“Sudah kubilang aku nggak cemburu!” Val menutup pintu mobil dengan keras saat mereka sudah sampai di tempat parkir apartemen.
“Tapi, wajahmu merah!” Saga mengejar gadis itu sambil tertawa.
Val berjalan cepat-cepat menuju lobi apartemennya. Ia sangat kesal sekali karena Saga membahas hal itu lagi sepanjang perjalanan dari rumah orang tuanya.
Saga berhasil menyamai langkah Val dengan mudah. Gadis itu tidak peduli dan segera masuk ke dalam lift. Ketika Saga ingin masuk, Val menahannya.
“Sana pulang! Kamu membuatku marah saja!” usirnya. Ia menekan tombol lantai tujuannya dan membiarkan pintu perlahan menutup.
Herannya, Saga tidak memaksa masuk. Ia hanya tersenyum mengamati Val hingga tidak terlihat lagi, kemudian kembali ke apartemennya dengan senang.
Val menatap pantulan dirinya di dinding lift. Desah pelan lolos dari bibirnya. Kejadian beberapa hari terakhir ini, berputar-putar dalam benaknya. Semuanya terja
Saga memang sudah merencanakan akan membuat nasi goreng. Ia sengaja menggoda gadis itu lagi, yang justru menjadi senjata makan tuan dengan permintaannya yang tidak masuk akal.“Kau duduk manis saja di situ. Biar aku yang menyiapkannya. Waktu aku sakit, kau sudah membuatkan makanan untukku. Ini sebagai balasannya.” Sambil berkata begitu, Saga mulai mengeluarkan nasi putih yang sudah ia siapkan sebelumnya, telur, daging ayam, dan beberapa bumbu tambahan.“Oh! Aku nggak perlu membantu sama sekali, ‘kan?” Val duduk bertopang dagu di meja.“Iya. Kau diam saja. Oh, wajan di mana? Talenan? Pisau?” Saga sibuk mencari di laci dan lemari dapur Val.Val tertawa lalu mengambil peralatan yang dibutuhkan. Pada akhirnya, dia juga turut membantu Saga mencuci dan memotong bahan-bahan. Meski Saga menolak, tapi ia tetap bersikeras melakukannya.“Aku kasihan sama dapurku.” Begitu jawaban Val.Pagi itu, di da
Saga mengusap puncak kepala Val sebelum berkata, “Kau siap-siap, ya? Tiga puluh menit lagi aku tunggu di lobi.” “Hah? A-apa ma─” Kecupan singkat di kening, menambah kebingungan Val. Bahkan setelah Saga keluar dari apartemennya, gadis itu masih membeku di tempat. “Val, sadar, Val!” Gadis itu menepuk-nepuk kedua pipinya lalu bersiap-siap seperti yang Saga minta. Tak lama, keduanya sudah berada dalam perjalanan ke bagian Timur kota. “Mau ke mana kita?” tanya Val. “Kau lihat saja nanti.” Melihat Saga tidak menjawab pertanyaannya, gadis itu cemberut. “Kamu mau menculikku lagi seperti dulu?” “Kau yang sukarela ikut.” “Huh!” Saga tertawa. “Membuat bahan untuk kelanjutan ceritamu,” terangnya. Wajah Val memerah. “Kenapa kamu bisa tahu?” Laki-laki itu tertawa kecil. “Tentu saja karena aku ada di dalamnya. Kalau kutanya langsung padamu, kau nggak akan menjawabnya.” “Memang ….” Val tidak bisa
“Oh … Rara pernah menceritakannya sedikit.” Val mengangguk. “Teman kuliahku. Awalnya hanya murni berteman. Dia juga membantuku dan Arion saat merintis perusahaan. Hanya dua tahun bertahan, tiba-tiba dia menghilang setelah pertengkaran kami.” “Pasti kamu yang salah.” “Enak saja!” “Kamu tahu ‘kan istilah ‘women is always right’?” “Oke, oke, demi gadis kesayanganku supaya nggak ngambek lagi, aku menyerah deh. Capek juga berdebat denganmu.” “Kenapa kamu menceritakannya padaku?” Pertanyaan Val membuat keduanya saling bertatapan. “Aku nggak ingin menyembunyikan apa pun darimu. Aku ingin kau mendengarnya langsung dariku.” “Kukira kamu sudah berkencan dengan banyak wanita. Ternyata baru satu.” Val mengalihkan wajah. “Kau balas dendam rupanya.” Keduanya lalu tergelak bersama. Kemudian, gelap mulai turun dan lampu-lampu dinyalakan. Kios-kios makanan pun satu per satu membuka dagangannya ya
Lama waktu berlalu dan Val belum kembali dari mengambil minum, membuat Saga heran lalu menoleh. Betapa terkejutnya ia melihat Val terduduk di lantai dengan kepala terkulai dan gelas kosong di dekatnya. “Val!” Bergegas Saga berlari dan mengguncang tubuh Val. “Val! Kau kenapa?” Pandangan Saga tertuju pada gelas di lantai dan botol di dekat lemari dapur yang terbuka. “Astaga! Dia minum ini? Berapa banyak yang dia minum?” Saga panik. “Val! Bangun, Val!” Ia berusaha menyadarkan gadis yang masih bergeming itu. Setelah beberapa kali usaha, perlahan kepala Val terangkat. Sorot matanya tidak jelas, dan ia tersenyum miring. Seruannya pun terdengar aneh. “Saagaaa …! Sagaaa … kok kamu ada banyak siiih …? Ada satu, dua, lima … dan, semuanya milikkuuu …!” Cara bicara Val yang sudah tidak jelas alias meracau itu menunjukkan dirinya sedang mabuk berat. “Gawat! Kau mabuk, Val! Kau minum berapa banyak?” Saga berusaha membawa Val berdiri, tapi tubuhnya m
Ucapan Arion membuat mata Saga berkilat marah. “Kau …!” desisnya. Arion terkekeh sambil melepas cengkeraman Saga di bajunya. Sahabatnya ini memang berbeda dari yang lain. Di saat semua pria di lingkungannya berganti-ganti pasangan atau sudah melakukannya, hanya Saga yang tidak pernah menyentuh wanita di luar batas sekalipun itu kekasihnya sendiri. “Aku tahu kamu bukan orang seperti itu. Aku menghargainya. Dan, aku bersyukur akhirnya kalian saling mengakui. Kalian sangat beruntung.” Arion mengangguk saat pelayan meletakkan pesanannya. Ia pun meneguknya sedikit. Keduanya diam sambil menatap cangkir kopi masing-masing. “Kalian akan menikah? Kapan?” “Entahlah, kami belum membahasnya lagi.” Arion mengangguk. Kedua pria itu pun menghabiskan waktu di café hingga menjelang subuh. Sementara itu, Val masih terlelap di kamar Saga yang nyaman. Saga masih tetap berada di café setelah Arion meninggalkannya subuh tadi. Meskipu
“Kak Saga kalau sudah mengantuk, bakal lama tidurnya. Aku juga lagi off hari ini.” Kaira menambahkan saat Val masih terkejut dengan ajakan itu.“Oh. Baiklah.” Akhirnya Val setuju setelah memikirkannya.“Oke, sip! Nanti aku jemput di lobi, ya?” Adik Saga tampak kegirangan mendengar jawaban itu.Val pun segera pamit ke apartemennya untuk bersiap-siap. Kurang dari satu jam, Val sudah berada di dalam mobil Kaira yang melaju santai.“Kak Val biasanya weekend ke mana?” tanya Kaira.“Aku jarang berpergian sih. Aku termasuk kaum rebahan,” jawab Val sambil tertawa.“Ih, enaknya. Aku juga maunya gitu, tapi kadang kaki ini gatal minta jalan-jalan. Kebiasaan di tempat kerja karena harus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.”“Kamu keren.” Pujian yang dilontarkan Val membuat Kaira sedikit tersipu.“Ah, keren apanya. Kalau keren,
Saga sudah menunggu di depan lobi apartemen Val ketika dua gadis itu tiba menjelang malam.“Kalian ini dari mana saja sampai malam begini baru pulang?” omelnya ketika Val dan Kaira turun. “Pasti kau yang bikin gara-gara!” tuduhnya pada sang adik.“Salah sendiri suruh siapa molor!” Kaira tidak mau kalah. “Makanya jangan bergadang. Apalagi sama cewek, bisa sampai pagi tuh!”Val jadi tersipu melihat kedipan mata Kaira.“Bergadang apanya?” bantah Saga. “Aku nggak─”“Iya, iya, aku mengerti. Aku nggak akan bilang Mami kalau kalian ….” Kembali Kaira mengedip nakal. “Ah, tapi Mami kayaknya juga nggak keberatan. Malah seneng mau dapet cucu, dan aku dapet keponakan. Asyiiik!”“Hei, Kai, kau ini ngomong apa sih?! Val, dia habis makan apa jadi melantur begini?” Wajah Saga memerah dan menatap Val untuk meminta pertolongan.Val hanya b
Saga baru saja selesai mandi ketika teringat kado pemberian Val yang sudah ia letakkan di lemari bajunya. Ia tersenyum melihat botol wewangian itu lalu menyemprotkannya ke seluruh tubuh.Wangi segar favoritnya segera memenuhi ruangan. Perlahan ia menghidu aromanya dan rasa bahagia menyeruak di dadanya.Dengan wajah penuh senyuman Saga menjemput Val di lobi. Gadis itu sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu.“Kau tidur nyenyak semalam?” tanya Saga saat keduanya sudah melaju santai.“Lumayan. Kamu sendiri?”“Hmm … saking senangnya, aku nggak bisa tidur.”“Kenapa?”“Karena kau selalu ada di kepalaku, di depan mataku, bahkan menutup mata pun, kau masih ada di sana.”Val mendelik mendengar rayuan Saga. “Halah! Pagi-pagi sudah ngegombal,” decaknya. Samar-samar hidungnya mengenali aroma parfum yang ia beli kemarin.Dia memakainya, p
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin