“Maksud Tante, apa? Apakah Tante punya suatu rencana?” tanya Tania dari seberang sana.“Iya. Tante sudah suruh orang untuk menyelidiki gadis itu. Ternyata dia seorang model yang baru netes. Dia juga yang menjadi model apartemen yang baru kami luncurkan, dan dia terluka saat pemotretan. Sehingga dia menuntut ganti rugi. Sepertinya Adhika menyetujui tuntutan gadis itu dan mereka jadi akrab, lalu menikah. Kita sabar dulu saja, Tania. Kita cari peluang yang pas untuk memberi pelajaran pada gadis itu, karena sudah berani masuk ke dalam hidup anak Tante,” sahut Lestari antusias.“Pelajaran apa kira-kira yang akan Tante berikan untuk menantu Tante itu?” tanya Tania penasaran.“Jangan sebut dia menantu Tante! Aku nggak pernah merestuinya menikah dengan Andhika!” sahut Lestari ketus.“Oh, ma-maaf. Aku nggak bermaksud demikian, Tan. Jangan marah sama aku dong. Kalau sama aku pasti Tante merestui, iya kan?” ucap Tania dengan suara lembut di seberang sana.“Kalau sama kamu sih pasti setuju dong.
Hana terkesiap.“Kamu mengancam aku rupanya?”Hana melangkah dan duduk di sofa di sebelah Aluna. Dia menatap adik iparnya itu dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.“Iya, dan ini aku lakukan untuk memberi peringatan padamu. Agar kamu berpikir panjang kalau ingin memanipulasi kakakku. Aku tahu kalian nggak saling cinta. Aku bisa melihat dari gestur kalian. Entah apa yang membuat kalian bisa menikah? Pengantin baru yang saling mencintai dan telah merencanakan pernikahan pasti akan bulan madu sekarang. Ok, kalau alasannya karena Kak Dhika sibuk dengan pekerjaannya, hingga bulan madu kalian tertunda. Tapi, setidaknya kalian bisa bulan madu di rumah, iya kan? Sedangkan pemandangan yang aku lihat tadi, nggak ada mesra-mesranya. Apa kalian menikah untuk menutupi aib? Apa kalian sudah terlibat cinta satu malam dan kamu hamil, sehingga Kak Dhika harus bertanggung jawab?” ucap Aluna dengan tatapan menyelidik. Dia memandang tubuh Hana naik turun, dan dia lakukan itu berulang kali.Hana ingin t
Hana memastikan lagi perlengkapan suaminya yang akan dibawa ke Singapura. Dia mulai dari setelan pakaian kerja Andhika hingga benda lainnya, sebagai pelengkap penampilan pria itu. Di saat dia sedang sibuk memeriksa kembali perlengkapan suaminya, Hana merasakan sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya. Selain merasakan sentuhan di pinggangnya, Hana juga merasakan kecupan di leher jenjangnya.“Sudah lengkap semua?” bisik si pemilik lengan kekar itu.“Su-sudah, Mas. Kita berangkat sekarang?”“Sebentar lagi. Tunggu Bagus datang menjemput,” sahut Andhika, yang tetap tak mengangkat kepalanya dari leher Hana. Membuat hembusan napas pria itu mengenai area leher dan sekitarnya, hingga dalam sekejap tubuhnya meremang.“Omong-omong, tamu bulanannya sudah pergi belum? Jadi biar sekalian bisa unboxing di Singapura.” Andhika menatap Hana dengan kerlingan mata yang membuat jantung Hana bertalu-talu.“Belum lah, Mas. Baru juga tiga hari. Bisanya dia pergi setelah satu minggu bertamu di tempatku,”
Hana menuruti kata-kata suaminya. Dia membuka pesan dari Mutia. Dia melirik Andhika yang masih menatap ke arahnya. Pelan-pelan Hana mulai membaca pesan tersebut. Dia juga sekaligus berpikir untuk mencari alasan pada Andhika, apabila pria itu tanya tentang pesan dari Mutia.[Kamu mau ikut audisi itu sudah minta ijin sama suami kamu? Saranku sebaiknya ijin dulu, Han. Biar enak kamu jalani audisi itu. Jangan sembunyi-sembunyi, ya. Kalau dia tahu pasti akan marah dan kalian pasti akan bertengkar. Itu saja saran dariku.]Hana menghela napas setelah membaca pesan tersebut. Dia kemudian mengirimkan pesan balasan untuk Mutia.[Mbak, sekarang Mas Dhika sedang ada di dekatku. Nanti setelah ini kalau aku sendirian, aku akan telepon kamu. Aku akan ceritakan kenapa aku merahasiakan hal ini dari Mas Dhika. Jadi tunggu aku telepon ya, Mbak.]Setelah pesan terkirim, Hana menaruh benda pipih itu ke dalam tas. Lalu merangkul lengan sang suami sebagai kode, kalau mereka harus segera pergi dari tempat it
“Kalau aku hamil, tentunya Mas Dhika akan bertanggung jawab dengan anaknya dong. Aku yakin kalau dia nggak akan lepas tangan, Mbak,” sahut Hana tenang. Meskipun dalam hatinya dia belum tahu juga, bagaimana reaksi Andhika nanti andaikan dirinya hamil.“Yakin begitu, Han? Andaikan Pak Andhika nggak mau bertanggung jawab, bagaimana? Ini kemungkinan terburuknya ya, Han. Meskipun aku berharap Pak Andhika bisa lebih bijaksana nanti,” ucap Mutia lirih.“Iya, semoga saja. Setelah beberapa hari tinggal bersama dengannya, aku yakin kalau dia bisa bersikap bijaksana nantinya. Tapi, andaikan nanti kemungkinan terburuknya dia nggak mau tahu soal anak, aku akan membesarkan anakku seorang diri. Makanya aku berusaha agar bisa bergabung dengan agensi model di sini. Sekarang Mbak Mutia sudah paham kan maksudku ini?” sahut Hana.“Iya, aku sudah paham. Aku juga berjanji akan menutup rapat-rapat rahasia kamu ini, Han. Pokoknya rahasia kamu aman bersamaku. Nggak akan ada yang tahu tentang hal ini, termasuk
Pria yang mengaku bernama David, membantu Hana bangkit dari lantai. Pria itu tersenyum, menyebabkan dua cekungan tampak di kedua pipinya. Menambah manis senyuman pria itu.“Terima kasih.” Hana berucap sambil mengibaskan tangan kanan di pakaiannya, berharap debu yang menempel di pakaiannya ketika dia terjatuh di lantai segera hilang.“Sama-sama,” sahut David. Dia lalu mengulurkan tangannya pada Hana seraya berucap, “Kenalkan, namaku David.”Hana menoleh dan tersenyum seraya menerima uluran tangan David. “Hana.”“Hm, sebuah nama yang bagus. Sama seperti wajahnya,” puji David yang untuk ke sekian kalinya tersenyum pada Hana. “Kamu sepertinya bukan dari negara ini. Dari aksen bicara kamu, sepertinya kamu dari Indonesia, benar?”Hana mengulum senyuman dan menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Benar, saya kemari hendak mengikuti audisi di lantai lima.”“Oh, begitu rupanya. Apa kamu di Indonesia juga seorang model?” tanya David serius.“Iya, saya seorang model pendatang baru di Indonesia.
Hana memberhentikan taksi yang kebetulan lewat di depan gedung tempat dia melakukan audisi. Dia segera menyebutkan alamat yang akan dituju, yaitu pusat perbelanjaan tempat dia diantar oleh suaminya tadi pagi.Setibanya di depan pusat perbelanjaan itu, Hana bergegas turun dan melesat masuk ke dalam gedung lalu mulai berbelanja. Ponselnya berdering kala dia sedang mencoba high heels berwarna coklat susu.“Pas banget Mas Dhika telepon di saat aku sudah ada di sini,” gumam Hana, yang langsung mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Mas,” sapa Hana ceria.“Halo, Han. Kamu masih ada di sana?” sahut Andhika.“Masih dong, Mas. Aku masih betah pilih-pilih sepatu,” sahut Hana beralasan. Dia lalu melirik high heels yang kini melekat di kakinya.“Ok, nanti aku jemput dan kita makan siang bareng kayak biasa. Aku tutup dulu teleponnya,” kata Andhika, yang lantas menutup sambungan teleponnya.Hana menarik napas lega ketika sambungan teleponnya telah berakhir. Dia kembali mematut di depan cermi
Hana akhirnya membuka juga kedua bibirnya, dan pasrah saat Andhika menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Dia tak peduli kalau saat ini ada beberapa pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Saat ini Hana hanya ingin menikmati perhatian yang Andhika berikan. Mumpung pria itu belum berubah sikap yang membuat Hana sebal.“Nah, habis juga kan makannya, Han.” Andhika mengulum senyuman ketika dilihatnya Hana tersipu.“Iya, malu juga tahu, Mas. Aku lirik ke kiri dan kanan, mereka pada menonton kita. Si Bagus juga ikutan menonton sambil senyam senyum sendiri. Kamu sih pakai acara suapi segala,” sahut Hana pura-pura merajuk. Padahal itu hanya akal-akalan Hana saja untuk menutupi rasa gugupnya.“Biar saja mereka menonton. Mereka pasti iri melihat kita. Kalau yang perempuan, pasti iri karena nggak disuapi oleh suaminya. Nah kalau yang lelaki, iri juga dengan sikapku yang gerak cepat perhatian sama kamu, sedangkan mereka nggak bisa melakukan itu pada istri mereka. Terus kalau si Bagus, dia pa
Andhika dan Hana sontak menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria sebaya dengan Andhika kini tengah melangkah serta tersenyum pada Andhika.“Siapa dia, Mas?” bisik Hana.“Dia Sakti. Teman semasa SMA yang berselingkuh dengan Devy,” sahut Andhika datar.Hana hanya manggut-manggut dan memperhatikan perubahan ekspresi sang suami.Rahang Andhika mengeras. Tampak jelas kalau kini dia sedang menahan emosinya. Terbayang masa lalu Sakti bersama dengan Devy yang mengkhianatinya.“Dhika, apa kabar?” sapa sakti ketika dirinya sudah berada di hadapan Andhika.“Kabarku baik, alhamdulillah,” sahut Andhika datar.Sakti yang paham dengan sikap Andhika yang dingin padanya, kini tersenyum canggung.“Aku tahu kamu mau makan malam ke restoran itu. Tapi, bisakah kita bicara sebentar saja. Aku mau...minta maaf padamu,” ucap Sakti agak grogi.Andhika menghela napas panjang. Dia tersenyum samar kala mendengar permintaan maaf yang baru saja Sakti ucapkan. Baru sekarang pria itu minta maaf. Ke mana saja
Aryo lalu mendekati Widya seraya berkata, “Aku akan mencarinya. Aku akan lapor ke polisi. Kamu tenang saja, ya.”“Aku ikut ke kantor polisi, karena aku yang mendapat kabar dari sekolah kalau Tika dijemput oleh seseorang yang mengaku masih keluarga,” sahut Widya setelah dapat menghentikan isak tangisnya. Dia lalu melirik ke arah Wiryo.Aryo yang paham akan lirikan Widya, menoleh pada mertuanya. Dia menatap Wiryo seraya berkata, “Apa Ayah yang menyuruh seseorang untuk menjemput anak kami di sekolahnya?”Wiryo terkekeh mendengar ucapan Aryo. “Buat apa aku melakukan hal itu? Urusanku adalah mengamankan aset perusahaan milik anakku, yang otomatis adalah milik kedua cucuku. Selain itu juga, kamu adalah suami anakku. Jadi aku berusaha untuk mengembalikan posisi kamu seperti semula, sebagai suami Lestari satu-satunya. Jadi setelah kamu menceraikan perempuan ini, dan menyuruhnya pergi dari sini, maka selesai sudah urusanku. Masalah anak kalian, aku sama sekali nggak tahu menahu.”Jawaban Wiryo
Wajah Aryo pun semakin pucat pasi mendengar ancaman dari ayah mertuanya. Dia lalu beranjak dari sofa dan bersimpuh di kaki sang mertua.“Ayah, maafkan aku. Maafkan atas kekhilafanku ini. Aku berjanji akan mengakhiri semua, asalkan jangan usik kehidupan adikku. Aku mohon Ayah,” ucap Aryo memelas.Wiryo tersenyum mendengar permohonan menantunya itu. Dia lalu berdiri karena tak sudi kakinya disentuh oleh pria macam Aryo, yang jelas telah membuatnya kecewa.“Apa kamu pikir aku akan percaya dengan perkataanmu ini, Aryo? Aku bukan orang bodoh yang bisa kamu bohongi untuk kedua kalinya. Kamu mau mengakhiri ini semua, maksudnya mau kamu ceraikan istri simpananmu itu? Apa bisa kamu menceraikannya? Sementara kamu tergila-gila sama dia, iya kan. Kalau kamu nggak tergila-gila, tentu nggak mungkin kamu selingkuh sampai menikahi perempuan itu. Semua yang kamu lakukan itu sudah terlalu jauh, Aryo, dan jujur aku sangat kecewa dan menyesal telah berbaik hati padamu dulu. Jadi salah satunya cara agar k
Sementara itu, Aryo yang tengah berada di apartemen tampak tak tenang. Semenjak kepergiannya dari rumah meninggalkan Lestari yang marah, dan Andhika yang menangis dengan kening yang berdarah, membuat rasa bersalah menyelimuti hati Aryo. Tiba-tiba rasa penyesalan hinggap di hatinya, karena dia tak menuruti permintaan anak sulungnya, anak kesayangannya.‘Dhika maafkan Papa ya, Nak,’ ucap Aryo dalam hati.Aryo memejamkan matanya dan menjambak rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Ingin dia berteriak sekedar meringankan sesak di hati. Namun, dia tak ingin Widya mengetahui masalahnya.Widya yang baru saja meninabobokan Kartika, tercenung melihat Aryo yang tampak gusar di ruang tengah. Wanita itu melangkah menghampiri sang suami.“Ada apa, Mas?” tanya Widya dengan perlahan.Aryo membuka kelopak mata dan menggelengkan kepalanya. “Nggak ada apa-apa kok, Wid. Aku hanya pusing saja. Aku mau tidur saja sekarang. Mungkin dengan tidur, sakit kepalaku akan hilang.”Tak menunggu jawaban dari
Aryo sedikit tersentak mendengar pengakuan Widya. Namun, tak lama dia pun tersenyum karena sadar apa yang mereka lakukan selama ini akan membuahkan hasil.“Aku akan menikahi kamu. Tapi, aku nggak bisa menikahi kamu secara resmi.”“Lho, kenapa?” tanya Widya bingung. “Kamu ini ngakunya bujangan, Mas. Masak menikahi aku nggak menikah resmi sih? Atau...kamu sudah punya keluarga?”Aryo tampak sedikit gugup. Dia melihat wajah Widya yang menatapnya dengan penuh selidik.“Bu-bukan begitu, Widya. Tapi, aku ada ikatan dinas di kantorku yang melarang karyawannya untuk menikah dulu selama lima tahun. Nanti kalau ikatan dinas itu sudah selesai, aku akan meresmikan pernikahan kita. Jadi nanti kita menikah di Bogor saja, ya. Kalau di Jakarta nanti ada teman-temanku yang tahu. Bisa bahaya untuk karirku,” sahut Aryo berbohong. Tentu saja dia tak mau menikah di Jakarta, karena Lestari atau keluarga yang lainnya yang juga tinggal di Jakarta akan tahu. Aryo tak ingin itu terjadi.“Oh, ya sudah kalau begi
Aryo menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.“Aku nggak akan macam-macam, apalagi selingkuh, Tari,” ucap Aryo serius.“Aku hanya jaga-jaga saja, Mas. Aku lakukan ini demi anak kita. Kalau nanti kamu macam-macam, aku bisa mengambil tindakan tegas. Lalu aku pastikan kalau masa depan anakku juga aman. Aku berkata begini bukan sombong, tapi aku hanya mengambil tindakan yang tepat untuk anakku kelak,” sahut Lestari yang juga serius.Akhirnya pasangan suami istri itu berhasil mendirikan CV Barata yang bergerak di bidang kontraktor kecil-kecilan. Lestari sendiri yang menangani dibantu oleh empat orang karyawan. Sedangkan Aryo masih tetap bekerja sambil mencari klien untuk CV Barata. Bahkan Aryo pun mulai berani ikut tender proyek pendirian sekolah swasta. Proyek itu pun sukses. Dari situlah lambat laun CV Barata mulai dikenal orang. Hingga dua tahun pendirian badan usaha itu yang semula bernama CV Barata, kini berubah menjadi PT. Barata.Usaha mereka pun semakin maju pesat. Omsetnya
Beberapa minggu kemudian, hubungan Aryo dan Lestari semakin akrab. Hal itu diketahui oleh orang tua mereka. Sehingga Wiryo dan Dirjo sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka.Aryo dan Lestari hanya menuruti keinginan orang tua mereka. Meskipun belum ada perasaan cinta di hati keduanya, namun kedua insan itu telah berkomitmen untuk saling menyayangi dan menghargai satu sama lain. Mereka juga sepakat akan membina rumah tangga dengan baik, sehingga bisa menjadikan rumah tangga mereka rukun dan tenteram.Lima bulan pasca pernikahan, Lestari telah lulus kuliah dengan predikat terbaik. Selain itu, dia juga telah mengandung anak Aryo. Hal itu tentu saja membuat pasangan suami istri sangat bahagia karena mendapat hadiah yang terindah dari Yang Maha Kuasa.“Alhamdulillah, di saat aku telah lulus kuliah, aku hamil,” ucap Lestari suatu malam ketika dia dan Aryo sudah berada di peraduan.“Iya, Tari. Aku sangat bahagia sekali. Kamu jaga ya kandungan kamu ini. Biar bayi kita tumbuh deng
Aryo hanya diam. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia berikan pada kedua orang tuanya. Dia ingin menolak, tapi tak mau mengecewakan orang tuanya. Kalau dia menerima, itu bertentangan dengan hati nuraninya.“Nak, cinta itu bisa tumbuh setelah tinggal bersama nanti setelah kalian menikah. Dulu Bapak dan Ibu juga menikah tanpa adanya cinta. Tapi, pernikahan kami langgeng sampai sekarang,” ucap Narti-sang ibu, seolah tahu dilema yang Aryo rasakan saat ini.Aryo hanya menghela napas panjang. “Lalu bagaimana dengan Lestari sendiri? Apa dia bersedia punya suami kere seperti aku ini. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa untuk dia. Ya...hanya gajiku saja sebagai staf keuangan di perusahaan swasta, yang bisa aku berikan untuknya. Tentunya nggak seratus persen, karena aku juga ingin memberi uang untuk kalian. Aku ingin membantu perekonomian orang tua.”Dirjo dan Narti tersenyum mendengar penuturan anak sulung mereka.“Terima kasih kamu sudah punya niat baik untuk kami, Nak. Bapak yakin kalau
Semenjak Aluna menikah dan tinggal bersama dengan sang suami, Aryo tinggal sendiri di rumahnya. Pria itu hanya ditemani oleh asisten rumah tangga, sopir dan penjaga rumahnya. Membuat Aryo merasa kesepian. Kadang kala dia menginap di rumah Andhika. Dia ingin menginap di rumah Aluna maupun Kartika, tapi dirinya merasa sungkan. Aryo lebih nyaman menginap di rumah anak laki-lakinya. Hal itu membuat Aluna maupun Kartika secara bergantian mengunjungi ayah mereka.Seperti hari ini, Kartika datang berkunjung setelah pulang dari bekerja di rumah sakit.“Kenapa kamu masih bekerja, Tika? Apa uang suami kamu nggak cukup untuk biaya hidup kamu?” tanya Aryo ketika mereka sedang berbincang di taman belakang sambil minum teh di sore hari.“Mas Rafli memang sudah berulang kali menyuruhku berhenti bekerja, Pa. Tapi aku keberatan, karena aku masih menikmati pekerjaanku merawat orang-orang di rumah sakit,” sahut Tika kalem.“Kalau begitu, jadilah perawat Papa. Apa kamu masih keberatan juga kalau harus me