Share

Bab 2

Author: Jannah Raudhah
last update Last Updated: 2025-01-10 10:09:16
Ketika telepon dari rumah sakit masuk, aku sedang terhanyut dalam rasa terkejut dan kebahagiaan karena kesempatan hidup kedua.

Perawat memberi tahu bahwa bibiku mengalami kecelakaan mobil dan membutuhkan anggota keluarga untuk segera datang ke rumah sakit membayar biaya perawatan.

Aku melirik tanggal di layar ponsel, tanggal yang tidak pernah kulupakan.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengirim pesan kepada sepupuku, memintanya langsung ke rumah sakit.

Tidak hanya itu, aku juga membagikan kabar tentang kecelakaan bibiku ke grup keluarga, memberikan laporan langsung tentang situasi di lokasi.

Mendengar kabar bahwa bibiku mengalami kecelakaan, pamanku yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun langsung terbang dari provinsi lain bersama istrinya dan kakak sepupuku.

Malam itu juga, tanpa mampir ke hotel, mereka langsung ke rumah sakit dari bandara sambil membawa koper.

Setelah memastikan kondisi bibiku tidak mengancam nyawa, semua orang akhirnya bisa bernapas lega.

Pada saat seperti itu, semua orang baru teringat akan putri kandung bibiku, Yulia Subono.

Pamanku memandang sekeliling, tidak melihat Yulia, lalu bertanya kepadaku, "Kejadian besar seperti ini, kenapa Yulia belum datang? Bukannya kalian satu kampus?"

"Sudah kukirimi pesan, tapi dia belum membalas. Sebelumnya, aku juga mencoba telepon, tapi selalu masuk panggilan lain. Mungkin dia sedang sibuk dengan sesuatu."

Aku menjawab sambil menunjukkan layar ponsel.

Di layar ponselku terpampang puluhan pesan yang kukirimkan kepada Yulia dengan pesan pertama dikirim 18 jam yang lalu.

Kampus kami tidak jauh dari rumah sakit.

Bahkan jika berjalan merangkak, 18 jam sudah lebih dari cukup untuk sampai ke ruang rawat rumah sakit.

Melihat pesan-pesan hijau yang memenuhi layar, pamanku mengerutkan keningnya begitu rapat hingga bisa menjepit seekor nyamuk.

Aku berpura-pura merasa kesulitan, "Belakangan ini dia sibuk belajar, mungkin nggak sempat lihat ponsel."

"Sibuk belajar apa?" Kakak sepupuku tiba-tiba mengejek dengan dingin, "Menurutku, dia malah asyik bersenang-senang. Nggak sempat balas pesan, tapi punya waktu untuk makan bareng teman-temannya."

Sambil berbicara, dia memperlihatkan ponselnya kepada kami.

Tampak di layar adalah unggahan terbaru Yulia di media sosial, sebuah swafoto bersama teman-temannya di sebuah restoran barbeque Korea.

Waktu unggahan menunjukkan 8 menit yang lalu.

Aku, paman, dan bibiku tidak bisa melihat unggahan tersebut, mungkin karena kami diblokir olehnya.

Kakak sepupuku menggunakan akun WhatsApp baru yang ditambahkan melalui pemindaian kode QR, dan tampaknya Yulia lupa memblokirnya.

Aku mengusulkan agar kedua orang tua itu menelepon Yulia.

Namun, saran itu langsung ditolak.

"Om mau lihat, kapan dia akan ingat bahwa dia punya seorang ibu," kata pamanku.

Bibi dan kakak sepupuku juga menunjukkan sikap meremehkan. "Ibu kandungnya kecelakaan, tapi dia malah asyik makan dan bersenang-senang. Sia-sia saja membesarkannya."

Aku menundukkan kepala diam-diam, tidak ada yang menyadari makna mendalam di mataku.

Aku sudah tahu sejak lama bahwa Yulia mengatur kontakku sebagai mode 'jangan ganggu' dan memblokir nomorku.

Namun, para kerabatku tidak mengetahuinya.

Yang mereka lihat adalah aku mengirim puluhan pesan dan melakukan belasan panggilan tanpa mendapat respons sama sekali.

Dari situ bisa disimpulkan bahwa Yulia sama sekali tidak peduli pada ibunya.

Dalam pandangan pamanku dan istrinya, ini masalah besar.

Jika semua anak di keluarga bersikap seperti ini, bagaimana keluarga ini bisa bertahan?

Dulu, setiap kali Yulia melakukan kesalahan, bibiku selalu mengatakan bahwa dia masih muda dan tidak tahu apa-apa.

Aku tidak tahu apakah kali ini alasan itu masih bisa digunakan.

Di tengah situasi ini, aku kembali ke kampus untuk mengajukan izin sakit kepada dosen.

Sekaligus, aku mengirimkan formulir pendaftaran untuk program pertukaran pelajar.

Keesokan sore, ketika efek anestesi bibiku mulai hilang dan dia sadar, Yulia akhirnya muncul di pintu kamar rawat inap dengan langkah lambat.

Bibiku, yang sebelumnya diliputi rasa sakit fisik dan kesedihan, langsung membuka matanya ketika mendengar suara Yulia.

Dia tersenyum kepada Yulia sambil berkata, "Nak, kenapa nggak belajar dengan baik di kampus?"

"Kamu kok kelihatan kurus? Apa karena belajar, jadi makannya nggak teratur?"

"Ibu sudah bilang, kesehatan itu yang utama. Kalau kurang uang, bilang saja sama Ibu. Jangan sampai menyusahkan dirimu sendiri."

Related chapters

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 3

    Ternyata benar, hati manusia itu cenderung berat sebelah. Aku yang sibuk berlari ke sana kemari mengurus semuanya tidak dipedulikan, tetapi begitu anak kandungnya datang, dia langsung penuh perhatian.Di mata orang lain, jelas-jelas aku yang memegang slip pembayaran, bolak-balik di rumah sakit.Aku juga yang terus bertanya kepada dokter tentang kondisi bibiku dan detail perawatan yang perlu diperhatikan.Sebagai seorang keponakan, aku bahkan lebih berbakti daripada anak kandungnya sendiri.Keberpihakan bibiku yang seperti ini sungguh memalukan.Kalau mau jujur, siapa pun yang terluka pasti ingin mendapat perawatan seperti yang aku berikan.Daripada mengalami kecelakaan dan baru disambangi anaknya setengah hari kemudian.Namun, bibiku dan Yulia belum menyadari perubahan sikap orang-orang terhadap mereka."Ah, Bu, jangan terlalu khawatir soal aku. Ibu mengalami kecelakaan seberat ini, aku hampir mati karena khawatir.""Kalau saja nggak sibuk belajar dan nggak sempat melihat ponsel, aku p

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 4

    Wajah bibiku langsung kaku, seolah-olah baru menyadari sesuatu.Di hadapan semua orang, aku membuka halaman yang sudah aku tandai dan berkata pelan, "Sejak umur 15 tahun tinggal di rumah Tante, tahun ini sudah masuk tahun ketujuh. Aku masih berutang 76.840.000 kepada Tante. Setelah lulus, aku akan segera melunasinya."Begitu aku selesai bicara, Yulia langsung tidak tahan untuk menyela, "Tujuh tahun di rumah kami, kamu cuma menghabiskan 76.840.000? Bohong banget.""Biaya sekolah, biaya hidup, uang saku, ditambah lagi tempat tinggal dan makanan, paling sedikit juga ratusan juta."Dia mengerutkan kening, melirik buku catatan di tanganku, "Kamu pasti bikin catatan palsu."Sejak pertama kali aku tinggal di rumah bibiku, aku tahu Yulia tidak menyukaiku.Dia merasa aku merebut ruang pribadinya dan mencuri kasih sayang ibunya.Karena itu, dia sering menargetkan aku.Dia akan membuat ruangan yang sudah kubersihkan menjadi berantakan, mengeluh masakanku tidak enak lalu membuangnya ke tempat samp

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 5

    "Kak, apa gunanya melihat buku catatan itu? Kamu seharusnya lebih peduli padaku!"Melihat pamanku mengambil buku catatan itu, suara bibiku tiba-tiba meninggi, seperti ayam yang sedang menjerit.Wajahnya seketika menjadi lebih pucat, entah karena rasa sakit atau kaget.Reaksinya membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres.Namun, pamanku tidak memedulikan kata-kata adiknya.Dia membalik halaman buku catatan itu satu per satu, melihat tanggal dan isinya, sementara auranya makin menekan.Setelah selesai membaca seluruh catatan, dia tidak bisa lagi menahan amarahnya dan langsung melemparkan buku catatan itu ke wajah bibiku.Tindakan pamanku benar-benar mengejutkan semua orang yang ada di sana.Butuh dua detik bagi Yulia untuk bereaksi, dan setelah itu dia berteriak tak percaya sambil memarahi pamanku, "Om, Om ini sudah pikun ya?""Apa hak Om memukul ibuku? Apa salah ibuku?!""Meski Om mau membela Cynthia, Om nggak perlu sampai seperti ini. Kami sudah mengurus seorang yatim piatu, dan sek

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 6

    "Dan juga uang beasiswa Cynthia, uang dari kerja paruh waktunya, bagaimana bisa kamu dengan muka tebal menerima itu semua?""Kamu habiskan uang nyawa yang diberikan oleh Simon dan istrinya, memperlakukan Cynthia dengan buruk. Apa kamu nggak takut saat terbangun tengah malam, Simon datang mencarimu?""Dan juga soal uang sewa rumah Cynthia. Aku ingat setiap tahunnya uang sewanya sampai puluhan juta, ke mana uang itu? Katakan!""Kamu benar-benar mengecewakan kepercayaan yang aku berikan selama bertahun-tahun ini!"Kalimat terakhir ini diteriakkan oleh pamanku dengan suara melengking.Dia memandang bibiku dengan penuh kekecewaan, "Dulu aku berencana mengadopsi Cynthia dan mengajaknya ke provinsi lain untuk hidup bersama. Tapi kamu memohon agar aku kasih hak asuhnya padamu.""Tapi lihat, lihat apa yang sudah kamu lakukan.""Uang 1,2 miliar itu, kalau setidaknya setengahnya dipakai untuk Cynthia, aku masih bisa terima. Tapi, tujuh tahun hanya 76 juta. Padahal, uang yang dihabiskan oleh Yulia

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 7

    "Yulia Subono ya, nilainya masih kurang sedikit. Kecuali ada siswa lain yang mundur karena alasan tertentu, baru dia punya kesempatan untuk menjadi cadangan dan masuk.""Tapi itu juga belum pasti. Bagaimanapun, kuota pertukaran pelajar jurusan kita nggak banyak. Kali ini, sekolah mengalokasikan dana besar untuk proyek ini. Hanya orang bodoh yang akan mundur."Dosen pembimbing itu bercanda sambil tersenyum, lalu menyuruhku segera berlatih bahasa, barulah teleponnya ditutup.Aku menatap layar ponsel yang sudah gelap, melihat diriku dengan tatapan bengong dalam pantulan layar, merasa sangat lucu.Di kehidupan sebelumnya, akulah orang bodoh itu!Mengingat kenangan masa lalu, aku tahu bahwa kuotaku yang ditarik kembali diambil oleh Yulia. Dia menggunakan uang ganti rugi kematian kedua orang tuaku untuk pergi ke sekolah luar negeri yang kuimpikan, menikmati masa muda yang bahagia.Sedangkan aku, malah memikul tanggung jawab yang seharusnya menjadi miliknya, merawat dan menafkahi bibiku hingg

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 8

    "Kamu mau menjual rumah yang ditinggalkan oleh orang tuamu?" tanya bibiku, masih tidak mengerti apa yang aku maksudkan.Tanpa basa-basi, aku menjawab, "Jual saja rumah yang Tante tinggali sekarang. Tante nggak perlu memberikan 1,2 miliar kepadaku, cukup 1,1 miliar saja. Tante bisa ambil 24 juta, anggap saja itu pemberianku untuk Tante."Mendengar kata-kataku, bibiku langsung panik.Dia memandangku dengan tidak percaya, "Kalau rumah Tante dijual, Tante dan Yulia mau tinggal di mana?""Lagi pula, kaki Tante sekarang sudah diamputasi, nantinya Tante pasti nggak bisa bekerja lagi. Tante nggak punya penghasilan. Kalau kamu menyuruh Tante menjual rumah, bukankah itu sama saja dengan membunuh Tante?""Tante berharap rumah ini jadi tempat Tante menjalani hari tua."Rumah ini dia dapatkan saat bercerai dulu.Saat itu harga rumah masih terjangkau, dengan ratusan juta saja sudah bisa membeli rumah kecil. Namun sekarang, harga rumah sudah naik berkali lipat sehingga orang biasa hampir tidak mampu

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 9

    Namun, dukungan lain jangan diharap.Bibiku menangis dan mengamuk, tetapi akhirnya hanya bisa menerima kenyataan.Kini, demi bertahan hidup, dia hanya bisa menyeret kakinya yang cacat, bertumpu pada tongkat, memungut sampah di jalan setiap hari, menjalani kehidupan yang sangat memprihatinkan.Menurut kakak sepupuku, suatu hari nanti dia mungkin mati di luar tanpa ada yang tahu.Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.Pada hari kedua setelah aku kembali ke negara ini, entah dari mana bibiku mendapatkan kabar, dia datang ke hotel tempat aku menginap.Tubuhnya kotor, mengeluarkan bau tak sedap, sehingga petugas keamanan hotel tidak membiarkannya mengganggu tamu lain.Namun, karena dia cacat dengan satu kaki lumpuh, tidak ada yang berani mengusirnya secara langsung, hanya membiarkannya duduk di tangga depan hotel.Ketika aku kembali, aku kebetulan bertemu dengannya.Setelah mengenaliku, bibiku dengan penuh semangat menyeret tongkatnya mendekat, mengejarku hingga ke dalam hotel. "Cynthia, apa k

    Last Updated : 2025-01-10
  • Warisan dari sang Bibi   Bab 1

    "Cynthia, Tante tahu kamu merawat Tante selama ini hanya karena mengincar warisan Tante, bukan karena tulus.""Kamu tinggal di rumah Tante selama bertahun-tahun, Tante bahkan belum memintamu bayar sewa. Sekarang kamu berharap Tante kasih kamu uang?""Tante kasih tahu kamu, ya. Tante berhak menggunakan uang Tante sesuka hati. Bahkan kalau Tante mau buang semuanya, itu bukan urusanmu. Yulia itu anak kandung Tante. Kalau Tante mau menyerahkan semuanya padanya, kenapa nggak?""Uang 100 juta ini anggap saja sebagai sedekah untuk pengemis. Ambillah dan pergi. Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi!"Ketika keluar dari rumah sakit, ucapan bibiku terus terngiang di benakku.Aku merawatnya selama 15 tahun, hari demi hari, tanpa pernah mengeluh atau merasa lelah.Dalam 15 tahun itu, aku bekerja sekaligus mengurusnya, tidak menikah, tidak memiliki anak, dan mengorbankan masa muda terbaikku.Bukan karena aku dingin secara emosional atau tidak menyukai pria.Namun, karena aku khawatir

    Last Updated : 2025-01-10

Latest chapter

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 9

    Namun, dukungan lain jangan diharap.Bibiku menangis dan mengamuk, tetapi akhirnya hanya bisa menerima kenyataan.Kini, demi bertahan hidup, dia hanya bisa menyeret kakinya yang cacat, bertumpu pada tongkat, memungut sampah di jalan setiap hari, menjalani kehidupan yang sangat memprihatinkan.Menurut kakak sepupuku, suatu hari nanti dia mungkin mati di luar tanpa ada yang tahu.Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.Pada hari kedua setelah aku kembali ke negara ini, entah dari mana bibiku mendapatkan kabar, dia datang ke hotel tempat aku menginap.Tubuhnya kotor, mengeluarkan bau tak sedap, sehingga petugas keamanan hotel tidak membiarkannya mengganggu tamu lain.Namun, karena dia cacat dengan satu kaki lumpuh, tidak ada yang berani mengusirnya secara langsung, hanya membiarkannya duduk di tangga depan hotel.Ketika aku kembali, aku kebetulan bertemu dengannya.Setelah mengenaliku, bibiku dengan penuh semangat menyeret tongkatnya mendekat, mengejarku hingga ke dalam hotel. "Cynthia, apa k

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 8

    "Kamu mau menjual rumah yang ditinggalkan oleh orang tuamu?" tanya bibiku, masih tidak mengerti apa yang aku maksudkan.Tanpa basa-basi, aku menjawab, "Jual saja rumah yang Tante tinggali sekarang. Tante nggak perlu memberikan 1,2 miliar kepadaku, cukup 1,1 miliar saja. Tante bisa ambil 24 juta, anggap saja itu pemberianku untuk Tante."Mendengar kata-kataku, bibiku langsung panik.Dia memandangku dengan tidak percaya, "Kalau rumah Tante dijual, Tante dan Yulia mau tinggal di mana?""Lagi pula, kaki Tante sekarang sudah diamputasi, nantinya Tante pasti nggak bisa bekerja lagi. Tante nggak punya penghasilan. Kalau kamu menyuruh Tante menjual rumah, bukankah itu sama saja dengan membunuh Tante?""Tante berharap rumah ini jadi tempat Tante menjalani hari tua."Rumah ini dia dapatkan saat bercerai dulu.Saat itu harga rumah masih terjangkau, dengan ratusan juta saja sudah bisa membeli rumah kecil. Namun sekarang, harga rumah sudah naik berkali lipat sehingga orang biasa hampir tidak mampu

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 7

    "Yulia Subono ya, nilainya masih kurang sedikit. Kecuali ada siswa lain yang mundur karena alasan tertentu, baru dia punya kesempatan untuk menjadi cadangan dan masuk.""Tapi itu juga belum pasti. Bagaimanapun, kuota pertukaran pelajar jurusan kita nggak banyak. Kali ini, sekolah mengalokasikan dana besar untuk proyek ini. Hanya orang bodoh yang akan mundur."Dosen pembimbing itu bercanda sambil tersenyum, lalu menyuruhku segera berlatih bahasa, barulah teleponnya ditutup.Aku menatap layar ponsel yang sudah gelap, melihat diriku dengan tatapan bengong dalam pantulan layar, merasa sangat lucu.Di kehidupan sebelumnya, akulah orang bodoh itu!Mengingat kenangan masa lalu, aku tahu bahwa kuotaku yang ditarik kembali diambil oleh Yulia. Dia menggunakan uang ganti rugi kematian kedua orang tuaku untuk pergi ke sekolah luar negeri yang kuimpikan, menikmati masa muda yang bahagia.Sedangkan aku, malah memikul tanggung jawab yang seharusnya menjadi miliknya, merawat dan menafkahi bibiku hingg

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 6

    "Dan juga uang beasiswa Cynthia, uang dari kerja paruh waktunya, bagaimana bisa kamu dengan muka tebal menerima itu semua?""Kamu habiskan uang nyawa yang diberikan oleh Simon dan istrinya, memperlakukan Cynthia dengan buruk. Apa kamu nggak takut saat terbangun tengah malam, Simon datang mencarimu?""Dan juga soal uang sewa rumah Cynthia. Aku ingat setiap tahunnya uang sewanya sampai puluhan juta, ke mana uang itu? Katakan!""Kamu benar-benar mengecewakan kepercayaan yang aku berikan selama bertahun-tahun ini!"Kalimat terakhir ini diteriakkan oleh pamanku dengan suara melengking.Dia memandang bibiku dengan penuh kekecewaan, "Dulu aku berencana mengadopsi Cynthia dan mengajaknya ke provinsi lain untuk hidup bersama. Tapi kamu memohon agar aku kasih hak asuhnya padamu.""Tapi lihat, lihat apa yang sudah kamu lakukan.""Uang 1,2 miliar itu, kalau setidaknya setengahnya dipakai untuk Cynthia, aku masih bisa terima. Tapi, tujuh tahun hanya 76 juta. Padahal, uang yang dihabiskan oleh Yulia

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 5

    "Kak, apa gunanya melihat buku catatan itu? Kamu seharusnya lebih peduli padaku!"Melihat pamanku mengambil buku catatan itu, suara bibiku tiba-tiba meninggi, seperti ayam yang sedang menjerit.Wajahnya seketika menjadi lebih pucat, entah karena rasa sakit atau kaget.Reaksinya membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres.Namun, pamanku tidak memedulikan kata-kata adiknya.Dia membalik halaman buku catatan itu satu per satu, melihat tanggal dan isinya, sementara auranya makin menekan.Setelah selesai membaca seluruh catatan, dia tidak bisa lagi menahan amarahnya dan langsung melemparkan buku catatan itu ke wajah bibiku.Tindakan pamanku benar-benar mengejutkan semua orang yang ada di sana.Butuh dua detik bagi Yulia untuk bereaksi, dan setelah itu dia berteriak tak percaya sambil memarahi pamanku, "Om, Om ini sudah pikun ya?""Apa hak Om memukul ibuku? Apa salah ibuku?!""Meski Om mau membela Cynthia, Om nggak perlu sampai seperti ini. Kami sudah mengurus seorang yatim piatu, dan sek

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 4

    Wajah bibiku langsung kaku, seolah-olah baru menyadari sesuatu.Di hadapan semua orang, aku membuka halaman yang sudah aku tandai dan berkata pelan, "Sejak umur 15 tahun tinggal di rumah Tante, tahun ini sudah masuk tahun ketujuh. Aku masih berutang 76.840.000 kepada Tante. Setelah lulus, aku akan segera melunasinya."Begitu aku selesai bicara, Yulia langsung tidak tahan untuk menyela, "Tujuh tahun di rumah kami, kamu cuma menghabiskan 76.840.000? Bohong banget.""Biaya sekolah, biaya hidup, uang saku, ditambah lagi tempat tinggal dan makanan, paling sedikit juga ratusan juta."Dia mengerutkan kening, melirik buku catatan di tanganku, "Kamu pasti bikin catatan palsu."Sejak pertama kali aku tinggal di rumah bibiku, aku tahu Yulia tidak menyukaiku.Dia merasa aku merebut ruang pribadinya dan mencuri kasih sayang ibunya.Karena itu, dia sering menargetkan aku.Dia akan membuat ruangan yang sudah kubersihkan menjadi berantakan, mengeluh masakanku tidak enak lalu membuangnya ke tempat samp

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 3

    Ternyata benar, hati manusia itu cenderung berat sebelah. Aku yang sibuk berlari ke sana kemari mengurus semuanya tidak dipedulikan, tetapi begitu anak kandungnya datang, dia langsung penuh perhatian.Di mata orang lain, jelas-jelas aku yang memegang slip pembayaran, bolak-balik di rumah sakit.Aku juga yang terus bertanya kepada dokter tentang kondisi bibiku dan detail perawatan yang perlu diperhatikan.Sebagai seorang keponakan, aku bahkan lebih berbakti daripada anak kandungnya sendiri.Keberpihakan bibiku yang seperti ini sungguh memalukan.Kalau mau jujur, siapa pun yang terluka pasti ingin mendapat perawatan seperti yang aku berikan.Daripada mengalami kecelakaan dan baru disambangi anaknya setengah hari kemudian.Namun, bibiku dan Yulia belum menyadari perubahan sikap orang-orang terhadap mereka."Ah, Bu, jangan terlalu khawatir soal aku. Ibu mengalami kecelakaan seberat ini, aku hampir mati karena khawatir.""Kalau saja nggak sibuk belajar dan nggak sempat melihat ponsel, aku p

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 2

    Ketika telepon dari rumah sakit masuk, aku sedang terhanyut dalam rasa terkejut dan kebahagiaan karena kesempatan hidup kedua.Perawat memberi tahu bahwa bibiku mengalami kecelakaan mobil dan membutuhkan anggota keluarga untuk segera datang ke rumah sakit membayar biaya perawatan.Aku melirik tanggal di layar ponsel, tanggal yang tidak pernah kulupakan.Tanpa pikir panjang, aku segera mengirim pesan kepada sepupuku, memintanya langsung ke rumah sakit.Tidak hanya itu, aku juga membagikan kabar tentang kecelakaan bibiku ke grup keluarga, memberikan laporan langsung tentang situasi di lokasi.Mendengar kabar bahwa bibiku mengalami kecelakaan, pamanku yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun langsung terbang dari provinsi lain bersama istrinya dan kakak sepupuku.Malam itu juga, tanpa mampir ke hotel, mereka langsung ke rumah sakit dari bandara sambil membawa koper.Setelah memastikan kondisi bibiku tidak mengancam nyawa, semua orang akhirnya bisa bernapas lega.Pada saat seperti it

  • Warisan dari sang Bibi   Bab 1

    "Cynthia, Tante tahu kamu merawat Tante selama ini hanya karena mengincar warisan Tante, bukan karena tulus.""Kamu tinggal di rumah Tante selama bertahun-tahun, Tante bahkan belum memintamu bayar sewa. Sekarang kamu berharap Tante kasih kamu uang?""Tante kasih tahu kamu, ya. Tante berhak menggunakan uang Tante sesuka hati. Bahkan kalau Tante mau buang semuanya, itu bukan urusanmu. Yulia itu anak kandung Tante. Kalau Tante mau menyerahkan semuanya padanya, kenapa nggak?""Uang 100 juta ini anggap saja sebagai sedekah untuk pengemis. Ambillah dan pergi. Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi!"Ketika keluar dari rumah sakit, ucapan bibiku terus terngiang di benakku.Aku merawatnya selama 15 tahun, hari demi hari, tanpa pernah mengeluh atau merasa lelah.Dalam 15 tahun itu, aku bekerja sekaligus mengurusnya, tidak menikah, tidak memiliki anak, dan mengorbankan masa muda terbaikku.Bukan karena aku dingin secara emosional atau tidak menyukai pria.Namun, karena aku khawatir

DMCA.com Protection Status