Kalimat bernada simpati itu membuatku tergelak. Aura ada benarnya. Julie dan Thea adalah mahasiswa yang menuntut ilmu di fakultas hukum. Akan tetapi, perilaku mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa keduanya taat pada aturan yang berlaku. Minimal norma di masyarakat awam. Sejak kapan merisak seseorang menjadi kebiasaan yang berlaku umum?
“Sebenarnya, apa sih yang terjadi di Hotel Rubidium kemarin itu? Aku nggak percaya sama gosip. Aku pengin dengar sendiri dari kamu,” cetus Sarah dengan suara rendah.
“Ah, males ngomongin soal itu. Udah lewat,” elakku. Tidak ada jaminan bahwa aku akan mendapat keuntungan karena menceritakan apa yang terjadi menurut versiku. “Aku malah pengin lupa. Karena cuma bikin mangkel aja. Lagian, apa kalian nggak ngeliat video-videonya? Kemarin itu, aku udah minta sama semua yang menonton kami, supaya merekam drama yang kubuat. Supaya bisa keliatan kronologisnya,” candaku.
“Aku sempat nonton sih,
Aku mengernyit. Jujur saja, aku keheranan karena Levi berniat mengekoriku ke Rumah Borju. “Kamu nggak punya maksud terselubung, kan? Bukan pura-pura baik tapi ujung-ujungnya malah ngerjain aku?” tanyaku terus terang. Kalimatku malah memicu tawa geli Levi.“Wahai Nefertiti yang kata Cliff pernah jadi nama permaisuri salah satu Firaun, aku bukan Thea. Aku nggak punya niat jahat,” akunya setelah tawa cowok itu reda. “Nggak semua orang itu punya niat jahat atau cuma pura-pura baik doang. Jangan semua orang dipukul rata.”Aku tidak langsung percaya. Pengalaman pahit baru saja kualami beberapa hari silam. “Maaf ya, levi. Aku kan nggak betul-betul kenal sama kamu. Wajar kalau agak curiga, kan?”“Wajar, sih,” Levi setuju. Kepalanya terangguk. “Apalagi kemarin itu pengalaman yang nggak dialami oleh semua orang. Super drama dan bikin ngeri juga.”Aku menatap Levi sungguh-sungguh sembari mengaba
“Ya ampun, ketawanya masih lanjut aja. Tiba-tiba aku ngerasa jadi pelawak,” ucap Levi setelah gelakku tak juga berhenti. Kami sudah tiba di depan tempat indekosku.Aku mendorong pagar dengan sisa senyum masih merekah di bibir. Setelah menepi agar Levi bisa lewat, aku juga menyapa satpam yang berjaga. “Pak, ini teman sekampus saya. Katanya bukan penjahat dan nggak pernah melanggar hukum,” gurauku.Levi memelototiku tapi mengangguk sopan pada satpam yang bertugas. Aku tertawa geli melihat ekspresi cowok itu. Ntah kenapa, aku pun tertulari keisengannya barusan.“Kamu duduk di sini dulu, ya?” Aku menunjuk bangku beton yang berjarak beberapa langkah dari pos satpam. “Aku ambil jaketnya dulu, ada di kamar. Sebentar, kok.”“Oke. Eh, aku boleh minta minum, nggak? Air putih aja. Haus, nih!” Levi menunjuk ke arah lehernya. “Yang dingin, kalau ada.”Aku hanya mengangguk sebelum berlalu me
Aku tahu bahwa perundungan itu memang nyata. Banyak yang mengalaminya di dunia ini. Korbannya tak pandang bulu, semua orang bisa menjadi sasaran. Mulai dari jenis yang ringan hingga berat. Efeknya pun beraneka karena tak semua orang memiliki daya tahan yang sama. Ada yang bisa menghadapi penindasan dengan baik. Ada pula yang sampai mengalami depresi atau berujung dengan bunuh diri.Mengerikan, tapi memang itu yang banyak terjadi, kan? Selalu ada orang yang sangat suka menyiksa manusia lain. Mungkinkah mereka ini memiliki masalah mental atau problem lain? Mengapa bisa begitu senang jika membuat orang lain merana? Seakan penderita para korbannya menjadi energi tambahan yang menceriakan dunia para perisak.“Penampilanmu norak, tau! Kenapa sih kamu bisa tinggal di sini? Memangnya kamu sanggup bayar biaya kos di sini?” Itu contoh kalimat jahat yang pernah dilemparkan padaku oleh Thea. Kala itu, aku baru pindah selama beberapa hari di Rumah Borju.“S
Jaket itu kembali tertinggal. Setelah salat Zuhur yang kulakukan dengan lumayan cepat, mengganti sandal, dan memasukkan dompet serta ponsel ke dalam tas selempang, aku buru-buru menghampiri Levi. Cowok itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu pagar. Aku mengikuti tanpa mengingat kantong plastik berisi jaket yang masih tergeletak di atas meja.Seperti yang dijanjikan Levi, cowok-cowok yang tergabung di tim basket memang menjadi objek pemandangan yang menarik. Selain tinggi mereka minimal 170 sentimeter, umumnya memang memiliki tampang yang enak dilihat. Yuma langsung mengajakku mengobrol dengan gayanya yang cuek tapi ternyata ramah. Cliff lebih banyak disibukkan oleh ponselnya. Entah berapa kali cowok itu bicara di gawainya atau sekadar mengetikkan sesuatu.“Kami rutin latihan seminggu dua kali, Rabu dan Sabtu. Anak-anak jarang pulang ke rumah karena waktunya mepet. Jadi, udah pasti bawa baju ganti,” urai Levi.Seperti kata Levi, m
Seperti hari Sabtu yang lain, tidak ada aktivitas istimewa yang kulewatkan secara khusus. Setelah berpisah dengan Yuma, Levi, dan si Suami Siaga yang membuatku makin kesal saat memikirkannya, aku kembali ke Rumah Borju. Aku langsung mandi begitu tiba di kamar karena tidak betah dengan tubuh yang terasa lengket.Dulu, Mama selalu bercerita tentang kota Pematangsiantar yang berhawa sejuk. Saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Paduan dari pemanasan global, jumlah penduduk yang terus meningkat, serta polusi yang kian tinggi, membuat kotaku kian panas saja. Jika tak ada kegiatan yang mengharuskanku keluar rumah, aku lebih suka berada di kamar yang nyaman.“Kamu kok bisa betah di kamar sih, Nef? Keluar paling-paling cuma untuk ke kampus atau ke toko loak,” komentar salah satu temanku di tempat indekos lama.“Mau bagaimana lagi? Kamarku istanaku,” candaku. “Lagian, aku nggak suka keluyuran tanpa tujuan. Kalau keluar kamar, harus udah ta
Aku memandang Marco sekilas, tidak yakin dengan kata-kata Levi. Di saat yang sama, Marco juga sedang balas menatapku. Wajah cowok itu tampak memerah, tapi Marco tidak bicara apa-apa. Levi malah menyikut sahabatnya.“Aku minta maaf untuk kejadian minggu lalu,” ucap Marco dengan suara datar. “Hmmm ... aku keterlaluan.”Aku tidak yakin bagaimana cara Levi membuat Marco bersedia datang ke Rumah Borju dan meminta maaf. Aku pun akhirnya duduk di depan kedua tamuku. Saat ini, aku tidak memiliki opsi lain kecuali menjawab permintaan maaf itu dengan kalimat yang baik. Sekeras-kerasnya seorang Nefertiti Kamelia, jika ada yang meminta maaf, hatiku akan lumer dengan mudah. Lagi pula, bukankah seharusnya memang seperti itu?“Aku juga minta maaf,” balasku pelan. Kecanggungan membuatku duduk dengan perasaan tak nyaman. Akan tetapi, aku tetap harus mengapresiasi Marco karena bersedia minta maaf, kan? Terlepas apakah cowok itu melakukannya den
Tolong, jangan sampai mengikuti jejakku. Aku adalah contoh nyata bahwa jangan mudah menarik kesimpulan begitu saja tanpa mencari tahu detailnya. Karena bisa saja akan berakhir dengan rasa malu yang membuatmu ingin menghilang selamanya dan pindah ke Planet Namek.Niatku sungguh mulia, berawal dari rasa solidaritas pada istri yang diselingkuhi Marco. Namun aku malah mempermalukan diri sendiri. Apakah usia muda membuat seseorang terlalu gampang mengambil kesimpulan? Entahlah. Tanyakan padaku lima belas atau dua puluh tahun lagi. Mungkin aku bisa memberikan jawaban yang lebih memuaskan.Setelah Marco bergabung dengan teman-temannya dan mendengar Levi mengulangi percakapan kami, cowok itu tersenyum. Hei, ada lesung pipitnya! Ini tergolong kejutan buatku karena tak pernah tahu jika cowok yang lebih sering merengut itu ternyata memiliki dekik di kedua pipinya. Tentu saja Marco tampak lebih menawan karena tambahan sepasang lesung pipit itu. Eh, barusan aku bilang apa? Marco me
Aku pun teringat ucapan Cliff saat menjelaskan tentang arti kata “Nefertiti”. Namun, aku memilih tidak mengomentari kata-kata Joyce. Toh, aku sendiri pun belum mengenal Cliff dengan baik. Kami baru bertemu beberapa kali. Oleh karena itu, aku lebih suka bertanya tentang aktivitas Joyce sehari-hari.“Aku masih kuliah juga, Nef. Semester tujuh, jurusan Bahasa Inggris. Tapi nggak di universitas ini. Tadinya males, pengin langsung kerja. Cuma ya gitu, kalau cuma pakai ijazah SMA, nggak banyak pilihan. Yang udah jadi sarjana aja pun banyak yang nganggur.”Itu problem klasik yang sepertinya sudah terlalu sering terdengar, kan? Namun memang fakta di dunia nyata, seperti itu. Tak ada yang bisa membantah bahwa ijazah masih sangat diperlukan untuk melegitimasi bahwa seseorang layak dipekerjakan.“Kalau aku, sejak awal memang pengin jadi bankir,” sahutku saat Joyce bertanya alasanku memilih kuliah di Fakultas Ekonomi.“Kamu t
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih