"Apa semuanya harus seperti itu? Mungkin saja Kevin berbeda, ia lebih memilih mandiri dari pada dilayani seperti seorang raja." Diana berpendapat berpendapat berbeda.
Eh? Akhirnya Diana membuka mulutnya untuk memihak ku, batin Kevin merasa bahagia.
Kevin tersenyum. "Terima kasih."
"Hm? Kenapa berterima kasih?" tanya Diana pada Kevin dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Kevin menggeleng. Ia memutuskan membicarakan sesuatu yang lain.
"Ada yang ingin ku beritahu. Sebenarnya aku hanya ingin menceritakan ini padamu saja, Diana.Tapi baiklah, aku tak peduli jika dia ada di sini." Kevin mulai berbicara.
'Dia' yang dimaksud Kevin adalah Revan.
Diana tiba-tiba merasa nada bicara Kevin berubah.
21"Eh, maksudmu, kau di sana bersaing dengan seseorang lalu kau tak senang maka kau melarikan diri?" tanya Kevin lagi masih terus memojokkan Revan. Revan yang kesal merasa emosinya sedang berada di level yang tinggi. Padahal niatnya adalah membantu Kevin yang sebenarnya bingung dengan keputusannya ingin pindah sekolah. Revan menghela napas mencoba menghilangkan kekesalannya. "Aku disekolahkan di sana oleh ayahku. Karena hubungan kami kurang baik aku memutuskan pindah dari sekolah itu." Kevin sudah bercerita tentang sedikit kehidupannya. Mungkin tak masalah jika Revan mengatakan sedikit juga tentang kehidupannya. Diana dan Kevin diam setelah Revan menjawab. Tak mengira akan mendengar sesuatu yang pribadi dari seorang Revan. "Apa kau serius?" Diana bertanya khawatir. "Kau menceritakan ini, apa k
"Hei, menurutmu kenapa Kevin tak berada di rumahnya selama beberapa hari ini?" Diana memulai percakapan ketika mereka sudah selesai mengikuti beberapa wahana di taman bermain. Saat ini mereka berjalan mencari tempat duduk untuk beristirahat. Revan belum menjawab. Diana berkata lagi, "Aku berpikir kemungkinan dia sedang pergi berlibur, karena itu ia tak berada di rumahnya. Tapi kalau begitu, kenapa dia tidak memberitahu kalau dia akan berlibur?" Tiba-tiba Diana berhenti melangkah. "Tunggu dulu. Aku ingat." Diana memicingkan matanya menatap kakinya. Ia sedang berpikir. Revan ikut memberhentikan langkahnya. "Dia pernah bilang mau mengajakku pergi ke taman hiburan ketika hari libur sudah mulai. Saat itu sedang ujian berjalan beberapa hari." Diana ingat ketika dirinya selesa
Minuman yang diambil kembali oleh Revan membuat Diana tak terima dan menggunakan otaknya menghasut Revan. "Apa kau yakin bisa meminum semuanya? Dua minuman ukuran jumbo, itu banyak sekali." Diana mau menghasut Revan agar Revan berpikir untuk mengembalikan minuman Diana. "Aku bisa membawanya pulang atau memberikannya pada orang lain yang mau meminumnya," jawab Revan. "Aku 'kan tidak bilang, kalau aku tidak mau." Diana mengambil kembali minuman itu. Tak bisa menghasut Revan, maka Diana bisa merampasnya langsung. Revan terkesiap dengan tindakan Diana. Tapi kemudian dia tersenyum. Ia merasa setengah terkejut dan geli dengan tingkah Diana. "Oh ya, kau salah. Ini bukan ukuran jumbo. Masih ada ukuran yang lebih besar lagi," ucap Revan masih dengan senyum gelinya. Diana yang sedang meminum minumannya langsun
Jessie saat ini tengah makan malam sendirian. Ia tidak ikut makan bersama di panti dengan saudara-saudaranya. Ia memilih makan di sebuah restoran. Sebelumnya Jessie sudah menyerahkan urusan menyiapkan makan malam pada saudara yang lain. Biasanya Jessie yang menyiapkan makan malam dan kalau bukan jadwalnya, Jessie akan tetap mengawasi sampai mereka semua makan bersama. Tapi kali ini Jessie tidak menyiapkan makan malam dan tidak mengawasi karena ia tengah berada di luar panti. Saat Jessie menikmati makanannya, ia melihat ada seorang gadis yang tampak familier. Gadis itu memakai seragam yang sama dengan pekerja restoran yang melayani Jessie tadi. Sepertinya gadis itu bekerja di restoran yang didatangi jessie ini. Ah, Jessie ingat dimana ia pernah melihat gadis itu. Sebenarnya Jessie baru pertama
Hari ini adalah hari kedua sejak Oliver datang. Kevin masih berada di panti saat ini. Kevin ternyata masih menunda penjelasannya pada adik-adiknya. Ia terus mengajak mereka pergi ke beberapa tempat dan menghabiskan waktu bersama mereka. Ia ingin menjelaskan pada mereka setelah hari ketiga. Kemudian pada esoknya hari ketiga. Kevin membeli banyak barang untuk diberikan pada mereka bahkan jumlahnya lebih dari yang di butuhkan. Kevin membelikan mereka pakaian, sepatu, sendal, mainan, alat tulis dan barang lainnya yang dibutuhkan. Kemudian mereka berkumpul semuanya menanti jawaban yang selama ini ditunda oleh Kevin. Kevin juga selama beberapa hari itu berusaha mencari jawaban apa yang tepat untuk dikatakan pada mereka. "Aku bingung harus mulai dari mana untuk membicarakan ini." Kevin menggaruk tengkuknya sebagai bentuk pengalihan rasa tidak nyamannya. "Kalian bisa bertanya padaku apa yang mau kalian tanyakan.
Diana memiringkan badannya hingga bisa melihat Revan yang ada di depan pintu kelasnya. "Kau di kelas ini juga?" tanya Kevin pada Revan. "Begitulah," balas Revan seadanya. "Tunggu Revan. Kata-kata mu tadi.. jadi kau sudah tahu hal ini?" Diana menyipitkan matanya pada Revan. Jadi Revan tahu bahwa Kevin baik-baik saja dan tidak pindah sekolah? tanya Diana dalam hati. "Sekarang kau sudah mengerti, kan." Revan membalas. "Huh?" Diana ingat percakapannya dengan Revan di telepon. Jadi memang maksud Revan itu berhubungan dengan Kevin. "Kenapa kau tidak memberitahuku langsung? Kau senang dengan apa yang kau lakukan?" Diana berkata dengan perasaan kesal. "Sekarang seharusnya kau menuntut penjelasan padanya bukan padaku," ucap Revan menunjuk ke arah Kevin. "Oh, benar." Diana beralih menatap Kevin. Revan berhasil mempengaruhi Diana dan mengalihkan perhatian darinya.
"Kuberi tahu, ya." Revan menekan nada bicaranya. "Alu melakukan ini bukan karena dirimu. Aku juga melakukan ini untuk Diana," lanjut Revan mendadak menyebut nama Diana. Diana sontak mengangkat wajahnya ketika mendengar Revan berbicara begitu. Ia melihat ke arah Revan yang sekarang tepat berada di hadapan Kevin. Meski begitu, Kevin masih tidak menghilangkan emosinya. Keadaannya sangat sulit waktu itu, adakah yang bisa mengerti perasaannya? "Jika kau ingin marah dan melampiaskannya, kau bebas melakukannya padaku." Revan membuat Kevin heran dan ingin menebak-nebak isi pikirannya. "Kau merasa marah 'kan? Kau juga merasa ingin memukulku? Maka lakukanlah," lanjut Revan. Kevin mengerutkan keningnya. Ia berpikir, apakah Revan sengaja mengatakan itu dan membuatnya semakin marah? Apakah Revan sedang mengejeknya? "Tentu saja aku tidak akan melakukannya dengan percuma. Ada satu syarat jika kau ingin memukulku."
Mungkin berkelompok seperti ini bisa mendekatkan hubungan diantara mereka berdua, batin Diana. Ia tersenyum sembari melihat kedua anggota kelompoknya yang sama-sama berekspresi cemberut. "Perhatian! Sekarang kalian harus tahu apa tugas yang harus kalian kerjakan." Sang guru membuat para siswa yang tengah ribut membahas kelompok kembali memperhatikan ke depan kelas. Sang guru memperlihatkan tugas kelompok yang diberikan. Seketika sebagian murid histeris. Semua murid membulatkan matanya melihat gambar yang tampak dari hasil proyektor. Mereka harusnya tahu, tugas seperti apa yang membutuhkan waktu sebulan untuk mengerjakannya. Sudah tentu tugasnya itu tidak sedikit. Bolehkah
Suasana di sekitar mereka terasa lebih tenang setelah hiruk-pikuk acara kelulusan berakhir. Di sudut taman, Kevin dan Revan duduk di bangku kayu, menikmati hembusan angin yang sejuk.Diana sibuk berbicara dengan David, kakaknya, beberapa meter dari mereka. Ini kesempatan langka bagi Kevin dan Revan untuk berbicara empat mata tanpa gangguan.Kevin, dengan gaya santainya, menyandarkan punggung ke bangku dan menatap Revan dengan wajah penasaran. “Revan, aku penasaran dengan sesuatu.”Revan, seperti biasa, tetap tenang. Ia melirik Kevin sekilas sebelum kembali menatap langit yang mulai berubah warna. “Kenapa?”Kevin mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Revan dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya. “Aku ingin bertanya padamu. Kenapa sampai sekarang kau belum juga mengungkapkan perasaanmu pada Diana? Kita sudah lulus, tapi kau tetap diam saja. Padahal aku ingat kau pernah bilang kalau kau menyukai Diana.”Revan tidak langsung menjawab. Kevin bertanya sesuatu yang diluar
Beberapa bulan berlalu, waktu demi waktu terlewati.Langit biru cerah membentang luas, seakan merestui hari istimewa ini. Aula sekolah dipenuhi oleh para siswa, guru, dan keluarga yang datang dengan wajah penuh kebanggaan. Setelan rapi memenuhi ruangan, menciptakan suasana formal yang berbeda dari hari-hari biasa di sekolah.Kevin berdiri di antara kerumunan, mengenakan setelan jas seragamnya dengan dasi yang sedikit longgar. Ia merapikan rambutnya dan menghela napas panjang.“Sudah siap?” tanya Diana, berdiri di sampingnya.Kevin menyeringai. “Siap atau tidak, aku tetap harus lulus, bukan?”Diana tersenyum, lalu menoleh ke arah Revan yang berdiri di sisi lain. Berbeda dengan Kevin yang tampak santai, Revan terlihat tenang seperti biasa. Jas seragamnya terpasang sempurna, membuatnya tampak lebih dewasa.“Kau tidak gugup?” tanya Kevin, melirik sahabatnya.Revan mengangkat bahu. “Tidak ada alasan untuk gugup.”Kevin terkekeh. “Ya, tentu saja. Kau sudah tahu bahwa kau yang akan menjadi l
Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru cerah. Kevin berdiri di depan rumah, merapikan seragamnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam tongkat yang masih ia gunakan untuk berjalan. Rasanya aneh mengenakan seragam lagi setelah sekian lama, tapi juga menyenangkan.Sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Albert keluar dari kursi pengemudi dan melangkah mendekat. “Siap?”Kevin mengangguk mantap. “Tentu.”Albert membukakan pintu untuknya, dan Kevin masuk dengan hati-hati. Perjalanan menuju sekolah terasa sedikit nostalgik baginya. Ia menatap keluar jendela, melihat jalanan yang dulu begitu akrab, kini terasa sedikit berbeda setelah sekian lama absen.Begitu sampai di depan gerbang sekolah, Kevin menarik napas dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan beberapa murid yang melihatnya turun dengan tongkat. Tapi sebelum ia sempat merasa canggung, suara familiar menyapanya.“Kevin.” Diana berlari kecil ke arahnya, diikuti oleh Revan yang berjalan lebih santai.Kevin ters
Ruangan itu dipenuhi kehangatan. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan nuansa nyaman yang menyelimuti setiap sudut. Meja panjang tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat, mengeluarkan aroma menggugah selera. Di dinding, sebuah spanduk besar bertuliskan "Selamat Kembali, Kevin!" tergantung dengan megah, seolah menjadi pusat dari semua perhatian.Kevin berdiri di ambang pintu, matanya berbinar saat melihat semua yang telah dipersiapkan untuknya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit, akhirnya ia bisa merasakan suasana seperti ini lagi—berada di antara orang-orang yang peduli padanya, dalam perayaan yang dibuat khusus untuknya.Di sampingnya, Albert menepuk pundaknya ringan. “Selamat datang kembali.”Kevin menoleh dan tersenyum. “Kak Albert, kau benar-benar tidak main-main.”“Tentu saja tidak,” ujar Albert sambil terkekeh. “Ini adalah hari istimewamu.”Mereka melangkah masuk, disambut oleh Diana dan Revan yang sudah menunggu di dalam. Beberapa orang lainnya juga hadir, memb
Ruang terapi dipenuhi cahaya sore yang hangat, memantul di lantai putih yang mengilap. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkah pasien lain dan peralatan medis yang sesekali berbunyi.Di tengah ruangan, Kevin berdiri di antara dua batang besi paralel. Tangan kanannya mencengkeram erat besi, sementara tangan kirinya sedikit lebih longgar. Napasnya berat, matanya tertuju lurus ke depan.Diana dan Revan berdiri di sisi ruangan, menjaga jarak. Mereka mengawasi Kevin dengan seksama.Sebenarnya Albert juga menemani Kevin saat terapi di hari-hari sebelumnya, namun untuk kali ini ada pekerjaan yang membuatnya tidak hadir.Diana meremas jemarinya sendiri, matanya fokus memperhatikan Kevin, tapi ia menahan diri untuk tidak bersuara. Sementara itu, Revan berdiri dengan tangan bersedekap, ekspresinya tenang, tapi sorot matanya tajam, memperhatikan setiap gerakan Kevin dengan penuh harapan.Tidak jauh dari mereka, seorang dokter berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan clipboard di
Beberapa hari berlalu sejak pembahasan sekolah Diana.Saat ini Diana berdiri di depan cermin, mengenakan seragam sekolahnya. Ada perasaan aneh saat ia melihat pantulan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengenakan sesuatu yang familiar, tapi juga asing di saat yang bersamaan.Ia menatap dirinya lebih lama, mencoba mengingat sesuatu—apa pun. Tetapi pikirannya tetap kosong.Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Diana, ayo turun! Revan sudah datang menjemputmu!” suara David terdengar dari luar kamarnya.Diana mengernyit mendengar nama yang disebut kakaknya. “Revan?”“Iya, aku sudah menghubunginya semalam. Aku ingin dia menjagamu di sekolah,” sahut David menjelaskan pada Diana yang bingung.Diana merasa sedikit terkejut mendengar perkataan David. Namun, ia tidak membantah. Ia mengambil tasnya dan melangkah ke ruang tamu, di mana seorang laki-laki dengan rambut hitam berdiri dengan ekspresi datar namun tenang.“Hai,” sapa Revan singkat.Diana menatapnya beberapa detik, merasa sedikit bers
Diana berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya yang ia ikat ke belakang dengan sederhana. Matanya menatap bayangannya sendiri.Suara notifikasi handphone berbunyi pelan membuyarkan lamunannya. Ia meraih handphonenya dan melihat pesan bahwa Revan sudah datang.Diana segera mengambil tasnya dan bergegas keluar. Tidak lupa mengunci pintu rumahnya.Di depan rumah, Revan sudah menunggunya di balik kemudi mobil hitamnya. Jendela di sisi pengemudi terbuka, memperlihatkan wajahnya yang seperti biasa, datar, tapi ada sedikit kelembutan di matanya.“Duduklah di samping kemudi,” katanya singkat pada Diana.Diana mengangguk sambil masuk ke mobil. Begitu pintu tertutup, Revan kembali melajukan mobil ke jalan. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara lembut musik dari radio yang mengisi ruang di antara mereka.“Kau kelihatan tegang,” kata Revan akhirnya, tanpa menoleh.Diana menarik napas. “Aku... cuma masih sedikit khawatir. Meski ini kedua kalinya aku menjenguk Kevin, tetap saja a
Lorong rumah sakit dipenuhi bau antiseptik yang khas, bercampur dengan suara langkah kaki perawat yang berlalu-lalang. Lampu-lampu putih menerangi setiap sudutnya dengan cahaya dingin yang sedikit menyilaukan.Diana berjalan di samping David, kedua tangannya menggenggam ujung jaketnya dengan erat. Jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Ada kegelisahan aneh di dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Saat mereka berjalan di lorong, Diana melihat seseorang berjalan mendekat dari arah kanan mereka.Seorang pria dengan jaket hitam dan ekspresi tenang. Matanya tajam, namun ada sedikit kehangatan di balik sorotannya.Diana langsung mengenalinya. “Revan?”Revan menghentikan langkahnya dan menatap mereka. “Diana."Revan kemudian menoleh ke arah David, memberi anggukan kecil sebagai salam.Revan menatap mereka berdua sebelum akhirnya bertanya, “Kalian juga menjenguk Kevin?”David mengangguk. “Baru dapat kabar tadi pagi, Kevin sudah siuman sejak tadi malam. Kami ingin melihat
Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara alat monitor jantung yang berbunyi pelan. Lampu redup rumah sakit menerangi wajah seorang pria yang duduk di sofa samping tempat tidur pasien, matanya lelah, garis wajahnya penuh kecemasan yang telah menumpuk berhari-hari.Sudah berminggu-minggu Kevin koma setelah kecelakaan itu. Albert hampir kehilangan harapan, tapi ia tetap datang setiap hari, menunggu, berharap adiknya akan membuka mata dan memanggil namanya seperti dulu.Albert tampak duduk dengan mata tertutup, seolah sedang tidur. Tidak menyadari gerakan kecil dari arah kasur.Kelopak mata Kevin berkedut, lalu perlahan terbuka. Cahaya putih dari lampu rumah sakit menyilaukan pandangan kevin, membuatnya mengerjap beberapa kali. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun pelan.Dunia di sekelilingnya terasa asing—bau antiseptik memenuhi hidungnya. Tubuhnya terasa lelah, kepalanya nyeri, seolah ada sesuatu yang dipaksakan masuk ke dalam pikirannya tetapi tetap tak bisa ia pahami.Kevin mengerang