[Cantiklah. Mamanya cantik pasti anaknya juga cantik. Entah deh aku bisa datang atau tidak, tapi kalau tidak datang aku tetap memantau kalian dari grup.][Hai, kalau Mbak Lili enggak datang duitnya aja deh yang datang. Banyak ponakan nih, kan udah jadi orang kaya mobil aja dibeliin sebagai hadiah ulang tahun pernikahan.] jawab Johan. Dia memang mata duitan di antara kami semua, makanya saat aku mengiming-imingi souvenir emas 1 gram Antam dia semangat sekali untuk datang.Apalagi dia punya anak tiga otomatis sekali datang dia dapat duit kurang lebih 5 juta rupiah lebih. Kalau bukan Mas Danu yang mengadakan acara ini maka tidak ada lagi selain sultan-sultan. Padahal kami ini bukan Sultan.[Berisik kamu Johan! Duit mulu yang kamu bahas! Kalian enggak ada obrolan lain apa, ya? Aku usahakan datang. Nanti aku akan bilang ke Mas Eko. ] Tulis Mbak Lili.Karena masalahnya clear dan grup dengan senang hati menerima undanganku saatnya aku mengundang grup keluargaku.***Assalamualaikum warahma
[Mbak Ning, datang aja enggak usah malu. Aku pun enggak akan gigit Mbak Ning, kok, dan satu lagi aku juga tidak akan kasih tahu ke orang-orang kalau Mbak Ning, habis punya utang sama aku 2 juta rupiah.][Apa!][Apa!][Apa!] Komentar Mbak, Nur Mbak Susi, dan juga Wira bersamaan.[Ita, kamu jangan kurang ajar ya, mana ada Mbak Ning utang-utang sama kamu. Dia itu orang kaya, lho?] Tulis Mbak Nur.[Untuk apa aku kurang ajar sama Mbak Ning, dia itu kan, Kakak aku.Aku hanya mengutarakan isi hatiku saja bahwa Mbak Ning itu memang berhutang Rp2.000.000 padaku. Pada awalnya Mbak Ning, itu berniat hutang 100 juta karena tidak aku kasih akhirnya kuberikan saja 2 juta rupiah.][Apa! Ya, ampunan ... 100 juta?! Gila, banyak amat! Untuk apa Mbak Ning pinjam uang sebanyak itu?] tanya Mbak Susi.[Katanya sih, untuk modal usaha, tapi karena aku juga butuh uang untuk modal usaha, jadi tidak aku pinjami.][Apakah itu benar Mbak Ning? Kok Mbak Ning diem aja, sih? Enggak komentar padahal online loh, dan
Astaghfirullahaladzim Sebenarnya aku tidak ingin begini kepada saudara-saudaraku. Kesannya aku tidak ikhlas dan kesannya aku tidak menghormati mereka, tapi kalau aku tidak begini mereka tidak akan tahu diri. Yang ada nanti malah mempermalukan diri sendiri dan aku tidak mau itu karena keluarga Mas Danu itu mulutnya pun pedas-pedas. Apalagi Mbak Lili bisa sepanjang hidup mereka akan dibahas yang berimbas padaku.Kutinggalkan obrolan di WA grup dan aku lebih memilih untuk kembali menyusun rencana bersama dengan Mama Atik, ibuku dan juga mertuaku. Rencana agar apa yang menjadi tujuan utama kami berjalan lancar.“Assalamualaikum Ita!] Baru saja aku akan memulai obrolan dengan orang tuaku, Mbak Wulan dan Mbak Fitri tergopoh-gopoh datang ke rumah sepertinya ada sesuatu yang terjadi.“Waalaikumsalam Mbak, mari masuk! Ada apa sih, rame-rame ke sini? Ya, Allah spesial banget rumahku ini dari kemarin kedatangan tamu jauh,” candaku.“Ada sesuatu yang penting. Ayo, cepat kita keluar itu loh ada se
Sesampainya di rumah Novi, kami dikejutkan oleh keadaan di mana semua barang-barang ditutup dengan kain agar tidak berdebu. Sofa, TV, Gucci, pokoknya semuanya ditutup dengan baik. Sedangkan Novi sedang menangis di dapurnya. Kami bertiga salam pun tidak dijawa oleh dia. Beruntung kami bertemu suaminya yang juga sedang kesal dan bingung. “Kami, mau bertemu dengan Novi, apa bisa?” tanya kami kepada suami Novi.“Bisa Mbak Ita. Silakan masuk saja! Tapi, memang ada apa, ya, tidak ada kepentingan lain selain bertemu saja, kan?” tanyanya penuh selidik. Kami bertiga saling bertatapan bingung kenapa suaminya Novi sepertinya sangat menginginkan agar Novi tidak bertemu dengan orang lain?“Memangnya kenapa, ya, Mas? Memangnya salah kalau kami ketemu dengan Novi? Kita kan, tetangga?" tanyaku lagi.“Tidak ada apa-apa. Saya hanya tidak ingin istri saya di tagih hutang lagi. Pusing kepala saya, hari ini sudah tiga orang yang telepon dari subuh sampai jam 11.00 siang ini menagih hutang yang jumlahny
“Novi-Novi rupanya kamu di sini cuma numpang disuruh majikan jagain rumah selama dinas di luar negeri. Oh, gayanya aja selangit tidak tahunya cuma babu! Aku bilangin, ya, Nov ... ubahlah sifat kamu itu kalau kamu ingin dihargai banyak orang. Untung saja kamu masih punya rumah kalau tidak halah paling juga kamu ngontrak, tuh di pasar sana 500 ribu sebulan. Turun derajat, harta orang di bangga-banggain malu nih ye, kalau aku sih malu banget!” sahut Mbak Fitri lagi.“Iya, betul tuh, kalau enggak punya rumah yang sudah selesai direhap palingan juga ngontrak di pasar 500 ribu sebulan. Aduh aku tidak bisa bayangin deh! Gimana reaksi warga sini seandainya tahu bahwa kamu di sini hanya sebagai seorang pembantu yang menjaga rumah majikannya, tapi mempunyai sifat angkuh sombong seperti milik sendiri,” sahut Mbak Wulan.“Apaan, sih, kalian sana pulang jangan datang lagi ke rumahku!” Usir Novi. “Enggak usah sok-sokan ngusir segala Nov! Kita juga bakalan pulang dari sini. Lagi pula ini kan, buka
"Gedek banget, ya, datang ke rumah Novi, bukannya dapat sambutan baik dan dia minta maaf juga sama kita malah dia mempermalukan kita begini seolah-olah kita adalah pengemis. Huuh, kesel banget aku, tapi aku berusaha sabar terus berusaha menjadi orang yang baik. Aku sudah memaafkan Novi, maaf, maaf, maaf, pokoknya di hatiku selalu aku tanamkan kata untuk memaafkan semua orang yang menyalahiku,” ucap Mbak Fitri.“Betul sekali apa yang Mbak Fitri ucapkan. Ya, sudah lebih baik kita tidak usah bahas Novi lagi. Dia sudah pindah dari lingkungan kita. Semoga saja suatu saat nanti kalau kita ketemu dengan Novi lagi, dia sudah benar-benar sadar dan menjadi orang yang lebih baik lagi,” sahutku. Jujur aku tidak malu membahas ini terus menerus. sebenarnya dari dasar hatiku pun aku sedih karena kehilangan Novi, tapi kalau fakta berbicara lain apa boleh buat? Mungkin ini yang terbaik untuk hubungan kami sebagai seorang teman dan juga tetangga.“Iya, betul apa yang kamu bilang, Mbak! Lebih baik ki
“Alamak kayak sama siapa aja! Ita juga adikku sendiri. Kamu dari mana, Ta, aku sudah datang dari tadi loh, enggak ada yang nyambut. Mamah Atik entah ke mana. Ibu entah ke mana. Kia entah ke mana cuma ada Mbak Asih itu di dalam terus. Mbak Asih itu ya, kenapa ada tamu kok, malah diam saja nyuekin kami malah asyik nonton TV,” ucap Mbak Susi lagi.Oh, rupanya Mbak Asih dan juga ibu mertuaku sudah pulang dari ngajinya.“Mbak Asih lagi sakit juga lagi hamil. Emosinya enggak stabil itu sebabnya mungkin dia mendiamkan Mbak Susi. Lagi pula anggap saja rumah sendiri, kalau datang ke rumahku haus tinggal ambil minum di belakang. Suami dibikinin kopi yang penting kan, di rumah ada orang ada Mbak Asih,” jawabku seraya masuk ke dalam Mbak Susi membuntutiku.MasyaAllah ... ternyata Mbak Susi membawa oleh-oleh hasil kebunnya.“Mbak Susi bawa hasil kebun sebanyak itu memang tidak susah kan, bawa anak dua. Motornya muat Mbak?” tanyaku.“Tidak susah, lah, Ta. Suamiku itu kan, sudah ahli dalam sopir me
Menurutku Mbak Asih sudah sembuh dan memang dia menepati janjinya untuk jadi lebih baik lagi.Lihatlah sekarang dia sudah menutup auratnya dan berusaha menjalankan semua perintah-perintah Tuhannya. Sedangkan orang-orang yang selama ini menghina dia bahkan belum melaksanakan suatu kewajibannya sebagai seorang muslimah yaitu menutup aurat.“Asih kesambet apa, Ta? Kok tumben amat dengar azan langsung salat?" tanya Mbak Susi padaku, dia masih saja asyik nonton sinetron ikan terbang.“Mbak Asih enggak kesambet apa-apa, Mbak, tapi dia sudah mendapatkan hidayah dari Allah subhanahu wa ta'ala, jadi dia memperbaiki dirinya untuk terus mendekatkan diri agar menjadi Insan Yang mulia di pandangan Tuhan," jawabku.“Masa sih, begitu drastisnya pasti ada sesuatunya kamu harus hati-hati Ta," ucap Mbak Susi lagi.“Mbak Susi ini aneh orang rajin ibadah dikomentarin, orang banyak maksiat dikomentarin. Sudah merasa hidupnya paling sempurna aja! Harusnya Mbak Susi tidak usah banyak komentar, tapi langsun
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja
Aku mengikuti Mbak Mala ke luar rumah dan terpaksa meninggalkan piring makan malamku. Untungnya tinggal sedikit lagi. Gampanglah nanti bisa aku habiskan.Malam ini rembulan memang bersinar terang sekali sepertinya memang hari ini tanggal 15, jadi bulan purnama bertengger cantik di langit malam.Sejujurnya memang dari awal Wak Tono datang ke rumah aku sudah sedikit tidak sreg dengan segala tingkah lakunya. Seperti ucapannya yang terkesan selalu ketus, selalu menyudutkanku dan Mas Danu dan juga seperti mengawasi keadaan rumahku.“Mbak Mala apa beneran tadi Wak Tono ke sini?” tanyaku pada Mbak Mala, dia hanya mengangguk dan terus menggandeng tanganku.“Iya, Ita. Tadi aku lihat Wak Tono tlewat sini terus ke arah sana, ke pohon jeruk kamu dan membakar sesuatu seperti yang aku jelaskan tadi,” jawab Mbak Mala.“Baiklah kalau gitu, ayo kita cek ke sana!” Kami berdua gegas mengecek pohon jeruk yang dimaksud oleh Mbak Mala. Aku menggunakan senter HP untuk lebih menerangi jalanan kami karena me
"Ya, Allah ... sungguh mulia hatimu, Dina. Bapak jadi malu karena tidak bisa mengontrol emosi. Bapak begitu mendengar kabar dari Danu bahwa Wira besok akan menikah sungguh Bapak benar-benar malu. Maafkan kekhilafan Bapak Dina,” ucap bapak dengan tulus.“Iya, Pak. Aku memaafkan semua orang-orang yang menyakitiku karena aku merasa lebih tenang dan damai jika aku berbuat demikian. Sudahlah lebih baik kita jangan bahas Mas Wira lagi nanti selera makanku jadi turun kasihan kan, cucu Bapak dan Ibu, jadi asinya nanti enggak berkualitas kalau aku makannya tidak banyak.”“Iya, iya, betul. Benar apa yang kamu bilang, ya, sudah Bapak kembali ke depan untuk menemui Danu. Kamu tetap di sini dengan ibu dan juga kakak-kakakmu. Terima kasih sudah menjadi menantu Bapak yang baik hati. Terima kasih Dina,” ucap bapak lagi sebelum pergi meninggalkan kamar ini. Matanya berkaca-kaca, tangannya mengelus pundak Dina.Aku tahu Dina pun menahan gejolak yang ada di hatinya itu terbukti dari tatapan Dina yang s
"Ya, Allah, Dina! Kamu yang sabar, ya, sayang? Di sini ada Bulek yang akan selalu membelamu. Apa pun yang terjadi Bulek akan menjadi garda terdepan untuk kamu. Apalagi hanya laki-laki pecundang macam Wira. Bulek akan polisikan dia, sampai bertekuk lutut padamu. Memang Tuhan itu menunjukkan siapa sebenarnya suamimu itu, Dina. Di saat kamu berhijrah ke jalan Allah menjalani hidup menjadi lebih baik justru suamimu perbuatannya makin tidak terkendali. Makin bobrok sehingga melupakan anak istrinya. Tenanglah Dina. Jangan kamu tangisi laki-laki seperti itu. Jangan pernah kamu bersedih karena ulahnya. Allah sudah merencanakan masa depanmu yang jauh lebih indah dari pada ini. Bulek yakin suatu hari nanti kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari Wira. Kamu masih muda, cantik, saleha pasti banyak laki-laki yang jauh di atas Wira yang mau dengan kamu. Percayalah pada Bulekmu ini Dina, kesedihan kamu kesedihan Bulek juga. Sakitmu sakitnya Bulek juga," ucap Mamah Atik seraya memeluk Din