Wanita yang Kau SakitiHayana hanya melihat siapa yang menelponnya tanpa berniat menjawab panggilan tersebut. Wanita itu sudah bersiap untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur. Namun, ponselnya kembali memekik. Membuat istri Arik itu menarik napas dalam-dalam. Jengah dengan sikap suaminya yang suka memaksa. Dia tahu Arik tak akan berhenti menghubunginya sebelum dijawab panggilan tersebut."Ada apa, Mas?" ketus Hayana tanpa basa-basi terlebih dahulu, bahkan tanpa salam pembuka. Ngantuk pun sudah mulai menyerangnya."Assalamualaikum, De. Kamu di mana sekarang?" tanya Arik di seberang sana dengan suara lembut."Waalaikummussallam. Di tempat yang aman. Tidak perlu khawatir!" tegas Hayana, yang sebenarnya ingin segera mengakhiri sambungan telepon tersebut. "Aku ingin ketemu kamu. Di mana kita bisa bertemu?""Untuk apa? Sayangnya saat ini aku belum ingin ketemu kamu!" sergah Haya."Aku mau minta maaf. Tolong maafkan aku! Aku memang brengsek.""Baguslah kalau sadar! Untuk saat ini aku belum
"Assalamualaikum, Bu. Apa kabar, Bu?" Arik ternyata menghubungi orang tua Hayana. Pria itu tahu kelemahan istrinya, yaitu ucapan orang tuanya. Pria itu tak punya adab menelpon mertuanya ketika sudah larut malam. "Waalaikummussallam, Nak Arik. Alhamdulillah, kami di sini dalam keadaan sehat. Kalian gimana?" "Kami sehat, Bu. Namun …." Arik sengaja menggantungkan ucapannya untuk mendramatisir keadaan."Namun, kenapa?" desak Bu Tuti — ibunya Hayana."E … Arik bingung mau ngomongnya, Bu."Pria itu senang membuat mertuanya penasaran. Sengaja memang."Ada apa, too, Nak? Jangan membuat kami penasaran," ucap Bu Tuti dengan nada khawatir."Ada apa, Bu?" tanya Toni — abanya Hayana yang kedua. Bu Tuti menggelengkan kepala, sebagai tanda tidak paham."Ibu janji! Harus tenang dan tidak boleh marah-marah, ya!" pinta Arik dengan suara lembut dari seberang."Iya. Ibu janji. Sekarang katakan terus terang!" Bu Tuti sudah mulai khawatir terjadi apa-apa dengan putrinya. Namun, wanita itu berusaha bersu
Hayana kaget ketika membuka pintu. Ada seorang cowok berdiri dengan membawa bingkisan."Dengan Kak Hayana?" tanya pemuda gagah tersebut."Iya saya sendiri. Ada yang bisa dibantu?" "Saya dimintai tolong oleh seseorang untuk mengantarkan ini." Pemuda yang memakai masker tersebut menyerahkan bungkusan yang dihias seperti kado."Dari siapa?" Hayana ragu ketika mau menerima barang tersebut."Saya kurang tahu, hanya disuruh. Saya permisi." Pria muda itu melangkahkan kakinya meninggalkan Haya yang masih kebingungan. Wanita itu hanya bisa menatap punggung cowok tadi dengan banyak pertanyaan."Siapa pengirimnya, ya? Apa dari kakakku? Masa sih dari Sumatera ke pulau Jawa sampai dalam satu hari? Nggak mungkin banget, kan." Haya memindai bingkisan tersebut."Mas Arik? Rasanya tidak mungkin! Waktu masih menjadi perempuan satu-satunya saja, dia tidak pernah peduli dengan tanggal lahirku, apalagi sekarang sudah ada wanita lain di hatinya. Mustahil pria itu memberi kado!" gumamnya sambil menyimpan b
'Hayana. Istriku harus kembali padaku, hanya dia yang bisa memberikan aku uang." Arik menjentikkan jarinya, sebagai tanda sedang ada ide. Di luar gerbang pabrik."Bang, ayo, cepat sebelum ketahuan aku disusul!" titah Arini pada suaminya."Gimana tadi?" tanya Sanjaya saat di perjalanan. "Dia bilang nggak punya uang. Abang tenang aja. Aku akan membuat pria itu memberikan uang sejumlah yang Abang butuhkan." Arini mempererat pelukannya pada pinggang suaminya."Terima kasih, ya, Sayang. Abang makin cinta." Sanjaya mengelus punggung tangan istri yang melingkar di pinggangnya.~~~~~~~~Hayana menikmati makanan yang di santapannya. Seafood terenak yang pernah ditemui. "Enak banget ini. Kenapa baru tahu ada seafood seenak ini?" tanya Hayana sambil mengelap tisu pada bibirnya."Benar-benar gila. Mantap seafoodnya."Kartika sampai mengacungkan kedua jempolnya ke arah Haya.Setelah puas menikmati seafood tersebut mereka pulang.~~~~~~~~~"Arik?" Hayana tak percaya ada suaminya di depan pintu k
"Haya. Maafkan ibu, Nak. Tadi telah termakan omongan Arik. Ibu tak menyangka kamu menyimpan masalah besar dalam rumah tanggamu. Kenapa kamu tidak pernah cerita sama kami tentang masalahmu, Nduk?""Bu, maafkan Haya, kalau masalah ini membuat beban pikiran kalian. Haya akan memberikan tahu kalian tapi nanti. Namun, ibu keburu tahu duluan. Ibu tidak perlu khawatir, ya. Haya bisa menyelesaikan semuanya.""Nduk, kamu jangan sok kuat. Cerita sama kami setiap ada masalah. Kamu anak perempuan kami satu-satunya. Hiks … hiks! Ibu tak terima kamu dibuat sakit dan kecewa seperti itu." Bu Tuti terdengar menangis. Sedih anak kesayangannya yang ada di luar pulau disakiti oleh menantunya."Bu, jangan menangis. Lihat Haya tidak apa-apa." Haya tersenyum ke arah layar. Membuktikan pada ibunya bahwa dia kuat. Bibirnya memang tersenyum tapi hatinya remuk redam, karena orang tuanya harus menyaksikan pertengkarannya. "Kamu sok kuat! Ibu tahu hatimu menangis." "Minta doanya saja, semoga Haya bisa melewati
"Bu. Gimana kabar Hayana?" tanya Pak Adul pada istrinya."Pak. Ibu telah bersalah pada putri kita karena sempat termakan omongan Arik. Anak kita itu sedang ada masalah besar, Pak. Dia awalnya tidak ingin cerita sama kita dulu. Ibu jadi sedih memikirkan nasib Haya. Hiks hiks hiks. Ibu kemarin tidak tanya Haya dulu apa yang telah terjadi? Tapi langsung memarahinya." Bu Tuti menangis kembali ketika mengingat masalah putrinya.Ibu mana yang tidak bersedih ketika mendengar anaknya sedang ada masalah besar. Awalnya Bu Tuti berusaha tidak memikirkan. Namun, tetap saja kepikiran."Lain kali jangan mudah percaya cerita dari satu pihak. Harus cari tahu dari pihak lainnya. Tabayyun atau apa istilahnya. Memangnya apa yang telah terjadi, Bu?" Pak Adul Memang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Istrinya belum cerita sama sekali."Rumah tangganya di ambang kehancuran, Pak. Arik selingkuh, setiap harinya hanya dijatah lima belas ribu, mertuanya selalu ikut campur. Makanya Haya kabur dari rumah su
Arman adalah teman dekat Arik dan Hayana. Lelaki yang pernah gagal menikah itu memang sudah lama mengetahui perselingkuhan temannya. Dia memang sering gonta-ganti pacar tapi setelah gagal menikah karena ulahnya sendiri kini dia tak ingin lagi pacaran. Di usia tiga puluh tahun ini dia masih membujang. Di mata Arman Haya adalah wanita yang baik dan tak pantas disakiti. Dia berusaha untuk menyadarkan suaminya. Namun, gagal. Memang benar menasihati orang yang sedang jatuh cinta itu susah. Termasuk Arman yang mencoba menasihati Arik. Sebenarnya Arman juga mengetahui Arini itu istri orang. ~~~~~~~~`~~~"Kamu itu bisa menjahit nggak, sih? Sudah dikasih tahu bukan seperti ini hasilnya yang diinginkan buyer? Bongkar lagi!" bentak Arik pada anak buahnya yang salah dalam proses menjahit.Arik baru saja mendapatkan komplain dari QC inline."Ba — baik, Pak. Akan saya perbaiki lagi." Suara Bu Marfuah bergetar. "Ibu itu sudah tua. Memang sudah saatnya istirahat di rumah saja. Ngasuh cucu bukan m
Kak, Arik? Apa kabar?Boleh ikut bergabung?" Hayana menyapa pasangan itu. Arik terperangah melihat Haya yang telah berdiri di depannya. Terlebih baru mengetahui istrinya bekerja di pabrik yang sama dengannya. Lelaki itu hanya bisa mengangguk pasrah. Tak bisa menolak saat istrinya meminta nimbrung bersamanya. Pria itu sedang sudah bisa merasakan akan ada suasana yang mencekam nantinya.Wanita itu mengubah panggilan pada Arik dari sapaan Mas berubah menjadi Kakak. Haya pernah mengatakan pada suaminya, bahwa dia memilih memanggil Arik dengan sebutan Mas, meskipun diketahui lelakinya bukan dari suku Jawa. Menurut perempuan bertubuh mungil itu, panggilan Mas untuk orang yang spesial di hatinya. Kini Arik bukan lagi orang yang istimewa bagi Hayana. Itulah sebabnya panggilan pun berubah menjadi Kakak. Ingin menunjukkan bahwa Arik tak ada lagi artinya. Haya tersenyum saat menatap Arik yang sedang tertegun dengan penampilannya. Tanpa persetujuan Arini terlebih dahulu, istri Arik itu menarik
"Diana. Tolong cari ke dalam atau belakang!" Hai ... lancang sekali manusia satu itu. "Anda siapa? Berani menggeledah rumah orang? Mau saya laporkan polisi?" Diana tidak mengindahkan ancaman suamiku. Begitu pun dengan Bu Sastra yang terlihat meremehkan Mas Bas.Aku tersenyum kecil saat melihat Diana hendak berjalan ke arah dalam. Kamu jual aku borong! Lihat apa yang akan aku lakukan"Diana. Bukankah kamu itu seorang guru?" tanyaku sinis. Sengaja untuk memancingnya. Setidaknya aku berusaha menggagalkan rencananya untuk masuk kedalam belakang.Diana menghentikan langkahnya. Menatap aku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada."Iya, aku seorang pendidik. Makanya percayakan anakmu padaku. Jangankan mendidik anak tiri, mendidik anak orang saja aku tidak keberatan," jawabnya dengan pongah. Jelas sanggup karena waktumu bersama mereka tidak banyak, belum lagi kamu itu dibayar. Kerja!Aku tersenyum kecil mendengarnya. Begitu pun dengan mas Bas."Benar itu, Haya. Govind lebih pantas di
"Bukankah itu Arik, Sayang? Dia tahu rumah kita dari mana?" tanya suamiku sambil menunggu gerbang dibuka oleh mbok Tum. "Aku juga tidak tahu, Mas." "Sejak kapan berdiri di situ?" gumam mas Bas. Aku mengangkat bahu. Siapa orang yang telah membocorkan alamat kami pada Arik? "Haya. Apa kabar?" sapa Arik setelah kami turun dari mobil. "Seperti yang kamu lihat. Tidak hanya baik, sekarang aku sangat-sangat bahagia." Sengaja aku tekankan kata bahagia. Memang, kenyataan sekarang aku bahagia setelah melewati masa-masa sulit dalam pernikahan kedua ini. Limpahan kasih sayang dan cinta dari suami membuatku hari-hari lebih indah. "Ternyata anak kita sudah besar, ya. Boleh aku menggendongnya?" Arik sudah mengulurkan tangannya hendak menggendong. Namun, aku mengabaikannya. Memangnya dia siapa?"Percaya diri sekali kamu! Memangnya kamu punya anak? Ini anakku dengan Mas Baskoro. Bukankah kamu tidak mempunyai anak denganku?" tukasku, lantang. Seandainya saja waktu itu mulutnya tidak mengeluarka
Mas Baskoro tak melepaskan pandangannya ke Arini. Apa yang ada dalam pikiran suamiku?"Aduh. Tolong aku, Pak. Mbak Haya tiba-tiba melemparkan gelas ke arahku?" Arini memasang muka sedih. "Kenapa kamu tega melakukan semua ini, Mbak?"Rabb. Tolong lindungi hamba dari fitnah Arini. "Kamu kenapa, Rin?" tanya Mas Bas dengan wajah datar. Tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan Arini."Pak, tolong. Aku takut. Mbak Haya pasti ingin mencelakai anak kita." "Anak kita?" tanyaku dan suami secara bersamaan.Arini mengangguk wajahnya terlihat puas."Aku lupa belum memberitahumu, Mbak, Pak." Arini segera membuka tas dan mengambil tes pack."Lihat! Inilah alasan aku ingin menjadi madumu, Mbak. Suamimu telah menodai aku ketika menginap di konveksi waktu itu!" Dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena aku percaya dengan alat itu, tapi marah dengan kelakuan Arini. Dia tega melakukan apa pun demi mendapatkan incarannya. Aku percaya itu bukan benih suamiku. Namun, tidak mungkin Arini nekat mengatak
POV HayanaAku mematung beberapa saat di ambang pintu. Aku kaget saat melihat siapa yang datang. Ada keperluan apa dia datang ke rumah ini? Kenapa Mbok Tum bilang tidak tahu siapa yang datang? Bukankah wanita ini pernah datang kemari saat diminta untuk menolong Mas Bas waktu itu? Aku semakin dibuat kaget saat menatap wajah Arini. Mengapa dandanannya kini seperti ondel-ondel? Sangat berlebihan. Pipinya dipoles blush on hingga memerah seperti habis ditonjok istri sah. Bibirnya pun diberi warna teramat mencolok seperti habis makan darah. Bulu matanya dipasang anti topan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah drastis begini. Aku seperti tak mengenali pribadi Arini lagi. Tidak bertemu beberapa hari mengapa dia menjadi seperti ini? Biasanya dia selalu tampil dengan polesan sederhana sehingga cantiknya alami. Apa yang membuatnya berubah? Aku sengaja menjaga jarak dengannya setelah kejadian itu. Hati ini semakin tidak ingin mengenalnya kembali.Ini pertama kalinya Arini datang ke ru
"Ini untuk yang —""Bu, Pak, maaf saya mengganggu. Nak Govind sudah bangun dan menangis." Baskoro tersenyum saat melihat Mbok Tum menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Sebelah tangan perempuan berumur itu membopong balita yang sedang mencari ibunya."Nggak papa, Mbok. Kami sudah selesai, kok." Baskoro menjawab dengan santainya. Lelaki itu merasa terselamatkan dari pertanyaan istri yang menurutnya adalah sebuah jebakan."Aku masuk dulu, ya, Mas." Haya menarik kursi kemudian bangkit meninggalkan suaminya. Lelaki yang mengenakan tuxedo hitam itu mengangguk. Dia merasa lega saat ini."Mas juga mau ke ruang kerja, ya?" Kini Basko meminta izin pada istrinya. Haya pun membalas dengan anggukan."Gantengnya bunda sudah bangun rupanya. Maaf, ya, tadi ditinggal sama bunda." Istrinya Baskoro menciumi anak yang sudah berada dalam gendongannya.Haya telah mengambil Govind dari tangan Mbok Tum. Anak lelaki itu dibawanya ke kamar."Mbok, tolong bereskan ini, ya." Baskoro pun segera menyusul
Istriku menatap kotak kado itu dengan raut penuh keheranan. "Aku kan sedang tidak ulang tahun. Kenapa dikasih hadiah segala?" tanyanya polos. Namun, sorot matanya berbinar."Memberikan hadiah tidak harus menunggu ulang tahun, Sayang." "Mbok, tolong Govind bawa sini!" Perempuan yang telah bekerja di keluarga Eyang itu segera memberikan bayi yang umurnya kurang dari satu tahun ini.Aku mencium pipinya sembari menjatuhkan bobot tubuh di samping perempuanku. Aku tidak tahu bagaimana pernikahan Haya yang terdahulu. Toh, aku memang tidak ingin tahu masa lalunya. Akan tetapi, mudah untuk ditebak bahwa, suaminya jarang memberikan hadiah. Istriku memang aneh malah memasang wajah bingung, setelah menerima hadiah. Tangannya seolah sedang menimbang berat kotak tersebut. Aku mengulas senyum melihat tingkahnya. Kenapa tidak langsung dibuka? "Nak, Bunda aneh, ya, mendapatkan hadiah malah seperti orang yang bengong." Aku mengajak ngobrol Govind yang ada dalam pangkuan.Haya hanya mencebik."
"Hentikan. Aku akan mengabulkan permintaanmu, Andini!" Aku sengaja mengucapkan itu. Aku tak mau orang suruhan Andini memberikan minuman beracun itu pada istriku."Serius kamu, Mas?" Aku mengangguk walaupun hati menolaknya. Maafkan aku harus berbohong padamu, Andini. Hanya ini jalan yang ada di kepalaku. Aku pun melemparkan pandangan pada istriku yang membuang muka. Pasti dia menyangka ini sungguhan. Aku yakin dia merasa sangat sakit hati. 'Ini hanya strategi saja, Sayang. Jangan marah. Aku hanya tak mau kehilanganmu.' Seandainya dia bisa bahasa telepati pasti Haya mengerti apa yang aku ucapkan dalam hati. Benarkah aku menuruti kemauan Andini untuk menceraikan Haya? Tentu tidak. Aku tidak akan melakukan hal sebodoh itu, yang dapat merusak kebahagiaan kami. Ini hanya salah satu caraku dalam mengulur waktu.Aku memang turun dari mobil seorang diri, sesuai permintaan Andini. Agar datang tanpa membawa teman. Aku tidak sekonyol itu yang benar-benar menuruti kemauannya.Aku harus terli
"Sayang kok kamu seperti sedang tidak tenang. Ada apa, Sayang?" Aku mulai khawatir dengan istri dan anakku. Sepertinya dia sedang tertekan."Po — pokoknya harus pulang sekarang!" Haya bersuara sangat ketakutan.Aku segera memutar arah. Kembali pulang ke rumah. Takziah bisa aku lakukan besok-besok. Aku harus segera pulang. Memastikan keselamatan istriku.Di saat aku ingin buru-buru sampai rumah, jalan menjadi macet. Padahal tadi berangkat masih lengang. Di depanku, kendaraan sudah mengular.Aku segera melakukan panggilan untuk istri. Aktif, tapi tidak diangkat. Angkat dong Sayang, batinku.Pikiranku sudah mulai nggak karuan. Aku pun sebentar-sebentar melirik arloji yang melingkari tangan. Sudah sepuluh menit berlalu. Namun, belum ada tanda-tanda mobil di depanku mau jalan. Bakal lama ini.Ya Allah, lindungilah istri dan anak hamba. Saat ini aku hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka. Dering ponsel kembali menggema semoga panggilan dari Haya. Aku segera mengambil benda tersebut
Aku mengambil bungkusan kado yang dihiasi pita. Jiwa kepoku sudah mendominasi sehingga ingin membukanya. Aku segera duduk di kursi kayu yang berada di teras. Tangan ini mulai membuka bungkus tersebut. Ternyata buat Govind. Ada sepasang sepatu, kemeja, topi serta celana yang semua bermerek. Ini adalah barang untuk ekspor. Dulu saya biasa mengirimnya ke beberapa negara — waktu masih menjadi manejer.Bagi sebagian masyarakat akan sayang membeli barang ini. Harganya tidak murah. Kualitas pakaian pun memang tidak diragukan lagi. Hanya orang-orang berkantong tebal yang sanggup membeli ini. Namun, siapa?Aku segera masuk menemui istri yang sedang sibuk di dapur. Barangkali dia tahu siapa pengirimnya? "Sayang. Ini ada yang mengirim kado buat Govind, tapi nggak tahu dari siapa?"Haya menghentikan aktivitasnya. Menatapku penuh keheranan."Kado? Sepagi ini sudah ada yang mengirimkan kado? Mas, nggak tanya dari siapa?"Haya menatap jam yang ditempelkan pada dinding dapur. Masih pukul enam pagi.