Lagi-pagi sekali pasangan suami-istri itu sudah sibuk masing-masing, untuk bekerja ke tempat masing-masing. Rangga mengantarkan Mentari terlebih dahulu ke cafe tempatnya bekerja, kemudian ia pergi ke Resto.
Suasana Cafe tampak meriah menyambut kedatangan sang pengantin baru. Semua karyawan mengucapkan selamat dan bersorak sorai. Cafe tampak ramai pengunjung sejak pagi.
Mentari tengah sibuk melayani tamu yang datang. Ada banyak pesanan online yang harus dikirim juga. Namun, hampir semua karyawan tampak sibuk. Sang manajer memutuskan mengirim Mentari ke salah satu pelanggan tetap mereka untuk mengantar pesanan.
Berbekal alamat dari Cafe. Mentari pun berangkat menggunakan sepeda motor, membelah jalanan Ibukota yang mulai padat merayap.
Setelah melewati jalanan padat, akhirnya Mentari sampai di sebuah gedung apartemen. Ia segera naik dan mengantarkan pesanan sang pelanggan istimewa. Masih terngiang di telinganya pesan dari sang manajer
Jantung Mentari berdetak kencang. Ia berdiri tepat di samping pria berotot tadi. Sesekali, netra mereka beradu temu hingga membuat wanita cantik itu salah tingkah."Kenalin, ini Pak Alex, pemilik Cafe ini," ucap sang manajer dengan tersenyum manis.Kedua manik cokelat Mentari membeliak. Wanita muda itu kaget bukan kepalang, selama bekerja, belum pernah sekalipun bertemu dengan sang pemilik Cafe. Ia berpikir orang yang memiliki Cafe ini adalah seorang yang sudah berumur. Namun, kenyataannya laki-laki itu mungkin lebih muda dari usia Mentari."Alex, senang bertemu dengan mi," ucap lelaki berotot itu seraya mengulurkan tangan kepada Mentari."Mentari, maaf untuk yang tadi siang," sahut Mentari sambil menjabat tangan sang pemilik Cafe."" It's oke, no problem," jawab Pak Alex dengan tersenyum tipis.Mentari tercengang untuk beberapa saat. Hatinya belum bisa menerima jika pemilik Cafe tempat nya bekerja i
Hari itu Mentari ditugaskan ke luar kota bersama Pak Alex. Mereka akan mengecek lokasi yang akan dijadikan cabang Cafe di daerah puncak. Awalnya, Mentari menolak karena takut tidak diizinkan oleh sang suami. Namun, enah kenapa Pak Alex lebih nyaman pergi dengan Mentari dari pada dengan sang manajer. Akhirnya setelah dibujuk oleh sang manajer. Mentari pun setuju dan ikut menemani pak Alex ke luar kota.Mentari pun bergegas menelpon sang suami .ia mengusap layar gawai dan menghubungi nomor Rangga.[Yang, hari ini aku tugas keluar kota. Mungkin besok pagi baru pulang] ucap Mentari di balik gawai[Loh kok ngedadak? Emang nggak ada karyawan lain?] Suara Rangga terdengar kaget.[Aku udah nolak, tapi Manager memaksa. Yang, gimana nih? Kalau kamu nggak setuju , aku ngundurin diri aja deh[[Ya udah, deh. Aku juga ada lembur malam ini. Koki pengganti lagi sakit] Ujar sang suami dari balik layar gawai.Komunikasi pun
Rangga tidak pulang ke rumah setelah mendapati sang istri berada satu kamar dengan laki-laki lain. Lelaki itu memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya.Mentari bergegas di antar pulang oleh Pak Alex ke rumahnya, dengan tujuan ingin menjelaskan langsung kepada Rangga.Mobil melaju cepat, membelah jalanan yang agak lengang. Urusan pekerjaan terpaksa dilakukan oleh orang kepercayaan Pak Alex.Mentari tampak gelisah sepanjang jalan. Rumah tangga yang baru seumur jagung itu terancam kandas hanya karena kesalahpahaman."Tenang, Tari. Aku punya rekaman CCTV kita di kamar hotel. Asalkan Rangga mau menonton sampai habis. Semua akan baik-baik saja," ucap Pak Alex untuk menenangkan hati Mentari."Iya, Pak. Semoga Rangga mau nonton."Mobil pun kembali melaju kencang. Hingga tidak terasa sudah sampai di depan rumah Mentari. Namun, sesampainya di sina, lelaki yang dinikahi Mentari itu tidak tampak di mana pun.
Rangga dan mentari akhirnya dapat meluapkan rasa rindu yang telah lama tersimpan. Hubungan mereka semakin menghangat. Bukankah setelah pertengkaran akan lebih membuat hubungan menjadi lebih lengket?***Mentari akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Ia memilih menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga, menunggu sang suami pulang bekerja, di rumah. Sudah hampir tiga bulan ia berdiam diri di rumah.Matahari bersinar cerah hari itu, Mentari mengantar sang suami yang akan berangkat kerja sampai ke teras rumah. Seperti biasa, Mentari bergegas pergi ke depan rumah untuk membeli sayuran.Para ibu muda sedang berkumpul di lapak tukang sayur langganan. Semua tampak asik memilih dan memilah sayuran segar yang ada di gerobak. Mentari ikut bergabung dan memilih beberapa sayuran."Tari, udah ngisi belum?" tanya salah satu tetangga seraya menatap perut ramping Mentari."Belum, Pok. Belum dikasih sama yang di atas," jawa
Burung-burung terdengar berkicau riang, menyambut sang surya yang telah nampak dari ufuk timur. Tetesan embun pagi masih terliat di dedaunan. Mentari sudah bersiap untuk pergi ke klinik mengambil hasil tes laboratorium tentang kesuburan mereka."Ayo, berangkat sekarang. Ntar keburu macet," ujar sang istri saat sang suami tengah bersantai di teras rumah.Rangga pun beranjak dari tempat duduknya. Memudian bergegas mengambil kunci motor dan pergi bersama sang istri.Suasana klinik masih sepi, hanya ada beberapa pasien yang terlihat menunggu di depan ruang praktek.Pasangan suami istri itu duduk di depan meja. Menunggu sang dokter mengambil hasil tes dari laboratorium.Rangga menggenggam erat tangan Mentari yang semakin terasa dingin. Dadanya berdebar disertai jantung yang berdetak kencang. Perasaan takut dan khawatir mulai menyergap, menghantui keduaya.
Setelah mengetahui hasil tes kesuburan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Rangga pun tidak pernah mempertanyakan masalah anak lagi kepada Mentari. Namun, terkadang mereka selalu menanyakan kapan dirinya akan mendapatkan cucu.Orang tua Rangga akan langsung bungkam setelah anak kesayangannya membela sang istri. Akan tetapi, Rangga tidak selamanya bisa membela sang istri di hadapan kedua orang tuanya. Ada kalanya Rangga tidak bisa berkutik saat kedua orang tua menekan dirinya.Waktu berlalu begitu cepat, hingga tidak terasa usia pernikahan mereka sudah menginjak yang ke dua tahun. Namun Mentari, tidak kunjung hamil. Entah apa yang terjadi dengan wanita muda itu. Ia seringkali menangis dalam diam. Memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kepercayaan dan memberinya seorang buah hati.Bari berganti minggu, bulan berganti tahun, hingga terlewati dua tahun lamanya. Namun, doanya tak kunjung terkabul sampai saat hari itu tiba
Rangga merenung seorang diri. Lelaki perkasa itu tidak berkutik di depan sang Ibunda. Janji yang pernah ia ucapkan kepada Nya, kini harus ditepati."Yang, kamu serius mau nikah lagi?" tanya Mentari dengan tatapan nanar.Rangga beranjak dari duduknya dan menghampiri sang istri."Aku juga nggak mau nikah lagi, tapi, aku terlanjur janji sama Nyak dan Nyak menagihnya terus.Bulir bening tampak menetes perlahan membasahi pipi gadis cantik itu, tidak pernah terbayang sekalipun bahwa pernikahannya dengan teman masa kecilnya akan menjadi seperti ini.Mimpi untuk hidup bahagia bersama sang suami selamanya. Perlahan sirna bersama ketidak hadiran seorang buah hati di dalam pernikahan mereka." Ga, aku nggak sanggup kalau harus berbagi cinta dengan wanita lain," ucap Mentari lirih.Rangga menghampiri sang istri dan mendekap tubuhnya, kemudian mencium kening Mentari berkali-kali. Seolah itu ada
Malang tidak dapat ditolak begitupun dengan takdir yang tertulis untuk Mentari. ia tidak bisa lagi mengelak dari takdir untuk berbagi suami.Sang suami duduk di depan panggung penghulu di samping seorang wanita yang memakai kebaya warna putih. Mentari hanya bisa terdiam dan meremas tangannya sendiri.Manik cokelatnya mulai memanas dengan tubuh yang mulai bergetar hebat saat ijab qobul terucap dari mulut sang suami. Hancur sudah perasaannya. Puput sudah impian masa depan untuk hidup bahagia, kini wanita muda itu bagai berada di ujung jurang yang dalam dan terjal.Ingin rasanya pergi dan menghilang saat itu juga. Namun, besarnya rasa cinta kepada sang suami menahan dan memasung tubuhnya untuk tetap berada di samping Rangga.Air mata pun sudah tidak terbendung lagi, meleleh perlahan membasahi wajah cantik Mentari. Para tamu menatap iba ke arah perempuan yang bernasib buruk itu. P
Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu
Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari
Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh
Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut
Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap
Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg
Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da
Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik
Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s