Begitu tiba ditempat Insley berdiri, Dyn menyodorkan tusuk rambut pada perempuannya. Tusuk rambut burung phoenix.
"Kenapa?" Jelas Insley akan bertanya penasaran.
"Aku ingin kau selalu terlahir kembali. Kau bilang sebuah akhir adalah sebuah awal. Kau adalah sosok yang memiliki keyakinan sekuat itu. Dan aku menyukainya."
Insley tersenyum lebar, sangat lebar sampai tidak memiliki cadangan kata untuk menjawab Dyn.
Perempuan tersebut memilih berbalik membelakangi Dyn, dengan dagu tegak. Dyn mulai memasangkan tusuk rambut tersebut dengan hati-hati. Rambut yang atas digelung dan setengah lagi di bawah terurai tampak begitu cantik ketika berpapasan dengan burung phoenix.
Cahaya yang rendah, dan pohon berdaun oren memiliki perpaduan unik dengan bunga pink kecil disekitar mereka. Dikelilingi gelak tawa anak-anak dan musik yang saling beradu.
Tiba di mana m
Ada banyak alasan kenapa seseorang harus menetapkan plan-plan hidup. Salah satunya adalah menentukan untuk apa hidup ini dibuat dan dilanjutkan.Contohnya Ananta. Ada alasan dan keyakinan bahwa ia akan mendapatkan ayahnya kembali setelah kepergian Bella. Ananta harus mendapatkannya meski ia sendiri tidak tahu harus mulai dari mana. Ananta tidak memiliki siapa-siapa lagi selain ayahnya yang masih semu.Langkah pertama, Ananta bisa memulai dari perpustakaan daerah yang disediakan. Menyusuri setiap lorong dan rak-rak. Ada banyak jenis buku mulai dari fiksi dan non-fiksi.Ananta hampir menyerah ketika menyusui rak non-fiksi ia tidak mendapatkan judul buku apapun yang cocok. Ia lantas mengambil satu buku bersampul hijau terang dengan gambar-gambar mamalia dan beberapa hewan nokturnal lain. Mungkin ia bisa memulai dari hutan."Kesulitan mencari buku?"Ananta terkejut. Suar
Cara membawa Ananta duduk di salah satu meja yang sebelumnya menjadi tempat perempuan tersebut belajar. Terdapat laptop dan tiga tumpuk buku yang bersanding dengan buku pulpen. Kaca yang menyibakkan gorden membuat banyak cahaya masuk. Cukup untuk memperlihatkan wajah Ananta yang tampak tenang seolah selalu tersenyum polos."Kamu sedang mencari informasi apa? Kamu mahasiswa?" Tanya Ananta sembari meletakkan dua buku. Satu buku non-fiksi yang ia dapat dan satu lagi buku manusia serigala rawa demam. Ananta tersenyum hingga menciptakan lengkungan pipi yang kentara."Bukan. Aku sedang mencari sesuatu."Ananta agak tercekat begitu Cara mengucapkan kalimat tersebut. Lirikan mata coklat cerah milik perempuan itu tampak mengkilapkan cahaya hijau sekilas."Benarkah? Okey." Ananta bergerak canggung. Adrenalin yang memacu kewaspadaan pemuda itu melonjak siaga. Tentu hal itu disadari dengan jelas oleh Cara."Jangan tegang begitu. Ini bukan sesuatu yang pe
Koran yang menampilkan berita satu tahun yang lalu tersebut dilempar pelan oleh Ananta. Pemuda yang tengah duduk menghadap jendela itu lantas bersandar sembari mengusap wajah. Ia telah memberikan alamat rumah dan nomor ponselnya pada Cara Evonia. Perempuan tersebut menjanjikan sesuatu. Informasi mengenai desa hitam yang telah porak-poranda satu tahun yang lalu. Koran itu berisi tentang peristiwa misterius yang menimpa desa hitam. Kebakaran pada bagian-bagian tertentu dan menewaskan separuh lebih penduduk. Bahkan dalam koran tersebut dilampirkan beberapa foto yang menunjukkan sisa-sisa kebakaran tragis di beberapa tempat, yang kebanyakan adalah rumah penduduk. Tidak ada apapun yang menjadi jejak menjalarnya api itu. Tapi semua terlihat seolah api itu membakar satu persatu secara mandiri. Dan itu karena Ananta. Satu tahun terakhir, Ananta masih mencoba untuk mengumpulkan keberanian datang lagi ke hutan terlarang. Ketakutan tentang bencana yang akan terjadi begi
"Den. Bibi tau den Ananta tidak memiliki siapapun lagi. Tapi den Ananta masih punya bibi. Jangan gegabah untuk pergi ke hutan itu lagi ya, den?" "Hahaha, dulu bibi yang ngotot pengen pergi ke sana kan?" Ananta mengejek sembari mengerutkan dahi. Hal itu sukses membuat bibi Manda mengerutkan bibir dan menekuk wajah. "Itukan beda. Jauh sebelum bibi tau semuanya. Pokoknya jangan ke sana! Dah, bibi mau pulang dulu." "Dahh, bi." Bi Manda menoleh ke arah Ananta. Saat itu Ananta langsung menyeletuk, "jangan lupa bersihin tuh wajah. Banyak tepung nanti dikira hantu." Bi Manda berseru. Mengusap wajah dan beralih melambaikan tangan satu kali sebagai tanda kekesalan. Dia lantas berpaling dengan tubuh agak gemuknya melewati pintu keluar. Ananta terkekeh dengan kekonyolan kecil tersebut. Ia lantas beranjak dari kursi setelah menghabiskan hidangan. Mencuci piring kotor. Lantas bersiap menyambar kunci motor dan dompet. Ananta memiliki janji dengan Car
Cara berhenti sejenak. Ia lantas menatap Ananta sembari menghembuskan napas. Wajah perempuan tersebut tampak serius dan lesu. Hal itu membuat Ananta kwatir. "Harusnya cerita ini tidak berputar-putar. Dan aku bisa berterus terang dengan kamu. Aku tau kamu dan aku memiliki satu tujuan yang sama ke hutan itu." Ananta menyerengit. Menurutnya pernyataan Cara barusan malah berputar-putar dan tampak bertele-tele. "Kamu membuatku pusing." Perempuan tersebut tersenyum. Menatap orang-orang yang berlalu lalang sembari mengobrol. Cara lantas menyelipkan rambut blonde keritingnya yang terurai ke belakang telinga. "Aku adalah salah satu korban kebakaran itu." Mata Ananta membulat sempurna. Ia hanya mendapati Cara tersenyum miris dalam dongengnya. "Saat itu. Aku baru saja pulang dari perbatasan setelah membeli bahan makanan. Aku bingung ketika melihat mobil putih melintas dengan kecepatan di atas rata-rata melewatiku keluar dari desa hitam." Pembicaraa
Menyelesaikan sesuatu yang Ananta sendiri tidak tau apa masalahnya. Itu sama seperti ketika kamu harus mengembalikan buaya ke habitat tapi tidak tau di mana buaya itu berasal. Belum lagi karakteristik buaya itu tidak bisa dipastikan akan membahayakan atau tidak. Tapi meskipun begitu Ananta sangat menentang pendapat Cara yang ingin membunuh dalangnya. Menurut Ananta, seseorang bertindak karena suatu alasan. Dan penghakiman yang salah seharusnya tidak terjadi. Hal itu jelas membuat Cara dan Ananta berdebat sampai satu jam lebih kemarin. Tidak ada yang ingin mengalah, jelas. Tapi Ananta memutuskan untuk diam dan mempercepat waktu berlalu. Dalam pantulan cermin kamar Ananta, terlihat pemuda itu berdiri dengan rambut coklat tebal tertata lumayan rapi. Mata coklat yang dulu telah berganti menjadi merah bata. Rahangnya kokok dengan kulit sawo matang. Ia menghembuskan napas. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa kehidupan yang tenang akan berakhir beberapa jam dari sekarang. Ananta lantas berba
Cara lebih memfokuskan cerita itu mengenai tiga bangsa yang saling berkaitan. Bangsa manusia, bangsa lathraia dan bangsa peri. Ketiga bangsa yang saling bersanding antara satu dengan yang lain selama sekian abad yang lalu. Mendadak terpecah belah karena salah satu diantaranya berambisi untuk menguasai seluruh bangsa di dunia ini. Haus akan kekuasaan, kekuatan dan keabadian memuat mereka saling bertempur untuk membuktikan mana yang paling hebat untuk berkuasa. Tanpa mereka sadari, ada begitu banyak korban yang merintih pilu akibat pertarungan tersebut. Hingga suatu ketika dua orang dari bangsa lathraia dan bangsa peri melakukan kesepakatan secara rahasia. Mereka membentuk suatu portal dengan cara membunuh seluruh keturunan yang memiliki darah campuran antara manusia, peri dan hewan lathraia. Sampai tidak tersisa sedikitpun. Hilangnya hubungan darah antara ketiga bangsa membuat portal naik dengan sendirinya. Menutupi hutan LeNight dan LeRay secara terpisah hingga makhluk dari kedua ban
Ananta mengangguk, mobil telah melewati pedesaan. Rumah-rumah kecil dan minimalis dengan jarak yang jauh antara satu dengan yang lain. Mereka dipisahkan oleh kebun. Detak jantung Ananta kian cepat ketika mobilnya berhasil melewati gapura yang bertuliskan 'desa hitam'. Itu gapura yang sama dengan yang pernah Ananta temui terakhir kali. Yang membedakan hanyalah gapura itu terlihat lebih baru. Seperti baru saja dibangun. "Kamu jangan terkejut ketika mendapati werewolf itu benar-benar ada. Mereka sangat banyak. Dan tidak menginginkan pendatang lain selain kelompoknya. Kecuali kamu punya ini?" Cara mengeluarkan satu botol minyak wangi. Hanya perlu membuka botol itu aroma mawar dan tanah langsung menguap begitu saja. Aroma itu sama persis dengan minyak wangi yang pernah Alice berikan pada Ananta. "Kamu dapat dari mana?" "Seseorang memberiku ini. Meskipun ini berguna sekali untuk masuk ke wilayah Mercia. Kupikir sekarang tidak lagi. Err, tunggu. Kamu pasti belum tau apa itu Mercia?" Dari
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Sedangkan disisi lain Charlotte berdiri tepat di pinggir danau, membelakangi menteri Darwin dan gazebo Rex_tempat santai khusus raja yang terletak di samping kanan menara Raja itu sendiri."Katakan!" Raja Charlotte tidak berniat untuk memulai pembicaraan ini.Sambil menghembuskan napas, Mentri Darwin menatap ke sekeliling. Malam yang temaram, menghadap danau buatan yang luasnya kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter tampak lebih pekat dinginnya. Lentera kecil menggantung berjajar rapi di atas permukaan air hingga memberikan kesan romantis dan damai. Tempat seperti ini ada dua di istana. Satu dibuat khusus sebagai gazebo raja atau Rex dan satu lagi adalah gazebo Reginae, gazebo Ratu."Maaf yang Mulia. Mustahil jika kebakaran itu terjadi tanpa sengaja." Raja Charlotte yang masih membelakangi dengan kedua tangan saling bertautan dibelakang nampak bergeming."Aku telah memerintahkan para penjaga untuk mengintrogasi orang-orang yang tampak mencurigakan. Sekaligus memblokir gerbang utama
"Tentunya, manusia serigala tidak memiliki kekuatan selain kemampuan berperang dan api merah darah. Dan mataku yang hebat itu mampu memulihkan dan menghancurkan sesuatu, sesuai keinginan pemiliknya!" Alice kembali melanjutkan dengan napas menggebu. Sejak awal ialah umpan sekaligus senjata terbaik yang berusaha Mercia jaga. Dan Raja Ardolph ingin memindahkan matanya pada Charlotte."Tidakkah kenyataan itu membuat Ratu sadar bahwa Ratu bukanlah klan manusia serigala?" Dyn berujar dengan suara rendah.Makanan yang tersaji di depannya mulai dingin seiring dengan perdebatan mereka.Alice sadar dengan itu, sejak awal ia sudah curiga bahwa dirinya bukanlah keturunan Raja Ardolph. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Alice berusaha memposisikan tubuhnya untuk tenang.Sedangkan Dyn, melirik kembali ke arah meja yang penuh dengan hidangan tersebut. Dulu, ia tidak akan pernah duduk dengan lancang dihadapan Alice. Bahkan menyentuh sampanye yang disediakan oleh Alice secara khusus untuknya. Tapi ka
"Itu kesimpulan awal yang bisa kita ambil. Dari yang aku dengar, buku phoenix itu berisi tentang petunjuk membuka portal sekaligus menutup portal pembatas antara hutan LeNight dan LeRay."Gigi-gigi Alice ber-gemletak menahan geram. Sudah sejauh ini para menteri dan raja Ardolph berkerja sama dengan raja Charlotte menjalankan misi. Sedangkan Alice, ia bahkan tidak tau sedikitpun mengenai informasi ini. Geraman Alice cukup membuat Alice meremas kuat ujung buku phoenix di pangkuannya."Aku sempat mengikuti pelayan dari kantor hukum menteri Darwin. Yang dua minggu lalu memutuskan untuk berhenti. Dan mendapatkan alasan kenapa menteri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Ratu Alice dengan Raja Charlotte.""Ucapkan secara langsung! Jangan berbelit-belit!" Alice berteriak marah. Dadanya bergetar. Raja Ardolph telah meninggal dan ia tidak mendapatkan kenangan terbaiknya selama bersama raja tersebut."Alasan kenapa Raja Ardolph bersikeras menjodohkan Ratu dengan Raja Ardolph karena ingin m