Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata.
Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu.
"Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.
Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang.
"Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.
Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika ucapanmu sampai di telinga penyelenggara pesta, kamu mungkin akan diusir."
"Untuk apa aku takut? Apa yang aku katakan itu benar. Perempuan itu tidak pantas ada di podium. Dia hanya perempuan murahan, dia-"
"Ehem!"
Marissa berhenti bicara, dia dan teman-temannya menoleh ke belakang. Tepat pada seorang pria yang baru saja mengeluarkan deheman yang menginterupsi pembicaraan mereka.
"Tuan Razka?!" pekik Marissa tertahan. Dia berusaha menyembunyikan luapan kegembiraannya saat melihat pria yang sangat ia kagumi itu.
Siapa yang tidak mengenal Attarazka? Dia adalah seorang pengusaha muda yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini, terutama di kalangan para wanita. Prestasi dan kesuksesannya membuat para wanita terpesona, dan membuat para pria iri. Dia baru memasuki dunia bisnis, tapi kehadirannya mampu menarik perhatian banyak orang.
"Apa kamu memiliki masalah dengan adik saya?" tanya Razka.
Entah hanya perasaannya saja, atau memang suara Razka terdengar lebih dingin dari yang dia ingat?
Marissa mengerjap tidak mengerti, "Siapa?"
Teman-teman Marissa saling melempar pandangan. Mereka memiliki pertanyaan yang sama.
"Tuan, siapa 'adik' yang anda maksud?"
"Perempuan yang baru kalian gunjingkan itu," jawab Razka tegas. Sorot matanya menajam. "Yang kalian sebut sebagai perempuan murahan."
Tubuh Marissa menegang. Dia tidak tahu jika dengan sikapnya yang ceroboh, dia bisa menyinggung pria yang ia kagumi itu. Marissa dalam masalah sekarang.
"Tuan, saya pikir anda salah paham." Marissa berusaha mengelak. Dia tidak ingin citranya menjadi buruk di mata pria idamannya.
Razka menepis kasar saat Marissa hendak menyentuh tangannya.
"Perempuan seperti kamu berani menghina adik kesayanganku? Apa kamu masih mencintai kehidupanmu sekarang? Menghinanya, sama dengan memancing kemarahanku. Memancing kemarahanku, sama dengan mengantarkan hidupmu padaku." Suara Razka terdengar sangat menyeramkan. Tidak satu pun dari mereka yang tidak merinding ketika mendengar ucapannya. "Sepertinya kamu sudah siap menemui kematianmu."
"Tuan Razka, maafkan aku." Marissa menjatuhkan tubuhnya di lantai. Dia bersujud memohon ampun. Tubuhnya terlihat bergemetar ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan jika seandainya Razka benar-benar melenyapkannya.
Razka tidak peduli. Dia menyuruh bodyguard-nya mendekat. Pria itu menunjuk ke arah Marissa yang masih bersimpuh.
"Seret dia! Aku tidak mau ada kecoak yang akan mengacaukan pesta pernikahan adikku."
****
"Ada apa itu?" Jovanka melirik ke arah keributan. Karena pestanya digelar sangat besar, ia jadi tidak bisa melihat dengan jelas setiap sudut pesta. Apalagi dengan statusnya sebagai mempelai wanita, membuatnya harus terus berada di atas podium. Seolah ia ada hanya untuk menjadi tontonan orang-orang yang datang.
"Apa kamu bisa berhenti makan?" Revan berdecak kesal melihat Jovanka memakan kuenya dengan tidak anggun. Lihatlah, dia bahkan tidak peduli dengan cara makannya sendiri walau banyak orang yang memperhatikan.
"Apa kamu bisa berhenti mengomentariku?" balas Jovanka ketus. Dia tidak peduli pada ekspresi keberatan Revan. Jovanka hanya akan melakukan semuanya sesuka hati. "Aku dipaksa menjadi pajangan sepanjang hari. Dipaksa berdiri di sini hanya untuk ditonton banyak orang. Setidaknya, perutku butuh makan."
"Kamu sudah makan lebih dari lima potong kue. Apa kamu masih belum kenyang?" tanya Revan jengkel. Sebenarnya sebesar apa kapasitas perut wanita itu? Kenapa makannya banyak sekali?
"Ini hanya cemilan. Sebanyak apapun kue yang aku makan, tidak bisa membuatku kenyang."
Pengakuan Jovanka membuat Revan menganga tidak percaya. Revan jadi berpikir, apa Jovanka akan berubah jadi gemuk setelah mereka menikah nanti? Melihat porsi makannya yang banyak, berat badan Jovanka pasti akan lebih cepat naik.
Revan bergidik saat membayangkan tubuh gemuk istrinya itu.
"Kenapa kamu melihat ku seperti itu?" tanya Jovanka tak suka.
Sorot mata Revan membuatnya tersinggung. Bagaimana tidak? Pria itu melihatnya seperti melihat gelandang yang kotor.
"Aku hanya lapar. Setidaknya jadilah suami yang pengertian. Ambilkan aku nasi, dan aku akan berhenti makan." Jovanka menyimpan kembali kuenya, dia duduk dengan cemberut.
Karena ekspresi Revan itu, Jovanka merajuk. Ia tidak ingin kembali makan kue, walau dia masih menginginkannya.
Kue itu terlalu enak.
"Kamu masih ingin makan nasi?" tanya Revan tak percaya. "Apa kamu dari kemarin sengaja menahan lapar?"
Jovanka berdecak jengah, "Bisa tidak kamu berhenti membuat aku tersinggung? Apa kamu tidak tahu? Perempuan paling sensitif saat membahas tentang berat badan."
Revan hanya bisa termangu. Jovanka berkata seperti itu tepat setelah dia menghabiskan hampir tujuh kue. Dan masih meminta sepiring nasi. Dia juga menyalahkan Revan karena telah menyinggungnya. Bukankah seharusnya Jovanka lebih menjaga sikapnya jika dia tidak ingin disinggung oleh orang lain?
Revan bertanya seperti itu karena Jovanka yang tidak menyembunyikan semuanya. Dia bersikap seolah ia tidak peduli pada tanggapan orang lain. Tapi saat Revan mengomentarinya, dia justru tidak terima.
"Itu ... sepertinya kak Razka."
Gumaman Jovanka masih bisa ditangkap dengan jelas oleh Revan, karena posisi mereka bersisihan.
Jovanka mengangkat tangannya dan berseru memanggil pria itu, "Kak Razka!"
Perempuan itu melambai, dengan senyum mengembang.
Revan berdecak melihat ekspresi Jovanka saat ini. Kapan terakhir kali Jovanka seperti itu saat melihat Revan? Bahkan Revan sudah lupa kapan itu terjadi.
Kenapa Jovanka bisa berubah secepat ini? Dia bahkan tidak luluh walau mereka sudah resmi menjadi suami istri.
Revan melihat Razka berjalan ke arah tempatnya. Pria itu selalu menjadi sangat patuh saat berhadapan dengan Jovanka.
"Ada apa, adik kecil?" tanya Razka, mengusap puncak kepala Jovanka.
Jovanka tersenyum menunjukkan giginya yang berjajar rapi, "Bisa tolong ambilkan aku nasi, kak? Aku lapar." Perempuan itu merengek.
Revan yang mendengar itu sontak menoleh kaget, "Jangan! Jangan!" Revan melarang Razka menurutinya.
Jovanka mendelik tidak terima pada Revan.
"Dia sudah menghabiskan tujuh potong kue barusan," ucap Revan mengadu.
"Memangnya kenapa? Aku masih lapar." Jovanka membalas tidak mau kalah.
"Aku tidak mau punya istri gemuk."
"Itu bagus. Kamu bisa menceraikanku saat tubuhku mulai berisi," sahut Jovanka santai.
Revan semakin tidak percaya dengan jawaban Jovanka. Apa dia masih Jovanka yang sama yang mengejarnya dulu?
****
"Aku gak mau seranjang sama kamu!" pekik Jovanka.Mereka kini berada di kamar pengantin. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu tidak membuat suasana hati sepasang pengantin baru itu berbunga-bunga. Mereka justru malah bersitegang di malam pengantin mereka.Revan melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar. Dia cukup lelah, dan kini masih harus menghadapi sikap menyebalkan istrinya."Kamu tidak perlu membuat keributan di malam pengantin kita," ucap Revan geram. Dia sedang tidak ingin bertengkar. Dia hanya ingin beristirahat. "Untuk malam ini saja, tolong jangan mempersulit keadaan. Aku lelah." Revan menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi.Tapi ucapan Jovanka membuat langkahnya berhenti."Kamu tidur di sofa. Dan aku akan tidur di ranjang.""Jovanka!""Aku tidak mau tidur denganmu. Dan aku juga tidak mau jika harus tidur di sofa." Jovanka merebahkan tubuhnya di ranjang, bersiap untuk tidur. Jovanka tidak peduli pada kemarahan Revan saat ini. "Jadi kamu yang harus mengalah."****
Revan keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Kantung hitam dengan jelas menghiasi kedua matanya. Revan berjalan dengan lelah, aura suram mengelilinginya, hingga tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyapanya.Hingga dia tiba di ruang makan. Di mana keluarganya dan keluarga istrinya sudah berkumpul untuk sarapan."Pagi.""Pagi," balas mereka semua. Mereka sama-sama menyimpan tanda tanya karena ekspresi Revan yang tidak biasa."Kakak terlihat lelah," cetus Adik Revan, bernama Venetta. Gadis berusia 17 tahun itu biasa dipanggil dengan sebutan Netta."Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Revan. Pria itu menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap. Dia masih belum cukup tidur, tapi hari ini ia harus mau bangun pagi. Pekerjaannya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi Revan sudah memiliki seorang istri sekarang."Begadang, kak?" Netta menaik turunkan alisnya, berniat menggoda Revan. Tapi dia justru malah dihadiahi sentilan di dahinya.Netta mengaduh, dia cemberut pada ayahnya y
Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p
"Kamu seharusnya menungguku, bukannya memilih diantar oleh seorang pria asing."Jovanka memegangi pelipisnya. Dia pusing mendengar Revan yang mengikutinya sambil mengoceh. Apa pria itu masih belum puas mengeluarkan kekesalannya? Apa Revan tidak tahu jika Jovanka sama sekali tidak peduli dengan rasa keberatan Revan?"Cerewet!" Jovanka berbalik, menatap Revan dengan tajam. "Yang penting sekarang aku sudah berada di rumah. Untuk apa kamu masih mengomel?""Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak mengulangi kesalahanmu itu," ucap Revan.Jovanka tertawa sembari mengibaskan tangannya tidak percaya. "Apa kamu yakin? Apa kamu akan benar-benar menghampiri aku saat aku sedang kesusahan?""Tentu saja. Bagaimana pun juga, kamu itu istriku," jawab Revan mantap."Istri terpaksa." Jovaka bergumam mencibir. Dia tahu Revan tidak pernah sepenuh hati mengakuinya. Bahkan dulu, pria itu tidak sudi menyebut Jovanka sebagai istrinya.Jika dulu Jovanka akan berusaha menjadi istri yang baik supaya Revan bisa
"Kamu masih marah?" Savira tidak menjawab. Dia sibuk memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang. Tapi Revan tampaknya tidak menyerah, pria itu masih mengikuti Savira dari belakang. Ini salah Revan. Dia yang melupakan janjinya hingga membuat Savira menunggu selama dua jam di depan kantor dengan sia-sia. Seharusnya jika tidak bisa datang, Revan mengabarinya, bukan membiarkan Savira menunggu. Revan tidak tahu begitu malunya Savira harus berdiri di sana waktu itu, diperhatikan oleh orang yang lalu lalang, dengan pandang bertanya-tanya. Jika bukan karena berpikir Revan akan segera menjemputnya, Savira tidak mungkin bertahan di sana. "Sayang," panggil Revan. Dia menahan tangan Savira supaya tidak lagi menghindarinya. Untungnya Savira lekas berhenti, dan berbalik menatap Revan dengan wajah masam. "Kamu mengecewakan aku, Revan." "Aku minta maaf." Revan mengusap wajah Savira dengan lembut. Dia benar-benar lupa akan janjinya dengan Savira. Karena berurusan dengan Jovanka kemarin, Revan ha
Revan pulang dengan senyum yang tak memudar dari wajahnya. Dia akan menanti ekspresi seperti apa yang akan Jovanka tunjukkan, kata-kata seperti apa yang akan istrinya itu katakan. Revan tidak sabar menyaksikan semuanya untuk mendapat apa yang ia inginkan. Tapi, semua tak sesuai ekspektasinya. Kala Revan sampai, dia melihat Jovanka tengah duduk tenang di ruang santai sembari menonton televisi. Dia menoleh sesaat ketika menyadari kehadiran Revan, tapi sikapnya sangat acuh tak acuh. Dia melanjutkan acara menontonnya tanpa peduli pada Revan sama sekali. Bukan ini yang Revan inginkan! "Jo," panggil Revan. Dia tidak mengerti kenapa Jovanka masih bersikap biasa. Padahal Revan tahu jelas, istrinya itu baru saja memergokinya bersama perempuan lain. Tapi, apa Jovanka memang tidak mengetahui jika seseorang yang ia temui itu adalah Revan? Rasanya mustahil. Karena mereka berhadapan kala itu. Tapi, kenapa Jovanka bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi? Revan tidak mengerti. "Kamu di
Razka urung melangkah saat dia melihat siluet seseorang yang tak asing baginya. Mata Razka menyipit, berusaha melihat dengan jelas sosok yang ia perhatikan itu. "Revan?" gumam Razka. Razka memutuskan untuk melangkah mendekat. Dia harus memastikan jika orang yang ia lihat itu adik iparnya atau bukan. Sayangnya, dia terlambat. Karena pria itu lebih dulu masuk ke dalam mobil bersama seseorang yang bicara dengannya sejak tadi. Razka termenung di tempat. Pertanyaan besar bersarang di otaknya sejak dia melihat pria tadi. "Revan bersama siapa?" **** "Kenapa kamu sering marah-marah akhir-akhir ini?" Revan mengeluh tepat setelah ia tiba di sebuah restoran bersama Savira. Dia bahkan sengaja menunda perdebatan mereka sepanjang jalan, karena ingin menyelesaikan masalah mereka dengan tenang di restoran ini. Kekasihnya itu memasang wajah masam. Dia mana mungkin mau mengalah untuk Revan? Savira hanya selalu menuntut untuk dimengerti. Padahal Revan tidak pernah mudah menebak apa yang diinginkan
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia