Setelah Mas Abdu pergi, aku meminta Niko pindah ke rumah. Selain untuk menemaniku, dia bisa menjadi pelindung aku dan Taksa. Tanpa pria dewasa di rumah, kerap kali seorang janda dianggap sebelah mata oleh orang sekitar.
Ya, kini statusku adalah sebagai seorang janda. Tak menunggu dan menghabiskan waktu lama, hakim mengabulkan permintaanku untuk bercerai. Ditambah lagi aku punya bukti yang kuat. Hak asuh anak pun jatuh ke tanganku. Mas Abdu diwajibkan menafkahi serta membiayai kebutuhan sekolah Taksa.Kehadiran Niko di rumah juga membuat Taksa tidak terlalu kehilangan sosok ayahnya. Adikku itu telaten dan pintar memanjakan Taksa.Mas Abdu masih sering menghubungi hanya untuk berbicara dengan Taksa. Pada Taksa dia bilang, ayahnya itu sedang bekerja keluar kota. Untungnya Taksa mengerti dan tidak rewel. Entah sampai kapan alasan itu dipakai. Yang pasti aku harus membuat alasan baru jika Taksa mulai bertanya lagi nanti.Mas Abdu menepati janji menafkahi anaknUsaha baruku semakin berkembang. Dari mulut ke mulut, kue-kue buatanku semakin dikenal oleh banyak orang. Dari situ pula muncul ideku untuk merambah ke bisnis online. Sehingga para pelangganku lebih mudah jika ingin memesan dan menikmati kue-kue buatanku.Berkat pesanan yang kian hari kian banyak, aku bisa mempekerjakan dua orang untuk membantuku. Tak lain adalah tetanggaku sendiri, yang juga seorang janda dan pejuang nafkah bagi anaknya. Tentu saja buatku ada rasa kebahagian tersendiri bisa membantu dan membahagiakan orang lain."Bu Dewi dan Bu Dian aku tinggal dulu, ya. Yang ini harus diantar sekarang. Orang yang pesen barusan telepon. Minta buru-buru." Aku berdecak. Seharusnya pesanan ini diantar dua jam lagi. Namun, si pemesan minta diantarkan sekarang juga. Untung kue-kue itu sudah siap di-packing dan dimasukkan ke dalam kardus-kardus."Lah, bukannya jam 1 nanti, Mbak Gauri? Kok, ndesak-ndesak, sih." Bu Dian sedikit protes.Aku tertawa melihat ekpres
Pertemuan yang tidak terduga antara aku dan Laila, membuatku menjalin kembali tali silaturahmi dengan teman-teman masa sekolah. Bahkan Laila juga mengundangku ke dalam grup alumni.Hal itu membuat ponselku sering berdenting. Aku jarang nimbrung. Hanya sesekali saja menjawab pertanyaan jika salah satu dari teman men-tag namaku. Yah ... setidaknya obrolan mereka menjadi hiburan tersendiri. Apalagi saat mereka beramai-ramai meledek Dodot.Aku, Laila dan Dodot adalah teman sekelas di SMP Nusa Bangsa. Dulu melalui Dodot aku sering menitipkan kue buatanku untuk Mas Abdu. Aku tau jika mereka teman karib dan aku juga tau bahwa Mas Abdu jarang jajan.Kami sering bertemu di perpustakaan. Meski beda jenjang sekolah, aku di bangku SMP sedangkan Mas Abdu di SMA, tapi sekolah kami berada di satu kawasan yang sama.Di perpustakaan itu pula pertama kali aku melihatnya. Tertidur di sudut ruangan perpustakaan dengan buku menutupi sebelah muka. Wajahnya terlihat sangat lela
"Hei, kalian di situ rupanya!" Laila muncul di ambang pintu dan melangkah mendekat. Dia mengambil duduk di kursi di sebelah kakaknya."Mana si Baby?" tanyaku."Aku tinggalin di rumah sama bapaknya. Nggak apa-apa. Kan, sekali-sekali." Laila nyengir. "Oh, ya, Kak. Tadi aku liat sedan Abdu di parkiran. Kakak udah ketemu?"Ali menggeleng kemudian menatapku. "Dia sengaja aku undang. Nggak apa-apa, kan, Gauri?"Aku mengangguk. "Nggak apa-apa, Mas. Beberapa hari yang lalu kami bertemu. Waktu dia melihat anaknya di rumah."Hening.Laila seperti menyesal sudah menyebut nama Mas Abdu di depanku. Setelahnya dia permisi, ingin mengecek persiapan yang lain.Satu per satu teman-temanku mulai berdatangan. Mungkin sebab merasa canggung, Ali berdiri dan bergabung bersama teman-teman seangkatannya.Aku pun bisa bernapas lega. Setelah pengakuan Ali tadi, suasana jadi canggung dan kikuk jika hanya berdua saja dengannya. Untunglah pria itu tak teru
Hari ini tanggal merah. Dapur jualanku seperti biasa tidak menerima pesanan. Selain untukku beristirahat, aku juga memberi libur kepada dua orang karyawanku. Sama seperti aku, mereka butuh berkumpul bersama anak-anak mereka sebab melimpahkan perhatian untuk keluarga lebih penting daripada bekerja yang tak mengenal waktu. Pukul dua siang, aku berleha-leha di depan televisi sembari menemani Taksa menggambar di atas kertas putih menggunakan krayon.Ponselku berdenting. Ada pesan masuk dari Freya. Ya, hubunganku dengannya semakin membaik. Jika sedang jenuh, kami saling mengirimkan pesan. Tak ada lagi rasa iri atau cemburu padanya seperti dulu semenjak aku mengikhlaskan takdir yang diberikan Tuhan untukku.[Taksa lagi apa, ya? Main dong ke rumah Bunda Fre. Bunda Fre lagi sendirian nggak ada temen.] Pesannya disertai emot wajah sedih.Ya, Bunda Fre. Taksa menyapanya dengan sebutan begitu. Awalnya aku mengajarkan putraku memanggil Freya dengan sapaan 'Tante.' N
Kuraba bekas pukulan Ali tadi malam, masih perih terasa. Namun, tak ada rasa amarah sedikit pun atas perlakuannya padaku. Semua ucapannya benar. Bahkan benar sekali. Aku patut menerima itu. Mengingat semua yang terjadi karena kebodohanku.Dengan malas-malasan, aku bangkit dari rebah. Terseret-seret langkahku menuju kamar mandi. Lama kupandangi wajah di cermin bundar besar yang menempel di atas wastafel. Setelah hampir dua tahun hidup sendiri, baru sekarang aku merasa risih melihat penampilanku, berantakan dan seperti tidak diurus.Meraih krim untuk bercukur, kusemprotkan ke seluruh dagu. Meratakannya lalu kucukur hingga tak menyisakan jambang dan kumis sehelai pun.Saat selesai mencuci dan menyeka wajah dengan handuk yang tersampir, ponselku berdering. Bergegas aku menghampiri benda pipih itu di atas nakas. Meraihnya, kulihat panggilan dari Pak Wirawan. Lagi-lagi dia menghubungi, membujuk agar aku kembali bekerja di perusahaannya."Ya, Pak Wirawan." Aku m
Aku berhasil membujuk Freya untuk ikut bersamaku. Sejak mobil yang kukendarai melaju meninggalkan mal, kami duduk dalam diam, masih larut dengan pikiran masing-masing.Sesekali aku melirik ke sebelah. Setidaknya air mata perempuan bertahi lalat di pipi kiri itu sudah berhenti mengalir. Aku menelan ludah. Ingin memulai membuka percakapan, tapi takut salah bicara."Apa bagi Kak Abdu, perlakuan Kakak di masa lalu itu mudah dilupakan?" Freya berbicara pada kaca jendela di sebelahnya. Tanganku mencengkeram setir mobil, menanti kelanjutan ucapannya."Apa Kakak berusaha mendekatiku lagi tanpa permintaan maaf?" ujarnya, masih pada kaca jendela mobil itu."Maafin Kakak, Fre. Kakak berulang kali mengucapkan maaf. Apa itu nggak cukup?"Freya tersenyum sinis. "Hingga sekarang hatiku masih sakit jika mengingat perlakuan Kak Abdu. Saat Kak Abdu melemparkan puntung rokok dan pergi meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan. Sakit. Sakit sekali. Di sini." Freya m
Jarum jam di tembok mengarah ke pukul satu siang. Aku dan Taksa sudah berpakaian rapi meski jadwal nonton masih satu jam lagi.Ali pun sudah standby. Sedang bercakap-cakap serius dengan Niko di ruang tamu. Taksa bersandar manja di pangkuannya sambil bermain game di ponsel.Putraku dan pria berbulu mata lentik itu kian akrab. Sebab Ali sangat memanjakan dan selalu mengikuti keinginannya. Jujur, ada perasaan nyaman sekaligus tenang melihat kedekatan mereka berdua."Jadi ceritanya double date, nih?" Niko mengerling nakal saat aku meletakkan seteko sirop di atas meja di hadapan mereka."Nggak direncanakan, kok, Dek. Ini idenya Taksa." Aku berkilah sembari memindahkan gelas satu persatu ke atas meja dan mengisinya dengan sirop dari teko. Aku menyibukkan diri, sengaja menghindari tatapan Niko yang penuh arti.Mengambil tempat di sofa single, aku duduk bergabung bersama mereka. Baru lima menit aku mengenyakan punggung ke sandaran sofa, sedan putih terliha
POV Freya"Tarik napas, ya, Mbak," ujar seorang perawat yang menusukkan jarum ke kulit tangan kiriku. Meski takut jarum, aku tak peduli. Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Kualihkan wajah ke sisi kanan di mana Gauri duduk di sebelah, menepuk-nepuk lenganku pelan.Orang yang kucintai dan namanya selalu terukir di dalam hatiku, kini sedang sekarat. Penyebabnya adalah setelah mencoba menyelamatkanku, bahkan abai terhadap keselamatannya sendiri.Sejak awal aku bertekad akan menjaga jarak dengannya. Sebab bagiku Mas Abdu adalah masa lalu dan aku harus belajar melupakannya meski butuh waktu yang lama. Apalagi setelah tau dia sudah menikah dengan Gauri, temanku sendiri.Meski mereka telah berpisah pun aku tak berniat sama sekali untuk kembali pada Mas Abdu. Aku tak mau orang-orang bilang bahwa aku lah penyebab perceraian mereka. Aku lelah disangkut pauti lagi dengan luka lama. Namun, pertahananku runtuh setelah melihat Mas Abdu tergeletak bersim
Suasana bandara ramai seperti biasa. Di antara orang-orang yang berlalu lalang mengejar waktu keberangkatan pesawat mereka, ada sepasang pengantin baru yang berjalan santai ke arah konter check-in keberangkatan.Akan tetapi, ada yang berbeda pada wajah Freya. Dia tidak semringah seperti ketika hendak jalan-jalan atau ke tempat-tempat baru seperti sebelum-sebelumnya. Bibirnya mencebik, raut wajahnya masam, berulang kali dia menggerutu sejak tadi."Mereka yang kasih tiket perjalanan ini sebagai kado pernikahan, eh, malah mereka gak ada kabar. Gimana, sih, padahal gak ada salahnya, kan, cuma nganterin ke bandara doang?"Abdu tersenyum geli sekaligus geleng-geleng kepala mendengarkan gerutuan istrinya. Dia mengecup pelan kepala Freya sembari menepuk-nepuk pundaknya berbalut gemas."Mungkin mereka sibuk, Yank. Kan Gauri lagi ngidam, lagi mabuk-mabuknya. Bisa jadi Ali juga lagi sibuk urus pekerjaan di kantor. Jadi mereka gak sempat antar kita hari ini."
Puluhan unit tenda terbentang luas memenuhi halaman rumah Freya. Bunga-bunga nan harum dan berwarna-warni ditata sedemikian rupa di tiap sudut: tenda, meja prasmanan, ruang tamu sebagai tempat ijab kabul. Kain-kain serta hiasan yang tergelar bernuansa nilakandi dan abu-abu, warna kesukaan Freya, menjadi tema utama.Di kamarnya, teman dan kerabat terdekat berkerumun, mengobrol bahkan memerhatikan gadis itu yang sedang dihiasi jari-jarinya menggunakan inai instans.Gauri juga berada di sana. Freya memintanya untuk datang, sebab malam ini akan diadakan doa selamat agar acara yang berlangsung esok hari berjalan dengan lancar."Kamu deg-deg'an, gak?" Gauri berbisik di dekatnya.Freya tersipu. "Ya, jelas dong. Duh!" Dia mengembuskan napas panjang. Sebenarnya bukan sejak itu saja, tetapi sedari ketika Freya menerima lamaran Abdu, kekasihnya itu."Santai aja, kan, bukan yang pertama." Gauri terkikik."Ya, kan, beda, Gauri." Freya memutar bola matany
Ali mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Dia sedang mengejar waktu sebab waktu yang dia punya, sungguh terbatas.Berulang kali dia mengerutu atau menekan klakson tak henti-henti ketika ada pengendara lain yang menghalangi jalannya.Ali sangat menyesali keputusannya yang datang terlambat. Andai saja sedari awal dia tidak plin-plan dan menolak semua ajakan-ajakan Lena. Setelah dia berbincang cukup lama dengan Abdu, barulah Ali menyadari, perasaan ragu yang sempat datang ketika bertemu Lena ialah bersifat sementara."Itu cuma rasa penasaranmu aja, Li. Karena kamu dulu menyukai Lena dan gak pernah menjalin hubungan dengannya. Kamu akan sadar mencintai siapa bila orang tersebut pergi meninggalkanmu. Kamu akan merasa baik-baik aja atau nelangsa."Sekarang, itu lah yang Ali rasakan, nelangsa. Ketika Freya datang ke kantornya membawa kabar bahwa Gauri akan pergi meninggalkannya, pikirannya seketika kalut. Hatinya gelisah. Ali sedang tidak baik-baik saja.
Freya menurunkan standar motor metic-nya di parkiran sebuah kantor berlantai tiga. Gadis berkulit putih itu menyimpan jaket dan helm ke jok motor, sebelum melangkah ke lobi untuk bertanya ke meja resepsionis.Kakinya tanpa ragu melangkah, terbalut rasa geram dan amarah. Sejak mengetahui bahwa Gauri hamil, Freya tidak bisa untuk diam saja. Rasanya merupakan perbuatan zholim jika mengetahui kebenaran tetapi malah tidak melakukan tindakan apa-apa.Freya pun kali ini tidak peduli jika aksinya bakal berujung dengan kemarahan Abdu. Itu urusan nanti saja, yang penting saat ini dia harus segera menemui Ali dan menyampaikan fakta yang sebenarnya.Berdasarkan keterangan dari resepsionis, Ali sedang berada di kantornya. Kebetulan pula dia baru selesai menghadiri rapat. Sebelum petugas resepsionis melarangnya ke kantor Ali, Freya setengah berlari menuju lift yang hendak tertutup.Gadis itu berhasil masuk, meski mendapat sorot tatapan tajam dari beberapa orang yang te
Ali pulang ke rumah tepat ketika jam dinding menunjuk ke angka tengah malam. Gauri sengaja menunggunya di ruang tengah sembari menonton televisi."Kamu belum tidur?" Ali hendak melangkah ke kamar, tetapi ucapan Gauri menghentikan langkahnya."Bisa bicara sebentar, Mas?" Suaranya datar, tetapi senyuman tipis tak lepas dari bibir Gauri.Ali menurut saja tanpa berkomentar apa-apa. Wajahnya kelihatan kusam dan letih, seperti habis bepergian seharian penuh."Mas seharian bersama Lena, kan?" Gauri tidak ingin basa-basi yang menurutnya sangat membuang-buang waktu dan itu memuakkan jika dilakukan di saat hatinya sedang remuk redam."Ya, maaf, aku gak kasih tau." Ali menghela napas. "Tadi dia memintaku mengantarkannya membeli sesuatu. Barang yang dia cari, susah ditemui. Itu sebabnya sampai malam aku baru pulang."Gauri manggut-manggut, mencoba memahami. "Saking sibuknya, sampai-sampai Mas gak bisa lagi kasih kabar via chat atau telepon ke aku, ya? P
Suasana vila menjadi aneh. Sebab perubahan sikap Gauri dan juga Ali terjadi secara bersamaan. Seharusnya masalah yang menerpa mereka, dibicarakan berdua, tetapi didiamkan saja tanpa adanya jalan keluar.Di sisi Gauri, dia ingin kejelasan, tentang apa hubungan yang terjadi antara suaminya dengan Lena. Mengapa sikapnya tunduk saja ketika ditarik kala di pesta itu, bukankah seharusnya saat itu Ali menemani Gauri, bukannya malah menghilang, malah kepergok tengah berciuman. Meski saat itu Ali tidak tahu, bahwa aksinya sedang dilihat oleh istrinya sendiri.Di sisi Ali, pikirannya dipenuhi peristiwa itu, tentang Lena yang menciumnya secara tiba-tiba. Rasa yang dulu telah terkubur dalam, kini seperti berontak dan menggelitik dadanya. Ali sebenarnya sadar diri bahwa Gauri mencurigai sesuatu, tetapi pria itu lebih memilih untuk diam. Dia kehabisan tenaga untuk berdebat. Dia sedang tidak ingin bertengkar dan malah nanti Lena menjadi pelariannya saja.Sehabis sarapan, merek
Selesai berdansa, Abdu mencari-cari keberadaan Taksa dan juga Gauri. Berulang kali dia berusaha menghubungi ponsel Gauri, tetapi sama sekali tidak ada sahutan.Setelah berkeliling, Abdu mendapati Ali yang tengah duduk melamun di teras vila. "Ali, kamu sendirian? Mana Taksa? Gauri?"Ali mengerutkan dahi. "Mereka gak bersamaku sejak tadi. Dari tadi aku sendirian di sini.""Apa mereka balik ke vila, ya?" Freya menduga. "Kalau gitu, aku cek ke sana dulu, ya, Kak." Gadis itu bergegas pulang. Tubuhnya pun dirasa penat sehabis berdansa dan bermain seharian sejak pagi. Mencari Gauri ke vila sewaan mereka bisa dijadikan alasan untuk melarikan diri dari sana.Freya pun agak kesal. Dia datang ke pesta tersebut, tapi seperti orang asing saja. Tidak ada sesiapa pun yang menyapa. Tidak ibunya Ali, atau Ali sendiri. Freya sudah punya firasat tak baik. Mungkinkah Gauri lebih memilih pulang ketimbang merasakan hal tak enak yang sama seperti dia rasakan?Setiba di v
Mereka berlima termasuk Taksa berjalan kaki menuju vila sewaan ibunya Ali. Tempat itu tidak terlalu jauh jaraknya, hanya terpisah tiga vila saja.Vila yang disewa ibunya Ali untuk mengadakan pesta ukurannya lebih luas. Halamannya pun luas, bisa menampung sekitar lima puluh orang tamu yang hadir.Tampaknya ibunya Ali niat sekali untuk mengadakan pesta. Cukup terlihat dari dekorasi yang apik, bunga-bunga segar yang menghiasi tiap sudut halaman, dan juga menu makanan yang terhidang terkesan makanan mahal serta mewah.Pihak pengelola vila ternyata juga menyediakan segala perlengkapan jika tamunya hendak mengadakan pesta. Gauri melihat pelayan yang mondar-mandir membawakan minuman atau pun di bagian bersih-bersih memakai seragam hitam-hitam berlabel nama perusahan pengelola vila tersebut."Ali!" Dari sudut halaman, terdengar suara perempuan memanggil. Sontak Ali menoleh ke arah Lena yang berjalan anggun mendekatinya.Gaun malam yang dikenakannya, berwar
Ibunya Ali tanpa permisi langsung masuk melangkahkan kaki ke dalam ruangan di mana mereka masih terdiam dan menatap heran. Disusul Magdalena yang berjalan anggun, mengekor di belakangnya. Gadis itu tersenyum manis pada siapa saja yang memandangnya."Kamu gak tau, ya? Mama lagi ajak Lena jalan-jalan. Dia pengin sekali menikmati suasana yang segar dan hijau-hijau. Ya sudah. Mama ajak aja dia ke sini. Mama direkomendasiin temen Mama. Katanya tempat ini lagi viral di I*, kan." Ibunya Ali terus nyerocos tak henti-henti. "Kalau Mama tau kamu juga ke sini, pasti Mama bakal minta jemput dan nebeng mobilmu aja, Li."Tak ada jawaban. Suasana menjadi canggung. Apalagi Ali menjadi pendiam, tidak banyak bunyi. Gauri sungguh penasaran, siapakah gadis itu yang membuat suaminya menjadi salah tingkah dan gugup seketika."Taksa udah makannya?" Suara Abdu mengenyahkan atmosfer yang aneh di antara mereka.Taksa yang baru saja meneguk habis susunya, lantas mengangguk. "Sudah,