Serina sukses membuat Tanjung sangat tidak fokus. Semua ucapannya benar. Meski hati Tanjung meragu, tapi ia mengakui bahwa tak mudah mempertahankan Vita di tengah rencana balas dendamnya. Ia harus melepas gadis itu. “Saat balas dendammu gagal, maka kau akan kehilangan segalanya. Ketika kau berhasil, kau pun tak punya apa-apa lagi karena semuanya sudah kau korbankan.” Serina mengedikkan bahu santai. “Hasilnya sama saja.”Itu adalah ucapan terakhir Serina sebelum wanita itu memutuskan memutar tubuh menuju pintu. Tanjung masih mematung di tempatnya ketika Serina menoleh sekilas.“Aku akan kembali. Kuharap kau bisa memutuskannya saat aku datang lagi.”Serina keluar dari ruangan. Meninggalkan jejak suara sepatu tingginya. Postur tinggi dengan kaki jenjang itu meninggalkan lantai 12, memasuki lift dan kembali ke lobi di mana-mana orang menatapnya bagai dewi.Serina mengangkat dagu angkuh. Sekarang dia akan menunjukkan kepada Narumi, seperti apa tingkah perempuan jalang yang sebenarnya. Ra
“Saya menemukan sesuatu yang menarik loh di butik tadi.” Susan Gurnomo menyilang kaki dengan raut wajah kesenangan. Acara kumpul mengumpul itu kebetulan diadakan di hari yang sama saat mereka menemukan Serina Maulana berbelanja habis-habisan di butik langganan mereka.“Oh iya, saya juga.” Anjani Perwira yang ikut bersama Susan menyahut dengan nada yang sama. Ada lima perempuan lain yang ikut mendengarkan termasuk Narumi. Para istri pengusaha maupun penjabat itu memasang telinga baik-baik dengan wajah penasaran. “Di Angel’s Store kami melihat perempuan muda yang mengaku sebagai Maulana.” Susan menatap Anjani. Wanita paruh baya bergaun kuning itu mengangguk setuju.“Iya, dia membeli semua gaun, sepatu, dan tas dengan enteng. Wajah dan tubuhnya juga sangat indah.”“Tapi terlihat sangat sombong. Wajahnya angkuh sekali.”“Maulana?”Semua wanita itu menoleh pada Narumi yang masih menyilang kaki dengan tenang. “Siapa namanya?” Bukan Narumi yang bertanya. “Hmm … Sarina? Suhrina?”“Tidak-
Serina tak henti-hentinya menerima perhatian berlebihan ke mana pun kakinya melangkah. Sedetik setelah ia melewati pintu restoran bersama Tanjung, puluhan pasang mata menyergapnya sampai ia duduk di salah satu meja.Seorang pramusaji datang untuk menanyakan pesanan dan Serina memilih menu secara asal-asalan. Ia menopang dagu setelah waitress berambut sebahu yang diikat itu pergi. “Kau terlihat tegang sejak tadi.” Serina memulas senyum dengan mata yang seolah mengerti segalanya. Tanjung bergeming. Posturnya menegak, membuat dada yang dilapisi rompi hitam itu semakin membusung gagah. “Jadi, dia adalah kekasihmu?”Barulah Tanjung mengangkat mata dan menyergap Serina tajam. Lengkungan bibir Serina kian naik. “Kau cukup nekat mengencani bawahanmu sendiri, Tuan Tanjung.” Serina mengibas rambut. “Gadis itu harus berterima kasih padaku karena perhatian ibumu jadi teralihkan dan tak lagi fokus padanya.”Dari wajahnya, Tanjung jelas tidak setuju dengan anggapan itu. “Sepertinya dia berharg
Serina menyadari bahwa tidak seharusnya dia mengucapkan janji yang sentimental itu. Sebab dia hanyalah budak yang dibeli, malaikat maut sewaan, dan algojo untuk memenggal kepala Narumi. Dia tidak semestinya menawarkan bahu untuk bersandar, juga tidak menawarkan simpati murahan. Untuk pertama kalinya, Serina menyesali tindakannya. Dia melewati batasan yang sudah dia tetapkan. “Tidurlah di ranjang. Tidak seharusnya majikan tidur di sofa dan mengalah pada budak.” Walaupun sofa itu cukup panjang untuk ditiduri oleh Tanjung. Tanjung yang baru saja meletakkan bantal ke sofa berhenti. “Kau bukan budakku.”Pandangan Serina menyerbu mata cokelat gelap Tanjung. “Jangan terlalu baik, Tuan Tanjung. Itu hanya akan menjadi bumerang untukmu.”Karena sepertinya lelaki ini sering kali dimanfaatkan. Naif dan lugu. Tanjung tampak tidak setuju. Keningnya mengerut, tapi tak lama kemudian ia mengambil bantalnya kembali dan berpindah ke ranjang. Ia menepi di sisi kiri. Serina melenggang tak acuh ke sis
“Kau gagal?”Risa berdiri dengan kaki gemetar di depan meja sang nyonya. Dia bersumpah ruang kerja pribadi Narumi adalah ruangan yang paling tidak ingin dia masuki.Nuansanya gelap, seluruh perabot berwarna hitam dan cokelat, juga aura yang sama dengan aura pemiliknya. Sangat menyeramkan. Lebih baik dia bermalam di rumah hantu saja. “Sepertinya begitu.”Risa merasakan jantungnya memburu cepat. Air muka yang gelap dan mata tajam yang mengintimidasi. Ia takut sekali sampai tidak mampu membuka bibir. “Tugasmu hanya sederhana, Risa. Cukup bangunkan Tanjung. Buat dia keluar dari kamar, lalu siramkan air itu ke wajah Serina. Mudah, kan?”Memang terdengar mudah, tapi Risa tidak sanggup melakukannya. Bukan air biasa yang harus dia tuangkan ke wajah cantik bak dewi itu, melainkan air keras yang akan menghancurkan wajahnya. Dia gugup sekali.“Mana air kerasnya?”Risa berkeringat dingin. “Sa-saya simpan di kamar saya, Nyonya.”Narumi menumpukan kedua siku di atas meja, menyorot tajam Risa sep
Ketegangan semakin memuncak. Tak ada satu pun di antara mereka yang berniat menyurutkan adu tatap yang sengit itu. Dari dalam rumah, Tanjung buru-buru datang dengan dasi yang belum terpasang sempurna dan lengan kemeja yang tidak terkancing. Buru-buru ia menghampiri teras yang berantakan itu. Dilihatnya kaki Serina yang tertimpa pecahan mangkuk dan makanan yang masih mengepul.“Apa-apaan ini?!”Tanjung segera menyingkirkan makanan panas dan pecahan mangkuk pada kaki Serina, lalu kembali berdiri menatap nyalang Narumi. “Apa lagi yang Ibu lakukan?!”Narumi bersedekap angkuh. “Urus perempuan tidak tahu diri ini. Apa yang dia lakukan pagi ini sudah mencerminkan dari mana dia berasal. Itu yang kau makan setiap hari sebelum datang ke sini?”Tanjung mengikuti arah pandang Narumi yang menunduk menatap remeh makanan yang terbuang di bawah kakinya.“Jangan mengotori rumahku dengan makanan sampah seperti itu.” Mata Narumi kembali menyorot Serina. “Dan jangan samakan aku dengan ibumu yang memberi
“Kita harus ke rumah sakit.”Serina tidak mengeluarkan setetes pun air mata. Ia melepaskan pelukan Tanjung dan dengan cepat menguasai ekspresinya kembali. Air mukanya menjadi dingin. “Tidak perlu. Ini luka yang kecil.”Tanjung kembali berlutut. Mendongak memandang Serina dengan tatapan yang lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini selama aku pergi bekerja. Tidak ada yang bisa dipercaya di rumah ini.”Serina menemukan binar khawatir di mata Tanjung. Perasaannya saja atau sebenarnya tembok pembatas di antara mereka semakin menipis? Untuk pertama kalinya ada seorang klien yang berlutut dan memandangnya lembut tanpa merendahkannya. “Aku bisa menjaga diriku sendiri, Tanjung.”Tanjung menggeleng. “Tidak setelah kejadian demi kejadian yang membuatmu dalam bahaya.”“Aku datang ke sini bukan untuk dijaga olehmu.”“Dan aku membawamu bukan untuk mengorbankan nyawa.”Perhatian, nada suara yang cemas, dan sentuhan yang lembut hampir-hampir merobohkan logika Serina. Lima tahun dia
“Permisi, Nyonya Muda. Ini saya, Risa.” Pintu terketuk dengan sopan. Serina yang sedang memangku laptop sambil bersandar di kepala ranjang menengok ke arah pintu. “Masuk.”“Nyonya butuh sesuatu? Mau saya bawakan minum?”Serina menatap Risa dari balik kacamata beningnya. Tidak seperti biasa, mata wanita cantik itu tidak terlihat santai. “Tidak perlu.”“Nyonya Muda belum memakan apa pun sejak tadi.” Meski ia mengucapkannya dengan tulus, tetap saja ada tugas berat di balik kedatangan Risa ke kamar ini. Serina yang duduk bersandar pada kepala ranjang di depan sana terasa mengintimidasi. Dia tidak tersenyum sama sekali. Ia berkonsentrasi penuh pada laptopnya. “Aku sedang diet, pergilah.”Pelayan bertubuh pendek dan sedikit berisi itu diam-diam menghela napas kecewa. Dia tidak punya kesempatan memberikan obat yang diberikan oleh Narumi kepada Serina. Meski terkesan ramah dan santai sejak awal, perempuan yang dibawa Tuan Tanjung ternyata sulit didekati. Di balik senyum manisnya, ada jar
Yang tertangkap saat Serina membuka mata adalah cahaya remang-remang. Lampu besar di tengah kamar mati dan yang menyala hanyalah lampu tidur di atas nakas. Suasananya tidak seterang saat ia dan Tanjung memasuki kamar. Wangi parfumnya dan parfum Tanjung menyatu dan menyebar di seluruh ruangan. Meski pendingin ruangan tetap menyala seperti tadi, tapi rasanya tidak dingin sama sekali, sebab ada tubuh yang merangkumnya dengan cara yang sangat hangat. Punggung telanjangnya menempel pada dada bidang yang terasa keras namun lembut. Serina menggerakkan kepala, menoleh dan menemukan Tanjung yang terpejam dengan damai. Tak ada kegelisahan di wajah maha tampan itu dan Serina menyukainya. Ia bahkan baru menyadari jika sejak tadi jari jemari mereka menyatu di depan dadanya. Serina tak ingin menanyakan apa yang terjadi pada perasaannya dan mengapa jantungnya berdebar halus namun penuh antusias. Untuk pertama kalinya ia tidak merasa jijik saat mendapati seorang lelaki telanjang di atas ranjangny
Tangan kokoh itu mendekap pinggangnya, terasa kuat namun seolah tengah mencari kekuatan. Serina terbawa suasana, pada embus napas Tanjung yang melemah, hangat tubuhnya, serta irama jantungnya yang berdetak cepat. “Aku akan menemanimu.” Serina mengucapkannya bukan karena merasa kasihan, sebab hatinya ingin memberitahukan pada lelaki ini, bahwa dia, “… akan berada di sisimu.”Tanjung tak menjawab. Hatinya merasa senang sekaligus pedih. Haruskah ia percaya pada Tuhan dan membiarkan wanita ini berada di sisinya? Sebab ia tak menemukan jaminan Serina akan selalu baik-baik saja dalam tampungan atap istana Maulana. “Sudah tengah malam. Bawa dia ke kamarmu, Serina.” Ucapan tegas itu memotong dari arah belakang. Sebelum Tanjung mengangkat wajah dan hendak menengok ke belakang, Serina mendekap kepala lelaki itu dan kembali menenggelamkannya di dadanya. “Tidak, dia harus pulang, Izora.” Meski suara berat itu samar, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga. Nada keberatan, lalu menghilang seol
Wanita itu masih ada di hadapannya. Kondisinya masih sama—menyedihkan, seperti mayat hidup yang enggan mati, tak jua bisa dikatakan hidup. “Dua puluh dua tahun aku mengurungmu di sini, itu belum cukup, Rahayu.”Rahayu yang tak lagi terlihat manis dan menawan itu menatapnya dengan bola mata yang melotot, mengerti perkataan Narumi, tapi tak punya susunan kata untuk membalasnya. Bibir pucat dan pecah-pecah itu berat untuk terbuka. “Dan selama itu pula, anakmu ada di tanganku. Kusiksa dan kumanfaatkan sesukaku.” Ucapan itu memantik keseluruhan diri Rahayu. Ia memberontak, hendak maju menerjang Narumi, tapi terhalang oleh rantai dan pasung. Rambut yang berantakan tak terurus, tubuh kurus kerempeng hingga tulang-tulangnya menyembul, pakaian yang seadanya dan sudah robek-robek serta warnanya tak lagi terlihat, luntur, dan kumal. Dia tak lagi bisa disebut manusia. “Ingat ini, Rahayu. Karena dosa-dosamu di masa lalu, anakmu jadi menderita.” Narumi ikut terbawa perkataannya sendiri. Piki
Meski sudah 22 tahun berlalu tanpa melihat sang ibu, Tanjung hafal betul wajah yang kerap kali tersenyum lembut padanya. Ia menanamnya di kepala selama ini selagi ia bertarung di rumah Maulana. Mungkin ibunya juga akan terlihat kurus dan tidak terawat, tapi jelas wanita ini bukanlah ibunya. Tinggi tubuhnya, sorot matanya, proporsi wajah, dan sentuhannya. Segalanya berbeda. “A-apa maksudmu?” Serina amat terkejut mendengar pengakuan Tanjung. Wanita itu bukan ibunya? Jelas-jelas perempuan itu adalah satu-satunya orang yang berada di tempat yang diam-diam selalu Narumi kunjungi.“Aku ibumu! Anakku!!” Wanita itu kembali mendekap Tanjung, tapi Tanjung mengurainya dengan kasar. “Anda bukan ibu saya!”Kekesalan di wajahnya benar-benar tercetak dengan jelas. Lebih daripada itu, ia amat kecewa. Harapannya melambung tinggi, tapi lagi-lagi ia terjatuh ke dasar jurang yang sangat dalam. Mungkin ini adalah pertama kalinya, Serina melihat wajah itu benar-benar mengerut penuh kekesalan. Bibirnya
Haruskah Serina mengakui jika dia juga menyukai cara lelaki ini menatapnya? Lembut, penuh penghormatan, dan rasa rindu yang dalam. Ia tak berani menyimpulkan terlalu jauh, sebab setiap lelaki yang mengaku tertarik padanya, tak pernah mencintainya. Mereka hanya terobsesi pada kecantikan seorang Serina, tapi lelaki ini berbeda. Matanya memandang dengan cara yang berbeda dari para lelaki bajingan itu. “Aku sudah banyak menyakitimu. Aku ingin melihatmu lagi, tapi tidak di rumah itu, tidak di tempat di mana Ibu akan mengancammu setiap hari.”Ah, dia sangat baik. Serina akhirnya bisa merasakan perasaan terenyuh. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menatapnya khawatir di atas ranjang. “Lalu, haruskah kita kabur saja? Tinggal berdua di rumah lain?”Ide yang diucapkan secara asal-asalan itu mampu membuat hati Tanjung berdenyut perih. Bisakah ia melakukannya? Ia menginginkannya, tapi tidak untuk sekarang ketika Narumi sanggup menemukannya ke mana pun dia pergi. Serina meletakkan tangan di
“Kalian sama. Dia perempuan yang merebut–”“Hentikan, Ibu.” Belum sempat jawaban yang ditunggu-tunggu semua orang itu terucap, Tanjung naik ke panggung diikuti oleh beberapa pengawal. “Bawa Ibu ke kamar 718. Biarkan dia istirahat.”Dua pengawal langsung memapah Narumi turun dari panggung. Orang-orang mungkin mengira wanita itu tengah mabuk, tapi hanya Tanjung yang tahu bahwa obat yang dia berikan pada minuman Narumi sudah bekerja. Sayangnya, rencananya gagal. Ia tak tahu apa yang direncanakan Serina malam ini, tapi kehadiran Serina membawa sesuatu yang beda. Ia menatap wanita itu, intens dan cukup lama. Diambilnya mikrofon dari tangan Serina lalu dia buka jasnya untuk disampirkan ke bahu Serina. Sesaat setelah napasnya terembus pendek, ia menyelipkan tangan ke bawah lutut dan punggung Serina. Wanita yang basah karena siraman wine itu dia bawa turun dari panggung. Serina mengerjap ketika tubuhnya terayun-ayun. Apa yang sedang dilakukan Tanjung di tengah orang-orang yang berbisik-b
Dalam sekejap, seisi ballroom dipenuhi rahang-rahang yang terbuka, mengagumi sosok indah di atas panggung yang bersinar dengan gaun pastelnya. Terbuka di sepanjang bahu dengan potongan lengan yang menjuntai ke bawah bagai sayap yang tertutup.Rambut kelamnya yang bagai malam pekat tercepol dengan anak-anak rambut yang terjatuh, menonjolkan kulit bahunya yang mulus bak porselen. Suaranya melantun indah menyebutkan nama Maulana.Tanjung terperangah. Bukan hanya pada kecantikan sempurna yang dipamerkan Serina di atas sana. Namun, pada kehadiran tiba-tiba wanita itu. Mengapa Serina kembali?“Saya istri dari Tanjung Maulana.”Semakin senyap dan kian tegang. Dari ekor matanya, Tanjung melirik ekspresi Narumi yang tak tertebak. Bibirnya tak mengetat seperti biasanya, seolah kedatangan Serina kembali bukan masalah besar baginya.Atau justru … Narumi memang menunggu kedatangan Serina.Tanjung meremang. Tidak. Ia harus memulangkan Serina lagi. Dia hendak bangkit dari duduknya ketika senyum mani
Ballroom hotel bernuansa emas dan gelap, khas Maulana. Aroma mawar yang sedikit menyengat mendominasi udara di dalam ruangan maha luas itu. Saat kepala mendongak, puncak langit-langit yang dikelilingi lampu-lampu mewah seolah seperti langit yang sesungguhnya. Amat tinggi dan menyilaukan. Setiap tahun Tanjung menyiapkan acara megah seperti ini. Tiap tahun pula ia mesti mengumpulkan semua kolega, karyawan, dan petinggi perusahaan dalam satu ruangan. Lalu yang duduk di takhta tertinggi dan menerima semua pujian adalah Narumi Maulana, putri tunggal Maulana yang berhasil mempertahankan bisnis Maulana dan membentuknya menjadi kerajaan makanan yang besar. Wanita hebat yang berhasil mendidik pewaris hebat sepertinya.Wanita bergaun maroon gelap itu berdiri di tengah orang-orang penting dan menjadi pusat perhatian. Orang-orang berebut ingin menjalin relasi dengannya. Para pegawai di perusahaan memanfaatkan acara ulang tahun perusahaan untuk mendapatkan perhatiannya. Tanjung menjauh dari ker
Helaan napas pelan itu berembus mendominasi dinding lift yang dingin. Tak sedikit pun Narumi melunturkan wajah angkuhnya meskipun hanya ada dirinya di dalam ruangan besi yang sempit ini. Seperti apa menantu yang dia inginkan? Pertanyaan itu sudah muak ia dengar. Telah berulang kali ia dapatkan dari berbagai macam orang. Narumi tak pernah menjawabnya. Meskipun yang bertanya adalah sosok presiden sekalipun.Karena ia tak butuh menantu. Dia tak menginginkan sosok menantu di rumahnya. Tak akan ia biarkan anak dari perempuan jalang itu menikah dan memiliki keluarga seperti ibunya. Narumi ingin melihat anak itu tumbuh menjadi sosok yang dia inginkan. Sosok yang dia manfaatkan habis-habisan dan sosok yang akan menjadi orang paling kesepian di dunia ini, bahkan lebih dari yang dia rasakan. Tanjung akan menjadi pionnya, aset, dan boneka yang akan dia gunakan sepuasnya. Karena anak itulah dia kehilangan cintanya, keluarga, dan seluruh hidupnya. Ia kembali mengingat saat dirinya jatuh cinta