Razka urung melangkah saat dia melihat siluet seseorang yang tak asing baginya. Mata Razka menyipit, berusaha melihat dengan jelas sosok yang ia perhatikan itu. "Revan?" gumam Razka. Razka memutuskan untuk melangkah mendekat. Dia harus memastikan jika orang yang ia lihat itu adik iparnya atau bukan. Sayangnya, dia terlambat. Karena pria itu lebih dulu masuk ke dalam mobil bersama seseorang yang bicara dengannya sejak tadi. Razka termenung di tempat. Pertanyaan besar bersarang di otaknya sejak dia melihat pria tadi. "Revan bersama siapa?" **** "Kenapa kamu sering marah-marah akhir-akhir ini?" Revan mengeluh tepat setelah ia tiba di sebuah restoran bersama Savira. Dia bahkan sengaja menunda perdebatan mereka sepanjang jalan, karena ingin menyelesaikan masalah mereka dengan tenang di restoran ini. Kekasihnya itu memasang wajah masam. Dia mana mungkin mau mengalah untuk Revan? Savira hanya selalu menuntut untuk dimengerti. Padahal Revan tidak pernah mudah menebak apa yang diinginkan
"Jo!" Revan menahan tangan Jovanka ketika perempuan itu hendak beranjak dari ruang tengah. Jovanka berhenti dan menoleh padanya. "Apa ... kamu bisa tidur bersamaku malam ini?" tanya Revan gugup. "Tidak mau," jawab Jovanka tanpa pikir panjang. Dia memutar tangannya dan lepas dengan mudah dari cekalan Revan. Dia memandang pria itu dengan sinis. "Untuk sekedar berbagi udara saja aku harus menahan muak, apalagi jika harus seranjang dengan kamu." "Kenapa kamu sangat membenciku?" tanya Revan bingung. Apakah dia memang pernah melakukan kesalahan yang begitu fatal hingga Jovanka berubah begitu banyak? Seseorang yang tadinya begitu memuja dirinya kini menjadi musuh sejati. "Kamu bisa bicara padaku jika memang aku pernah membuat kesalahan. Kita mungkin pernah memiliki kesalahpahaman." Karena tidak mungkin Jovanka berubah seperti ini tanpa alasan. "Aku tidak punya alasan khusus. Aku hanya lelah terus berharap dengan pria jelek seperti mu," ucap Jovanka. Dia berjalan menuju kamarnya yang ber
Savira tidak mendengar peringatan Revan. Karena menurutnya Revan hanya terlalu cemas akan Jovanka. Padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seharusnya Revan lebih memikirkan janjinya yang akan segera menikahi Savira. Jujur, Savira terus menunggu Revan membahas tentang mereka. Tapi pacarnya itu justru malah selalu membahas tentang istrinya. Savira mulai khawatir. Terlebih, Savira menyadari Revan mulai melirik istrinya itu. Meski Savira tetap merasa percaya diri, akan tetapi dia tetap cemas, Savira tidak suka berbagi. Dia takut jika seandainya suatu saat nanti Revan justru tetap ingin mempertahankan Jovanka di sisinya. Savira tidak sebaik itu dengan sudi berbagi prianya. Baginya jika Revan sudah menjadi kekasihnya berarti pria itu hanya miliknya. Savira mulai berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk membuat Revan mau segera menikahinya. Karena jika dibiarkan berlarut-larut, Savira mungkin akan benar-benar kehilangan Revan. Saat tengah sibuk berpikir, Savira nyaris menabrak seseoran
Razka memutuskan untuk menyelidiki tentang Revan. Razka tidak akan membiarkan Revan lepas jika sampai dia terbukti telah mengkhianati Jovanka. Pria mana pun yang berani menyakiti adik kesayangannya, akan Razka balas berkali-kali lipat. Pagi tadi saat ia tanpa sengaja bertemu dengan seorang perempuan, awalnya Razka tidak sadar siapa perempuan itu. Akan tetapi, saat dia menahan dan mengajaknya bicara Razka baru mengingat tentangnya. “Savira.” Razka rasa, wajah perempuan itu cukup familiar. Dia pasti seorang karyawan yang sudah cukup lama bekerja di kantor itu. Jika memang benar demikian, maka kemungkinan Revan sering berinteraksi dengan perempuan itu selama ia di tempat kerja. “Dia berusaha membodohi semua orang,” sinis Razka. Melihat Revan kemarin bersama perempuan bernama Savira itu, sepertinya hubungan mereka masih berlanjut hingga sekarang. “Bagaimana jika Jo tahu tentang ini?” Razka mengkhawatirkan reaksi adiknya. Apalagi dia tahu secinta apa Jovanka pada Revan. Dia mungkin akan
Jovanka baru sampai di rumah setelah hari sudah senja. Ketika dia turun dari taksi, dia melihat Revan yang sepertinya juga baru tiba. Mereka berjalan mendekat lalu berhenti dengan jarak satu langkah. Jovanka sebenarnya malas bertemu Revan, tapi ketika dia melihat Revan berjalan ke arahnya, Jovanka pun memutuskan untuk menghampirinya. “Kamu dari mana?” Tanya Revan. Dari nada bicaranya terdengar kesal. “Kenapa tidak ijin padaku?” Jovanka menghela napas. Dia sebenarnya ingin menjawab dengan ketus, tapi Jovanka sadar dia tidak bisa bersikap seperti itu terlebih pada suaminya sendiri. “Aku lupa,” jawab Jovanka sekenanya. Padahal dia sengaja tidak mengabari Revan karena tidak mau terlalu sering berinteraksi dengan pria itu. “Lain kali, jangan lupa untuk ijin padaku saat kamu hendak keluar,” ucap Revan. Dia mengusap puncak kepala Jovanka.Walau awalnya sulit menerima fakta jika perempuan itu kini resmi menjadi istrinya, Revan mulai terbiasa. Bahkan timbul rasa tanggung jawab dan rasa ingin
Revan termenung memikirkan ucapan Jovanka sebelumnya. Dia mulai berpikir, apa sikapnya yang dulu sudah keterlaluan hingga Jovanka memilih berhenti mencintainya. Bahkan karena Revan jugalah sikap Jovanka benar-benar berubah. “Apa aku sangat jahat dulu?” “Revan!” “Berhenti mengikutiku, Jo!” seru Revan kesal. “Ish, Revan! Kenapa kamu terus saja menghindariku?” “Karena kamu mengesalkan,” ketus Revan. Dia semakin mempercepat langkahnya karena tidak ingin terlalu lama bersama Jovanka. “Revan!” “Menjauh dariku!” Revan tersentak. Apa perlakuannya yang dulu itu sangat membekas di ingatan Jovanka? Tapi, sikap Revan hanya sebatas itu. Dia tidak pernah terlalu kasar pada Jovanka. Mungkin? “Apa yang kamu lakukan?” Jovanka tersungkur saat Revan mendorongnya dengan keras. Dia mengaduh kesakitan, lalu menatap Revan dengan pandangan kecewa. Tapi, apa Revan peduli? Sikap Jovanka ini sudah banyak membuat banyak masalah untuk dirinya. Tiap kali ia melihat Jovanka, hanya ada perasaan marah. Ke
Savira nyaris frustasi karena Revan tidak bisa dihubungi. Semua perubahan Revan yang makin tampak jelas itu membuat kekhawatiran Savira semakin besar. Dia yakin, ini semua pasti karena Jovanka. Status mereka yang sudah berubah ternyata berpengaruh banyak pada hubungan yang kini Savira dan Revan jalani. Kehadairan Jovanka di tengah-tengah mereka dan statusnya yang kuat sebagai istri Revan membuat Savira perlahan tersingkirkan. “Aku harus mencari cara. Jika dibiarkan terus seperti ini, Revan pasti akan segera meninggalkanku,” ucap Savira menggigit jarinya cemas. “Revan bahkan belum membicarakan tentang menikahiku. Bagaimana aku bisa diam saja saat posisiku sudah terancam?” Berhubungan dengan Revan lumayan menguntungkan. Pria itu sangat royal padanya. Apapun yang Savira minta, pasti akan berusaha dia kabulkan. Revan tidak pernah berpikir ulang untuk membelikan sesuatu untuk Savira. Hal itulah yang membuat Savira senang akan pria itu. Dengan Revan, Savira tidak perlu bekerja terlalu kera
Savira merasa marah saat ia mengetahui jika Revan tengah menghabiskan waktu dengan Jovanka. Savira tanpa pikir panjang langsung menghampiri tempat mereka. Jovanka tampaknya adalah orang pertama yang menyadari tentang kehadiran Savira. Karena dia jugalah yang meminta Revan berbalik supaya mengetahui keberadaan Savira di sana. “Revan,” panggil Jovanka. Ekspresi Revan terlihat sangat terkejut ketika melihat Savira. Savira tidak menyukai itu. Rasanya seperti, Revan tidak senang akan kedatangannya. “Sa-savira?” ucap Revap kaku. Siapa yang menduga kekasihnya itu akan menghampirinya di saat Revan tengah bersama Jovanka saat ini? “Kenapa kamu ada di sini?” Revan bertanya dengan suara pelan. Dia ragu-ragu untuk bertanya karena ada Jovanka bersama mereka. Akan tetapi sekecil apapun suara Revan, Jovanka tetap mendengarnya. “Aku mencarimu,” jawab Savira jujur. Dia melirik Jovanka sekilas, yang masih belum menunjukkan reaksi apapun. “Kamu sangat sulit dihubungi.” “Maafkan aku. Tadi, aku men-si
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia