Semua mata tertuju ke podium. MC memanggil pengganti Ustaz Zidan Alfarizi. Aku sedikit tersentak saat nama Zidan diucapkan beberapa kali.Mungkinkah itu Zidan yang sama?
Belum juga terjawab pertanyaan di benak. Aku harus kecewa karena yang berdiri adalah pemateri pengganti. Entah apa yang terjadi dengan Ustaz Zidan yang dimaksudkan? hingga tidak bisa hadir di tempat.
Audience tampak kecewa. Mereka meracau tidak jelas untuk mengekspresikan rasa kecewanya. Aku hanya duduk dan mencatat beberapa materi penting yang disampaikan.
Acara pun selesai tepat pada waktunya. Aku dan Putri kembali ke Pondok tanpa kesan istimewa. Selain materi yang berhasil kudapat, hanya rasa penasaran dengan sosok Ustaz Zidan yang membekas di hati. Juga Naura yang terlihat di toilet.
♥️♥️♥️
Selesai mengajar, aku ikut pelajaran malam Ustaz Yahya. Malam belum begitu larut setelah berakhirnya kelas yang kuikuti. Samar terdengar lagi suara lantunan a
Hampir seminggu Zidan berada di Pondok. Ia memutuskan mengisi liburan di dekatku. Kami menjadi lebih akrab dan sering berbincang.Seperti biasa, aku menunggunya di bawah pohon beringin saat jam istirahat. Lokasi yang tidak terlalu ramai dan sejuk membuat kami lebih leluasa bertemu."Ustazah Dini!"Aku menoleh ke arah suara dan melihat Ustazah Iis sedang berjalan menuju ke arahku.Beliau adalah istri Ustaz Yahya yang berarti Ibu sambung Zidan. Dadaku mendadak berdetak kencang. Seperti akan terjadi sesuatu yang kurang baik."Assalamualaikum, sedang apa Ustazah?" tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu."A-nu Ustazah. Ana sedang istirahat," jawabku gugup."Afwan, Ustazah sepertinya kurang baik jika sering berdua dengan Ananda Zidan di sini."Katanya lembut dengan suara halus. Namun terasa perih di hati seperti disayat-sayat sembilu."Tidak enak juga dilihat santri dan rekan yang lain," sambungnya
Perjodohan yang dilakukan Ibu dan Bapak membuatku dilema. Bimbang antara cinta dan berbakti kepada orang tua.Namun, jauh di dalam lubuk hati. Aku masih sangat berharap kepada Zidan. Walaupun entah kapan ia akan memenuhi janjinya.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku seketika."Neng, Ibu masuk ya?"Suara Ibu terdengar jelas di balik pintu. Tidak lama, pintu pun terbuka."Mau ya, nerima lamaran anak Ustaz Abdul!" bujuk Ibu dengan muka memelas."Ibu terlanjur mengiyakan, nggak enak kalau ditolak," ujarnya lagi.Aku bergeming, membisu untuk beberapa saat. Namun, hati ini tidak tega melihat Ibu memohon-mohon kepada anaknya.Bukankah sudah menjadi kewajiban anak menuruti dan membahagiakan kedua orang tuanya? Ah, apa yang harus kulakukan sekarang?"Ibu malu kalau nggak jadi, Neng. Ibu udah ngomong-ngomong ke tetangga."Wanita paruh baya itu menunduk dan terlihat sedih. Embun mulai bersarang di manik hitamnya. Aku t
Rumah telah dipenuhi sanak saudara, keluarga dan beberapa tetangga dekat. Aneka hidangan, kue dan minuman segar telah disajikan rapi di atas karpet permadani.Aku duduk di atas karpet dekat ibu. Menunggu calon pendamping hidup yang akan datang. Tersimpan banyak do'a dan harapan untuk memulai hidup baru.Ketiga kakakku menyempatkan diri untuk datang dan bertemu calon suami adik bungsunya. Mereka terlihat bahagia dan asyik berbincang di ruang keluarga. Mengenang masa kecil dan masa sekolah.Sesekali terdengar gelak tawa yang menambah keceriaan rumah. Ketiga keponakanku berlarian kesana kemari membuat spot di jantung Kak Rianti."Aduh, hati-hati ntar jatuh. Awas pecah!"Suara Kak Rianti membuatku terkekeh. Akankah aku seperti itu kelak? Mengejar dan selalu mencemaskan buah hatiku. Ah, malah tambah ngawur otak ini.Hampir satu jam menunggu, dari jadwal yang dijanjikan. Ibu terlihat gelisah, manik hitamnya melihat ke ara
Sudah hampir satu jam berlalu. Aku berdiri di depan surau, memandang jauh ke depan. Namun, yang ditunggu tidak nampak seorang pun.Mungkinkah anak-anak itu dilarang mengaji oleh orang tuanya? Padahal baru seminggu yang lalu hati ini begitu bahagia, karena bertambahnya jumlah anak-anak yang mengaji.Akhirnya, selang beberapa menit dua anak kecil terlihat menuju ke surau sambil berlari."Assalamualaikum, Ustazah. Apa kami terlambat?" tanya Tasya dengan terengah-engah."Nggak, sayang. Ayo masuk!" ajakku dengan tersenyum ramah.Baru saja kaki ini hendak melangkah ke dalam surau, tiga anak yang lain kembali datang bersamaan."Assalamualaikum, Ustazah, maaf kami telat."'Allhamdulillah,' bisikku di dalam hati.Aku mengangguk seraya tersenyum lebar. Masih ada anak-anak dan orang tua yang masih mempercayaiku.Biarlah jika memang hanya lima anak ini yang sudi belajar denganku. Itu sudah lebih dari cukup. Semua kuniatkan karena Allah sema
Pagi itu, aku sedang murajaah di kursi teras rumah ketika dua pria asing datang menghampiri."Assalamualaikum," sapa seorang lelaki yang memakai baju Koko berwarna cokelat.Lelaki berpenampilan alim itu membawa sebuah tas jinjing di tangannya. Mungkinkah mereka adalah donatur yang dibicarakan Bapak?"Waalaikumsallam," jawabku kemudian beranjak dari tempat duduk.Aku terdiam sesaat, menelisik sosok salah satu pria yang berdiri di depanku. Jantung ini masih berdetak kencang saat manik kami saling bertemu."Ustaz Fikri?" tanyaku pelan, serasa tidak percaya dengan apa yang kulihat.Sudah lima tahun lebih aku tidak bersua dengannya. Sosoknya masih tetap sama seperti dulu. Tetap menawan dan memikat."Ukhty Dini?"Pria itu bertanya seolah tidak percaya. Kemudian tersenyum lebar. Ah, sudah lama diri ini tidak melihat senyum itu.Kami hanya saling melipat tangan dan mengangguk sembari tersenyum."Anti pengurus
Aku duduk di bagian akhwat yang dibatasi tirai dengan para ikhwan. Bapak duduk di seberangku, beliau terlihat asik berbincang dengan sahabat lamanya. Entah kapan terakhir kali melihat Bapak tersenyum lebar. Semoga ini menjadi awal takdir baik.Aku mencoba berfikir keras, memikirkan semua yang telah terjadi. Kenapa malam ini takdir mempertemukanku dengan lelaki yang melempar kotoran kepadaku?. Ah, baru saja hendak menimba ilmu di acara kajian ini. Hati keburu kesal karena lelaki bernama Syam itu. Bisa-bisanya ia tenang menyapa Bapak setelah menghancurkan hatinya.Ingin rasanya meminta kejelasan kepada lelaki itu. Walaupun semua telah usai lima tahun yang lalu. Namun, serasa ada yang mengganjal di hati. Yang harus segera diluruskan.Kejadian lima tahun silam seperti terlalu aneh dan cepat. Masih banyak tanya yang belum sempat terjawab.Aku beranjak dari dudukku dan keluar untuk mencari Syam. Acara akan dimulai sekitar satu jam lagi. Masih ada waktu un
Seminggu setelah keluar dari Rumah sakit. Aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Mengajar anak-anak dan mengurus renovasi serta penambahan Madrasah.Semua kembali normal, hanya saja hari-hariku diwarnai dengan tingkah Zidan yang mencairkan hati yang mengeras. Hampir setiap hari, ia datang ke rumah. Sekedar membawa sarapan atau kudapan manis kesukaan Bapak.Hari itu, Zidan datang pagi sekali. Ia memberikan bungkusan berisi nasi uduk dan gorengan, kemudian pergi dengan tergesa. Entah apa yang terjadi, aku hanya bisa memandang punggungnya dari jauh hingga menghilang bersama kuda besi yang ia naiki.♥️♥️♥️Hampir seminggu Zidan tidak datang ke rumah. Serasa ada yang kosong di hati. Aku memandang jauh ke depan. Berharap sosok yang mulai kurindu itu muncul. Hampir satu jam termenung di bawah pohon yang ada di halaman rumah. Namun, ia tidak kunjung datang.Mungkin ia terlalu sibuk dengan urusannya. Apalah diri ini yang hanya
Aku termangu seorang diri di depan pintu jendela. Ditemani rintik hujan yang tidak kunjung berhenti sejak pagi tadi. Netraku melirik layar gawai beberapa kali. Tidak satu pesan pun datang dari Zidan.Senja beranjak malam, sudut mataku tetiba mengeluarkan bening hangat yang membasahi pipi. Entah perasaan apa ini?antara takut dan bahagia.Masa penantian akan segera berakhir. Cinta telah berlabuh di satu dermaga dan siap berlayar mengarungi samudera. Untuk kesekian kalinya, aku memantapkan hati hanya untuk satu nama.Namun, sudah tiga hari sejak ia menyatakan keseriusannya untuk menikahiku. Lelaki itu tidak memberi kabar sama sekali. Hati mulai gelisah dan takut, apa kejadian lima tahun silam akan terulang kembali?Membayangkannya pun sudah membuat hati ini sakit. Rasa takut mulai menyergap dan mengotori sanubari. Aku tidak akan sanggup jika harus membuat keluarga malu untuk kedua kalinya.Cukuplah satu kali saja, diri ini gagal melangkah ke pelaminan
Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu
Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari
Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh
Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut
Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap
Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg
Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da
Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik
Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s