Zidan tidak membalas pesanku dari semalam. Mungkin, butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Memang berat untuk memutuskan semua ini.
Bukankah hidup adalah pilihan? Seperti Kak Rianti yang memilih bersama suaminya kembali setelah menghancurkan hatinya. Pilihannya pasti sudah dipikirkan baik-baik. Begitu pun dengan aku yang yakin memilih tujuan hidup sebagai seorang tahfiz.
Selama libur, waktuku lebih banyak dihabiskan di rumah. Membantu Ibu dan menambah hapalan. Aroma teh melati menguar hingga ke dalam kamar, aroma manis dan menyegarkan. Ibu pasti sedang menyeduh teh di dapur.
Aku hendak melangkah menuju dapur saat layar gawai terlihat menyala.[Assalamualaikum, setelah kupikirkan semalaman. Tetap saja hati kecilku menolak hubungan kita berakhir begitu saja. Aku akan menemui sore ini]
Isi pesan itu sedikit mengusik hati. Besok aku harus pergi untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang tahfidz tiga puluh juz. Di sisi lain, ada seorang pria yang
Hampir setengah hari perjalanan dari Bandung ke Tangerang Banten. Akhirnya sampai di tempat tujuan.Tanah yang sangat asing untukku. Aku Membulatkan hati untuk mengusir rasa khawatir dan takut, kemudian melangkah dengan pasti.Aroma petrikor menghidu hingga menusuk ke hidung. Sepertinya, tanah ini baru saja tersiram air hujan. Aku menarik koper menuju alamat yang ada di pesan whatssap. Lingkungan yang agak padat, tapi tidak terlalu ramai.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Tertulis Rumah Qur'an As-Syifa dengan ukuran besar di pintu gerbang. Seorang perempuan muda mempersilakan masuk dengan ramah."Maaf, namanya siapa, Ukhty?""Andini khumaira dari Bandung. "Gadis muda itu menuntunku ke kantor sekertariat. Bangunan dua lantai yang cukup besar dan rapi."Assalamualaikum, Umi."Gadis muda itu mengucap salam sembari mengetuk daun pintu."Waalaikumsallam, masuk. " Terdengar suara lembut da
Matahari bersinar terik, panas menyengat tubuh. Peluh sudah bercucuran membasahi baju. Huh, aku paling tidak suka panas dan berkeringat. Hampir satu jam berdiri di tengah lapangan untuk menjalani hukuman yang kuterima.' Ah, ini semua gara-gara Putri' rutukku di dalam hati.Semua mata serasa tertuju kepadaku, betapa malunya diri ini melihat santri berbisik-bisik dan senyum yang tersungging di bibir maha santri dan para Ustaz.Andai aku tidak mengikuti ide gila Putri. Mengintip kamar ustaz Fikri yang terletak di bagian paling ujung gedung ini. Aku bukanlah gadis mesum yang suka mengintip pria. Aku hanya ingin tahu benda apa saja yang ia sukai."Din, klo kamu serius suka sama Ustadz Fikri. Kamu harus selidiki apa yang beliau suka, bentar lagi hari ulang tahun Ustadz Fikri, "ujar Putri dengan mimik serius."Ih, jangan ah, biarkan saja. Biar Allah yang mengatur semuanya, kalo jodoh nggak akan kemana" jawabku dengan penuh keyakinan. 
Mentari pagi membelai hangat tubuhku yang hampir membeku. Aku sengaja berjemur di taman belakang sambil murajaah seorang diri. Jadwal setoran hapalan tinggal tiga puluh menit lagi. Namun, kaki seolah terpaku dan enggan beranjak dari sini. Sampai Putri datang dan mengusik rasa nyamanku."Din, giliran kamu tuh. Yang lain udah setoran semua. "Aku masih diam dan tidak bergerak sedikit pun. Malu bercampur takut belum juga hilang. Mana mungkin fokus untuk menyetor hapalan, sedangkan bertemu saja sudah membuat jantung ini serasa melompat keluar."Cepetan, Umi yang nerima setoran hari ini, " ucap Putri geram."Allhamdulillah, kenapa nggak bilang dari tadi, " ucapku dengan perasaan lega, kemudian berlari menuju bilik tempat setoran hapalan.Maha santri perempuan kembali di bimbing Umi untuk setoran hapalan setiap harinya. Ustaz Fikri kembali membimbing anak santri laki-laki. Kami hanya bertemu sesekali saja di jam istrirahat dan jad
Cinta tidak harus memiliki, mungkin kata itu yang cocok dengan diriku saat ini. Memendam rasa dan menyembunyikannya sedalam mungkin hingga terasa sesak di dada. Suara lolongan anjing sudah terdengar beberapa kali. Angin malam menerobos celah jendela kamar hingga menusuk ke tulang. Namun, raga ini masih juga terjaga.Bayangan Zidan kembali melintas di dalam benak. Senyum serta tingkahnya seolah menari-nari dalam ingatan. Permohonan dan janjinya kepada Bapak masih terekam jelas. Rasa tidak nyaman dan gelisah seakan menghantui, sejak hati ini mulai berpindah.Apakah diri ini berdosa Ya-Rabb? Aku tidak pernah menjanjikan ikatan apapun kepadanya. Namun, kenapa hati kecil ini berbisik seakan diri ini telah berkhianat dan melukai hati yang lain.Bukankah Engkau yang menganugerahkan rasa ini kepada setiap hamba? Di manakah seharusnya hati berlabuh? Dosakah jika aku menyimpan rasa ini? Dadaku berkecamuk penuh tanya hingga tanpa sadar sudah terdeng
"Ukhty Dini! "Suara Ustaz Fikri masih terdengar beberapa kali hingga ke bawah loteng. Aku berlari sekuat tenaga menuju kamar. Tidak ingin terlibat lebih jauh dan lebih menjaga hati agar tidak semakin terluka.Biarlah mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku tidak ingin menjadi duri di antara mereka. Cukup Allah yang tahu rasa ini dan terhempas bersama angin yang berdesau malam ini.Pertemuan kembali Ustaz Fikri dan mantan tunangannya cukup menguras perasaan. Entah apa yang terjadi di dalam hati ini? Rasa takut dan kecewa mendominasi. Membuat hari-hariku serasa berat.♥️♥️♥️Hampir semua maha santri berkumpul di kelas. Akan ada perkenalan dari guru mata pelajaran bahasa Arab yang baru. Umi terpaksa mendatangkan guru baru karena guru yang lama tengah cuti melahirkan.Hampir sepuluh menit berlalu, guru yang dijanjikan belum juga datang. Kami masih asyik bersenda gurau ketika suara langkah kaki t
Aku masih terpaku dan enggan pergi. Melihat punggung bidang itu menghilang di balik pintu kantor sekertariat. Air dari langit turun membasahi bumi disertai angin yang berembus kencang. Percikannya membuat ujung gamis yang kukenakan sedikit basah."Din, ayo masuk! " pekik Putri yang berdiri di depan kelas seraya melambaikan tangan."Iya! " pekikku, kemudian berlari kecil dengan menutup kepala menggunakan kedua tangan.Baru saja berjalan beberapa langkah, sebuah payung hitam menaungi dari derasnya kucuran hujan. Aku membalikkan tubuh untuk melihat si pemilik tangan yang menggenggam payung itu.Aku sedikit terhenyak dan mundur ke belakang saat Ustaz Fikri berada tepat di hadapan. Dadaku berdetak cepat saat bola mata saling bertemu."Ustaz! " pekikku tertahan."Pakai payung, biar nggak sakit. "Lelaki itu memberikan gagang payung itu kepadaku, kemudian berlari hingga tidak terlihat lagi.Ak
Aku telah bersiap untuk kembali ke Bandung bersama Ibu dan Bapak. Semua barang telah dikemas rapi di dalam koper. Sebuah amplop putih berisi penempatan untuk pengabdian selama satu tahun, kubuka perlahan."Masya Allah, Dini ditempatkan di Bandung, Bu," ucapku semringah."Alhamdulillah."Ibu dan Bapak mengucap hamdalah bersamaan. Keduanya tampak tersenyum lebar.Mobil yang kami pesan berhenti tepat di hadapan. Bapak bergegas memasukkan barang-barang kami ke dalam bagasi. Netraku mengedar ke sekeliling memandang lekat setiap sudut pondok."Din!" Putri berteriak sambil berlari kecil menuju ke arahku.Aku membentangkan tangan dan memeluk gadis konyol itu."Jangan lupa kasih kabar ya," ucapnya memelas.Mata kami mulai berembun. Ia memelukku erat sebulum akhirnya aku masuk ke dalam mobil."Iya,pasti."Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Setitik air itu akhirnya lolos juga dari sudut mata. Entah kapan lagi k
Langit tampak cerah hari ini. Awan putih bergumul di beberapa titik. Aku tengah mematut diri di depan cermin. Gaun syar'i merah muda dan hijab dengan warna senada membalut tubuh. Tidak lupa memasang bros manik sebagai pemanis.Wajah hanya kupoles bedak tipis dan sedikit lipstik agar tidak terlihat terlalu pucat. Setelah dirasa cukup, aku segera ke luar kamar.Bunyi klakson terdengar beberapa kali. Aku menyibak tirai dan mengintip di baliknya. Benarlah, Aisyah sudah menunggu dengan kuda besi merah kesayangannya. Kami pergi bersama ke resepsi pernikahan Salma."Lama banget dandannya." Gadis itu mencebik dengan memonyongkan sebagian bibirnya."Kan biar keliatan cantik," jawabku seraya mengembangkan senyum."Okelah, okelah. Ayo, berangkat."Motor yang kami tumpangi pun melaju perlahan. Membelah jalanan yang mulai ramai. Kiri kanan jalan, masih sama seperti dulu. Hanya ada penambahan beberapa bangunan saja.
Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu
Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari
Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh
Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut
Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap
Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg
Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da
Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik
Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s