Dering ponsel berbunyi. Hanum yang saat ini sedang menangis sambil duduk di depan televisi pun menurunkan kakinya dari sofa, mengambil handphone di atas meja, lalu membaca isi pesan dari Gina.Gina: Lagi apa, Num?Selesai membaca, ia pun mengetik balasan.Hanum: Lagi santai aja.Gina: Sama laki lu?Hanum: Iya, dia ada di samping gue.Tidak lama setelah itu bel pintu berbunyi. Hanum meletakkan handphonenya di tempat semula, lalu mengusap air mata sambil berjalan menuju pintu.Sebelum membuka pintu, Hanum coba menetralkan perasaannya yang sedang kacau dengan menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih tenang, pintu pun dibuka dan langsung terkejut saat melihat siapa yang datang."Gina?""Iya gue. Boleh gue masuk?""Masuk?" Ada keraguan dalam hati Hanum, pasalnya kurang dari lima menit yang lalu dia berkata kalau saat ini dirinya sedang bersama Dava. Namun, pada kenyataannya Dava tidak ada di sana, melainkan sedang bersama Nara."Nggak boleh, ya?" t
"Nara aku ...." Dava menurunkan tangannya, dia tidak sanggup untuk meneruskan ucapannya."Kenapa? Kamu masih mau menundanya, Mas?" tanya Nara."Ng–nggak," jawabnya terbata."Aku tau kenapa kamu bikin teh manis di sini, aku tau kenapa kamu ngajak aku nonton dulu, aku tau kamu sedang berusaha. Yah, walupun kesannya kamu seperti menghindar. Atau memang sedang menghindar?""Aku butuh suasana yang berbeda, aku butuh atmosfer yang mendukung, aku butuh beberapa proses.""Nggak usah terburu-buru. Kita akan melakukannya melalui beberapa proses.""Maksud kamu?" Mendadak Dava seperti orang bego.Nara melangkah maju satu langkah, mendongakkan kepalanya seraya mengecup singkat bibir Dava, lalu ia meraih tahan sang suami, meletakkan tangan kekar itu di atas gundukan sintal milik Nara yang memang memiliki ukuran yang lebih besar.Jantung Dava mulai berdetak kencang, tetapi detik itu juga matanya berkaca-kaca. Wajah Nara tiba-tiba berubah menjadi Hanum yang sedang menangis. Dia memejamkan mata, dalam
Hanum melepaskan diri dari pelukan Dava, lalu memutar posisinya hingga mereka berdiri saling berhadapan. "Kenapa kamu nangis, Mas?""Aku menangis diri aku yang begitu jahatnya terhadap kamu, aku menangisi sikap ibu aku terhadap kamu. Kenapa ibu begitu tidak menyukai kamu cuma karna kamu belum hamil? padahal di luar sana banyak menantu kurang ajar, tetapi mereka tetap disayang oleh mertuanya. Kenapa harus menitikpusatkan kebahagiaan itu hanya kepada anak hasil pernikahan aja? Padahal sumber kebahagiaan itu adalah saling mencintai, ikhlas, dan sabar.""Udahlah, aku juga bisa apa? Kita sudah berada di titik ini, kita jalani dulu aja sampai akhir. Kita lihat, apakah semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan? Atau mungkin lebih sulit dari sebelumnya. Semua nggak ada yang tau.""Aku cuma takut kehilangan kamu, Num. Aku merasa begitu jahat sama kamu.""Memang kamu jahat, sangat jahat. Kamu membuat aku jatuh cinta kepadamu, kamu menyakiti perasaan aku, kamu menolak menceraikan aku, memak
Tiba di rumah. Dava menghentikan laju mobilnya di teras depan, dia keluar dari mobil lebih dulu, lalu berjalan ke belakang mobil, mengeluarkan koper dari bagasi."Habis ini kamu harus istirahat, ya." Dava bicara seraya menutup kembali pintu bagasi, lalu menyerahkan kunci mobil kepada security untuk memarkirkan mobilnya di garasi."Iya, akhir-akhir ini aku capek. Mungkin karna terlalu sibuk menyembuhkan luka," terdapat nada sindiran dari kalimat yang diucapkan.Dava diam sebentar, lalu mengikuti langkah kaki Hanum dari belakang, berjalan masuk ke dalam rumah. Saat akan naik ke lantai atas, Hanum langsung menghentikan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Dava."Nara nggak pernah tidur di kamar aku, kan?" Balik bertanya. Pandangannya terus menatap ke atas. Di dalam kepalanya saat ini hanya ada bayangan Nara dan Nara. Sahabat baiknya saat masih kuliah, berubah seratus delapan puluh derajat setelah Hanum menikah dengan Dava, pria yang digadang-gadang disukai oleh Nara jauh sebelum bertemu deng
Hanum melihat isi pesan yang dikirim oleh Nani kepada Dava. Dia menutup laptopnya, berdiri, lalu pergi. Dava tau istrinya saat ini sedang kesal karena pesan yang dikirim sang ibu. Tanpa membalas pesan, Dava memasukkan handphonenya ke dalam saku celana, lalu mengejar Hanum."Tunggu, Num."Hanum terus berjalan seolah tidak mendengar. Dia kesal sang mertua masih saja ikut campur permasalahan di keluarganya. Sudah membuat putranya menikah lagi secara paksa, sekarang masalah waktu saja masih ikut campur. Menerima dipoligami saja sudah sulit, ditambah menerima sikap Nani.Jangan berharap bisa hidup dengan tenang selama hidup berumah tangga masih diganggu oleh salah satu keluarga. Terutama orang tua yang selalu ikut campur, yang tadinya bukan masalah saja bisa menjadi masalah, masalah kecil saja bisa menjadi besar, apa lagi masalah besar? Celakalah."Tunggu sebentar, Sayang." Terus mengikuti langkah kaki sang istri dari belakang. Menaiki anak tangga menuju lantai dua."Kamu balesin dulu aja
Sudah terlanjur berada di situasi tidak enak, sudah terlanjur tertakdir menjadi seorang istri yang dituntut patuh kepada suami, sepanjang suami tidak meminta ia mendustakan agamanya, sepanjang suami tidak melakukan penistaan terhadap agamanya. Dava tidak melakukan itu dan walaupun dia sudah melakukan kesalahan dengan menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya, Dava memiliki alasan kuat."Jangan biarkan Nara mengambil kesempatan dalam kesempitan, Num. Kenyataannya kalian bertiga sudah berada dalam lingkaran yang sama, jangan sampai lu kalah karena mengikuti hawa nafsu."Kalimat yang Gina utarakan melalui pesan terakhir, sehingga Hanum bersedia memakai baju tidur super seksi pemberian dari Gina."Apakah aku terlihat aneh?" tanya Hanum masih berdiri di ujung pintu akses menuju balkon yang sudah dalam posisi terbuka."Nggak. Kamu cantik, kok.""Aku terpaksa pakai baju ini loh, Mas. Bukan karena kamu, cuma menghargai pemberian Gina aja. Nggak enak kan kalau aku nggak mau pakai. Sekali lagi i
Kejadian semalam sungguh luar biasa. Dava merasa dirinya harus berterima kasih kepada Gina, karena semua terjadi berkat dirinya yang menghadiahi Hanum baju tidur seksi, juga ramuan cinta yang membuat Hanum memintanya melakukan lagi dan lagi bahkan Dava sendiri merasa aneh dan tentunya ia merasa sangat puas."Siang, Pak." Nara mengetuk pintu untuk yang kesekian kalinya karena tidak mendapat jawaban. Suami sekaligus atasannya itu saat ini sedang senyam-senyum sendiri seperti orang kasmaran."Mas Dava!" Kali ini ia memanggil seraya menutup kembali pintu ruangan, lalu berjalan menuju meja kerja Dava dengan anggun."Ra? Kenapa?" Dava membetulkan posisi duduknya menjadi tegak. Bolpoin yang sempat ia jatuhkan di atas meja, diambilnya lagi."Pagi-pagi bengong. Kenapa sih?" Nara berdiri di depan meja kerja Dava sambil menenteng buku agenda."Nggak kok, siap yang bengong," jawab Dava masih menyunggingkan senyum dari sudut bibirnya.Nara diam, menatap wajah Dava dengan tatapan menyelidiki. Sebet
Nara: Pesta? Pesta apa, Bu?Dava yang saat ini sedang minum pun melihat ke arah Nara, dalam hati ia berkata, "Ah, Ibu. Pasti ibu ngajak Nara juga deh." Selesai minum, ia meletakkan gelasnya di atas meja.Nara: Ikut?Dia mengulang ajakan Nani.Nani: Iya ikut.Nara: Mas Dava nggak ngajakin.Nara terus melihat ke arah Dava yang saat ini sedang mengambil satu jenis menu makanan, lalu dituangkan ke atas piringnnya.Nani: Kan ada ibu yang ajak.Nara: Nggak deh, Bu. Takut Mas Dava keberatan, kan nanti ada Hanum juga.Nani: Nggak, Dava nggak akan keberatan. Coba deh sekarang kamu tanya, boleh nggak kamu ikut ke pasar sama ibu?Mendapatkan perintah dari sang mertua, Nara pun menyampaikan pertanyaan seperti yang diperintahkan. "Mas Dava, ibu bilang malam ini ada pesta.""Iya, kenapa emangnya?" Dava merespon tanpa melihat ke arah Nara, tangannya sibuk mengaduk-aduk makanan di atas piring."Ibu ngajak aku ke pesta, boleh aku ikut?""Aku datang sama Hanum, kamu tau apa resikonya?""Ya udah kalau a
"Kamu hamil, Num?" ucap Nani masih menatap tidak percaya. Masih menggendong Abiyu, Nani mengambil tespek dari tangan Hanum dan matanya langsung berkaca-kaca. "Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya Allah mengabulkan doa kamu, Num.""Berkat doa ibu juga, Bu," sambung Hanum."Doa kita semua."Hanum mengangguk, lalu merangkul sang ibu mertua dari samping. "Lengkap sudah kebahagiaan aku sama Mas Dava, Bu.""Iya, Num." Selepas bicara dengan Hanum, Nani bicara kepada cucunya. "Abiyu mau jadi kakak. Ye, ye. Punya temen main."Dia yang belum mengerti apa-apa pun merengek sambil berontak minta diturunkan, karena mau bermain lagi dengan mainannya yang banyak berserakan di atas rumput.Nani menurunkan cucunya turun dari pangkuan, membiarkan cucunya bermain di bawah, sementara dia bicara dengan Hanum."Udah satu Minggu kita belum ketemu sama Nara. Kamu mau nggak ajak Abiyu ke sana?" ajak Nani.Tanpa ragu Hanum menjawab, "Boleh. Kapan?""Sekarang, yuk. Dava udah berangkat, kan?""Udah, Bu.""Ya udah ayo
Fitri berhasil diamankan, karena dianggap biang kerok dari keributan. Setelah Fitri dibawa pergi, Hanum meneteskan air mata sambil menatap wajah Nani seraya memanggilnya dengan suara lirih. "Ibu."Nani menatap lekat-lekat wajah Hanum, lalu mengusap air matanya. "Kenapa nangis?""Ibu membela aku.""Maafkan ibu, Num. Selama ini ibu udah salah menilai kamu. Sungguh maafkan ibu, Num."Hanum menggelengkan kepalanya. "Nggak, Bu. Ibu nggak salah, aku sebagai anak yang seharusnya mengerti Ibu. Hanum juga minta maaf sempat menentang Ibu, menyakiti perasaan Ibu.""Kamu nggak pernah melakukan itu, Hanum. Ibulah yang udah melakukan itu semua, Ibu sampai malu mau minta maaf sama kamu, hingga akhirnya bapak berhasil meyakinkan ibu untuk tidak perlu takut jika ingin memperbaiki diri dan ibu baru punya keberanian untuk membela kamu," jelas Nani dan penjelasan itu membuat Hanum semakin terharu, tangisnya semakin menjadi."Ibu ...." Suara Hanum bergetar, lalu Nani memeluk Hanum dengan erat. Mulai hari
Di rumah, Hanum menunggu dengan gelisah. Saat ini dia sedang duduk di sofa ruang keluarga, sambil memegang handphone di tangannya, menunggu kabar baik dari Dava."Non, minum teh hangat dulu biar lebih tenang." Marni menyerahkan secangkir teh manis hangat kepada Hanum."Terima kasih ya, Bi. Maaf kalau aku sering merepotkan Bibi." Hanum bicara sambil menerima secangkir teh manis buatan Marni."Sama-sama, Non. Bibi ke belakang dulu.""Iya, Bi." Kembali dia menikmati secangkir teh manis di tangannya, dan ia merasa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.Masih memegang gagang cangkir, handphone yang tadi disimpan di atas sofa saat ini berdering. Hanum mengambil kembali handphonenya, melihat nama ibu mertua pada layar ponselnya, lalu ia pun menjawab panggilan itu walau sedikit ragu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam," balas Nani. Tanpa basa-basi dia langsung bertanya mengajukan pertanyaan. "Memangnya tadi Nara ada ke situ?""Iya, Bu. Ada. Nara ke sini cuma mau ambil Abiyu.""Pantesan tad
"Nara?" Hanum mendorong stroller menuju ruang keluarga, terlihat Nara sedang berjalan cepat menghampirinya dengan memasang wajah marah."Dasar perempuan tidak punya hati, perempuan egois.""Berhenti, Nara!" Teriak Hanum meminta Nara untuk tidak menghampirinya.Dia yang saat ini hati dan pikirannya sedang diselimuti rasa amarah, tidak mau mendengar ucapan Hanum dan tetap berjalan cepat menghampirinya."Kembalikan putraku!"Hanum langsung menggendong Abiyu dari stroller, memeluknya seraya memberikan perlindungan. "Nggak! Aku nggak mau.""Kembalikan!" Nara merebut Abiyu secara paksa dari dekapan Hanum, hingga akhirnya dia berhasil memindahtangankan Abiyu dari tangan Hanum."Apa yang kamu lakuin? Jangan ambil anak aku!""Anak kamu? Ini anak aku!" Suara Nara membentak."Mas Dava ayahnya dan aku adalah istrinya!" Suara Hanum tak kalah membentak."Kamu sadar kalau Abiyu Itu anak aku bersama mas Dava, kenapa kamu merusak kebahagiaan kami? Kenapa kamu tega memisahkan kamu?""Aku nggak misahin
Setelah Dava pergi, Hanum meminta maaf kepada semua orang, terutama kepada Nara. "Maafkan aku, Ra. Aku udah berusaha supaya kamu tetap menjadi istri mas Dava, tapi ternyata mas Dava tetap pada keputusannya.Tidak terima akan kekalahan yang ia dapatkan, Nara melepaskan diri dari pelukan Fitri, lalu berjalan menghampiri Hanum, mengangkat tangannya hendak menampar. Beruntung Dava kembali masuk ke dalam berhasil menahan tangan Nara yang sudah melayang di udara."Mas Dava?" Nara terkejut."Berani kamu menyentuh istri aku, akan aku pastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Abiyu lagi. Paham?" Secara kasar Dava mengibaskan tangan Nara, lalu Dava meraih tangan Hanum. "Ayo kita pergi, Num."Tidak ada lagi yang bisa merubah keputusan Dava. Baik itu Heru, Fitri, sekalipun Nani. Semua diam ketika Dava mengambil sikap tegas. Akhirnya Dava, Hanum, Abiyu, juga Fitri meninggalkan kediaman Nara tanpa embel-embel apa pun, mereka pergi tanpa menoleh lagi ke belakang."Ayo, Num. Kita harus cari mini
Hanum terkejut atas apa yang sudah Dava ucapkan, pasalnya dia sendiri saja tidak tahu akan tujuan Dava mengumpulkan semua orang. Dava tidak pernah mendiskusikan masalah ini dengan dirinya.Nara yang tidak setuju terus menolak, Dava mengeluarkan semua berkas perjanjian yang pernah mereka tanda tangani lalu menyimpannya di atas meja."Kamu sudah menandatangani semuanya, Ra. Aku harap kamu bisa kooperatif."Nara mengambil surat tersebut bukan untuk membacanya, tetapi untuk merobeknya dan beberapa kertas itu ia robek di hadapan semua orang, robekan kertas itu dia lempar ke sembarang arah."Aku nggak peduli! Pokoknya aku nggak mau kita bercerai!""Aku nggak cinta sama kamu, Ra," tegas Dava."Pikirkan bagaimana nasib putra kita, Mas. Abiyu masih membutuhkan aku, Abiyu masih minum ASI.""Itu bukan masalah serius, aku bisa kasih dia susu formula.""Aku nggak setuju. Kamu mau anak kita sakit?""Susu formula itu kurang bagus, Dava. Ada ASI, buat apa susu formula?" Nani ikut membela menantu kesa
Selama lebih dari dua jam Dava mengadakan pertemuan dengan guru ngaji Haris di salah satu mesjid kota Jakarta. Dia mengutarakan semua isi hatinya, keluh kesahnya selama ini, selama menikahi Nara secara diam-diam. Dava menceritakan semuanya dari A-Z, tidak ada yang dikurangi apa lagi dilebih-lebihkan.Guru ngaji Haris memberikan beberapa nasihat, mengutarakan pendapat, juga menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan. Bukan tanpa ilmu, semua yang beliau sampaikan tidak melenceng dari syari'at agama islam, tidak melenceng dari peraturan-peraturannya sehingga Dava sudah tau keputusan apa yang harus ia ambil.Setelah mendapatkan jawaban atas kegusarannya selama ini, malam harinya Dava pun memutuskan untuk pulang ke rumah Nara tentunya."Assalamualaikum," ucap salam Dava seraya membuka pintu utama.Tidak ada siapa pun, tetapi televisi dalam keadaan menyala. Dava berjalan menuju meja, mengambil remote control, lalu televisi pun dimatikan. Dia berpikir kalau saat ini Nara bersama putranya
Sejak Dava memimpikan Nara, sejak saat itu juga hatinya merasa gusar. Tidak berhenti ia memikirkan makna dari mimpi itu apa, hingga akhirnya ia pun menghubungi sang sahabat bernama Haris untuk mengutarakan kegusarannya, bertukar pikiran dengan harapan mendapatkan jalan keluar terbaik."Di mana?" tanya Dava dalam sebuah pesan.Tidak lama ia pun langsung mendapatkan balasan. "Di kantor. Kenapa?""Bisa ketemu sekarang?""Di mana?""Kafe depan kantor lu aja.""Oke, lu bisa datang ke sini satu jam lagi. Gue lagi nanggung kerjaan nih.""Oke, kalau udah nyampe gue kabarin lagi.""Sip."Setelah berbalas pesan dengan sang sahabat, Dava menyeruput kopinya, lalu mengetik pesan untuk dikirim kepada Hanum."Assalamualaikum, Num.""Waalaulaikumsalam. Ada apa, Mas?""Kamu lagi apa?""Lagi di butik. Kenapa, Mas? Mas Dava mau pulang sekarang?""Nggak. Aku mau izin pulang ke rumah Nara, boleh?"Lama tidak mendapatkan balasan, Dava meletakkan handphonenya di atas meja. Sambil menunggu, dia menyandarkan
Nara: Oh, jadi lu yang nyuruh Mas Dava bawa Abiyu ke sana? Gila ya emang lu, anak gue belum juga satu bulan udah lu bawa-bawa ke sana. Mau lu apa sih?Balasan dari Nara yang Hanum terima.Tidak ingin ketahuan kalau saat ini dia sedang berbalas pesan dengan Nara, Hanum pun pergi ke kamar mandi dengan dalih ingin buang air kecil. Dia pergi meninggalkan Dava yang sedang asik ngobrol bersama Abiyu di sofa ruang keluarga.Hanum: Apaan sih lu? Marah-marah nggak jelas. Masih untung gue kasih tau mas Dava ada di sini.Balasan yang Hanum kirim kepada Nara. Sabil berdiri di depan cermin kamar mandi, Nara: Suruh mas Dava pulang! Hanum: Gue udah nyuruh dia pulang dari kemaren, tapi mas Dava nggak mau.Nara: Bohong! Pasti lu yang ngelarang mas Dava pulang.Hanum: Terserah lu mau percaya atau nggak deh.Nara: Gue ke rumah lu sekarang.Hanum: Silakan.Selesai berbalas pesan dengan Nara, Hanum berdiri sebentar di depan wastafel sambil mencuci tangan. Selesai mencuci tangan, barulah ia keluar dari k