterin kalian. Jangan cuma pergi berdua.”Ketika Amara membalikkan tubuh, Ji Hwan terkelu karena melihat pipi gadis itu kembali dipenuhi air mata. Dia mendekat
“Kamu nggak tau sama sekali apa yang dilakuin Cello? Kamu nggak dengar beritanya dari mamamu? Kamu nggak tau kenapa dia sampai pindah ke Austalia?” Amara balik bertanya dengan nada dingin yang tak pernah didengar Ji Hwan sebelumnya. Bahkan saat Amara bersikap judes padanya, nada gadis itu tak seperti sekarang.Pertanyaan Amara itu membuat Ji Hwan makin yakin apa yang akan didengarnya dari Amara. Dia benar-benar tak pernah membayangkan dirinya dan Amara akan melewati ini semua. Namun dia tetap bersuara, menghalau rasa takut yang melemaskan tulang-tulang cowok itu. “Aku beneran nggak tau apa pun. Mama nggak pernah bilang apa-apa terkait Cello. Kayak kubilang tadi, aku nggak dekat sama Cello dan jarang banget ketemu dia. ”Amara bersuara dengan kebencian yang terpentang jelas di wajahnya dan membuat tengkuk Ji Hwan terasa dingin. “Kalau gitu, biar aku yang ngasih tau sama kamu. Cello, adik tirimu yang hebat itu, adalah orang yang udah memerko
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih