Zach sangat hafal dengan suara perempuan yang menjadi lawan bicaranya di telepon. Itu membuatnya mendesah malas, karena tidak seharusnya orang itu merindukan dirinya.“Tidak ada lagi yang perlu dibahas, Stella. Urusan kita sudah selesai. Jangan pernah menghubungiku lagi, mengerti?”“Tapi, Zach—”Tut, tut, tut!Tanpa menunggu Stella menyelesaikan ucapannya, Zach sudah lebih dulu menekan ikon gagang telepon berwarna merah, yang membuat sambungan telepon terputus secara sepihak.“Untuk apa dia menghubungiku lagi? Pasti dia menyesal sudah berselingkuh dengan Babi Gigolo itu, dan sekarang pasti ingin kembali padaku. Murahan sekali!” Zach berdecih meremehkan.Kembali mendongak, pria itu mendapati Alice dan Evelyn yang sudah berpelukan satu sama lain. “Apa-apaan itu? Kenapa mereka tiba-tiba berpelukan?”Zach berkomentar dengan mata melotot. “Aissshhh .... Istriku memang terlalu baik hati. Kalau sikap lembutnya itu tidak diubah, bisa-bisa dia dimanfaatkan oleh orang lain,” gumamnya, merasa fr
Mobil terparkir di pelataran hijau mansion yang luas, di antara deretan-deretan mobil mewah lainnya. Zach berjalan menuju pintu utama dengan langkah mantap, senyumnya terpancar saat melihat Evelyn melambaikan tangan di sudut balkon.Hingga pada saat dirinya sampai di depan kamar, Zach mendapati pintu sudah lebih dulu dibuka oleh seseorang di dalam sana.Evelyn, dikawal senyuman manisnya yang khas, berlari ke arah pria itu dengan lengan terbuka, menyambut kehadiran Zach dengan pelukan hangat penuh cinta.“Selamat datang kembali, Sayang!” sapa Evelyn, suaranya lembut seperti melodi yang mengalun di udara.Zach tersenyum dan menunjukkan sebuket bunga lily putih dari balik punggungnya. “Ini untukmu, my lovelyn. Sebagai tanda cintaku yang tidak berbatas,” ucapnya, dengan satu tangan melingkar memeluk wanita itu.Evelyn memandang bunga itu dengan tatapan penuh kagum, sebelum menatap Zach dengan mata berbinar. “Terima kasih, Sayang. Mereka sangat cantik.”“Tapi tidak secantik dirimu,” bisik
“Pesta besar?” Sontak Evelyn membulatkan mata. “Ah, tidak perlu. Buang-buang uang saja. Aku tidak butuh yang seperti itu. Lebih baik uangnya ditabung saja untuk masa depan calon anak-anak kita,” imbuhnya.Zach terpukau mendengarnya. Dia kira, Evelyn akan bereaksi gembira atau langsung mengangguk setuju tanpa perlu berpikir lagi. Namun, ternyata penilaiannya salah. Evelyn sudah merasa cukup bahagia dengan cara yang sangat sederhana.“Apa kau lupa siapa suamimu ini, hm?” Tatapan elang Zach menyelami setiap sentimeter lekuk wajah Evelyn yang tak pernah membosankan untuk dipandang. “Hanya karena merayakan pesta, bukan berarti kita buang-buang uang. Ini adalah bentuk apresiasi untuk perjuangan panjang yang telah kita lalui bersama,” katanya.“Sayang, aku tau uangmu banyak. Bahkan tidak akan habis meskipun kita mengadakan pesta terbesar dan termewah sekalipun, tapi untuk apa? Aku sudah tidak membutuhkan itu lagi sekarang, yang aku mau hanyalah keutuhan rumah tangga kita.” Evelyn bicara panja
Juli, 2024Dengan langkah mantap dan penuh keyakinan, Zach memasuki ballroom hotel, memancarkan karisma yang selalu melekat pada dirinya. Mengenakan tuxedo hitam dan pantofel mengkilat yang memperlihatkan kesan maskulin dan elegan.Setiap langkahnya membuahkan rasa percaya diri yang tidak pernah tumbang—seperti biasanya—menunjukkan keberanian yang tak tergoyahkan.Sorot matanya penuh dengan kehangatan saat menggandeng lengan istrinya yang hari ini tampil sangat memukau.Gaun merah marun yang Evelyn kenakan melambangkan keindahan dan keanggunan yang memikat, mengikuti bentuk tubuhnya yang ramping dan berlekuk sempurna. Rambut keriting gantung yang diikat satu dan biarkan melewati bahu, membuatnya semakin terlihat cantik.Leher yang jenjang, betis yang ramping, pinggul sempurna bak gitar Spanyol, kulit putih mulus dipadukan dengan wajahnya yang cantik alami. Laki-laki normal mana yang tidak akan tenggelam pada pesona Evelyn yang seolah menjadi saingan bagi para bidadari?Ditambah, aroma
Setiap kata yang terlontar dari mulut Zach, sukses membuat Evelyn terenyuh dan tak henti-hentinya melengkungkan senyuman. Bahkan air mata sudah menetes di pipinya tanpa disadari.“Evelyn ... meskipun usia pernikahan kita masih sangat muda, tetapi sudah banyak sekali air mata yang kau keluarkan karena perbuatanku,” tutur Zach dengan suasana hati yang menggebu. “Untuk itu, aku ingin minta maaf yang sedalam-dalamnya. Maaf, karena terlalu banyak luka yang kau rasakan dalam hidupmu. Maaf, sudah menjadi alasan kenapa kau selalu menangis setiap malam. Maaf ... karena kesalahanku, keegoisanku, keserakahanku ... kau harus kehilangan sosok cinta pertama yang selalu menjadi cerminan bagi setiap anak perempuan, dalam menemukan cinta sejatinya.”Zach kembali menunduk, menyeka sudut matanya yang semakin basah. “Evelyn ... terima kasih sudah bertahan sejauh ini, untuk selalu berada di sisiku, bahkan tak pernah meninggalkanku dalam keadaan sesulit apa pun. Maafkan suamimu yang belum bisa menjadi yang
“Di hari yang spesial ini, izinkan saya memberikan kado spesial kepada suami saya,” ucap Evelyn seraya menatap kotak kado yang telah terbungkus rapi dan diikat dengan pita merah, bertengger di atas meja kecil di pojok panggung.“Sayang, bolehkah aku memintamu naik ke atas panggung?” tanya Evelyn, memandang Zach setelah mengambil kotak kado itu.Zach menuruti permintaan istrinya. Naik ke atas panggung, lalu menerima hadiah yang disodorkan oleh wanita itu.“Boleh dibuka sekarang?”Evelyn mengangguk. “Tentu," jawabnya, dikawal ekspresi wajah yang ... sepertinya sudah tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Zach setelah memeriksa isinya.Zach membuka kotak kado itu dengan penuh rasa penasaran, ternyata di dalamnya terdapat sebuah sweater rajut bayi berwarna biru muda.Pria itu terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Dia menatap Evelyn dengan perasaan campur aduk antara kebahagiaan dan kebingungan.“Sayang,” bisiknya, “ini apa?”Evelyn tersenyum lebar. “Aku ... hamil,” beritahunya. Air ma
Zach segera mengumpulkan timnya untuk membahas situasi ini. Mereka memutuskan untuk melakukan investigasi internal untuk mencari tahu siapa dalang di balik bocornya berita tersebut.Tim IT bekerja keras untuk melacak sumber berita. Mereka menganalisis data dan juga informasi dari berbagai sumber.Setelah beberapa hari penyelidikan, tim IT menemukan beberapa kejanggalan. Ada seseorang yang telah mengakses sistem IT mafia dan menyebarkan berita tentang Zach.Zach mulai curiga kepada Julian, mantan wakilnya yang telah menggantikannya menjadi ketua mafia.“Sistem rahasia hanya diketahui oleh orang-orang yang bergabung menjadi bagian dari organisasi mafia The Killer Panther. Aku curiga pelakunya adalah Julian,” ucap Zach. “Atau anggota mafia lainnya, tapi ... besar kemungkinannya bahwa dalangnya adalah Julian.”“Tapi kenapa Julian melakukan itu, Tuan? Bukankah itu bisa membahayakan dirinya juga?” tanya Robby keheranan.Zach bergeming. Menyandarkan punggungnya pada kursi putar yang dia dudu
Zach meremas erat map di tangannya. Isinya adalah bukti-bukti yang dia kumpulkan untuk menunjukkan bahwa dia sudah mengundurkan diri sebagai bos mafia. Dia harus menyerahkan ini kepada Daniel, seorang anggota kepolisian yang dia kenal, untuk membersihkan namanya.Zach masih ingat malam itu, malam di mana dia memutuskan untuk keluar dari dunia mafia. Dia telah meninggalkan bisnis gelap itu dan memulai hidup baru. Namun, masa lalu masih saja menghantuinya. Dia dituduh masih menjadi kepala organisasi mafia The Killer Panther.Zach tahu bahwa dia harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi. Dia ingin hidup bebas dan bahagia bersama Evelyn dan bayi-bayinya.Zach menarik napas dalam-dalam dan melangkah ke kantor polisi. Dia melihat Daniel duduk di mejanya. Daniel adalah orang yang dia percaya. Dia yakin Daniel akan membantunya.“Apa yang kau inginkan?” tanya Daniel yang sedang duduk di sofa di hadapan Zach. Saat ini mereka sedang
Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany
Zach tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldrick. “Apa yang kau bicarakan?”Aldrick tampak kikuk. “Apa kau tidak tahu penyebab kenapa Ayah lumpuh?” Justru dia merasa heran, bisa-bisanya Zach tidak tahu alasan yang melatarbelakangi kelumpuhan kaki Jeremy?“Memang apa penyebabnya?”Jujur, Aldrick terkejut, ternyata Zach benar-benar tidak tahu soal itu.“Ayah, apa boleh aku ceritakan?” Aldrick adalah orang yang tahu etika, sehingga dia meminta izin dulu kepada Jeremy.“Silakan,” balas Jeremy. “Kalaupun aku mengatakan tidak, pasti kau tak bisa tidur nyenyak malam ini, karena Zach akan terus mendesakmu untuk bicara.”Sejenak Aldrick terkekeh, lalu mulai menceritakan, “Saat berusia sebelas tahun, kau menjadi korban penculikan. Ayah dan pengawalnya berusaha menyelamatkanmu. Tapi karena dibius, kau tidak sadarkan diri. Kemudian, komplotan penculik itu mengejar mobil yang ditumpangi Ayah dan beberapa pengawalnya, hingga insiden kecelakaan pun terjadi tanpa disangka-sangka.”Zach menjadi pende
Evelyn ikut terharu melihat Zach sudah berbaikan dengan Aldrick. Dia tersenyum manis, bangga kepada anak-anaknya yang telah membuat tembok raksasa pertahanan Zach akhirnya runtuh juga.Setelah itu, Evelyn ikut bergabung dan mereka melangkah bersama-sama menuju taman, mencari keberadaan Jeremy, karena Zach belum meminta maaf pada laki-laki itu.Benar saja. Ternyata Jeremy memang berada di sana, sedang duduk di atas kursi roda sambil memperhatikan Oliver yang sedang memanjat pohon apel, sedangkan Bryan, remaja berusia dua belas tahun itu berdiam diri di bawah pohon apel sambil menyemangati Oliver.“Ayo! Petik apelnya lebih banyak lagi, Paman!” pekik Bryan seraya mendongak memperhatikan setiap gerak-gerik Oliver.“Mami, Papi, bolehkah aku bergabung dengan Bryan dan Paman Oliver?” tanya Florez dengan penuh harap.Evelyn menyahut, “Boleh saja, Sayang, tapi harus minta izin dulu dengan mereka. Jika mereka tidak keberatan, silakan bergabung. Tapi, jika mereka merasa keberatan, kalian tidak pe
Karena didesak ketiga anak kembarnya, mau tidak mau Zach harus menemui kakak dan ayahnya untuk meminta maaf. Karena, sebagai orangtua, dia harus mencontohkan sikap yang baik, benar dan bijaksana.“Ayo, Papiiiiii!” Freya menarik lengan kanan Zach, lalu Florez di sebelah kiri, sedangkan Fathe mendorong tubuhnya dari belakang.Mereka tampak tidak menyerah walaupun Zach memiliki tubuh tinggi besar dan tidak sebanding dengan tubuh miniatur mereka.Zach hanya bisa pasrah menerima perlakuan anak-anaknya. Dia terus berjalan mengikuti ke mana si kembar membawanya pergi.“Paman Aldrick!” Fathe memanggil Aldrick yang sedang berjalan di koridor mansion.Pria itu menoleh, mengernyit melihat ketiga anak itu menghampirinya sambil menyeret Zach dengan tangan mungilnya.Sesekali Aldrick terkekeh geli pada saat menyaksikan Freya dan Florez yang terlihat berjalan mundur untuk bisa menarik tangan Zach dengan tenaga yang lebih besar.“Papi, bisakah berjalan lebih cepat sedikit? Kami hampir kehabisan tenaga