Sama seperti pagi biasanya.
Pagi hari ini pun Jane berhasil membuka kelopak matanya dengan bantuan suara merdu setelan alarm.
Tidak begitu saja bisa mengusir rasa kantuk yang sudah semalaman merajainya. Jane mengangkat tangan, menutupi mulut yang menguap, lalu ia mengucek mata guna mengusir residu pagi yang dihasilkan, lalu sibuk mengumpulkan nyawa.
Setelah beberapa saat bertahan di ranjang, Jane berhasil bangun, melemaskan badannya yang kaku sembari menyingkirkan selimut putih yang ia gunakan semalaman.
Jane merapihkan rambutnya dengan jemari kemudian mengumpulkannya menjadi satu menjadi gulungan bundar di belakang kepala. Gadis ayu itu kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur.
Seperti biasa, seperti orang kebanyakan. Setiap baru bangun tidur Jane selalu mengambil satu gelas air putih untuk di minum.
Setelah selesai dengan mengisi mineral Jane hendak menuju kamar mandi, baru hendak, karena sepagi ini siapa yang sangka ada orang yang
“Kamu tidur sama dia?” Suasana hening dalam mobil yang di tunggangi Theo itu seketika berubah atmosfir menjadi lebih pekat. Setelah menemui ayahnya di rumah Jane tadi, Theo tidak menunda untuk segera membawa pergi ayahnya dari sana, namun ketika ingat kunci rumahnya di buang kemarin malam lelaki itu tanpa kata hanya menuju mobil dan duduk di kursi penumpang Ferrari milik Kevin itu. Membuat sang ayah yang tadinya ingin mengunjungi tempat tinggal sang anak harus mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah-nya sendiri. Kevin mengambil kemudi. Menyetir dengan sang anak di sebelahnya. Menanyakan hal yang harusnya tidak ditanyakan. Kevin tinggal di Jerman, dan tidak ada orang tua menanyakan hal semacam itu pada anak mereka, Kevin pun tau itu, hanya saja, ia ingin bertanya. Helaan napas santai menjadi balasan dari pria yang masih membuang pandangannya ke jalanan itu. “Usia saya tiga puluh satu tahun beberapa bulan lagi.” Yang ar
Ingat tentang rencana liburan berkedok survei tempat di Jogja? Jane serta kedua temannya melaksanakan rencana itu hari ini. Dan daripada menaiki pesawat ataupun kereta agar bisa sampai lebih cepat mereka memutuskan untuk naik mobil saja. Sembari menikmati perjalanan yang ada dan juga ingin sesekali mencoba menyetir ke tempat yang jauh. Lili datang ke rumah Jane dengan satu tas kecil, wanita itu tak membawa apapun selain pakaian dalam, skincare dan peralatan make up, katanya; gue yakin pasti ada orang jual baju di sana. No ribet-ribet club. Apalagi Maria. Sama seperti Lili barusan, ibu satu anak itu juga merasa keberatan jika harus membawa banyak barang. Meski tau kalau bagasi mobilnya mampu menampung lebih dari sekedar pakaian untuk lima hari. Berkat kemujuran hidup Maria, mereka juga tidak akan kebingungan dengan tempat menginap. Hotel besar milik keluarga sultan itu tentunya ada cabang di Jogja. Jane memeriksa kembali lembar jadwal liburan y
Suasana di ruangan lebar itu terasa sepi. Tembok berwarna cream dengan aksen modern yang kental itu juga menambah kesan dingin alih-alih warnanya bertone hangat, di samping jendela besar sana ada meja mahoni berukuran besar dan juga kursi kebesaran, lalu di seberangnya juga ada sofa besar mengisi kosong dalam ruangan. Ruangan ini adalah ruangan pemimpin perusahaan konstruksi yang semula menaungi Theo. Ruang kerja milik teman semasa SMA pria itu. Theo memang biasanya tanpa alasan mengunjungi beberapa teman, selain untuk kumpul saat sedang tidak sibuk, beberapa kali memang Theo hanya ingin menghilangkan pikiran. Seperti sekarang ini. Hidupnya tengah agak berantakan, Theo dengan sadar menyadari dan memulai kekacauan tersebut. Kendati demikian, keyakinan Theo sebagai individu yang pilihannya bisa direnggut oleh dirinya sendiri ini jelas menang. Theo tentu lebih memilih mengambil beberapa resiko daripada mengengkan kemauannya dan hidup deng
Sesampainya empat wanita itu di Jogja, mereka tidak lain tidak bukan langsung membawa diri pada ranjang hotel guna mengusir lelah dan pegal karena seharian menyetir. Tidur di sana hingga sore sebelum kembali mendapat energy untuk segera menyicipi pemandangan pantai yang bisa mereka dapat tak jauh dari lokasi hotel. Sewaktu dengan santai dan juga rileks menikmati pemandangan alam yang amat luar biasa ini, seperti biasa manusia yang paling tidak bisa diam diantara mereka langsung menawarkan sebuah permainan. Maria menunjuk satu laki-laki didepan sana, laki-laki dewasa yang tidak memakai atasan apapun untuk menutupi segenap otot tubuh bagian atas, membuat taruhan mengenai apa orientasi seks laki-laki itu dengan empat orang lainnya. Jane tau ini sangatlah tidak penting dan juga sangat tidak sopan, namun ia bisa berbuat apa ketika Lili dengan semangat mengatakan pilihannya? Jane tidak bisa menolak dan segera membuat pilihan juga. Tentu. Manusia den
Sepasang kaki putih berbalut sandal yang terbuat dari rotan itu berjalan santai diantara berpasang-masang kaki lainnya, sibuk bergerak menuju ke tujuan masing-masing. Sudah dengar bahwa Jane telah divonis hukuman bukan? Ia mendapatkan sebuah piercing di pusar. Jane suka itu. terdengar cukup seksi namun tidak berlebihan menurutnya. Maka disinilah ia, sedang berjalan dengan tiga orang wanita yang ia bawa untuk berlibur bersama. Menapaki lantai bersih sebuah mall besar yang ada di Jogja, tak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Setelah sekitar dua jam berjalan-jalan hanya untuk shopping dan juga kulineran, Jane akhirnya akan segera di eksekusi. Maria dengan empat paperbag di tangannya menyamai langkah Jane yang semula ada di baris depan bersama Lili. Kelihatannya masih saja ingin bertanya-tanya tentang suatu hal yang telah mereka bahas sebelumnya. Sebuah rahasia yang tiba-tiba saja diungkap oleh mulut besar Lili. Jane m
Sore ini di komplek perumahan yang terasa sepi itu sudah menyala sebuah mobil berwarna hitam. Sedangkan dari pintu putih pemilik dari si mobil hitam dan juga rumah itu terlihat sudah rapih dengan kemeja dan juga celana bahan kebanggaannya, sepatu mengkilap yang digunakan sudah menjelaskan kalau ia akan pergi ke pertemuan penting, ditambah dengan jam tangan mahal di pergelangan tangan dan juga tatanan rambut yang rapih. Theo sudah terlihat seperti boss yang hendak menjemput kekasih yang merupakan karyawannya sendiri seperti tema novel-novel romansa belakangan. Meskipun kisah cintanya tak semanis seperti novel-novel itu, namun visual Theo memang benar-benar terlihat seperti manusia yang keluar dari lembaran kertas penuh kata-kata itu. Ada yang bisa menebak kemana kiranya Theo si boss ini akan pergi? Jerman? Korea? Salah. Jawaban yang benar adalah Jogja. Kenapa? Ada masalah? Apakah sulit di percaya kalau seorang pria bisa menyusul
Malam yang indah penuh kelap-kelip lampu remang yang menenangkan kendati keadaan ramai itu selalu tersimpan dengan baik di salah satu sudut pikiran Jane. Malam di Malioboro sejatinya memang tidak pernah mengecewakan. Dan mereka berada di tempat yang tak pernah membosankan itu. Duduk di salah satu bangku panjang dan juga meja kayu yang hampir lapuk dimakan usia, bersama dengan satu gelas berukuran sedang berisi minuman hangat yang rasanya sedikit panas dan juga pedas. Sebuah judul kuliner yang tidak boleh dilewatkan jika melancong ke kota istimewa. Jane lupa kapan terakhir kali menikmati malam yang indah di tempat ini, ia tidak terlalu ingat, ia hanya yakin kalau benar bahwa memori indah dan juga hangat selalu tercipta setiap ia dan keluarganya pergi ke Malioboro. Jane menggeser gelas berisi wedang ronde miliknya lebih dekat, mencium aroma hangatnya yang mampu merilekskan segenap gundah dan lalu membawa bibirnya mendekat pada pinggiran gerabah
Theo tentu saja tidak akan membatalkan makan malam hanya karena hal sekecil itu. Ditolak? Sudah biasa. Jadi dengan nada suara yang tegas dan bersih Theo menanyakan ingin makan apa dan juga makan dimana. Jawaban Jane sama sekali tidak ada yang salah, gadis itu mengatakan apa yang ingin dimakannya dan juga tempat mana yang menyediakan makanan itu. Hanya saja, satu hal yang membuat Theo sedikit terkejut. Dan mulai menahan senyum indah di wajahnya. Tidak menyangka. Theo harusnya tau bagaimana peringai Jane, dan harusnya ia paham kalau gadis itu tidak akan mau dibawa pergi seorangan oleh Theo. Apalagi untuk makan malam di salah satu restoran ternama di Jogja. Iya. Jane membawa serta pasukannya untuk makan malam bersama Theo. Dan Theo tidak merasa keberatan sama sekali dengan itu. ia tidak masalah, toh tujuannya untuk tetap ada di jangkauan mata Jane tetap terpenuhi. Didalam lingkaran meja bundar yang terbuat da
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan