Sudut pandang Nikita:Aku kembali menggeleng. Bagaimana mungkin aku bisa menerima usulan Markus begitu saja? Ini bukan hanya soal aku, melainkan anak-anak. Jika sudah menyangkut mereka, semua bisa menjadi rumit."Kak, anak-anak masih terlalu kecil. Mereka nggak akan paham soal merger lewat pernikahan atau apalah itu. Mereka baru saja kenal dengan ayah mereka. Rasanya ini bukan waktu yang tepat untuk aku mengajak laki-laki lain masuk ke hidup mereka. Ini cuma akan membuat mereka bingung," jawabku yang berharap Markus bisa melihat dari sudut pandangku."Nggak ada jaminan kalau ayah mereka itu akan selalu bersama mereka. Noah bisa pergi kapan saja. Dia punya tunangan. Anak-anak butuh sosok ayah yang akan selalu ada buat mereka. Mereka nggak butuh ayah yang bisa datang dan pergi seenaknya," potong Markus.Noah memang pernah mengatakan bahwa dia menginginkan anak. Namun, bagaimana jika dia dan Bella akhirnya membangun keluarga sendiri? Apa itu berarti dia akan meninggalkan anak-anakku?"Nik
Sudut pandang Nikita:Malam itu tidurku gelisah. Wawancara Bella terus terngiang di benakku, begitu pula dengan saran Markus. Namun, yang membuatku sulit memejamkan mata adalah bayangan wajah anak-anakku dan Noah yang datang silih berganti. Anak-anakku masih terlalu kecil untuk memahami betapa rumitnya kehidupan orang dewasa.Aku bangun pagi-pagi sekali dengan kepala yang sedikit pusing. Dengan hati-hati, aku turun dari tempat tidur agar tidak membangunkan anak-anak.Roni tidur tengkurap. Tangannya tersampir begitu saja di kepala Beni. Di sisi lain, Mori memelukku erat. Pelan-pelan, aku mengangkat tangan mungilnya dan meletakkannya di atas bantal yang kutinggalkan di tempat tadinya aku berbaring. Setelah itu, aku berjinjit ke kamar mandi.Setelah mandi dan berganti pakaian, aku bersiap untuk pergi ke kencan sarapan dengan Lukas yang sudah diatur Markus. Meski tidak setuju dengan ide itu, aku tidak bisa mengecewakan kakakku. Lagi pula, niat Markus baik. Dia hanya ingin menghilangkan tu
Sudut pandang Nikita:Aku sampai harus berkedip dua kali sebelum memahami maksud perkataannya. "Kamu memberiku pilihan?" tanyaku dengan ragu. Aku pikir, dia ingin kami langsung berpacaran dan aku tidak bisa menolaknya.Lukas tersenyum dan menyahut, "Iya. Hidup ini soal pilihan, 'kan?"Pernyataannya membuatku terdiam dan berpikir sejenak. Memang benar orang bebas memilih, tetapi sayangnya, pilihan kita sering kali berakhir kacau."Aku kira, kamu dan kakakku sudah sepakat kalau kita harus berpacaran," ujarku terkejut sambil sedikit menceritakan apa yang dikatakan Markus semalam."Pantas saja kamu kelihatan tegang," Lukas menepuk dahinya dan tertawa.Agak malu karena sudah salah paham, aku buru-buru menegakkan punggungku di kursi dan melipat tangan di atas meja seperti yang Lukas lakukan tadi. "Apa kamu nggak keberatan?" ujarku menyuarakan keraguanku.Lukas terlihat bingung, jadi aku terpaksa menjelaskan. Sebenarnya aku tidak suka terus mengulang-ulang, tetapi Lukas sudah bersikap terbuka
Sudut pandang Noah:Kulihat Bella mengentakkan kakinya saat dia berjalan menjauhiku dengan marah."Pak Noah, rapatnya segera dimulai." Chris, asistenku, memberitahuku.Aku mengangguk dan pergi ke ruang konferensi diikuti oleh Chris.Sambil melangkah ke kursiku, aku sudah meneriakkan perintah kepada orang-orangku."Terbitkan pernyataan di halaman perusahaan kita bahwa Bella Welas tidak lagi terikat kontrak dengan Perusahaan Adhitama."Tim humas tampak tidak yakin sampai aku harus memelototi mereka agar mereka mulai mengerjakannya."Kalian dengar, nggak?" kataku."Beri tahu semua orang bahwa Bella Welas tidak lagi terhubung dengan Perusahaan Adhitama, efektif segera!" teriakku kepada stafku yang tercengang. Aku menggelengkan kepala kepada mereka."Sekarang!" teriakku karena semua orang menatapku seolah-olah kepalaku ada dua atau semacamnya.Tampaknya teriakanku berhasil. Semua orang berlarian keluar kantor, meninggalkan Randy, Chris, Bonar, dan aku di ruang konferensi."Apa itu pengumuma
Sudut pandang Noah:Panggilan telepon itu membuatku tersadar.Insting pertamaku adalah menelepon Edi, kepala tim keamanan yang bertugas mengawasi keluargaku.Jika anak-anak itu bisa lolos dari pengawasan mereka, entah apa yang akan kulakukan kepada tim keamanan itu."Di mana anak-anakku?" bentakku ketika panggilan telepon tersambung.Pada saat yang sama, aku setengah berlari ke lift untuk menuju lobi."Pak, anak-anak itu menyelinap keluar dari rumah untuk mencari Bapak.""Lalu, apa kerja kalian?" teriakku, merasa sangat kesal mengetahui bahwa anak-anak itu berhasil menyelinap keluar dari rumah tanpa terdeteksi.Siapa yang tahu bahaya apa yang akan mereka hadapi di luar?"Pak. Mereka mencari Bapak." Kalimat itu membuatku diam."Salah satu anggota kami mendengar pembicaraan mereka. Dia bilang anak-anak itu takut Bapak akan meninggalkan mereka karena Bapak punya pacar dan ibu mereka berpacaran dengan pria lain."Ucapannya membuatku diam.Inilah akibatnya kalau Nikita dan aku tidak berhati
Sudut pandang Noah:Aku mengajak anak-anak ke restoran berputar. Itu adalah salah satu atraksi utama hotel ini.Mata anak-anak membesar saat mereka melihat dinding kaca dan pemandangan langit kota."Apa kita berada di pesawat besar, Ayah?" tanya Mori."Nggak, Bodoh. Kita berada di dalam hotel Ayah. Benar, 'kan, Ayah?" kata Roni menanggapi pertanyaan saudaranya."Jangan memaki, Roni," kataku kepadanya. Roni langsung menghadap saudaranya untuk meminta maaf.Aku tersenyum melihat mereka seperti ini.Pramusaji mendekati kami dan menyerahkan buku menu."Selamat pagi, Pak Noah dan Anak-anak.""Oh, aku Roni." Roni memperkenalkan dirinya."Dan aku Bin.""Maksudnya Beni." Roni mengoreksi saudaranya, lalu mereka saling menyenggol dengan bercanda."Aku Mori," sela anak bungsuku."Senang bertemu kalian, Roni, Beni, dan Mori. Namaku Linda," ucap pramusaji itu, Linda, dengan nada naik turun yang menurut mereka bertiga lucu."Halo, Kak Linda. Apa punya pacar?" Pertanyaan itu membuat si pramusaji tern
Sudut pandang Noah:Ekspresiku berubah masam saat melihat Nikita masuk ke restoran dengan Lukas Bardi mengekornya.Aku tahu tentang hubungan mereka, namun melihat mereka bersama sangat menyiksaku.Meskipun merasa putus asa, aku bangkit dari kursiku untuk menemui Nikita.Nikita seperti banteng yang menyerbu. Dia mengentakkan kakinya saat berjalan lurus ke arahku. Dia berhenti di depanku dan mendorongku minggir dengan kasar."Kamu nggak berhak mengambil anak-anakku tanpa izinku, Noah." Nikita menggertakkan giginya. Lubang hidungnya melebar dan matanya menyala-nyala saat dia menghadapiku.Lukas Bardi dengan cepat menahan Nikita. Cara Lukas menyentuh Nikita membuat monster hijau di dalam diriku meraung marah."Nikita. Ada anak-anak." Lukas mengingatkannya.Saat itulah Nikita tersadar. Dia menjauh dariku dan menarik anak-anak dari tempat duduk mereka.Perilaku agresifnya mengejutkan anak-anak. Mereka mulai menangis dan berusaha melepaskan diri dari Nikita.Nikita menoleh ke arahku dengan ma
Sudut pandang Nikita:Aku ingin menarik kembali kata-kata yang telah kulontarkan dengan marah saat melihat ekspresi Noah.Dia tampak bingung.Kemudian, dia menggelengkan kepalanya. Noah menatapku dengan mata sedih."Kalau memang aku nggak bisa menebus kesalahanku di matamu, setidaknya biarkan aku menjadi ayah yang dibutuhkan anak-anakku. Mereka tadi mencariku karena mereka pikir aku akan meninggalkan mereka. Mereka takut kalau ibu berpacaran dan ayah punya tunangan, mereka akan dibuang seperti sampah."Rasanya menyakitkan.Anak-anak mendatangi ayah mereka untuk mencari penghiburan, bukan mendatangiku.Mungkin aku perlu waktu untuk membiasakan diri.Selama bertahun-tahun, hanya ada aku dan anak-anak. Aku tidak melibatkan Noah karena kami bercerai dan dia tidak tahu tentang anak-anak itu.Dengan kehadiran Noah, dinamika keluarga kami berubah drastis."Anak-anakku akan selalu menjadi yang utama," ucapku dengan dingin.Kata-kata Noah membuatku gelisah dan keraguan di matanya mengurung piki
Sudut pandang Noah:Aku mengikuti langkah Nikita dengan mataku. Sambil memperhatikannya berjalan tergesa-gesa menaiki tangga, aku memutuskan bahwa kali ini, aku akan berusaha mati-matian hingga kami bisa bersatu lagi.Setelah beberapa menit, Nikita turun lagi. Dia menghindari tatapan mataku saat aku berusaha bertatapan dengannya."Kamu mau berangkat ke kantor?" tanyaku."Iya," jawabnya singkat seperti sengaja menghindar dariku. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya. Nikita pasti merasa canggung setelah kejadian di dapur tadi.Aku bangkit dari sofa, lalu mengambil kunci mobil dari saku depan celanaku."Ayo. Biar aku antar ke sana." Aku memberi isyarat padanya untuk mengikutiku, tetapi Nikita menghentikan langkahnya. Saat aku menoleh ke belakang, Nikita tampak canggung."Ayo. Aku antar ke Hotel Jati sebelum aku berangkat kerja," ujarku.Nikita berdeham. Namun, aku tidak menyangka akan mendengar jawaban seperti ini darinya."Lukas menungguku di luar," katanya.Langkah kakiku yang beriram
Sudut pandang Nikita:Saat memasuki dapur, aku mendengar salah satu kakakku sedang mendiskusikan sesuatu dengan Roni."Karena Ayah kami ada di sini. Aku takut Om Romi kesepian dan merasa cemburu, jadi aku carikan seorang gadis supaya Om Romi bisa menikah dan punya bayi," kata Roni. Ucapannya membuat mulutku ternganga karena terkejut.Romi tiba-tiba mengalihkan pandangan matanya. Dia tampak tercengang saat tatapan mata kami bertemu."Roni, kamu ngomong apa, sih?" tanyaku pada anakku. Nada suaraku terdengar kaget, sementara para lelaki di sekitarku tertawa, kecuali Romi sendiri."Menurut Ayah, Om Romi nggak butuh bantuanmu, Ron," kata Noah saat melihat Roni tampak kecewa karena ditertawakan yang lainnya."Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku penasaran. Noah tampak sangat bersemangat dan itu membuatku merasa ada yang aneh."Kemarin, kakakmu keluar dari hotel bareng seorang karyawan," ungkap Noah. Ucapannya itu membuat Romi malu. Tidak biasanya kakakku merasa malu saat ketahuan sedang bersam
Sudut pandang Romi:Aku meninggalkan Hilda setelah melihat ekspresi sakit hati di wajahnya. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku ini berengsek, tapi aku merasa puas karena hinaanku membuatnya tersinggung.Aku pun pergi ke kamar mandi dalam untuk mandi. Ketika aku keluar dengan hanya berbalut handuk di pinggangku, kulihat dia memalingkan wajahnya."Kamu sengaja mempermainkanku, ya?!" bentak Hilda.Aku mengernyitkan alis dan menyadari kalau gadis itu tidak mau melihat ke arahku. Aku pun tersenyum sinis saat melihat lehernya merona merah."Kenapa? Kamu nungguin aku telanjang bulat?" tanyaku seraya menarik handukku dan melemparkannya ke arah Hilda. Handuk itu jatuh mengenai dadanya."Romi!" serunya parau. Wajahnya menoleh padaku dengan marah. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar agar dia melihat bahwa aku tidak telanjang seperti dugaannya.Aku melihatnya menelan ludah ketika matanya beralih dari wajahku ke dadaku yang terbentuk sempurna, perutku yang berotot, dan kakiku yang kencang
Sudut pandang Romi:"Keluar!" perintahku saat Hilda tidak beranjak dari kursi penumpang.Aku tidak menunggunya dan beranjak dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuknya.Hilda bergerak perlahan.Saat dia keluar dari mobil, cahaya menyinari wajahnya. Saat itulah aku melihat wajah pucatnya yang tidak wajar.Dia terhuyung saat melangkah dan hampir terjungkal saat kehilangan keseimbangan.Aku menyusulnya tepat waktu. Tanganku segera mencengkeram bagian atas lengannya."Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengerutkan kening.Dia tidak menjawab dan bergeming di tempatnya."Aku merasa nggak enak badan," ucapnya akhirnya.Keraguan memenuhi hatiku. Kupikir itu taktik untuk mengalihkan perhatianku agar bisa melarikan diri. Aku tidak mengira kepala Hilda akan terkulai ke samping sebelum kemudian jatuh ke dadaku.Saat itulah aku menyadarinya. Kutempelkan punggung tanganku ke dahinya dan merasakan tingginya suhu tubuhnya. Hal ini langsung membuatku khawatir. Tanpa pikir panjang, aku membopo
Sudut pandang Hilda:Area lift itu kosong.Saat berbelok di tikungan, aku merapatkan tubuhku ke dinding dan mengintip ke luar, ke tempat terakhir kali aku melihat Romi Feri. Aku memastikan diriku benar-benar tidak terlihat dari luar.Selama pengintaian ini, jantungku terus berdebar kencang.Rasa bersalah menggerogotiku. Kecurigaan yang kulihat di mata Romi tadi membuatku gelisah.Aku menghela napas lega saat melihat tempat itu sudah kosong. Dia sudah pergi.Napasku mulai teratur dan dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku mengisi paru-paruku dengan udara.Lift berdenting, lalu pintunya terbuka untuk mengeluarkan penumpangnya.Saat lift sudah kosong, aku masuk. Setiap kali lift berhenti dan terbuka, jantungku mulai berdetak lebih kencang.Pemikiran gila memenuhi otakku. Romi Feri pasti tidak akan tinggal diam dengan temuannya itu. Dia akan mengikutiku untuk mengorek informasi sebanyak mungkin. Dia adalah saudara Nikita. Kecurigaannya terhadapku mungkin akan membuat Nikita turut menc
Sudut pandang Hilda:Aku baru saja hendak meninggalkan kafe. Tiba-tiba, seseorang menyambar lenganku.Gerakan itu terlalu tiba-tiba.Aku terkejut, tetapi saat aku mengenali pelakunya, mataku membelalak dengan ketakutan dan aku menahan teriakan yang hampir keluar dari mulutku.Ketakutan memenuhi sekujur tubuhku saat aku menatap mata coklatnya, warna yang sama seperti mata Nikita."Romi," ucapku terbata-bata.Mulutku mengucapkan namanya dengan gugup. Dia adalah kakak Nikita.Dalam sekejap, kepalaku bergerak mengarah ke kafe dengan gelisah."Aku senang kamu mengingatku," kata Romi sambil tersenyum seraya mengikuti arah pandang mataku.Aku mulai banjir keringat. Tangan-tanganku juga terasa dingin dan basah."Kita pernah ketemu sekali," jelasku dengan terbata-bata.Aku ingin sekali melarikan diri, tetapi cengkeraman Romi di lenganku menghalangiku untuk pergi.Aku menatap tangannya yang menggenggam lenganku. Mataku beralih ke wajahnya yang penuh amarah, dan aku menelan ludah dengan susah pay
Sudut pandang Bella:"Apa maumu?" Nada tajam Hilda membuatku terkejut."Lama nggak jumpa, adikku sayang. Apa kita nggak bisa setidaknya sopan satu sama lain? Kamu nggak bisa membenciku selamanya cuma karena Ibu lebih menyayangiku daripada kamu."Hilda memutar bola matanya."Kamu pikir aku masih marah soal itu? Dewasalah, Bella!"Aku tidak peduli saat dia memelototiku. Aku langsung ke inti pembicaraan."Aku nggak tahu di mana Matthew Millano, paman Noah. Kamu punya petunjuk soal keberadaannya?"Mata Hilda langsung menyipit."Sudah kubilang, aku nggak akan bekerja sama denganmu lagi. Terakhir kali kulakukan itu, aku membuat Nikita kecewa berat. Aku nggak bisa melakukannya lagi, mengkhianati sahabatku cuma karena kita saudari!"Aku tertawa, meskipun suaranya terasa hampa."Kamu yang bilang kalau kita saudari, ‘kan? Bukankah darah lebih kental daripada air? Kenapa kamu selalu membela dia? Apa kamu nggak lihat yang dia lakukan padaku?"Hilda tampak tidak peduli, malah seolah ingin membuat e
Sudut pandang Bella:"Nomor yang Anda hubungi berada di luar jangkauan. Silakan menghubungi kembali setelah beberapa saat." Aku sudah berkali-kali mendengar rekaman suara ini sejak minggu lalu dan suara itu membuatku gila.Aku mencoba menghubungi nomor itu lagi tetapi hasilnya sama saja."Sial!" Aku menengadah ke langit dengan putus asa."Bella, jangan mondar-mandir. Kamu butuh istirahat. Kamu belum tidur sejak tadi malam," kata manajer sekaligus temanku."Gimana aku bisa tidur kalau Noah ninggalin aku begitu saja? Dia mutusin semua hubungan denganku." Aku menjerit frustrasi dan marah.Manajerku terkejut melihat sikap kasar yang kutunjukkan. Ini pertama kalinya dia melihatku seperti ini. Biasanya aku selalu tenang dan terkendali."Ya ampun. Noah memang putus sama kamu, tapi ini bukan berarti kiamat, 'kan?"Aku mengepalkan tangan dan merapatkan gigiku saat mengingat ancaman Noah, yaitu surat perintah penahanan sementara. Yang lebih buruk lagi, dia mengumumkan putus hubungan denganku di
Sudut pandang Nikita:Awalnya, Noah tampak tidak memahami ucapanku."Heidi. Dia mantan pacarmu. Kamu pernah berpacaran dengannya sebelum aku muncul," kataku, mencoba menyegarkan ingatannya.Kerutan di wajah Noah menghilang dan dia mengangkat bahu seolah-olah masalah itu tidak mengganggunya."Kenapa nggak? Dia punya kemampuan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali. Aku yakin Heidi sudah melupakannya, sama sepertiku."Noah jelas tidak tahu apa yang kumaksud. Jadi, siapa yang bodoh sekarang?Aku mengangguk mengejek."Ya, dan kujamin dia belum melupakanmu. Dia adalah gunung berapi yang menunggu untuk meletus. Apa kamu nggak melihat caranya memandangmu? Gadis itu masih merindukanmu!" teriakku frustrasi."Memangnya kenapa? Aku nggak peduli kepadanya.""Noah!" tegasku memperingatkannya.Noah menyisir rambutnya ke belakang."Kamu mau aku bagaimana? Memecatnya?" balasnya.Apakah aku hanya membesar-besarkan masalah kecil?Aku berbalik untuk pergi saat dia mulai menjelaskan."Kayak aku peduli