“Iya, sih. Cuma, lama-lama aku merasa dia nggak suka sama aku, Nef. Padahal aku udah usaha nunjukin perhatian,” gumam Joyce dengan nada lirih.
“Nggak juga. Kalau dia nggak suka, aku yakin Marco nggak bakalan mau capek-capek berbasa-basi,” balasku. Saat itu, aku terkenang lagi pertemuan pertamaku dengan Marco.
“Mudah-mudahan aja kamu benar.” Joyce mendesah. “Karena aku hampir merasa ini semua sia-sia. Percuma nunjukin perhatian, Marco kayaknya nggak peduli. Dia baik, sih. Sopan. Tapi ya cuma sebatas itu doang.”
Aku tidak benar-benar paham perasaan Joyce karena Marco tidak merespons seperti keinginannya. Maklum, aku belum pernah terlibat dalam untuk urusan asmara. Aku pernah lumayan dekat dengan lawan jenis sebanyak dua kali. Yang pertama saat masih SMA. Kali kedua ketika aku duduk di semester dua. Namun, semua tidak sampai tahap pacaran. Perasaan sukaku telanjur lenyap dalam waktu singkat.
“Joyce, aku d
Jika berkaitan dengan Marco, hubunganku dengannya mungkin pantas diberi label “siapa sangka”. Itu karena ada terlalu banyak kejutan yang tak terduga. Diawali perseteruan yang membuatku masih mual jika mengingatnnya. Detik ini, kami malah bisa disebut berteman. Walau tidak benar-benar akrab.“Cliff bilang, kamu sengaja pindah jurusan supaya bisa total bantu Puan Derana?” Pertanyaan itu sudah lama bergema di kepalaku tapi baru kali ini ada kesempatan untuk bertanya langsung kepada Marco. Cowok itu tampak kaget. Tidak mencolok, sih. Hanya ditandai dengan pupil mata yang melebar.“Nggg ... begitulah kira-kira. Aku nggak nyangka kalau Cliff ngomong soal itu sama kamu.” Marco tersenyum tipis. “Nggak banyak yang tau detail soal ini. Cuma teman-teman dekat doang sama keluarga.”“Itu hal yang menurutku hebat, lho,” pujiku. Ya, pindah jurusan kuliah supaya bisa maksimal membantu orang lain, bukan alasan sepele, k
Sarannya kurespons dengan tawa kecil. “Nggak perlu. Tenang aja, kamu udah kumaafin. Dan aku sekarang tau alasanmu suka sama Thea. Oke, bisa diterima. Berhubung aku juga pernah kena tipu sama orang yang sama. Saat dia pengin, Thea bisa berubah jadi cewek manis yang menyenangkan.”Marco mengibaskan tangan kanannya. “Udah ya, ini terakhir kali kita bahas masalah itu. Aku beneran malu, tau. Setelah ini, nggak usah ngomongin soal Thea lagi.”Obrolan kami diinterupsi oleh Levi. “Nef, kamu beneran mau nginep di sini?” tanyanya. Cowok itu baru saja menuntaskan perbincangan di telepon dengan orangtuanya. Levi meletakkan gawainya di meja tinggi yang berada di sebelah kanan ranjang. “Nggak apa-apa? Padahal, udah ada Marco. Aku bakalan aman. Nggak ada bahaya sama sekali,” selorohnya.Aku menggeleng. Tawa kecilku pecah karena kata-kata Levi. “Aku tadi udah nelepon ke Rumah Borju. Minta izin sama ibu kos. Kan nggak ada sal
Aku benar-benar tertidur sambil duduk. Tadinya, Marco mempersilakanku terlelap di sofa bed. Namun, tentu saja kutolak usulnya mentah-mentah. Mustahil aku bisa leluasa membaringkan tubuh di ruang rawat inap itu dengan Marco ada di tempat yang sama dan takkan bisa tidur dengan nyaman. Karena aku perempuan, bukan berarti harus diutamakan.Esok paginya, aku pamit lebih dulu sekitar pukul tujuh pagi. Tepatnya setelah Yuma dan Cliff datang. Hari ini, aku tidak ada kelas. Namun, tadi malam Nike menelepon. Kakakku akan datang hari ini tanpa menyebut jam pastinya. Ini salah satu kebiasaan Nike yang kubenci. Dia terobsesi memberi kejutan pada semua orang. Padahal, aku tak menyukai hal semacam itu.“Yuma, aku udah tau rahasia gelapmu,” godaku setelah berpamitan dengan semua orang. Ekspresi bingung Yuma membuatku tertawa.“Rahasia apa, Nef? Jangan ditelan mentah-mentah semua omongan Levi.”“Kok langsung nuduh Levi, sih? Bisa aja
Setelah membuang waktu lumayan lama untuk mengenang masa lampau, kuputuskan untuk melanjutkan rencana untuk mematangkan rencana skripsi. Akhirnya, setelah memperimbangkan dengan serius, aku membuat keputusan dan mulai membuat coret-coretan daftar isi. Aku baru mencapai bab dua saat pintu kamarku diketuk.Bermalas-malasan, aku akhirnya bangkit dari ranjang. Mengira akan berhadapan dengan salah satu teman indekos atau pengurus Rumah Borju, aku ternganga karena justru berhadapan dengan kakak dan ... mamaku!“Mama kangen sama kamu, Nef.” Kalimat pembuka itu diikuti dengan pelukan kencang. Aku tidak memiliki waktu untuk bereaksi. Di belakang Mama, Nike tampak geli melihat responsku.“Ma, meluknya jangan terlalu kencang. Aku sesak napas,” kataku nyaris berbisik.“Maaf. Mama cuma kangen sama kamu, nggak bermaksud bikin sesak napas.” Mama melepaskan dekapannya. Perempuan itu sempat menangkup kedua pipiku, lalu mundur dua langka
Kekhawatiranku ternyata tidak berlebihan. Ada masalah yang membuat Mama sampai pulang ke Indonesia. Meski aku keliru tentang satu hal. Bahwa rumah tangga Mama dan Uncle Eddie baik-baik saja, tidak ada persoalan yang perlu dicemaskan. Yang membuat ibuku datang ke kampung halamannya adalah hal lain. Mama ingin membujukku agar pindah ke Perth setelah selesai kuliah!Mama tidak langsung membahas masalah itu setelah kami meninggalkan Rumah Borju. Melainkan saat kami bertiga makan malam. Jadi, Mama sengaja membiarkan acara makan siang dan belanja berlalu dengan tenang hingga aku mengira tidak ada sesuatu yang akan dibahas dengan serius.Ya, Mama dan Nike memang suka berbelanja. Karena di sini tidak banyak pilihan menarik, aku pun mengajak mereka ke butik tempat Lita bekerja. Koleksi butik itu memang eksklusif dan sudah pasti bagus. Temanku itu pun sibuk meladeni kakak dan ibuku memilih barang-barang yang mereka sukai sementara aku membaca novel di sebuah aplikasi daring.
Mama tersenyum. “Pikirin lagi ya, Nef,” ulangnya. “Mama pengin kita bisa ngumpul lagi. Walau mungkin nggak bisa bareng bertiga karena Nike punya kerjaan di sini.”Aku ingin memprotes bahwa itu tindakan pilih kasih. Kenapa Mama mempertimbangkan serius masalah pekerjaan kakakku tapi bersikap sebaliknya denganku? Namun, senggolan lengan Nike membuatku menahan diri. Mama takkan bisa memaksaku. Aku berhak mewujudkan cita-citaku sendiri, kan?Situasi menjadi lebih santai ketika Nike mulai membicarakan tentang pekerjaannya sebagai pramugari. Aku lebih banyak menjadi pendengar. Mama juga bercerita tentang suami tercintanya yang memang selalu bersikap baik.Aku tak ingin mengingat Papa di saat seperti ini. Akan tetapi, justru itu yang terjadi. Entah sudah berapa lama kami tak bertemu. Aku tidak tahu dengan keluarga lain yang mengalami perceraian, tapi yang kualami cukup menyedihkan. Perceraian orangtuaku juga memisahkanku dengan Papa. Itu hal yang
Meski komentar Mama itu sebenarnya lucu, aku tak sanggup tertawa. “Nggak ada apa-apa, Ma. Aku tau tempat itu karena yang namanya Marco itu temen kuliahku. Aku pernah sekali ke tempat penampungan bareng yang lain,” kataku dengan pikiran melayang-layang.“Aku belum pernah ngeliat kondisi tempat itu, sih. Cuma tau dari cerita Tante Danty doang,” sahut Nike.“Kakak sering ketemu sama yang namanya Tante Danty itu?” tanyaku ingin tahu.“Nggak bisa disebut sering, sih. Cuma kalau lagi di sini, kami ketemuan walau cuma ngobrol sebentar. Karena kan memang udah kenal lama, dulu pun aku sering main ke rumah Winda. Makanya lumayan tau soal Puan Derana itu.” Nike menghela napas. “Namanya unik, ya? Makanya mudah nempel di kepala.”“Kenapa orangtua temenmu itu malah bercerai setelah anaknya meninggal, Ke?” sela Mama.“Aku pun nggak tau, Ma. Tapi kalau dari cerita Tante Danty, kayaknya k
Sebenarnya, aku ingin bertanya pada Levi tentang kakak Marco. Namun aku masih menimbang-nimbang. Hingga ucapan Levi membuat perhatiannya teralihkan.“Aku sih tadinya oke-oke aja pas Cliff mau nyomblangin Marco dan Joyce. Tapi lama-lama malah jadi kasian sama Joyce karena Marco nggak ada respons gitu. Aku udah ngomong sama Cliff, nggak usah ngajak Joyce lagi ketemu Marco. Takut anak orang patah hati,” ujar Levi dengan nada serius. “Kayaknya, sekarang ini Marco balik lagi fokus sama Puan Derana. Nggak mikirin cinta-cintan. Eh iya, sama kuliah juga. Karena dia udah ketinggalan empat semester dibanding yang lain. Marco kan udah tua dibanding temen-temen seangkatannya.”Tawaku pecah mendengar gurauan Levi. Cowok itu pun ikut tergelak. Aku teringat diri sendiri yang sempat menganggur setahun. Kadang, ada penyesalan karena sudah membuang waktu. Di sisi lain, aku tahu tak ada gunanya meratapi yang sudah terjadi. Namun kemudian aku mengingatkan diri send
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih