Arka duduk di ruang rapat utama Wijaya Corp, menatap layar besar yang menampilkan berbagai angka pertumbuhan perusahaan. Para direksi dan eksekutif tersenyum puas.
"Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, pertumbuhan Wijaya Corp melonjak hingga dua puluh persen," ujar salah satu analis keuangan. "Kolaborasi dengan perusahaan asing telah memberikan dampak besar pada ekspansi bisnis kita." Genta, yang duduk di samping Arka, tersenyum. "Sepertinya kita berhasil membuat gebrakan besar di industri ini." Azura menambahkan, "Tidak hanya dalam negeri, tetapi beberapa konglomerat luar negeri juga mulai mendekati kita untuk bekerja sama." Arka mengangguk. "Ini baru permulaan. Kita tidak boleh lengah. Pastikan semua investasi berjalan sesuai rencana, dan tidak ada celah bagi pihak luar untuk menggoyahkan stabilitas perusahaan." Para direksi mengangguk setuju. KepercaArka duduk diam di ruang kerja kakeknya, pikirannya berkecamuk setelah mendengar penjelasan tentang orang tuanya. Hatinya menolak untuk mempercayai begitu saja. "Jadi, ayah menganggapku pengkhianat?" suaranya terdengar datar, tetapi matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Kakek Wijaya menatapnya dalam. "Itulah yang dia tunjukkan selama bertahun-tahun. Dia tidak lagi membicarakanmu, tidak ingin mencari tahu keberadaanmu." Arka menggeleng perlahan. "Tapi… itu tidak masuk akal." Kakeknya menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Arka menghela napas panjang. "Saat aku mengejar Raksa, aku sempat bertemu ayah di dalam gua. Dia memberiku petunjuk, meskipun hanya sesaat. Dia tidak terlihat seperti seseorang yang membenciku. Justru sebaliknya, dia seakan ingin membantuku." Ruangan itu mendadak sunyi. Kakek Wijaya mengusap dagunya, wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir.
Malam yang semula tenang berubah menjadi arena pertempuran. Bayangan-bayangan hitam yang muncul dari kegelapan langsung menyerang Arka dan timnya. Genta dengan sigap menangkis serangan pertama, sementara Azura melompat ke samping, menghindari tusukan belati dari salah satu penyerang. Arka berdiri di tengah, menunggu momen yang tepat. "Mereka bukan orang sembarangan," gumamnya, memperhatikan gerakan lawan yang begitu terlatih. Salah satu pria bertopeng maju, mengayunkan pedang pendek ke arah Arka. Dengan refleks yang luar biasa, Arka menunduk dan menendang perut lawannya, membuatnya terpental ke belakang. Tanpa memberi waktu bagi lawan untuk bangkit, Arka melesat dan menghantam wajahnya dengan siku. "Kalian sebaiknya pergi sekarang jika tidak ingin berakhir lebih buruk," ujar Arka, suaranya penuh ancaman. Namun, para penyerang itu hanya tertawa. "Kami sudah dipersiapkan untuk menghadapi seseorang sepertimu, Ar
Arka menatap pria yang berdiri di hadapannya. Wajah itu… meski ada garis-garis tua di sana, tetap menyimpan ketegasan yang ia ingat dari memori samar masa kecilnya. "Ayah…?" suara Arka bergetar, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam namun penuh emosi yang tertahan. "Arka… akhirnya kita bertemu lagi." Genta dan Azura menahan napas. Mereka tahu betapa pentingnya momen ini bagi Arka. Arka melangkah maju, menatap pria itu lebih dekat. "Kau benar-benar ayahku?" Pria itu menghela napas panjang sebelum menjawab, "Ya, aku adalah Wiratama Wijaya, ayah kandungmu." Arka terdiam. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. "Kalau begitu… di mana kau selama ini?" tanyanya penuh emosi. Wiratama menatapnya dalam. "Aku akan menjelaskannya, tap
BRAK! Pintu kayu tua itu terlempar dari engselnya, menghantam lantai dengan suara keras. Debu berterbangan di udara. Arka dan yang lainnya langsung bersiap. Dari balik pintu, lima pria bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam melangkah masuk. Mata mereka penuh kebencian, gerakan mereka menunjukkan pengalaman dalam pertarungan. "Arka Wijaya, akhirnya kami menemukanmu," ucap salah satu pria dengan suara dingin. Arka tidak gentar. Ia maju selangkah. "Siapa kalian?" Pria itu menyeringai. "Kau tidak perlu tahu. Yang jelas, kami datang untuk menghabisimu." Tanpa aba-aba, mereka menyerang. Arka langsung menangkis pukulan pertama, lalu melompat ke belakang untuk menjaga jarak. Azura dan Genta juga bersiap menghadapi lawan masing-masing, sementara Wiratama mengamati pergerakan musuh dengan tatapan tajam. Seorang pria bertu
BRAK! Pintu kayu itu akhirnya jebol. Sekelompok pria bersenjata lengkap menyerbu masuk. Mata mereka penuh kebencian, wajah mereka tanpa ekspresi. Mereka bukan orang biasa—gerakan mereka tenang, disiplin, dan terlatih. Arka melangkah maju dengan tatapan tajam. "Siapa yang mengutus kalian?" Salah satu pria, yang tampak sebagai pemimpin, menyeringai. "Pertanyaan yang sia-sia. Kau pikir kami akan menjawabnya?" Arka mengepalkan tinjunya. "Baiklah. Kalau begitu, aku akan mencari tahu dengan caraku sendiri." Tiba-tiba, pria itu mengangkat tangannya, memberikan isyarat. Dalam hitungan detik, pasukannya langsung menyerang. Arka bergerak cepat, menghindari serangan pertama. Dia berputar, lalu menghantam dada salah satu lawan dengan telapak tangannya. DUK! Pria itu terlempar ke belakang, menghantam tembok dan jatuh tak sadarkan diri.
Arka berdiri tegak di tengah ruangan yang kini dipenuhi tubuh lawan yang sudah tumbang. Namun, ia tidak lengah. Lawan-lawan yang baru saja masuk bukanlah orang sembarangan. Mereka lebih terlatih dan berbahaya. Di sisi lain, ayahnya, Wiratama, masih berhadapan dengan Rudra. Keduanya terlihat sama kuat, tetapi Arka tahu waktu bukanlah sekutu bagi ayahnya. "Ayah, kita harus menyelesaikan ini dengan cepat," ujar Arka sambil melirik lawan-lawannya. Wiratama menoleh sekilas dan mengangguk. "Kau urus mereka, aku akan menghadapi Rudra." Tanpa banyak bicara, Arka melesat ke depan. Tiga pria kekar dengan posisi siap menyerang Arka secara bersamaan. Salah satu dari mereka mengayunkan pedang ke arah Arka. "HAAAH!" Arka memiringkan tubuhnya sedikit, menghindari serangan itu dengan mudah, lalu menangkap pergelangan tangan pria itu dan memutarnya dengan kecepatan luar biasa.
Arka menatap pria di depannya dengan penuh kewaspadaan. Udara di sekitar mereka terasa tegang. Pria itu tersenyum, langkahnya santai, tapi aura yang terpancar darinya jelas menunjukkan bahwa dia bukan lawan biasa. "Jadi kau adalah Arka, anak yang selama ini berusaha mereka sembunyikan," kata pria itu dengan nada meremehkan. Arka tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan setiap gerakan lawannya, menganalisis setiap kemungkinan serangan. Ibunya yang masih terduduk di tanah menatap Arka dengan campuran rasa takut dan kagum. Ia baru saja melihat anaknya mengalahkan beberapa lawan dalam sekejap, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pria itu menghela napas. "Baiklah, tidak perlu berbasa-basi. Aku ingin melihat sendiri apakah kau benar-benar layak disebut penerus darah kuno." DOR! Pria itu tiba-tiba menghilang dari tempatnya. Arka segera bereaksi, mengangkat lengannya untuk m
Arka menatap tajam ke arah sosok-sosok baru yang muncul dari balik reruntuhan. Aura mereka begitu kuat, jauh lebih berbahaya dibanding lawannya sebelumnya. Salah satu dari mereka, seorang pria berambut panjang dengan bekas luka di wajahnya, tersenyum sinis. “Kau memang hebat, Arka. Tapi apakah kau pikir bisa menghadapi kami semua sendirian?” Arka tidak menjawab, hanya mengepalkan tinjunya dengan erat. Ibunya yang masih berdiri di belakangnya menatap dengan wajah penuh kekhawatiran. “Arka, mereka terlalu banyak... Kau yakin bisa menghadapinya?” Arka menoleh sedikit, lalu tersenyum kecil. “Tenang, Bu. Aku tidak akan kalah.” Tanpa aba-aba, pria berambut panjang itu melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa. Arka menghindar ke samping, tapi sebelum ia sempat membalas, tiga orang lainnya sudah menyerangnya dari berbagai arah. DUG! DUG! DUG! Serangan demi serangan men
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb