Angin malam berhembus dingin saat Azura, Raka, Genta, dan Isvara berdiri di depan gerbang besar kediaman keluarga Wijaya. Pintu besi tua itu menjulang tinggi dengan ukiran lambang keluarga yang kini tampak memudar, seperti rahasia yang sudah terlalu lama terkubur.
Genta melirik Isvara. “Jadi, di sinilah semua jawaban berada?” Isvara mengangguk. “Ya… dan mungkin juga bahaya yang lebih besar dari yang kita duga.” Azura mengetuk pintu gerbang, suaranya menggema di dalam keheningan. Tidak ada jawaban. Raka mundur selangkah, memandang rumah tua itu dengan keraguan. “Kita benar-benar akan masuk?” Genta menghela napas. “Tidak ada jalan lain. Jika ini satu-satunya cara untuk menemukan Arka, maka kita harus melakukannya.” Tiba-tiba, pintu gerbang berderit terbuka sendiri, seakan mengundang mereka masuk. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya melangkah ke dalam, tanpa menyadari bahwaArka menatap pria di hadapannya, tubuhnya kaku, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Mata perak pria itu bersinar samar dalam kegelapan ruangan, memancarkan aura misterius yang membuat udara seolah membeku. “Leluhurku?” Arka mengulang kata-kata itu dengan suara gemetar. “Apa maksudmu?” Pria itu tersenyum tipis. “Aku adalah pewaris pertama perjanjian keluarga Wijaya. Namaku Raksa.” Arka merasa jantungnya berdegup lebih kencang. “Perjanjian? Perjanjian apa?” Raksa berjalan mengitari Arka, tatapannya penuh penilaian. “Sesuatu yang membawamu ke titik ini… sesuatu yang tidak bisa kau hindari.” Arka mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, katakan saja apa yang sebenarnya terjadi!” Raksa berhenti, matanya menatap lurus ke dalam jiwa Arka. “Kau adalah kunci terakhir dari perjanjian ini. Jika kau menerima takdirmu, kau akan memperoleh kekuatan yang bahkan para dewa pun takut
Arka merasakan tubuhnya jatuh tanpa henti. Angin kencang menerpa wajahnya, dan di bawahnya hanya ada kegelapan tanpa dasar. Dadanya berdebar keras, pikirannya berpacu mencari cara untuk menghentikan kejatuhan ini. “Tidak! Aku tidak bisa berakhir di sini!” Tiba-tiba, cahaya di telapak tangannya berpendar. Sebuah simbol bercahaya muncul, dan seketika tubuhnya melambat. Ia mendarat di lantai batu dengan keras, tetapi tidak cukup untuk membuatnya kehilangan kesadaran. Arka bangkit perlahan, mengamati sekelilingnya. Ia berada di sebuah ruangan luas yang dipenuhi pilar-pilar hitam menjulang. Di tengahnya, ada sebuah altar batu dengan simbol yang sama seperti yang muncul di tangannya. Sebuah suara menggema di seluruh ruangan. “Kau akhirnya sampai di sini.” Arka menoleh tajam. Dari bayangan di belakang altar, Raksa kembali muncul. “Apa yang kau inginkan dariku?” Arka bertanya, suaranya d
Arka membuka matanya. Yang terlihat hanyalah kegelapan tanpa batas. Tubuhnya terasa ringan, seolah melayang tanpa arah. Ia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, tetapi seakan tak ada gravitasi yang menahannya. “Di mana aku…?” gumamnya. Dari kejauhan, terdengar bisikan-bisikan. Suara-suara asing, berbisik dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Tiba-tiba, sesuatu muncul dari kegelapan—sepasang mata merah menyala, menatapnya dari kehampaan. “Akhirnya, kau datang juga.” Arka merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Suara itu begitu dalam dan menggetarkan jiwa. “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dengan suara penuh kewaspadaan. Sosok itu semakin mendekat, menampakkan wujudnya. Tingginya dua kali lipat dari Arka, tubuhnya dibalut kabut hitam pekat yang terus bergerak seolah hidup. “Aku adalah penjaga dimensi ini. Dan kau… adalah tamu yang tidak diundang
Angin berputar liar saat Arka berdiri di tengah medan perang. Jubahnya berkibar, auranya berpendar dalam warna biru dan hitam yang saling bertabrakan. Tatapannya kosong, tetapi ada sesuatu yang mengintimidasi dalam sorot matanya. Azura melangkah maju dengan hati-hati. “Arka… ini aku. Kau baik-baik saja?” Namun, Arka tidak merespons. Raksa, yang sejak tadi menunjukkan ekspresi percaya diri, kini tampak waspada. “Ini bukan Arka yang kalian kenal.” Genta menelan ludah. “Maksudmu apa?” Raksa menyipitkan matanya. “Dia sudah menyatu dengan kekuatan leluhurnya. Tapi… sesuatu tidak beres.” Tiba-tiba, Arka mengangkat tangannya, dan tanpa peringatan, sebuah gelombang energi meledak dari tubuhnya. Tanah retak. Udara bergetar. Azura, Raka, dan Genta terdorong ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan. Isvara menatapnya dengan mata melebar. “Arka… ini aku! Inga
Langit bergetar. Angin berputar liar, menciptakan pusaran energi yang menyelimuti medan pertempuran. Portal raksasa yang dibuka Raksa semakin melebar, memperlihatkan sosok yang baru saja muncul dari dalamnya—sesosok makhluk dengan mata merah menyala dan tubuh berselimutkan bayangan pekat. Arka merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Ia tahu makhluk itu bukan sekadar musuh biasa. "Kita harus menghentikannya sebelum dia sepenuhnya bangkit!" seru Azura, matanya menajam. "Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan," gumam Genta, tangannya mengepal kuat. Tiba-tiba, makhluk itu mengangkat satu tangannya. Dari bayangannya, muncul puluhan makhluk kecil berwujud seperti kesatria tanpa wajah, masing-masing menggenggam senjata berlapis aura gelap. "Bersiaplah!" Raka berteriak. Mereka semua langsung bergerak. Azura mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang energi biru yang menebas beberapa kesatria bayang
Ledakan dahsyat dari portal yang terbuka mengguncang seluruh medan pertempuran. Angin berhembus liar, menciptakan pusaran debu yang menutupi pandangan semua orang. Dari dalam portal, makhluk raksasa dengan tubuh hitam pekat dan mata merah menyala muncul, memancarkan aura yang begitu menakutkan hingga tanah di bawahnya mulai retak. Arka berdiri di garis depan, tangannya masih berpendar dengan cahaya emas. Ia bisa merasakan tekanan luar biasa dari makhluk itu, sesuatu yang tidak pernah ia hadapi sebelumnya. Azura melangkah mendekat, wajahnya serius. "Makhluk ini… bukan sesuatu yang bisa kita hadapi dengan kekuatan biasa." Genta menghunus belatinya, meski tangannya sedikit gemetar. "Lalu, apa yang kita lakukan? Lari?" "Tidak mungkin." Raka maju, petir di sekeliling tubuhnya semakin intens. "Kita bertarung. Tidak ada jalan lain." Isvara, yang masih lemah setelah penyekapan sebelumnya, menatap makhluk itu dengan e
Angin bertiup kencang, membawa debu dan sisa-sisa energi gelap yang masih berputar di udara. Arka menatap Raksa dengan penuh kewaspadaan. Matanya yang kini hitam pekat memancarkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sebelumnya. Azura berdiri di samping Arka, napasnya masih berat setelah pertempuran sebelumnya. "Ini buruk, Arka. Dia masih memiliki kekuatan yang belum kita pahami." Genta mengepalkan belatinya lebih erat. "Apakah kita benar-benar bisa menghancurkannya?" Raksa menyeringai. "Kalian bodoh jika berpikir bisa menyingkirkanku dengan mudah." Dari tubuh Raksa, bayangan mulai berkumpul, membentuk sosok-sosok tanpa wajah yang berbisik dengan suara mengerikan. Isvara memperhatikan dengan ekspresi serius. "Itu bukan Raksa lagi. Sesuatu telah mengambil alih dirinya." Arka mengambil langkah maju, tubuhnya kembali bersinar dengan cahaya emas dan biru. "Kalau begitu, kita harus mengakhirin
Hembusan angin malam menusuk kulit saat Arka dan teman-temannya berdiri di tepi portal bercahaya biru. Jakarta menanti mereka di balik cahaya itu, tetapi bukan sebagai rumah yang aman. Kota itu kini mungkin menjadi medan perang yang sesungguhnya. Azura melirik Arka yang berdiri paling depan. "Kau yakin kita siap?" Arka mengepalkan tangannya, matanya penuh tekad. "Kita tidak punya pilihan lain. Raksa ada di sana. Keluargaku dalam bahaya." Genta menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Baiklah. Semoga kita tidak berakhir dalam perangkap lain." Isvara menatap portal dengan tajam. "Raksa tidak akan menunggu lama. Dia akan mencari celah untuk menghancurkan pewaris keluarga Wijaya. Kita harus lebih cepat darinya." Tanpa membuang waktu, Arka melangkah ke dalam portal. Tubuhnya terselimuti cahaya biru, sebelum menghilang ke dalam pusaran cahaya. Yang lain mengikuti di belakangnya, bersiap menghadapi apa pun
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb