Saga termenung di depan jendela. Matanya mengamati kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya. Cahaya lampu yang tertutup bayang-bayang pohon yang bergoyang tertiup angin malam seperti kilau permata warna-warni. Wajahnya tampak datar, tapi banyak hal yang ada di pikirannya.
“Pesan tadi … apa Val membacanya? Apa dia juga yang menerima teleponnya?” gumamnya.
Saga yakin Val-lah yang menerima telepon itu dan juga telah membaca pesannya. Namun, melihat reaksi Val saat ia bangun tidur tadi, gadis itu pasti menyembunyikannya. Hanya ada satu cara untuk memastikannya. Ia pun mengirim pesan pada gadis itu lalu meletakkan ponselnya di sembarang tempat.
Gigi Saga saling bergemeretak di dalam. Tangannya mengepal kuat, dan saat ia tidak bisa menahannya lagi, ia menghantamnya ke dinding di samping jendela.
“Sial! Kenapa dia harus kembali sekarang? Di saat aku sudah melupakannya, kenapa dia harus muncul?” Saga menggeram kesal.
Pria itu
“Kau bicara apa? Aku hanya kecapekan. Kau bukan penyebabnya.” Saga menatap Val, hampir tak percaya dengan pendengarannya.Val menghela napas. Hatinya terasa sakit harus berpura-pura seperti ini. “Pembicaraan kita yang belum selesai tadi pagi. Itu juga salah satu penyebabnya.”“Bukan, Val. Aku yang salah. Aku yang terlalu buru-buru dan nggak bertanya padamu.”“Sudahlah. Aku mengerti. Tapi, sebaiknya kita membicarakan ini setelah kamu keluar dari rumah sakit. Aku harus pulang sekarang.”“Val, tunggu!” Saga meraih lengan Val. “Kau yakin?”Gadis di depan Saga mengangguk.“Oke. Biar kupesankan taksi untukmu. Atau aku bisa minta tolong Arion un─”“Jangan! Nggak usah! Pekerjaan dia sudah banyak juga. Jangan merepotkannya untuk hal sepele begini. Aku bisa pulang sendiri.”Perlahan Val melepas genggaman Saga. Saat tautan itu hendak terlepas,
“Kamu serius, Ga?! Kamu langsung ingin ke kantor sekarang juga?” seru Arion saat menjenguk Saga esok harinya bersama Val yang juga terkejut mendengar permintaan pria itu. “Ta-tapi, tadi dokter bilang, kamu harus istirahat dulu ….” Val mengingatkan. Saga tersenyum, tapi entah semua terasa berbeda bagi Val. Senyum pria itu samar, dan tatapannya seolah menghindarinya. Pria itu tidak ingin menatapnya lama-lama. “Aku sudah sehat kok. Aku bisa bekerja hari ini. Kau tahu, aku akan lebih sakit jika harus berdiam diri.” Saga masih bersikeras. Baik Arion maupun Val tidak bisa menolak. Yang mengetahui kondisi tubuhnya adalah Saga sendiri. Mereka bertiga akhirnya kembali ke kantor, setelah mengurus semua administrasi. Semua karyawan juga tampak terkejut melihat Saga sudah kembali ke mejanya. Namun, Saga hanya tersenyum dan berbicara seolah ia tidak pernah mengalami kejadian sakit itu. “Ayo, ayo, kembalilah bekerja!” katanya. Suasana pun me
Tidak enak dan menyesakkan dada. Itulah yang Val dan Saga rasakan. Namun, semuanya memiliki ego masing-masing, tidak ada yang mau berbicara lebih dulu. Kesunyian di dalam mobil terasa begitu menyiksa. Masing-masing kepala memikirkan hal yang berbeda, sedangkan hati merasakan luka yang sama. Kenapa begitu sulit untuk membuka mulut? Tidak adakah yang ingin kamu sampaikan ke aku, Saga? Begitu hati Val berbicara. Aku sama sekali tidak mengerti. Kau jelas-jelas mengetahui isi hatiku, kenapa kau membohongiku, Val? Setelah Arion, aku, dan sekarang Noah? Wanita macam apa kau sebenarnya? Sakit kepala Saga mengeluarkan pemikiran itu. “Kau bisa naik sendiri, Val? Aku ingin segera istirahat, kepalaku sakit,” kata Saga begitu mesin mobil dimatikan. Mereka sudah sampai di area parkir apartemen. Val mengangguk lalu turun dari mobil. “Aku duluan, Ga.” Tanpa menunggu jawaban, Val pergi dari sana dengan hati dan pikiran yang saling berkecamuk.
Hari yang sama dengan kemarin. Val dan Saga bekerja dalam diam. Pun perjalanan ke kantor hanya sepi yang menjadi orang ketiga. Keduanya sengaja menyibukkan diri dengan isi kepala masing-masing walau luka di hati semakin besar. Arion dan teman-teman lain tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka berdua sama-sama bungkam. “Hai, Val,” sapa Arion ketika baru saja keluar dari lift dan Val keluar dari toilet. Ada Saga di samping Arion. Val dan Saga saling menatap sebentar sebelum Saga pergi lebih dulu, dan Val membalas sapaan Arion, “Ha-hai.” Arion memandang Saga dan Val bergantian. “Kalian … bertengkar?” Val bingung harus menjawab apa. Helaan napas terdengar dari bibir Arion. “Maaf, Val, aku benar-benar nggak bisa membantumu,” katanya menyesal. “Rion, apa maksud ucapanmu kemarin?” Tiba-tiba Val bertanya. Dahi Arion berkerut. “Yang mana?” “Kamu bilang, apa pun yang terjadi, aku nggak boleh meninggalkan Saga. Memangnya ada apa?
“Apa?!” Noah berteriak kaget sampai nyaris berdiri bila tidak menyadari sedang berada di tempat umum. “Kalian akan menikah? Kamu dan Bima? Serius?”Val mengangguk dengan wajah lesu.“Ta-tapi … tadi ….” Noah merujuk pada Saga yang terlihat dingin saat bertemu mereka di tempat parkir. Pasangan yang akan menikah harusnya terlihat bahagia, tapi kondisi yang Val dan Saga tunjukkan mengatakan sebaliknya. Ia jadi penasaran apa yang terjadi sebenarnya.Helaan napas panjang lolos dari bibir Val. “Panjang ceritanya,” ujarnya lesu.“Kalau kamu nggak keberatan, kamu boleh menceritakannya padaku. Biar aku yang bicara dengannya.”“Jangan. Aku nggak mau dia semakin membencimu atau aku. Dia sudah cukup cemburu dengan atasanku yang juga sahabatnya. Sekarang, melihat kita bertemu seperti ini, aku yakin dia sangat marah.”“Tapi ….”“Izinkan aku
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada