Aluna dan Hana mengulum senyuman ketika Devy pergi sambil bersungut-sungut. Sedangkan Amir tampak kebingungan, menatap hidangan makan siang yang tersaji di atas meja.“Mbak Aluna. Ini saya habiskan semuanya?” tanya Amir dengan menatap hidangan makanan dan Aluna secara bergantian.“Kalau kamu habis, ya habiskan saja. Tapi kalau nggak habis, minta dibungkus saja sama pelayan restorannya ya, Mir. Kamu makan saja yang tenang. Nanti tagihan makanannya biar Kak Dhika yang bayar.” Aluna berkata sambil tertawa.“Lho, kok Pak Dhika yang bayar sih, Mbak? Orangnya saja nggak ada. Bagaimana ini, Mbak?” ucap Amir panik, antara perut lapar dan ingin makan hidangan yang menggugah selera. Tapi, khawatir dengan pembayarannya.“Sudah deh, kamu tenang saja kenapa sih. Sebentar lagi juga orangnya muncul di sini. Kalau nggak muncul, istrinya ada di sini. Dia yang akan bayar,” sahut Aluna masih dengan tawanya.Hana pun terkekeh mendengar ucapan Aluna. Dia baru tahu hari ini sisi lain dari diri Aluna, yang
Hana menatap sang suami dengan tatapan sendu, menunggu jawaban dari Andhika yang masih mengatupkan kedua bibirnya. “Mas,” panggil Hana dengan nada lembut. “Hm.” “Kalau kamu diam saja, berarti kamu juga sama seperti Aluna. Kamu membenci juga ibuku, iya?” ucap Hana dengan kedua mata yang mulai memanas, menahan tangisannya. Andhika menghela napas panjang. Dia menggenggam jemari lentik sang istri, lalu mengangkat jemari itu dan dicium punggung tangannya dengan lembut. Sekian detik Andhika melakukan itu, hingga wajahnya terangkat dan tersenyum ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Hana. “Jangan berpikiran seperti itu, Sayang. Aku sudah melupakan masa lalu papa. Setiap orang pasti punya kesalahan dalam hidupnya, termasuk papa juga. Jujur saja kalau aku sangat kecewa dengan papa, dan agak kurang percaya dengan pengakuan papa. Tapi, aku berusaha lapang dada. Aku ambil positifnya saja, kalau papa nggak meninggalkan kami meskipun punya keluarga lain selain kami. Sakit memang, Han. Aku ma
Andhika menatap sang istri dengan tatapan penuh tanya. Sedang yang ditatap hanya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Andhika terkesiap karena baru kali ini Hana bersikap seperti itu. Biasanya dia yang selalu menggoda Hana dengan kedipan matanya. Kini sepertinya Hana telah tertular olehnya. Atau apa ini sisi lain dari istrinya? Apa pun itu, Andhika suka. Tak menunggu lama, wajahnya sudah ia benamkan di ceruk leher jenjang sang istri.“Nanti saja ya, Bu. Aku belum siap kalau sekarang,” sahut Hana.Tampak di layar ponsel, wajah Widya yang kecewa mendengar jawaban anaknya. Wanita paruh baya itu bahkan matanya mulai berkaca-kaca.“Kamu nggak sedang menghindari Ibu kan, Han,” ucap Widya dengan suara tercekat. Jelas sekali kalau Widya tengah menahan tangis saat ini.“Menghindari kenapa, Bu?” tanya Hana pura-pura tak tahu maksud sang ibu.“Karena masa lalu Ibu,” sahut Widya melirih. Dia sontak menundukkan wajahnya, menghindar dari tatapan anaknya.Hana terdiam. Begitu juga dengan An
Andhika sontak membuka kelopak matanya, dan panik melihat sang istri memegangi perut buncitnya. “Hah, sakit? Belum mau melahirkan, iya kan? Ini kayaknya masih lima bulan, Han. Bagaimana ini, Han? Ayo, kita ke rumah sakit sekarang!”“I-iya. Waktu melahirkan sih masih empat bulan lagi, Mas.” Hana menjawab lirih.“Aku akan menyiapkan mobil dan minta tolong pada Aluna agar menemani kamu di sini. Tahan dulu ya, Sayang.”Andhika lalu bergegas keluar kamar. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju kamar adiknya.“Lun, tolong aku deh.” Andhika berkata sambil mengetuk pintu kamar sang adik.Tak lama pintu pun terbuka. Menampilkan seraut wajah Aluna yang ditutupi oleh Masker bengkuang. Aluna hanya menjawab dengan isyarat, berupa gerakan kepalanya.“Temani Hana di kamar. Aku mau siapkan mobil dulu. Aku mau bawa dia ke rumah sakit. Perutnya sakit katanya. Terus sebelum kamu temani dia, hapus masker kamu dulu! Aku khawatir kalau Hana akan terkejut dan semakin sakit perutnya,” cetus Andhika yang me
“Han, bagaimana? Mau menerima telepon dari Ibu?” tanya Andhika hati-hati, karena dia tak ingin Hana merasa tertekan sehingga bisa berakibat stres.Hana dengan perlahan menggelengkan kepalanya. “Aku mau tidur, Mas. Aku mengantuk. Kalau Mas mau terima telepon ibu, silakan saja.”“Ok, aku akan terima panggilan telepon dari ibu. Kalau ibu tanya kamu, boleh aku kasih tahu kalau saat ini kamu dirawat di rumah sakit?”“Iya, boleh.”Andhika menganggukkan kepalanya. Dia lantas menerima panggilan telepon dari ibu mertuanya.“Halo, Bu.”“Halo, Andhika. Hana ada? Ibu mau ngomong lagi sama dia.”“Hana sedang tidur. Dokter menyuruhnya agar banyak istirahat,” sahut Andhika.“Hana kenapa?” tanya Widya terdengar panik.“Tadi perutnya sakit, Bu. Terus langsung saya bawa ke rumah sakit. Dokter menyarankan agar Hana dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari ke depan,” sahut Andhika kalem.Tiba-tiba terdengar suara tangisan Widya di seberang sana. Andhika hanya bisa diam dan menghela napas panjang.“Ini
Hana menggenggam tangan sang ibu dengan cukup erat. Dia menangis sambil mengecupi punggung tangan ibunya.“Aku nggak akan meninggalkan Ibu hanya karena masa lalu Ibu. Aku tetap anak Ibu. Sekarang aku juga seorang calon ibu, tentunya aku merasakan bagaimana rasanya mengandung seorang bayi dan melahirkan nantinya. Ibu sudah berjuang untuk aku dan Renata. Apalagi setelah ayah tiada, Ibu adalah satu-satunya orang tua kami. Aku akan ada di samping Ibu apa pun yang terjadi. Aku sayang Ibu. Meskipun semalam aku marah sama Ibu, tapi itu hanya emosi sesaat. Ibu tetaplah Ibuku yang punya kekurangan dan kelebihan. Aku mencoba menata hatiku agar bisa menerima masa lalu Ibu. Seperti Mas Dhika yang kecewa pada papanya, tapi tetap berusaha untuk bisa memaafkan perbuatan papanya di masa lalu. Meski aku tak tahu apakah dia berhasil atau tidak, karena perselingkuhan papanya itu membuat Mas Dhika dan Aluna sepertinya trauma,” papar Hana, yang membuat Widya tersentak. Hatinya berdebar mendengar penuturan
Andhika tiba di rumah sakit dengan wajah tegang. Selama hidupnya, baru kali ini dia menghadapi situasi yang paling menegangkan. Bahkan saat pertarungan dengan rekan bisnis untuk memenangkan tender, dirinya tak begitu tegang. Namun, saat ini adalah perjuangan seorang wanita yang sangat dia cintai untuk melahirkan bayinya, yang akan memberikan status baru bagi dirinya. Statusnya sebagai seorang ayah. Ya, sesaat lagi Andhika akan menjadi seorang ayah. Luar biasa! Seorang Andhika Barata yang selama ini dikenal sebagai seorang pria yang dingin dan egois, akhirnya akan memiliki anak dari istri yang dikontrak selama satu tahun.“Sus, saya bisa mendampingi istri saya kan di ruang bersalin?” tanya Andhika memastikan.“Bisa, Pak.”“Ok, terima kasih.Andhika lalu mengusap kening Hana yang berkeringat. Meskipun ruang bersalin ini dilengkapi dengan penyejuk ruangan, namun sepertinya tak mempan bagi Hana. Keringat sebesar biji jagung memenuhi wajah dan bagian tubuhnya yang lain.“Mas...perutku sema
Sepeninggal Andhika, mereka kembali berbincang akrab.“Han, Ibu boleh nggak gendong Ares? Sudah nggak sabar ini gendong dia. Cucu ganteng Ibu ini sudah bikin gemas saja sih. Mau menunggu dia bangun, bayi yang baru lahir kan memang bawaannya tidur terus. Menangis kalau haus saja, iya kan. Jadi Ibu gendong saja deh sekarang. Nanti kalau bangun, kamu susui lagi saja,” ucap Widya dengan tatapan memohon pada Hana.“Iya deh, Ibu gendong saja. Sekalian kita foto-foto dong. Ares belum sempat di foto lho. Papanya terlalu asyik ngeliatin dia saat menyusu sih. Jadi lupa mau foto bertiga. Sekarang kita dulu saja, yuk!” ajak Hana dengan senyuman.“Boleh, atur posisinya dong,” sahut Mutia.“Di sofa situ saja. Hana turun sebentar dari ranjang, nggak apa-apa kan?” timpal Widya, yang sudah membawa sang cucu ke dalam pelukannya.Hana menganggukkan kepalanya. Dia dengan dibantu oleh Renata, kemudian turun dari ranjang dengan perlahan.Hana dan Widya duduk berdampingan. Sedangkan Mutia duduk di samping H
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me