"Yang penting, kamu bersedia melakukan permintaan ibu?" Bu Ratih menatap Malilah dalam-dalam. Sorotnya menyimpan harapan yang teramat sangat.
"Saya akan menyanggupi permintaan Ibu, tapi saya juga ada syarat."
"Katakan!" sambar Bu Ratih dengan wajah berbinar.
"Saya mau menikah dan menjadi istri kedua Hanan demi Arumi. Tapi, setelah Arumi sudah tidak membutuhkan ASIku lagi, tak perduli bagaimana hubungannya Hanan dengan Fania nantinya, saya minta Hanan melepaskan saya. Biarkan saya pulang untuk hidup dengan orang tua saya di desa," ucap Malilah akhirnya luluh juga meskipun tetap mengajukan syarat. Hati kecilnya benar-benar menolak predikat istri kedua yang akan disandangnya. Tapi demi Arumi dan Bu Ratih, biarlah jika hanya untuk sementara waktu.
"Maksud kamu, kamu bersedia menjadi istri Hanan selama masa menyusui Arumi saja?" tanya Bu Ratih mempertegas. Malilah mengangguk. Bu Ratih menarik napas panjang sambil berpikir keras.
"Baikl
"Bukan! Aku, salah ngomong. Heeem ... aku kepikiran mama sudah seminggu enggak kesana. Tapi, aku memang sementara enggak ke sana dulu. Mau fokus buat kesehatanmu di sini. Tapi, kenapa aku merasa, kamu selalu mengundang kecurigaanku seolah kamu sedang pura-pura hamil. Ini kan untuk kebaikan, kenapa kamu enggak mau?" jawab Hanan sedikit menantang."Ya sudah, mulai besok aku ikut kelasnya," jawab Fania dengan nada sangat terpaksa."Ya sudah. Sekarang kamu istirahat," jawab Hanan melembut namun dalam hatinya bersorak. Besok ia akan nekad ke rumahnya sekalian mengantar pembantu baru, sementara Fania di kelas ibu hamilnya.Hanan jadi tak sabar menunggu hari esok. Tak lupa ia mengirim pesan pada Ibu Timah, untuk menunggunya di tempat yang tidak jauh dari kelas ibu hamil tadi.***"Sudah siap?" tanya Hanan sambil tersenyum.Fania hanya mengangguk. Beda dengan Hanan, Fania tak mau menarik bibir padahal Hanan sudah bersikap manis
"Malilaah! Hey, Malilah. Kamu siap-siap aja. Sebentar lagi Hanan akan menikahimu!" ucap Bu Ratih saat Malilah menghampiri dengan berlari-lari kecil dari dalam."Apa maksudnya, Bu?" tanya Malilah sambil tengak-tengok karena di luar melihat seorang wanita lebih tua sedikit daripada Bu Ratih seperti bingung."Sebentar lagi dia akan ngemis minta pulang ke sini. Aku yakin itu. Barusan Hanan datang merengek mau ketemu Arumi," ucap Bu Ratih mencebik."Terus?" tanya Malilah sambil menatap pada tas yang tergeletak di ruang tamu dekat pintu."Ya ku-usirlah, pakai sapu!" sahut Bu Ratih menyombongkan diri karena yakin anaknya akan kalah."Terus?""Ya terus ngacirlah! Berani dia nerobos masuk rumah. Sekalian kumasukkan kembali dalam sini!" ucap Bu Ratih sambil mengusap perutnya yang datar."Terus ....""Udah habis ceritanya. Terus-terus melulu kamu!" potong Bu Ratih."Bukan, Bu. Terus itu tasnya siapa? Y
"Tapi Bu, kenapa harus pindah ke sana? Di sini aja dulu. Besok dibersihin lagi kamar belakang," ucap Malilah keberatan."Biar kamarnya enggak kelamaan kosong. Ya sudah Bik, mulai diangkut barang-barangnya ke depan," jawab Bu Ratih sekaligus memerintah.Malilah diam saja. Ia tak mau membantu Bik Timah walaupun Arumi sedang tidur. Bu Ratih pun bertingkah seolah tak tahu wajah Malilah cemberut. Ia bergegas membuka lemari pakaian Arumi juga Malilah."Ini, semuanya dipindah ke sana. Di sana kan ada lemari Pink yang gede. Bik Timah keluarin semua isinya tukar ke sini! Ayo!" ajak Bu Ratih pada pembantu barunya.Malilah pura-pura tak mendengar. Padahal sesungguhnya sangat penasaran apa isi barang dalam lemari pink yang mau ditukar dengan pakaiannya.Bik Timah mulai memindah pakaiannya dalam keranjang dan membawanya keluar kamar. Tak lama kemudian, Bik Timah kembali membawa keranjang yang sama dan tetap berisi pakaian lagi.
Bagi Hanan, waktu berputar dengan begitu lama. Hanan makin tak bersemangat menjalani hidupnya di rumah Fania. Sudah hampir sebulan ia tak melihat Arumi. Ibunya pun tak kunjung bisa dihubungi. Hanan jadi lebih khawatir karena sudah tiga hari ini, Bik Timah tidak pernah menjawab panggilan telponnya padahal selalu tersambung. Hanan benar-benar khawatir."Dek, nanti hari Selasa kita tengok rumah dulu, ya?"Fania diam saja. Hanan tahu ia tak akan mau. Tapi hari Selasa masih empat hari lagi. Hari selasa sudah lebih dari sebulan ia tak melihat Arumi. Bukankah kata ibunya ia hanya sebulan tak boleh datang?"Kalau kamu enggak mau, aku aja!" ucap Hanan.Fania masih diam juga. Hanan meremas rambut. Kepalanya mulai sakit menghadapi Fania.Tiba-tiba ponselnya berdering. Bik Timah memanggil. Hanan meninggalkan Fania keluar. Fania diam-diam mengikuti."Kemana aja Bik? Dari kemaren dihubungi kok enggak ngangkat-ngangkat?" ucap Hanan saat s
"Maaa .... jangan ngomong macam-macam dulu. Kita ke rumah sakit aja, ya? Sepertinya tekanan sama kolesterol naik lagi," ucap Hanan sambil menyentuh tangan ibunya di balik selimut."Harus berapa kali kubilang, jangan perdulikan Ma-maa!" ucap Bu Ratih dengan suara lemas dari dalam selimut tebal. Tubuhnya menggigil. Seperti orang meriang. Bu Ratih mengeluarkan wajahnya yang basah oleh keringat dari balik selimut."Maaa .... mama ko keringatan tapi menggigil?" suara Hanan cemas."Enggak apa-apa Mas ... itu berarti ibu meriang. Sekarang keringatnya sudah keluar biasa lebih nyaman. Mending Mas cepat cari tahu dimana desa orang tua Malilah, biar cepat di bawa kesini. Kasihan Maaaas! Tiap malam menggigau manggil Mbak Lila sambil nangis-nangis. Kasian juga ini nangis-nangis," ucap Bik Timah sambil menepuk-nepuk pundak Arumi yang tak mau diam dalam gendongannya.Hanan diam, menatap ibunya yang terus menggigil lalu beralih menatap Arumi yang
Bik Timah bergegas membawa kunci kamar Hanan dan membukanya."Bik! Kenapa saya dikunci dari luar? Saya kok tumben tidur enggak ingat apa-apa ya? Arumi mana?" tanya Malilah begitu kepala Bik Timah menyembul."Eh, ehm ... itu Mbak, di kamar ibu," ucap Bik Timah bingung juga karena tak ada persiapan jawaban.Malilah langsung mencari Arumi. Arumi langsung tertawa riang melihat Malilah."Arumi ... sayaang. Maaf sayang ...." Malilah langsung mengambilnya."Saya masih pagi kok udah tidur gak ingat-ingat ya? Bawaannya ngantuuk aja dari tadi. Hoooaaaamm," Malilah menguap lagi."Eh, iya. Kenapa saya di kunci dalam kamar, Bu?" tanya Malilah tiba-tiba."Eemmm .... itu, enggak apa-apa. Biar kamu pulas aja tidurnya. Iyakan Bik?" Bu Ratih menyikut Bik Timah."Ho-oh ... Ho-oh. Bener. Nanti kalau masih ngantuk tidur lagi aja. Nanti saya temani Arumi main di kamarnya Mbak," ucap Bik Timah menawarkan diri.
Desa Sepaku.Lumayan lama Hanan mencari alamat rumah Malilah. Sebenarnya ia sudah pusing. Akses jalan Desa Sepaku yang di gadang-gadang akan menjadi ibukota entah di tahun berapa itu memang rusak parah dan meliuk-liuk tajam membuat Hanan berkali-kali menghentikan kendaraan karena mual. Setelah bertanya kesana-kamari, akhirnya Hanan di antar oleh seseorang yang baik hati sampai tujuan."Assalamu'alaikum," ucap Hanan sambil menengok ke kiri dan ke kanan, karena suasana sangat sepi."Walaikumsallam."Kriiieeeeet.Pintu rumah sederhana itu berderit, seorang wanita dan seorang lelaki berusia kisaran 50-55 tahun keluar bersamaan. Mereka berdua menatap Hanan lekat."Permisi Pak, Bu ... benar ini rumah orang tua Malilah?"Keduanya saling pandang kemudian mengangguk."Apa Malilah ada pulang ke sini? Soalnya ... sudah tiga hari dia menghilang dari rumah?" tanya Hanan langsung."Oooh! Kamu ya! Benar-
Berdosa banget jika Hanan berkata istrinya sudah mati. Tapi, untuk mengatakan bahwa ia cerai hidup juga berat, karena khawatir menjadi talak Lafaz Kinayah (tidak tegas) yaitu lafaz yang mengandung kemungkinan makna talak dan makna selain talak."Kami ... sudah lama ... pisang ranjang, Bu. Tapi ... semuanya masih dalam proses karena ada hal yang harus di tunggu. Tapi Malilah mengetahui semuanya. Kami ...sudah sepakat menikah karena dia terlanjur sayang sama Arumi anak saya yang ia asuh sejak umur dua bulan. Selain itu, untuk menghindari fitnah juga bila kami ingin membawa Arumi keluar bersama untuk mencari keperluannya. Kalau ibu kandungnya, memang sudah tak mau mengurus anak saya lagi Pak, Bu," sahut Hanan terpaksa mencampur kenyataan dengan sedikit kebohongan.Pak Cip dan Bu Wid saling pandang."Jadi, bagaimana Pak? Bu? Apa lamaran saya di terima?" tanya Hanan tak sabar."Kalau kami terima, Malilah ternyata enggak mau, bagaimana?" tanya Pak C