Iwan tengah berada di dalam kamarnya. Dia duduk bersandar di kepala ranjang. Dia kembali merenung, memikirkan tentang masa lalu.
Bagi Iwan, Salwa itu merupakan sosok malaikat untuknya. Tanpa disadari Salwa, dia bisa menarik Iwan dari kegelapan hatinya, dan membawanya ke cahaya yang terang.Iwan pikir, jika saja dulu Salwa tidak muncul di hadapannya, mungkin dia akan menjadi orang yang sangat berbeda sekarang.Kemungkinan, Iwan akan menjadi seorang laki-laki brengsek yang penuh dosa, dikarenakan rasa kecewa kepada orangtuanya.Rasa sakit di hatinya, itu akibat dari perceraian orangtuanya, yang tanpa sadar menyakiti Iwan sangat dalam.Disaat terpuruknya, Salwa datang mengulurkan tangannya dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.Iwan yang saat itu masih berusia empat belas tahun, merasa terpesona dengan senyum manis dan tulus yang ditunjukkan Salwa.Dengan keMinggu siang ini setelah sholat dhuhur, Salwa berbaring di pangkuan uminya.Waktu weekend seperti ini, biasa mereka gunakan untuk berkumpul bersama. Selain itu berkumpul seperti ini juga bisa mempererat hubungan mereka."Dek! Gantian napa." Adam, walaupun sudah berumur dua puluh tujuh tahun, tapi dia juga masih suka bermanja-manja dengan uminya.Didikan orangtua mereka yang selalu mengajarkan tentang kasih sayang kepada keluarga dan juga pentingnya menghabiskan waktu seperti sekarang ini, membuat Adam dan kedua adiknya menjadi dekat satu sama lain.Hanya kurang Husein saja saat ini. Dikarenakan dia sekarang sedang bekerja di Bandung, sehingga dia tidak bisa ikut berkumpul dengan mereka.Setiap kali Husein pulang ke Solo, maka Husein pasti akan memonopoli uminya. Dengan alasan dia sudah lama tidak bertemu, maka mau tidak mau kedua saudaranya pasti akan mengalah.Kasihan juga, pikir mereka. Husein hanya akan
"Akhirnya! Sampai juga di Solo." Husein merenggangkan tangannya, sembari menghirup udara Solo yang sudah satu bulan ini tidak dijumpainya.Husein sampai di bandara Adi Sumarmo pada pukul sebelas siang.Husein melihat jam di tangan kirinya. "Sebentar lagi sudah waktunya makan siang," ucap Husein.Husein tadinya ingin langsung pulang saja ke rumah. Tapi akhirnya dia urungkan niatnya itu. Dia memilih untuk sholat dzuhur, dan makan siang terlebih dahulu, baru pulang.Husein berjalan keluar dari bandara. Alih-alih memilih untuk naik taksi, Husein malah lebih memilih untuk naik becak.Selain bisa membantu pemasukan tukang becak, Husein juga bisa menikmati keindahan kota Solo."Mereka pasti terkejut dengan kepulanganku. Apalagi aku akan menetap mulai sekarang." Husein sangat antusias untuk bertemu dengan keluarganya yang sudah satu bulan ini tidak berjumpa.~
Seperti pesan Abah kepada Adam tadi yang menyuruhnya untuk tidak menunggu mereka makan malam. Adam mengajak kedua adiknya itu untuk makan malam."Mas Adam yakin, Abah sama Umi telat pulangnya?" tanya Salwa."Iya Dek! Tadi sebelum Abah pergi, Abah berpesan agar kita makan malam terlebih dulu, karena Abah sama Umi mungkin bakal sampai malam."Mereka bertiga kini tengah berada di meja makan. "Nyesek banget sih nasibku. Rencana pulang mau memberikan surprise, malah Abah sama Umi belum pulang juga," ucap Husein sedih."Udah Mas, nggak usah sedih. Abah sama Umi memang belum pulang, tapi Salwa tadi terkejut loh, tiba-tiba melihat Mas Husein ada di rumah," ucap Salwa."Sudah! Bicaranya dilanjutkan nanti. Sekarang kita makan dulu," ucap Adam."Iya Mas," jawab Salwa dan Husein serempak.Makan malam ini, Salwa yang memasak. Menunya juga hanya seadanya. Salwa memasak bahan yang ada di dapur."Masih enak seperti biasanya Dek,"Husein memuji masakan Salwa."Salwa gitu loh!" jawab Salwa senang karena
Mereka bertiga kini sedang berada di kamar jenazah. Mereka melihat jasad kedua orang tuanya yang terbujur kaku di bankar rumah sakit.Salwa sudah menangis sesegukan, Husein menangis tanpa bersuara. Sedangkan Adam, dia berusaha sekuatnya agar tidak menangis.Kedua adiknya kini tengah terpuruk, dia harus bisa menjadi sandaran dan kekuatan untuk mereka. Dia mencoba untuk kuat di tengah rasa sakitnya.Adam memeluk Salwa dengan erat. Adam melihat ke arah Husein yang menatap jasad kedua orang tuanya, menangis tanpa bersuara.Adam tidak tahu seberapa sakit hatinya Husein sekarang. Disaat dia sudah pulang, bermaksud untuk memberikan kejutan untuk mereka, tapi malah dia yang mendapatkan kejutannya.Di tengah kesedihannya, Adam tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Adam kemudian meminta kepada pihak rumah sakit untuk mengantarkan jasad kedua orang tuanya kembali ke rumah.Salwa tidak berh
Sudah satu minggu Habibah bersaudara hanya berdiam diri tinggal di rumah. Mereka masih mencoba untuk menata hidup mereka, setelah kepergian Abah dan Umi.Kepergian Abah dan Umi yang begitu mendadak, benar-benar menjadi pukulan yang berat untuk mereka bertiga.Adam yang menutup tokonya sementara, Salwa yang menyerahkan urusan butik kepada Amira, dan Husein yang meminta mengundurkan jadwalnya masuk bekerja.Para tetangga yang senggang, juga silih berganti mengunjungi kediaman Habibah. Para Ibu-Ibu memberikan sebagian masakan mereka untuk Habibah bersaudara, serta menemani Salwa agar tidak selalu bersedih. Memang, mereka tidak bisa menyembuhkan rasa sakit hatinya Salwa, tapi mereka berharap, dengan kunjungan mereka setiap hari, bisa mengalihkan pikiran Salwa.Sedangkan untuk Bapak-Bapak dan laki-laki yang senggang, mereka menemani Adam dan Husein, harapan mereka juga sama, agar kesedihan mereka bisa sedikit terobati de
Pagi harinya, Habibah bersaudara hanya saling menyapa sekali. Setelah sarapan, mereka kembali ke kamar masing-masing.Bukannya mereka tidak sadar dengan keadaan saudaranya. Mata bengkak mereka jelas terlihat. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung paham jika mereka semalam habis menangis.Hati mereka sama-sama sakit melihat mata saudaranya bengkak seperti itu. Ingin rasanya hati menyemangati, tapi mereka juga sadar, mereka mengalami hal yang sama. Tidak perlu mengatakan apa-apa, mereka sudah mengerti satu sama lain.Salwa kembali menangis setelah masuk ke dalam kamar. Dia sangat sedih melihat keadaan kedua kakaknya pagi ini.Jika semalam dia menangis karena hatinya masih sakit, setelah kepergian Abah dan Umi. Pagi ini dia kembali menangis karena melihat keadaan kedua kakaknya.Salwa yang melihat mata bengkak Adam dan Husein sangat yakin jika mereka menangis semalam. Tapi Salwa masih benar-bena
Tiga hari berlalu, Habibah bersaudara sudah terlihat lebih ceria dari hari-hari sebelumnya.Adam dan Salwa juga sudah akan mulai bekerja hari ini. Begitupun dengan Husein, rencananya, dua hari lagi Husein juga akan masuk bekerja kembali.Mereka tengah sarapan bersama, sebelum Adam dan Salwa berangkat bekerja. Semalam mereka sudah memutuskan. Karena Husein baru akan mulai bekerja dua hari lagi, jadi selama dua hari ini, Husein akan ikut Salwa ke butiknya."Aku ikut Salwa saja Mas. Biar sekalian bisa jagain dia," ucap Husein semalam.Selain agar Husein tidak merasa kesepian, Husein juga ingin melihat bagaimana Salwa mengelola butik yang sudah dari dulu dia mimpikan.Jika ditanya apakah mereka masih merasa sedih, jawabannya jelas, mereka masih sangatlah sedih.Namun hidup juga harus tetap berjalan, mereka tidak bisa terjebak dalam kesedihan mereka.Mereka harus bangkit
"Sudah lama?" tanya Husein kepada Andhika, begitu dia sampai di bandara. Husein menjemput Andhika dengan menggunakan taksi, karena Husein tidak tahu berapa banyak barang bawaan Andhika. Motor Husein, dia tinggal di butik Salwa. "Hai! Tidak juga! Kamu apa kabar?" jawab Andhika. Andhika Putra, pria kelahiran Bandung yang saat ini berusia dua puluh lima tahun. Dia mengenal Husein sekitar tiga tahun yang lalu. Lebih tepatnya, saat pertama kali Husein datang ke kota Bandung. Mereka lalu berpelukan sebentar. Setelah melepaskan pelukannya. Husein melihat jika ternyata barang bawaan Andhika tidaklah terlalu banyak. Hanya satu koper dan satu tas ransel. "Aku baik! Kamu bagaimana kabarnya? Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa dimutasi ke Solo?" tanya Husein. "Aku juga baik! Nggak tahu, mungkin karena kita sudah lama kerja bareng, jadinya aku ikut dimutasi ke Solo," jawab Andhika. "Ada-ada saja! Oh iya kamu tinggal di daerah mana?" tanya Husein. Mereka berjalan keluar dari bandara dengan Hus
Andhika menahan diri, yang rasanya ingin sekali untuk segera bertanya tentang rasa penasarannya itu.Dia hanya diam melihat ke empat orang yang sedang sibuk mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam.Banyak sekali yang ingin Andhika tanyakan kepada Husein atau kepada Adam.Mengapa makam orang tua mereka hanya diberikan batu diatasnya, bahkan juga tidak ada nama di batu tersebut.Sangat jauh berbeda dengan apa yang selama ini diketahuinya, dan tidak seperti makam-makam yang ada disekelilingnya. Ada banyak yang di kijing. Bahkan ada yang diberi bangunan seperti rumah diatasnya. Semakin heran saja Andhika melihatnya.Memang ini bukan pertama kalinya dia melihat bangunan rumah di makam. Tapi yang menjadi pertanyaan Andhika adalah. Mereka kan sama-sama beragama Islam, mengapa perbedaan makam di antara mereka begitu besar.Dalam pikiran Andhika, bukankah mereka satu keyakinan, bukankah seharusnya mereka sama dalam perkara makam. Sama seperti ketika orang Islam sama-sama shal
Pagi hari sekitar jam delapan, Salwa beserta Adam sudah sampai di pemakaman umum, dimana tempat Abah dan Umi dimakamkan.Mereka berdua di luar makammenunggu kedatangan Husein, Andhika dan Amira untuk ziarah bersama-sama.Tidak tahu bagaimana ceritanya, Andhika tiba-tiba saja ingin ikut ziarah ke makam Abah dan Umi, jadi Husein sekarang sedang menjemputnya di kost an.Sedangkan Amira, kemungkinan dia masih berada di jalan."Amira sudah berangkat kan, Dek?" tanya Adam memecah keheningan."Sudah kok, Mas! Mungkin sekitar lima menitan lagi dia sampai!"Adam menganggukkan kepalanya. Dalam hati Adam merasa bersyukur jika masih banyak orang yang mengingat kedua orang tuanya.Mengingat kembali pada hari kepergian Abah dan umi. Mereka terpaksa harus segera menguburkan Abah dan Umi malam itu juga. Padahal saat sudah lewat jam satu malam.Bukan tanpa alasan. Kebetulan esok hari itu akan ada acara walimahan tetangga mereka. Meskipun bukan tetangga dekat, tapi masih satu komplek. Dan di komplek me
Siang ini di butik, Salwa dan Amira tengah beristirahat setelah selesai sholat Dzuhur dan selesai makan siang.Mumpung belum ada pembeli, Amira bertanya-tanya kepada Salwa tentang laki-laki yang beberapa hari lalu datang ke butik bersama Husein.Amira yang memang menyukai keindahan langsung terpana melihat ketampanan wajah Andhika.Dalam hati Amira berpikir, jika tidak berjodoh dengan Adam, laki-laki yang datang ke butik bersama Husein boleh juga."Ayo dong, Wa! Aku penasaran banget nih sama cowok yang datang kemarin sama Mas Husein!" Amira dengan penuh semangat merecoki Sawla yang sebenarnya sangat enggan membicarakan tentang Andhika.Sebenarnya Amira sudah ingin menanyakannya dari kemarin-kemarin, setelah Husein datang bersama Andhika. Tapi baru kali ini ada kesempatan yang pas untuk menanyakannya."Memangnya kalau kamu sudah tahu dia siapa, kamu mau apa?" tanya Salwa heran."Ya mau di ajak kenalan dong! Siapa tahu jodoh kan? Daripada nunggu kepastian dari Mas Adam yang belum juga ke
Setelah kembali ke kantor, Andhika benar-benar tidak bisa fokus dalam bekerja.Bayang-bayang Salwa yang mencium pipi Husein masih menari-nari di pikirannya.Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Andhika sadar dan paham betul jika percuma saja dia memiliki perasaan untuk Salwa, karena pada akhirnya dia tidak akan bisa bersama dengan Salwa.Tembok yang menghalanginya sangatlah besar dan tinggi, dan sangat tidak mudah untuk dihancurkan. Atau mungkin malah tidak bisa dihancurkan.Mungkin bisa dihancurkan, jika Andhika mau menjadi mualaf. Itu pun masih belum tentu dia akan berjodoh dengan Salwa.Walaupun Andhika paham dan sadar betul. Tapi Andhika juga tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk membayangkan jika seandainya dia bisa menikah dengan Salwa.Meski belum lama kenal. Tapi Andhika yakin Salwa nantinya akan menjadi seorang Istri yang baik dan juga Ibu yang baik.Bukan tanpa alasan Andhika menilai Salwa seperti itu.Pertama dilihat dari sikap Husein selama Andhika mengenalny
Setelah mendengar dari cerita Adam, Abah Ali bisa mengambil kesimpulan jika putrinya yang kalau bicara suaranya terlalu lembut, hingga menimbulkan salah paham seperti itu.Setelahnya Salwa ditegur dengan keras Abahnya untuk tidak berkata lembut kepada laki-laki lain di luar sana.Abah menyuruh Salwa untuk berkata dengan tegas dan tidak dengan menggunakan suara yang lembut seperti saat Salwa tengah berbicara kepada keluarganya.Salwa hanya boleh berbicara seperti biasanya hanya di depan keluarganya, orang tua dan anak yatim. Masih boleh berbicara dengan lemah lembut kepada sesama wanita.Selebihnya, Abah meminta Salwa jika berbicara dengan laki-laki lain harus menegaskan suaranya. Bukan kasar, hanya tegas dan tidak lemah lembut seperti jika dia berbicara dengan keluarganya.Salwa saat itu sampai menangis karena tidak menyangka jika cara dia berbicara bisa membuat orang lain salah paham. Bahkan sampai ditegur dengan keras oleh Abahnya.Sejak saat itu, Salwa lebih memilih untuk diam jika
"Hmmm! Menurut Salwa, jika mereka tidak mampu untuk mengadakan walimatul urs', tidak apa-apa hanya untuk mengundang tetangga dekatnya saja. Kalau memang benar-benar tidak bisa untuk mengadakan walimatul urs' karena memang tidak ada biaya, menurut Salwa tidak ada salahnya mereka hanya memberi kabar kepada tetangga dan orang-orang disekitarnya. Karena kita memang tidak pernah tahu bagaimana sebenarnya keadaan orang-orang tersebut kan!""Lanjutkan penjelasan tentang bagaimana anjuran dari Rasulullah SAW tentang walimatul urs'!" ucap Adam.Salwa mengangguk lalu mengingat-ingat bagaimana dulu abahnya dan Guru ngajinya menjelaskan padanya tentang walimatul urs'. Walaupun tidak ingat semuanya, paling tidak Salwa masih mengingat beberapa hal."Tadikan tentang anjuran mengadakan walimatul urs'. Salwa nggak ingat banyak Mas karena hadistnya banyak. Tapi Salwa ingat satu hadist lagi mas!"Dari Anas, ia berkata, "Nabi SAW tidak pernah menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya) dengan istri-is
Sudah dua hari Amira pergi ke Semarang, untuk menghadiri walimatul 'urs kerabatnya. Sekaligus juga Amira akan melihat pameran busana yang kebetulan juga diadakan di Semarang. Hari ini, Salwa memutuskan untuk menutup butiknya. Bukannya tidak mampu bekerja sendirian. Tidak lain karena hari ini Salwa harus mengecek kain yang tersedia di kios Adam. Saat seperti ini, biasanya ada Amira yang menjaga butik. Namun kali ini, Salwa sendirian, tidak ada yang membantu. Selesai mengecek kain yang diinginkannya. Salwa kemudian duduk santai di meja kasir, sembari menunggu pelanggan. Daripada waktu luangnya tidak sia-sia, Salwa memutuskan untuk membantu Adam di kios untuk hari ini. "Dek, kamu mau makan apa?" tanya Adam. Selesai sholat dzuhur, Adam memutuskan mencari makan siang untuk mereka berdua. "Apa aja, Mas! Kalau ada yang pedes-pedes. Atau kalau tidak ada makanan yang pedas, yang ada sambal ya!" balas Salwa. "Ya sudah! Mas Adam pergi dulu ya! Kamu beneran nggak apa-apa kan ditinggal Ma
"Maafkan Adam, Pakde! Tapi untuk saat ini, Adam benar-benar tidak bisa meninggalkan mereka," ucap Adam sambil tersenyum melihat kedua adiknya itu.Ada keheningan setelahnya. Pak Ramli juga tidak bisa memaksa Adam untuk menerima anaknya.Kalau ditanya apakah Pak Ramli kecewa? Jelas, Pak Ramli sangat kecewa dengan penolakan Adam.Apalagi Nurul, anaknya lah yang mengajukan untuk bertaaruf kepada Adam. Pak Ramli merasa sedih untuk Nurul.Entah darimana Nurul bertemu dengan Adam, sehingga membuat Nurul berani memintanya untuk melamar Adam lewat almarhum Abah Ali."Boleh Pakde bertanya, Dam?"Adam mendongak untuk melihat Pak Ramli."Boleh, Pakde!" jawab Adam."Jika Pakde tanya tentang kesiapan kamu untuk menikah, apakah kamu sudah siap?"Pak Ramli benar-benar berusaha untuk mengubah jawaban Adam. Selain karena untuk anaknya. Pak Ramli juga ingin sekali memiliki menantu dari salah satu anaknya Ali Habibah.Adam terdiam sebentar. Adam memikirkan kembali perasaannya, apakah dia benar-benar sud
Seperti yang dikatakan Adam. Akhir pekan ini, Adam mengajak Husein dan Salwa, untuk berkunjung ke rumah Pak Ramli. Saat Adam melihat Husein dan Salwa berjalan beriringan, Adam pun tersenyum menatap mereka. "Kalian sudah siap?" tanya Adam yang sedang duduk di kursi ruang tamu. "Sudah, Mas!" jawab Salwa. Husein dan Adam yang kompak memakai kemeja kotak-kotak berlengan panjang, dan Salwa yang memakai gamis dengan warna senada dengan kemeja yang dipakai Adam dan Husein. "Ayo! Kita berangkat sekarang!" Adam kemudian berdiri dari duduknya. "Bismillahirrahmanirrahim! Semoga ini menjadi yang terbaik untuk semua. Semoga keputusanku ini tidak menyakiti hati keluarga Pak Ramli," ucap Adam dalam hati. Seperti biasa, Adam membonceng Salwa, sedangkan Husein menaiki motornya sendiri. "Mas Husein hati-hati ya!" pesan Salwa sebelum mereka benar-benar berangkat. "Iya! Kalian juga hati-hati ya!" balas Husein. Hampir satu jam perjalanan mereka menuju ke rumah Pak Ramli, akhirnya mereka sampai jug