"Maaa .... jangan ngomong macam-macam dulu. Kita ke rumah sakit aja, ya? Sepertinya tekanan sama kolesterol naik lagi," ucap Hanan sambil menyentuh tangan ibunya di balik selimut.
"Harus berapa kali kubilang, jangan perdulikan Ma-maa!" ucap Bu Ratih dengan suara lemas dari dalam selimut tebal. Tubuhnya menggigil. Seperti orang meriang. Bu Ratih mengeluarkan wajahnya yang basah oleh keringat dari balik selimut.
"Maaa .... mama ko keringatan tapi menggigil?" suara Hanan cemas.
"Enggak apa-apa Mas ... itu berarti ibu meriang. Sekarang keringatnya sudah keluar biasa lebih nyaman. Mending Mas cepat cari tahu dimana desa orang tua Malilah, biar cepat di bawa kesini. Kasihan Maaaas! Tiap malam menggigau manggil Mbak Lila sambil nangis-nangis. Kasian juga ini nangis-nangis," ucap Bik Timah sambil menepuk-nepuk pundak Arumi yang tak mau diam dalam gendongannya.
Hanan diam, menatap ibunya yang terus menggigil lalu beralih menatap Arumi yang
Bik Timah bergegas membawa kunci kamar Hanan dan membukanya."Bik! Kenapa saya dikunci dari luar? Saya kok tumben tidur enggak ingat apa-apa ya? Arumi mana?" tanya Malilah begitu kepala Bik Timah menyembul."Eh, ehm ... itu Mbak, di kamar ibu," ucap Bik Timah bingung juga karena tak ada persiapan jawaban.Malilah langsung mencari Arumi. Arumi langsung tertawa riang melihat Malilah."Arumi ... sayaang. Maaf sayang ...." Malilah langsung mengambilnya."Saya masih pagi kok udah tidur gak ingat-ingat ya? Bawaannya ngantuuk aja dari tadi. Hoooaaaamm," Malilah menguap lagi."Eh, iya. Kenapa saya di kunci dalam kamar, Bu?" tanya Malilah tiba-tiba."Eemmm .... itu, enggak apa-apa. Biar kamu pulas aja tidurnya. Iyakan Bik?" Bu Ratih menyikut Bik Timah."Ho-oh ... Ho-oh. Bener. Nanti kalau masih ngantuk tidur lagi aja. Nanti saya temani Arumi main di kamarnya Mbak," ucap Bik Timah menawarkan diri.
Desa Sepaku.Lumayan lama Hanan mencari alamat rumah Malilah. Sebenarnya ia sudah pusing. Akses jalan Desa Sepaku yang di gadang-gadang akan menjadi ibukota entah di tahun berapa itu memang rusak parah dan meliuk-liuk tajam membuat Hanan berkali-kali menghentikan kendaraan karena mual. Setelah bertanya kesana-kamari, akhirnya Hanan di antar oleh seseorang yang baik hati sampai tujuan."Assalamu'alaikum," ucap Hanan sambil menengok ke kiri dan ke kanan, karena suasana sangat sepi."Walaikumsallam."Kriiieeeeet.Pintu rumah sederhana itu berderit, seorang wanita dan seorang lelaki berusia kisaran 50-55 tahun keluar bersamaan. Mereka berdua menatap Hanan lekat."Permisi Pak, Bu ... benar ini rumah orang tua Malilah?"Keduanya saling pandang kemudian mengangguk."Apa Malilah ada pulang ke sini? Soalnya ... sudah tiga hari dia menghilang dari rumah?" tanya Hanan langsung."Oooh! Kamu ya! Benar-
Berdosa banget jika Hanan berkata istrinya sudah mati. Tapi, untuk mengatakan bahwa ia cerai hidup juga berat, karena khawatir menjadi talak Lafaz Kinayah (tidak tegas) yaitu lafaz yang mengandung kemungkinan makna talak dan makna selain talak."Kami ... sudah lama ... pisang ranjang, Bu. Tapi ... semuanya masih dalam proses karena ada hal yang harus di tunggu. Tapi Malilah mengetahui semuanya. Kami ...sudah sepakat menikah karena dia terlanjur sayang sama Arumi anak saya yang ia asuh sejak umur dua bulan. Selain itu, untuk menghindari fitnah juga bila kami ingin membawa Arumi keluar bersama untuk mencari keperluannya. Kalau ibu kandungnya, memang sudah tak mau mengurus anak saya lagi Pak, Bu," sahut Hanan terpaksa mencampur kenyataan dengan sedikit kebohongan.Pak Cip dan Bu Wid saling pandang."Jadi, bagaimana Pak? Bu? Apa lamaran saya di terima?" tanya Hanan tak sabar."Kalau kami terima, Malilah ternyata enggak mau, bagaimana?" tanya Pak C
"Ma ... kenalin ini Pak Cip dan Bu Wid orang tuanya Malilah. Malilahnya mana?" ucap Hanan buru-buru sebelum ibunya mengomel."Eh, i-iya. Saya ... orang tuanya Hanan. Ratih," ucapnya mendadak ramah menyodorkan tangan begitu menyadari sudah berhadapan dengan calon besan."Mari masuk, Pak ... Bu. Tunggu sebentar. Biiiik! Siapkan makanan," ucap Bu Ratih sembari meninggalkan mereka masuk.Pak Cip dan Bu Wid duduk di ruang tamu. Hanan langsung menuju ke kamarnya ingin meregang otot dan menetralkan otaknya yang kusut karena terlalu banyak berpikir mendadak kemaren."Atagfirullahal'adzim," ucap Hanan begitu masuk kamar. Hampir saja imannya runtuh seketika melihat pemandangan dalam kamar.Pemandangan yang sangat menantang. Arumi dan Malilah sama-sama tertidur miring saling berhadapan. Sebelah bukit kembar Malilah masih menggantung keluar dari bungkusnya. Belum lagi dasternya yang tersingkap memperlihatkan kulit mulus yang membuat dar
Setelah mandi, Malilah bingung mau memakai baju apa. Sebentar lagi Pak Penghulu akan datang. Tidak ada orang lain selain Bu Ratih, Bik Timah, kedua orang tua Malilah, Pak Seno dan Bu Seno yang menunggu Pak Penghulu dan saksi yang sudah dibayar oleh Bu Ratih. Untuk saksi, Bu Ratih meminta bantuan Penghulu. Bu Ratih enggan memanggil tetangga karena pernikahan memang dilaksanakan secara diam-diam."Malilah, sini!" Bu Ratih membawanya ke kamar."Kamu pakai ini ya? Ibu ingin sekali kamu memakai baju ini saat menikah," ucap Bu Ratih menyodorkan kebaya terusan berwarna putih. Walaupun kebaya lama tapi terkesan mewah dan elegan. Mungkin karena keindahannya yang sedap dipandang mata."Baju siapa ini, Bu?" tanya Malilah sambil memasang ke tubuhnya."Ini kebaya Ibu, waktu menikah dengan Papanya Hanan dulu. Masih ibu simpan. Ibu ingin mengenang saat ibu menikah dulu. Kamu enggak keberatan, kan?"Malilah menatap wajah Bu Ratih lalu
Malam harinya, semua orang sudah menuju peraduan masing-masing. Kedua orang tua Malilah tidur di kamar yang biasanya di pakai Bik Timah. Bik Timah sendiri memilih tidur di kamar belakang yang sudah dibersihkan. Kamar itu dulunya memang kamar untuk pembantu mereka.Malilah membawa Arumi ke kamar ragu-ragu. Ia melihat Hanan sedang menatap isi lemarinya."Bukan aku yang pindahin. Ibu sa-ma Bik Timah," ucap Malilah ragu-ragu takut Hanan marah karena lemari Fania berisi baju-bajunya. Ternyata Hanan diam saja, tak menggubris kembali menutup pintu lemari."Lila ... duduk dulu sini, aku mau ngomong," ucap Hanan sambil menepuk kasur di sebelahnya.Malilah mendekat ragu-ragu. Ia duduk dengan mengambil jarak. Arumi sedang asik bermain di lantai."Sini! Jangan jauh-jauh. Kita sudah sah, kok!" ucap Hanan membuat perasaan Malilah deg-degan. Melihat Malilah diam saja, Hanan beringsut mendekat."Apa ... kamu terpaksa menikah dengan a
Hanan duduk. Mengusap wajahnya kasar. Kenapa rasanya ia ingin marah pada Fania karena membuatnya menyakiti persaan Malilah. Padahal di sini dialah penghianatnya. Menyadari Hanan duduk, Malilah ikut duduk. Hanan melangkah keluar kamar meninggalkan Malilah."Marahkah dia?" pikir Malilah sambil ikut keluar merasa bersalah. Ia melihat Hanan meraih gelas lalu menyendok gula. Sepertinya ia ingin membuat kopi."Sini. Aku buatkan," ucap Malilah mengambil alih sendoknya namun Hanan menolak."Enggak perlu. Aku menikahimu pun hanya demi Arumi! Jadi kamu enggak perlu sibuk mengurus kebutuhanku. Asal kamu tahu! Aku pun menikahimu hanya demi Mama!" ucap Hanan dengan nada ketus.Malilah terdiam, dan kembali ke kamar sambil menangis. Aneh memang. Dulu ia bahkan biasa mendengar Hanan bicara ketus, dan menghinanya saat pertama datang. Tapi ia tak pernah merasa sakit, sesakit mendengar ucapan Hanan barusan.Hanan membawa kopinya ke kamar
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hanan sudah bangun dan duduk di meja makan. Sebulan ia tak merasakan makan yang nyaman. Bu Ratih yang tak mau kalah semangat dari tadi juga sudah bangun membantu Bik Timah di dapur."Arumi dah bangun?" tanya Bu Ratih. Hanan mengangguk. Bu Ratih ke kamar mereka."Sini Arumi. Kamu sarapan dulu, panggil Bapak sama Ibumu sekalian," perintah Bu Ratih.Malilah mengangguk langsung menyerahkan Arumi. Bu Ratih menatapnya sedikit aneh."Kamu lagi datang bulan apa?" tanya Bu Ratih tiba-tiba."Ehm, i-iya Bu," sahut Malilah menyadari Bu Ratih memperhatikan rambutnya yang kering."Heeem!" ucap Bu Ratih seperti sangsi. Malilah cepat-cepat meninggalkan kamar sebelum Bu Ratih curiga. Ia memanggil kedua orang tuanya terlebih dahulu untuk sarapan bersama."Hanan, Malilah ... Bapak sam Ibu nanti mau liat-liat rumah lama, sebelum kembali ke desa," ucap Pak Cip."Loh, Bapak