Aku tertawa kecil sembari menggeleng. Tangan kananku melemparkan dadu lagi. Aku harus maju dua langkah. Sejak tadi, Sonya sudah menang berkali-kali dariku.
"Papaku tinggal di sini juga, tapi udah nikah lagi."
“Kenapa nikah lagi? Mamamu pasti sedih,” kata Sonya.
“Hmm, kurasa juga begitu. Tapi, Mama dan Papa berpisah waktu aku masih SD. Mereka terlalu sering berantem dan merasa bahwa bercerai adalah solusinya,” ucapku. Sesaat kemudian aku melongo sendiri. Kenapa aku harus menceritakan problem orangtuaku pada gadis ini meski dengan bahasa sederhana?
"Kalian sering ketemu? Kamu dan papamu?" tanya Sonya lagi.
"Jarang. Aku malah udah lama nggak ketemu Papa. Paling-paling kami cuma ngobrol di telepon," ungkapku. Tangan kiriku menyibakkan poni yang menghalangi pandangan.
"Kamu benar-benar kasian lho, Nefertiti. Punya papa tapi jarang ketemu,” ucap Sonya, terdengar prihatin. “Kalau aku, memang nggak mungkin bisa ke
Kami berangkat ke rumah sakit dengan ambulans milik Puan Derana. Marco dengan cekatan membawa serta satu tas besar berisi keperluan Sonya dan bayinya. Tak cuma aku, Marco, dan Sonya yang menuju rumah sakit, melainkan juga Tante Danty dan relawan bernama Sissy. Ibunda Marco tiba di rumah penampungan setelah ditelepon putranya, masih mengenakan seragam karena memang belum jam pulang kantor.Aku baru tahu bahwa proses melahirkan bisa memakan waktu berjam-jam. Sungguh tersiksa melihat Sonya kesakitan sambil menggenggam tanganku, mengaduh-aduh berjuta kali tapi aku tak bisa melakukan apa pun untuk meringankan penderitaannya. Menurut dokter kandungan, Sonya belum akan bersalin sampai dini hari. Karena pembukaannya belum lengkap. Apa pun maksudnya, aku tak benar-benar paham.Aku cuma berada di ruang bersalin kurang dari satu jam. Tante Danty memintaku menunggu di luar saja bersama Marco. Awalnya, Sonya tak memberi izin. Dia malah makin kencang memegang tanganku. Namun ibunda
Aku memikirkan ucapan Marco. Itu memang pilihan yang masuk akal. Karena kondisi mental Sonya belum stabil. Aku tak berani membayangkan apa saja yang sudah dilalui gadis muda itu hingga nekat kabur dari rumah dan mengemis. Entah sudah berapa lama pula dia berada di jalanan. Apakah selama berkeliaran menjadi gelandangan, tak ada anggota keluarganya yang pernah bertemu dengan gadis itu? Padahal, lokasi tempat Sonya pertama kali ditemukan, pasti tak terlalu jauh dari toko perhiasan milik keluarganya. Pertanyaan-pertanyaan itu jungkir balik di kepalaku hingga membuat pusing.Di saat yang sama, aku teringat alasan Tante Danty membangun Puan Derana. Hingga detik ini, aku belum pernah membahas tentang hubungan Nike dengan kakak kandung Marco. Apakah ini saat yang tepat untuk menyinggung topik itu?"Lapar nggak, Nef? Kita kan belum makan." Marco menunjuk arlojinya. "Ini udah hampir setengah delapan."Aku menimbang-nimbang selama lima detak jantung. "Lapar, sih. Tapi aku
"Aku ikut berduka ya, Co." Cuma kalimat itu yang mampu kulisankan. Aku tak memiliki stok kata-kata penghiburan untuk cowok itu. Membayangkan tragedi yang harus dilalui oleh keluarga Marco, aku benar-benar merasa ikut remuk."Makasih, Nef,” sahut cowok itu.Jari-jariku saling meremas. "Pelakunya ditangkap polisi, Co?" tanyaku hati-hati."Nggak. Mama sempat mau lapor polisi, tapi akhirnya batal. Karena kondisi kakakku nggak memungkinkan untuk ngasih keterangan ke pihak yang berwajib. Selain itu, Mama baru tau kalau terjadi perkosaan setelah lewat beberapa minggu. Nggak ada bukti fisik, mau visum pun udah sangat terlambat. Si cowok itu ngakunya mereka melakukan hubungan atas dasar suka sama suka. Nggak ada paksaan."Aku membuat gambaran situasi kala itu di kepalaku. Pernyataan yang saling bertolak belakang antara si korban dan pelaku, ketiadaan bukti, hingga kondisi mental kakak Marco yang sedang terpuruk. Semua tumpang tindih dan tak bisa menjad
Aku senang karena Marco tidak mengajukan pertanyaan. Cowok itu bergumam, "Kita satu tim ya, Nef. Produk keluargabroken home. Perceraian nggak seharusnya terjadi karena yang kena imbasnya kita-kita ini. Tapi, nggak bisa maksa juga supaya orangtua kita tetap bareng. Bagaimana kalau itu bikin mereka makin menderita? Jadi, anak-anak kuat kayak kita ini yang dipilih Tuhan jadi 'korban'. Berarti, kita memang istimewa." Marco membuat tanda petik di udara. "Aku nganggap itu sebagai sanjungan."Kalimat terakhir Marco membuatku tersenyum. "Aku suka caramu memandang perceraian orangtua kita sebagai sisi positif," balasku."Harus gitu, Nef. Karena kalau fokus sama hal-hal yang bikin manusia menderita, rasanya nggak ada gunanya terus hidup."Aku tak terlalu paham makna kata-kata cowok itu. "Maksudmu?"Marco menunda memberi jawaban karena harus menjawab telepon. Dari potongan obrolan yang kudengar, si penelepon adalah ayah cowok itu. Sebelum
Aku bersiap pulang ke Rumah Borju sekitar pukul delapan. Marco berniat mengantarku tapi tentu saja kutolak. Cowok itu nyaris tak tidur semalaman, sama sepertiku. Selain itu, Marco juga sudah sibuk ini-itu begitu hari terang. Karena mamanya harus bekerja seperti biasa. Jadi, Marco yang menggantikan Tante Danty mengurus Sonya. Bersama Sissy, tentunya.“Kamu harus tidur setelah nyampe di kosan ya, Nef,” Marco mewanti-wanti sebelum aku meninggalkan Kasih Ibu. “Jangan ke mana-mana dulu.”“Oke,” balasku sembari menguap.Marco tertawa kecil. “Lain kali, jangan ikutan melek semalaman kalau ada yang mau lahiran, ya? Nggak ada enaknya, kan? Walau nanti setelah dari sini kamu bisa tidur lama, tetap nggak bisa ‘membayar utang’ karena hari ini sama sekali nggak merem.”Mataku berair. Aku memang butuh tidur karena tak terbiasa terjaga nyaris semalaman. Namun, aku tak sepenuhnya setuju dengan ucapan Marco. &ldq
“Kamu kenapa? Mau ke rumah sakit?”“Tasku dijambret,” kataku dengan suara gemetar. Pengalaman tadi benar-benar membuatku ketakutan.“Kamu ... Nefertiti Kamelia, kan?” tanya cowok itu. “Lupa sama saya?”Aku mengerutkan glabela. Kurasa, ini bukan saat yang tepat untuk mengingat siapa cowok ini. Pipi, lutut, dan sikuku terlalu sakit dan membuat konsentrasiku terpecah. Perlahan, aku berusaha bangun dari trotoar. Tubuhku sudah basah kuyup.“Maaf, saya beneran nggak ingat,” kataku. Cowok itu membantuku menegakkan tubuh.“Saya pernah jadi asisten dosen Pak Anwar Daulay, untuk mata kuliah Statistika Ekonomi dan Bisnis. Tapi sekarang nggak lagi.”Ingatanku pun tiba-tiba menjadi terang-benderang. “Bang Redho?” Pupil mataku membulat. Cowok itu mengangguk.“Mau ke rumah sakit, Nef? Atau ke kantor polisi? Biar saya antar.”Aku menggeleng. “
Setelah masuk ke kamar, aku buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celana. Kemudian, aku pun menelepon pihak customer service dari bank tempatku menabung. Pakaianku memang basah kuyup tapi untungnya ponselku terlindungi dan tidak sampai rusak.Setelah melaporkan kehilangan ATM dan meminta rekening diblokir, barulah aku menuju kamar mandi. Pipi dan sikuku terasa perih saat terkena air. Begitu selesai mandi, aku mengobati siku yang luka dan baret di pipiku. Lututku aman meski masih menyisakan nyeri. Pipiku pun berdenyut. Hingga kuputuskan untuk meminum obat pereda nyeri.Saat berbaring di ranjang, aku menyadari bahwa kantukku lenyap entah ke mana. Denyut di pipi dan lututku mulai berkurang. Begitu juga dengan sikuku. Mungkin pengalaman sebagai korban penjambretan tadi sudah membunuh keinginanku untuk tidur. Tiap kali mengingat bahwa sudah menjadi korban kejahatan, aku marah sekali. Aku benar-benar membenci ketidakberdayaan. Mau tak mau, pikiranku terbang pada p
Semua benda yang kubeli, dibungkus dengan cantik. Jadi, total ada empat buah kotak berisi hadiah dariku. Setelah itu, aku kembali ke tempat indekos. Besok, aku akan mengunjungi Sonya lagi. Aku berharap, kondisi gadis itu baik-baik saja dan segera diizinkan dokter meninggalkan rumah sakit.“Ya Tuhan, semoga Sonya baik-baik aja. Kuharap, kehadiran bayinya membawa serta hal-hal positif dalam hidup Sonya,” doaku sungguh-sungguh.Malam itu, aku tidur dengan rasa nyeri masih mengusik siku, lutut, dan pipi kananku. Satu kebodohan tambahan yang kusesali saat bangun keesokan paginya, aku tak terpikir untuk mengompres pipiku. Aku juga tidak mengecek area yang terluka dengan detail. Alhasil, aku mendapati pipiku membengkak dan membuat wajahku tampak aneh.Sebelum meninggalkan Rumah Borju, aku menelepon Marco. Kali ini, cowok itu menjawab panggilanku. Marco mengabari bahwa Sonya sudah pulang ke Puan Derana sejak tadi malam. Dokter menilai kondisi ibu dan bayinya
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih