Orang tua Rita tertegun mendengar penuturan Mala. Benar sekali desas-desus jika wanita yang terbiasa tampil tenang itu mampu mengeluarkan kalimat yang membuat lawan bicaranya tak berkutik. "Tetapi kau tak boleh egois!" Suara bariton ayah Rita kembali terdengar setelah beberapa saat tenggelam dengan sikap Mala yang masih duduk tenang. Aura wanita itu lain, dia bukan seorang yang mudah ditaklukan seperti yang sebelumnya. "Egois di bagian mana, Pak? Justru kalau kalian ngotot seperti ini kalianlah yang egois. Sekaligus tak tahu malu," ucap Mala penuh penekanan. Ibunya Rita hampir kelepasan mengontrol emosinya. Perkataan Mala benar-benar membuat harga dirinya hancur. Meski pada kenyataannya, sikap mereka yang rakus itulah yang membuat sosok orang tua itu tak berharga sama sekali. "Jangan mengatai kami sesukamu. Kubilang langkah yang diambil Bayu dan Rita sudah tepat. Kau dzalim jika membiarkan mereka tersiksa dengan perasaan mereka yang ingin memiliki satu sama lain. Harusnya kamu paha
"Kalian memang keluarga parasit tak tahu malu. Masuk menjadi pihak penghancur rumah tanggaku. Kini pun merusuh di harta yang ditinggalkan Mas Bayu padahal kalian tahu anak kalian tak berfungsi apapun di dalamnya. Apakah segala hal yang kalian katakan akan membuatku luluh memberikan sedikit apa yang ditinggalkan Mas Bayu untuk kalian? Jangan berharap, karena aku tak akan memberikan seujung kuku pun! Bekerjalah jika menginginkan sesuatu. Jangan menjadi pengemis untuk wanita yang sudah kalian curi suaminya!" "Setidaknya izinkan ibunya Bayu dan adiknya tinggal disini! Kau lebih lama hidup sebagai menantunya dari pada anakku! Mengapa mereka justru tinggal di rumah sempit kami?"Bola mata Mala membesar. Cukup jelas apa yang diucapkan oleh Pak Munandar. Jadi inilah tujuan sebenarnya dia datang kemari? Mala sedikit syok mendengar mertuanya kini menumpang di rumah orang tua Rita. Meskipun rumah itu dibeli suaminya untuk mereka, rasanya tak etis jika kedua keluarga yang sama-sama menyerang Mala
Mala menatap Bude Rumi sesaat. Kembali wajah wanita itu terlihat sedih dengan apa yang menimpa anaknya. Mala tak tahu harus berkomentar seperti apa. Ada rasa menyesal telah menanyakan sesuatu yang membuat wanita itu kembali bersedih. "Ratna tidak bisa menerima kekurangan Dion." Bude Rumi mengusap sudut matanya yang berair. Mala terdiam. Dia tak berani bertanya lebih lanjut. Baginya reaksi Bude Rumi sudah menjawab sejauh apa rasa sakit yang ditimbulkan akibat perceraian anaknya. Apalagi selama yang Mala tahu, Ratna dan Dion adalah pasangan yang serasi. Fisik mereka yang nyaris sempurna benar-benar menjadi dambaan bagi seluruh pasangan suami istri. Mereka terlihat baik-baik saja sejauh ini. Oleh karenanya, kabar perceraian ini sungguh mengejutkan dirinya. Mala mulai menebak dalam hatinya, barangkali kenyataan inilah yang membuat kesehatan Bude Rumi menurun. Tetapi lagi-lagi Mala tak berani menanyakan langsung pada wanita itu karena tak ingin menambah beban pikirannya. "Kamu tak tany
"Pantas saja kau tak terlihat berduka sama sekali. Rupa-rupanya kau sudah menemukan calon yang akan menjadi mangsamu, Mala?" ucap Bu Rahayu. Mala memilih menepikan Kinanti dan mengarahkan anaknya untuk mendekat ke Bude Rumi. Anaknya boleh melihatnya terhina oleh perbuatan seorang nenek yang tak pernah menganggap cucunya ada. Sedangkan Dion nampak tahu diri untuk menjauh dari dua orang wanita yang terlihat sekali tengah berseteru. "Apa yang membawa ibu kemari?" "Apa yang membawaku kemari? Tentu saja hak! Hak atas sebagian besar harta Bayu. Aku tak akan semudah itu mengalah darimu. Aku tahu, kau tak benar-benar menggunakan uang hasil penjualan rumah anakku untuk membayar hutang. Aku juga sudah menerima informasi dari orang yang dipercaya bahwa Bayu memiliki aset lain. Aku tak akan membiarkanmu menguasai semuanya, Mala!" Mata wanita itu berkilat-kilat menyiratkan kemarahan menguasai dirinya. Mala membuang napasnya kasar. "Apakah orang yang dipercaya itu maksudnya adalah orang tua Rita
Mala menegakkan punggungnya. Bu Rahayu menatap wajah di depannya itu dengan wajah sayu. Di satu sisi dia membenarkan apa yang disampaikan oleh menantunya. Tetapi di lain sisi, dengan menerima segala keputusan Mala sama artinya dirinya kehilangan harapan untuk memiliki tempat tinggal dan hidup lebih layak dengan peninggalan Bayu. Belum lagi sikap Rita dan orang tuanya yang sangat berubah akhir-akhir ini. Bahkan Rosa sudah mengeluh tentang sikap mereka yang terkadang membuat harga diri Bu Rahayu dan anaknya itu terkoyak. "Mala, Ibu mohon. Turunkan sedikit egomu. Apakah kau tak kasihan dengan Ibu kandung suamimu?" Mala menyadari sesuatu yang berbeda tengah terjadi. Jika biasanya sang mertua tak pernah bersuara selembut ini, beda dengan kali ini. Wanita itu tampak putus asa. Tentu tak seperti biasa. "Ego yang mana yang harus kuturunkan? Apakah Ibu berharap aku akan membagi apa yang susah payah kukumpulkan dengan kalian yang selama ini berusaha menjatuhkan mentalku? Kutanyakan padamu,
Benarkah seorang ibu akan menyerahkan anak kandungnya sendiri hanya karena tak mendapatkan harta warisan? Setega itukah? Atau mereka hanya menggertak ibu mertua Mala? Agar wanita itu semakin kuat menekan Mala hingga mau menyerahkan apa yang dia punya untuk turut dibagikan pada manusia-manusia serakah itu? "Benarkah? Bukankah itu kabar baik? Ibu menginginkan cucu laki-laki. Sedangkan mereka menyerahkannya pada Ibu. Suatu kebetulan yang menyenangkan bukan?"Mala menyeringai. Dia tahu persis bagaimana perasaan mertuanya saat ini. "Maaf, Bu. Apapun yang akan terjadi pada kalian, aku lepas tangan. Bisa dikatakan aku tak peduli, seperti dirimu yang tak peduli bagaimana perasaan sesama wanita saat suaminya memilih melabuhkan cintanya pada wanita lain. Dan buruknya, kau mendukung perbuatan itu."***"Bagaimana, apakah Anda berhasil mempengaruhi menantumu itu?" Suara Pak Munandar—Ayah Rita menyambut kedatangan Bu Rahayu di rumah itu. Di sudut lain, istrinya melihat ke arah besannya itu den
Bu Rahayu menatap wanita yang selama ini terlihat begitu kompak dengannya. Bahkan dia ingat bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh ibunya Rita di awal-awal anak mereka menikah. Rasanya tak bisa dicerna oleh akal sehat mereka yang selama ini terlihat saling mendukung dan selalu sepakat itu kini telrihat saling membenci. Parahnya hartalah yang membuat mereka seperti saat ini. "Kau, mengusirku dari rumah yang anakku beli?" tanya Bu Rahayu pada besannya. Suaranya yang meninggi membuat Alvaro terlonjak kaget. Rita yang sedari tadi menguping dari kamarnya segera keluar dan meraih anaknya. Kali ini dia pasrah dengan apa yang orang tuanya lakukan pada mertuanya. Toh benar sekali, selama Bu Rahayu dan Rosa berada di rumah itu justru menambah beban hidup mereka. Bu Rahayu yang terbiasa membeli makanan dan jarang masak sama sekali tak ikut turun tangan masak di dapur. Hanya sesekali dia membantu menjaga Alvaro. Itu pun hanya beberapa saat saja. Mana mau dia yang anti sekali dengan kerepotan it
Perkataan Bu Susmita meremas hati ibu kandung almarhum Bayu itu. Amarah dan rasa sedihnya bercampur aduk dan berlomba mendominasi perasaan wanita itu. Harga dirinya yang sudah berada di dasar tanah kini semakin tenggelam karena perlakuan manusiawi keluarga Rita. Seperti apa yang dia lakukan terhadap Mala, kini dia merasakan hal yang sama. Bedanya Mala tak benar-benar malang. Dia masih bisa menikmati apa yang seharusnya dia dapatkan. Beda dengan Bu Rahayu, bahkan kehidupannya esok hari dia tak memiliki bayangan apapun. "Anakmu masih kuat. Suruh dia bekerja. Bangunkan dia dari tidur panjangnya. Dunia ini keras, saatnya berdiri menapak di kaki sendiri! Bukan menempel kehidupan orang lain seperti benalu, meski kepada anak sendiri!"***Rosa menatap ibunya dengan wajah pucat. Sedikit banyak dia tahu insiden pengusiran oleh orang tua Rita. Bukan dia tak ingin membela ibunya, hanya saja badannya memang sulit sekali diajak bekerja sama. Entah apa yang terjadi dengan tubuh gadis itu, nyatan
Tanpa dia sadari aku mengekor di belakangnya untuk berjalan ke arah balik panggung. Aku berlindung di balik punggungnya saat membelah kerumunan yang penuh sesak tanpa dia ketahui. Di sisi belakang panggung, kulihat anak-anak sudah berkumpul dengan orang tua mereka masing-masing. Kinanti yang menoleh ke kanan dan kiri tersenyum lebar melihat Mas Dion. Seketika dia berlari menubruk lelaki itu. Aku tersenyum saat Kinanti kaget melihatku yang berada di balik Om Dionnya."Mama sama Om Dion? Kok tadi nggak keliatan dari atas?" Mas Dion memutar tubuhnya hingga dia tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapatiku di belakangnya. Kedua alis tebalnya bertaut menunjukkan ekspresi bingungnya."Kamu fokusnya ke Om Dion, jadi Mama yang langsing ini nggak keliatan," jawabku setengah meledek. Mas Dion mengangkat kedua bahunya. "Secara tidak langsung kau mengatakan aku gendut, Mala." Aku tertawa dan mengabaikan wajah lucu lelaki itu. Kuraih kepala Kinanti untuk mendekat ke tubuhku. Kuciumi
Tergesa-gesa aku keluar dari taksi online yang membawaku. Mobilku pecah ban saat perjalanan kemari. Setengah berlari aku menyusuri koridor sekolah taman kanak-kanak Kinanti. Hari ini adalah pentas seni yang diadakan sekolah anakku. Dari tadi malam Kinanti memastikan aku harus hadir tepat waktu karena dia dan beberapa temannya akan menampilkan seni drama musikal yang sudah dipersiapkan matang oleh gurunya. Mungkin dia sudah paham dengan kesibukanku akhir-akhir ini dengan cabang baru bimbelku di kecamatan sebelah. Belum lagi dengan aktivitas mengajarku yang tak bisa kutinggalkan meski aku sudah punya penghasilan lain yang jauh lebih besar. Jantungku berdegup tak berirama saat sayup-sayup kudengar lagu yang biasa didengungkan Kinanti di depan kaca sudah diputar. Ada rasa ketakutan yang sangat besar aku tak bisa membersamai anakku berjuang menampilkan pementasan yang susah payah sudah dia usahakan. Aku mulai merutuki diriku yang tak bisa menolak wawancara dengan stasiun TV lokal yang i
"Om Dion bilang kapan-kapan pergi bertiga sama Mama, emang Mama mau?" tanya Kinanti saat malam hari menjelang tidurnya. Aku yang mendekapnya dari arah belakang hanya mampu menatap lurus ke arah tembok kamar. "Pengin punya papa kaya Om Dion". Aku makin tak mampu menjawab kalimat Kinanti. Aku agak heran mengapa dia begitu mudah melupakan ayahnya. Selama ini dia cukup dekat dengan Mas Bayu. Meski sebelum ajal menjemputnya perhatian lelaki itu kusadari mulai terbagi yang akhirnya kutahu dia membagi perhatian dan cintanya pada Rita dan anaknya. Entah kalimat apa lagi yang keluar dari bibir mungil anakku. Kubiarkan dia bermonolog sendiri hingga terdengar dengkuran halus darinya. Dipeluknya boneka beruang dari Mas Dion dengan erat. "Jangan bebani dirimu karena permintaan dari Bude, Mala. Terimalah Dion jika kamu memang berniat ingin membangun keluarga kembali dengan seorang pria yang serius. Bude tak memaksamu. Apalagi kau sendiri tahu apa kekurangannya."Kalimat Bude Rumi membuatku teta
Mas Dion bergerak tanpa penolakan sedikit pun. Dia berjalan sambil menuntun Kinanti ke mobilnya. Bude Rumi tersenyum padaku. "Mereka cocok ya, Mala?" Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tentu saja aku hanya diam meneguk ludah tanpa mampu berkata-kata. Entah hanya bercanda untuk membuat Ibu mertua dan Rosa terpancing seperti biasa dia lakukan atau memang ada maksud lain yang tidak kuketahui. "Apakah kau belum berniat untuk menikah lagi, Mala?" Aku membulatkan kedua mataku. Lidahku kelu tak mampu berucap. Apalagi Bude Rumi menanyakan hal itu tepat di depan wajah Ibu mertuaku. Wanita itu menyunggingkan senyum sinis. "Secepat ini? Kau menanyakan Mala tak ingin menikah lagi saat tanah kuburan suaminya masih merah? Kau memang gila, Arumi!" Ibu mertuaku berucap dengan nada penuh ejekan. "Kenapa? Sudah lebih dari enam bulan Bayu meninggal. Masa idah Mala sudah lewat. Apa yang menghalanginya menikah?" tanya Bude Rumi dengan mata menantang. "Rasanya tak etis saat suami belum lama meningg
Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan mereka akan merongrongku. Tanpa diduga Ardan mengangkat tas besar yang dari tadi tergeletak di sudut ruangan dan meletakkannya di atas motornya. Tentu saja perbuatannya membuat Ibu dan Rosa berteriak panik. "Dan! Apa-apaan kau! Kenapa baju kamu kau bawa?" Ibu berteriak penuh amarah. Sedangkan Rosa, baru saja berdiri saja dia sudah memegangi kepalanya. Aku tahu, efek kehamilan tiap orang berbeda-beda."Kalian benar-benar nggak punya malu! Entah dengan kalimat seperti apa yang bisa buat kalian sadar! Aku malu sebagai anak laki-laki keluarga kita, Bu! Mbak Mala itu sekarang orang lain, jangan ganggu hidup dia bisa?" Ardan memasukkan kunci motornya. "Aku tunggu di kontrakanku, Bu. Kalian sudah pernah kesana untuk minta uang. Aku yakin ingatan kalian masih berfungsi dengan baik!"Tergesa-gesa Ardan melajukan motornya. Dia melesat jauh tanpa peduli ibunya yang berteriak seperti orang kesetanan. Aku masuk ke
Balasan Mala "Kami tak mau menampung wanita murahan, Mbak." Mereka berdua berdiri seolah urusan pelimpahan ini telah selesai. "Kau mengatakan padaku Rosa murahan, apakah kau sendiri lupa kau pun sama murahannya dengan dia? Mau dinikahi diam-diam oleh laki-laki beristri itu juga hal murahan, kau tak tahu itu?" Kedua orang itu berhenti mengayun langkahnya. "Kau sungguh lucu. Wanita murahan meneriaki wanita lain yang juga murahan. Awas karmamu lebih berat, Rita."Tak ada kata yang diucapkan Rita kembali. Mereka berdua berjalan cepat ke arah mobil yang catnya pun sudah banyak yang mengelupas. Kembali kupandangi tas yang teronggok di sudut ruang tamuku. Entah drama apalagi yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas aku harus bersiap-siap karena setelah ini akan ada kerusuhan yang terjadi. Kuputuskan untuk menghubungi Ardan, adik lelaki Mas Bayu yang memilih untuk tinggal terpisah dengan ibu dan kakaknya pasca rumah mereka disita bank. Tiga panggilanku tak terjawab o
"Pulangnya ikut Om Dion," ucap Kinanti seperti sebuah perintah. Aku menautkan kedua alisku sebagai tanda protes untuk anakku. Tetapi lagi-lagi Kinan tak menangkap maksud ekspresiku. "Mau nginep juga di rumahnya Om Dion. Biar malam-malam jalan-jalan lagi naik mobil.""Mama janji beli mobil lagi dalam waktu dekat, Kinan.""Wow… demi menjauhkan Kinanti, kau bisa melangkah sejauh itu?" Lelaki dengan rahang kokoh itu tersenyum penuh arti ke arahku. Ya, kurasa dia benar. Aku terlalu gegabah mengumbar janji hanya karena takut dia terlalu dekat dengan Mas Dion. "Om Dion habis ini ke kantor lagi, kamu pulang sama Mama dulu ya. Besok Om ajak main lagi." Mas Dion mengusap rambut anakku dengan lembut. Dia berdiri dan tersenyum sekilas padaku. "Aku pulang dulu, Mala. Sampai bertemu, besok." Lelaki itu menganggukkan kepalanya ke arahku. Aku tak membalas apapun karena memang tak ada yang ingin kusampaikan lagi padanya. "Kalau Om Dion jadi Papa Kinanti boleh, Ma?" Uhuk. Aku hampir menyemburkan
Kedekatan Mereka Dua minggu pasca pertemuanku dengan Mas Dion di rumahku aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Jangan tanya bagaimana Kinan berusaha mati-matian merayuku, memintaku untuk mengantar ke rumah Mbah Ruminya. Jika tak ada Mas Dion, tentu saja aku akan dengan ringan mengantar anakku ke sana. Aku harus mengalihkan perhatian Kinanti dengan membawanya jalan-jalan, atau sekadar membelikannya jajan seperti yang Mas Dion lakukan saat itu. Seperti sore ini, aku mengajak Kinanti membeli susunya yang sudah habis. Hari ini dia kubawa ke bimbel cabang ke dua yang kubangun belum lama ini. Perkembangannya cukup lumayan, aku tak perlu khawatir dengan persoalan finansial selepas kepergian Mas Bayu. Selain karena tenaga pengajar yang benar-benar kupilih dengan ketat, aku juga berusaha membangun tempat bimbelku agar tak seperti kebanyakan bimbel. Terbukti dengan kedua cara itu peminat bimbingan belajarku meningkat drastis akhir-akhir ini. Tak hanya itu, aku pun menggratiskan beberapa an
Ada yang teriris di dalam dadaku mendengar jawaban anakku. Rasanya tak adil, saat dia mulai masuk sekolah, papanya sedang sibuk dengan keluarga barunya. Aku yang bodoh, tak menyadari perubahan Mas Bayu sama sekali. Entah dia yang terlalu pintar menyembunyikan rahasianya atau memang aku yang terlampau percaya padanya. Lihatlah, Mas. Anakmu bahkan tak bisa merasakan bagaiman rasanya memiliki sosok Ayah yang mengantar serta menjemputnya sepulang sekolah. "Boleh, Ma?" Aku menatap mata bening bak telaga itu sekali lagi. Aku tersenyum seraya mengangguk lembut. Apa yang terjadi setelah dia mendnegar jawabanku? Kinanti berteriak kegirangan mendengar jawabanku. Bahkan dia melompat-lompat di atas sofa di depan TV ruang tengah. Aku melihat kebahagiaannnya yang berpendar dari senyum yang menghiasi bibir mungilnya. "Mbak. Aku mau bicara."Aku menoleh pada sumber suara. Gadis itu, adik iparku--Rosa, sudah datang di rumahku sepagi ini. Entah aku salah melihat atau memang keadaannya demikian,