Pov Nauval IISetelah tak mendapati Zia di kamar dan setiap sudut ruangan di rumah, tanpa menunggu lama lagi aku lantas keluar dan menuju halaman belakang. Di sana merupakan tempat favorit Zia sedari pertama kali kami pindah ke rumah ini. Di sana lah Zia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengurus beberapa tanaman bunga kesukaannya. Ya, istriku itu memang sangat menyukai bunga bahkan sebelum kami menikah.Dan benar saja, perkiraanku memang tak meleset, ia tengah menyiangi rumput yang meninggi di antara bunga-bunga miliknya. Peluh menetes deras di dahinya. Namun meski begitu, hal itu tak membuatnya terlihat buruk, justru membuatnya semakin mempesona. Wajah ayu Zia masih terlihat meski ia sedang dalam keadaan seperti itu. Andai aku tak gelap mata, Smsebenarnya istriku sudah lebih dari cukup untuk memuaskan mata dan hatiku. Dia memiliki wajah yang cantik, tubuh yang putih dan sangat pandai merawatku. Namun, pesona Kirani juga sangat memabukkanku. Dia sangat pandai membuaiku dalam segala
Kuhempaskan tubuhku keatas ranjang kamar setelah mengusir gundik tak tahu diri itu. Biar saja, aku memang sengaja meluapkan emosi yang sudah tak bisa kubendung lagi. Entah setelah itu Mas Naufal mengantarnya entah kemana, aku sungguh tak peduli lagi. Yang kurasakan kini hanyalah sebuah rasa puas karena telah memberi pelajaran kepada wanita seperti dia.Wanita seperti Kirani harus paham jika aku bukan seorang istri yang mudah terkalahkan oleh seorang gundik sepertinya. Enak saja, dia mau langsung masuk ke dalam kehidupan suamiku sedangkan saat susah saja bersamaku.Dua jam berlalu dan kudengar suara deru mobil Mas Naufal memasuki pekarangan rumah. Aku lantas menarik selimut dan pura-pura tidur. Pikiranku menerawang jauh setelah sebelumnya aku berhasil menemukan kediaman Kirani dan mengatakan kebenarannya pada kedua orang tuanya."Maaf, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sepertinya adalah ayah Kirani.Aku tersenyum manis pada mereka, lalu mengeluarkan
Belum sempat aku sampai di rumah, aku memutuskan untuk singgah sebentar di sebuah swalayan untuk membeli beberapa perlengkapan yang telah habis. Baru setelah itu aku pulang ke rumah tapi tak menemukan keberadaan Mas Naufal dan Kirani. Dadaku bergemuruh, mungkinkah mereka tengah liburan? Mengingat bahwa hari ini adalah akhir pekan, mungkin bisa saja mereka sedang liburan.Aku memutuskan untuk mengurus tanaman hiasku yang sempat terabaikan karena masalahku dan Mas Naufal. Menyiangi rumputnya dan mengganti beberapa pot yang telah rusak. Hingga sampai akhirnya Mas Naufal pulang dan mencariku.Awalnya aku tak mengira jika dia mencariku hanya untuk membicarakan tentang kedua orang tua Kirani. Sepertinya beberapa saat yang lalu mereka pergi ke rumah Kirani dan mendapat wejangan dari kedua orang tuanya. Syukurlah, ternyata pengorbananku untuk jauh-jauh mendatangi kediaman Kirani berbuah hasil juga. Dan semoga saja usahaku untuk memisahkan mereka berhasil.Aku benar-benar tak akan rela jika Ma
"Hamil? Kamu hamil anak siapa? Anak kodok? Bahkan Mas Naufal belum menyentuhmu barang sesenti pun. Iya kan?" ucapku telak. Membuat wajahnya pias. Dia fikir aku bisa di kelabuhi, tapi dia lupa jika aku lebih ulung darinya.Kirani mendelik kearahku, lalu membusungkan dada seakan menantangku. Sudah jelas dia bersalah, tapi justru menantang seperti itu. Menjengkelkan sekali."Siapa bilang? Dia sudah menyentuhku, dan kini aku tengah hamil anaknya," ucapnya tak mau kalah, tapi hal itu justru membuatku tertawa."Oh, ya? Baiklah, kita tunggu saja kapan anak kodokmu itu akan lahir," jawabku sembari menyeringai. Dengan keras kepalanya dia mengatakan demikian, dia seakan ingin menguasai Mas Naufal seutuhnya.Tanpa tahu malu dia menerobos masuk dan langsung menyambar makanan yang tersedia di meja makan. Mas Naufal pun juga hanya diam membisu mendengar pertengkaran kami. Sungguh pria seperti itu tidak pantas untuk menjadi suami dari dua istri."Mas, uangku habis. Nanti transfer, ya?" ungkap Kirani
Tak kudapatkan lagi balasan darinya setelah itu, mungkin dia takut untuk bermain-main lagi denganku karena jika sampai aku tak memberinya uang maka ia tak akan bisa menghidupi gundiknya itu. Biarkan saja, setidaknya sekarang dia tahu jika aku ini tak sebodoh yang ia kira.Tak berselang lama sebuah pesan singkat masuk kembali ke dalam ponselku. Namun disana tertera nomor baru yang masih asing untukku.Gegas aku membukanya dan membaca pesan yang baru saja masuk itu.[Jangan karena kamu menguasai semua pendapatan Mas Naufal, lantas kamu bisa memisahkannya dariku. Apapun yang terjadi dia juga sah sebagai suamiku]Aku memutar bola mata malas. Tanpa tertera nama pun bisa kupastikan bahwa itu adalah nomor gundik tak tahu diri itu.Kita lihat saja wahai gundik. Siapa yang akan menang pada akhirnya. Mungkin sekarang kamu bisa tertawa atas kemenangan hati suamiku, tapi besok aku lah yang akan berganti menertawakanmu atas kecerobohanmu yang sudah berani mengusik hidupku.Bukan karena aku terlalu
Kulihat ia berbincang dengan Sintia dan Kirani, lalu melangkah menuju mobil dan meninggalkan tempat itu.Senyum licik mengembang di bibir, kemudian aku menginjak pedal gas dan mengikutinya hingga sampai rumah. Sengaja aku memilih jalan pintas, agar sampai lebih dulu darinya.Tepat lima menit setelah kedatanganku, kudengar deru suara mobil Mas Naufal memasuki pekarangan rumah kami. Aku yang semula masih ada di dapur mengambil air mineral, lantas keluar menuju ruang tamu untuk berbicara dengannya."Dek," sapanya ketika masuk ke dalam rumah dan mendapatiku yang tengah mengunyah wafer cokelat di atas sofa ruang tamu."Hmmm ... Dari mana?""A-aku ... Aku habis bertemu Sintia," jawabnya gugup."Ada hubungan apa kamu sama Sintia? Berselingkuh lagi? Belum cukup punya dua istri?" cecarku yang berhasil membuatnya menghembuskan nafas kasar."Kenapa, sih. Kamu selalu berfikiran buruk tentangku? Bisa tidak dengar dulu penjelasanku?"Aku mencebik, lalu memasukkan wafer terakhir ke dalam mulutku."K
Ia menatapku tajam dari cermin meja riasku yang berada tepat di depannya. Aku tersenyum genit kearahnya untuk menambah kegundahan hatinya."Mas ... Kamu sedang apa? Jawab? Kamu tidak sedang main-main sama Mbak Zia kan?" Kudengar samar gundik suamiku itu semakin meradang."Mas ... Kamu wangi banget, deh." Kuusap pipinya lembut dan mendekatkan bibirku kearah ponselnya, agar Kirani semakin jelas mendengar perkataanku."Mas! Aku marah denganmu!" teriaknya kasar dari seberang sana lalu mematikan ponselnya secara tiba-tiba. Membuatku tertawa terbahak-bahak hingga membuat wajah Mas Naufal kebingungan.Kurebahkan tubuhku diatas ranjang dengan tertawa terbahak-bahak, sedangkan Mas Naufal bingung melihat aksiku. Sungguh kasihan kamu, Kirani. Sepertinya di sana kamu sedang kepanasan karena ucapanku.Tapi tiba-tiba Mas Naufal meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu memandangku dengan penuh hasrat. Seketika itu juga tawaku terhenti dan beringsut mundur darinya. Sepertinya aksiku bak senjata makan
Sudah lebih dari satu bulan aku berusaha berdamai dengan hatiku. Berusaha menerima kenyataan meski sulit, menelan pil pahit yang telah ada di dalam rongga tenggorokan. Mau tak mau aku harus menelannya meski menyakitkan. Tapi inilah hidup, harus tetap berjalan meski di terpa kerikil-kerikil kecil maupun bongkahan batu besar seperti yang tengah aku alami kini.Selama satu bulan ini juga aku mendiami sebuah kos-kosan kecil yang kusewa karena aku pergi dari rumah meninggalkan Mas Naufal. Ya, sudah satu bulan. Itu artinya bukan waktu yang sebentar untukku. Berada jauh darinya membuatku seperti tak bernyawa, tapi setidaknya aku ingin memberikan sedikit pelajaran berharga untuknya.Hari ini aku pulang kerja lebih awal, aku sengaja singgah di sebuah cafe untuk sekedar minum kopi setelah penat dengan pekerjaanku siang ini. Kupesan satu gelas cappucino hangat dan duduk termenung di pojok cafe yang menghadap langsung ke arah taman kota. Sungguh pemandangan yang indah ketika ada dia sejoli yang t
Kuatur nafasku berulang kali, ketika aku telah sampai di pelataran kantor pengadilan agama. Sudah kuputuskan sejak pertengkaran hebatku dengan Mas Naufal beberapa waktu yang lalu, kalau aku akan mengajukan perceraian dengannya.Segala sabar dan baktiku selama ini sudah tak mampu lagi kutahan, bahkan kini aku sudah mengubur dalam-dalam anganku untuk bisa bersama-sama dengan Mas Naufal hingga akhir hayat.Aku tersenyum kecut, mengingat begitu banyak janji-janji dan harapan yang telah kami buat bersama-sama. Namun nyatanya, tak satupun yang bisa tercapai hingga hari ini.Dan hari ini, dengan langkah pasti aku memasuki ruangan sidang perceraianku dengan Mas Naufal. Dengan segala pertimbangan, akhirnya aku kini mantab untuk berpisah dari Mas Naufal.Di pojok sana, kulihat Mas Naufal tengah bercengkerama dengan gundiknya. Sedang aku berdiri disisi pintu dengan ditemani oleh Fahmi.Ya, Fahmi. Lelaki yang selalu siap siaga ketika aku membutuhkan bantuan. Entah apa anggapan orang, bagaimana me
Jantungku berdegub kencang, panas menjalar di sekujur tubuhku ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Naufal memanjakan istri mudanya. Dan juga ia telah berani mengkhianatiku untuk kedua kalinya dengan mencuri kartu yang selama ini kupegang.Rasanya sudah tidak ada lagi air mata yang menetes di kedua pipiku, karena dengan begitu banyaknya luka yang Mas Naufal torehkan di dalam hatiku. Mungkinkah ini harus menjadi akhir dari sebuah pengorbanan yang telah aku berikan selama ini."Hei ... Liatin apa?" ucap Fahmi mengagetkanku.Aku terperanjat, lantas menoleh kearahnya dengan tatapan sayu."Loh, kamu kenapa?" lanjutnya lagi, membuatku semakin terluka."Lihat," kataku sembari menunjuk Kirani yang tengah memeluk erat lengan Mas Naufal."Mas Naufal sudah mengkhianatiku berulang kali, bahkan kali ini dia berani mencuri tabungan kita untuk memanjakan istri mudanya itu," pungkasku.Entah harus bagaimana lagi menyikapinya, rasanya hatiku sudah mati rasa dengan semua perlakuan Mas Naufal
Entah kenapa aku bisa menikah dengan seorang lelaki serakah sepertinya. Seperti tak punya dosa ia menikah tanpa sepengetahuanku, namun ketika aku punya seorang sahabat laki-laki ia dengan tegas melarangku. Apa ini adil?Ketika aku berusaha ingin mempertahankan pernikahan kami, ia tak pernah sedikitpun berusaha untuk memperbaiki sikap. Hingga Fahmi datang dan seakan merubah seluruh isi hatiku yang sedang porak poranda ini.Hatiku begitu tenang ketika sedang bersama Fahmi, entah karena sebelum ini memang kami sudah kenal atau karena memang dia adalah orang yang pandai mengambil hati."Zi, kamu kenapa?" ucap Fahmi ketika di perjalanan.Aku tersentak, seketika itu juga sadar dari lamunanku."Oh ... Tidak, tidak ada apa-apa,""Suamimu marah, ya, gara-gara aku jemput kamu?"Aku tersenyum miring."Biarkan, dia sudah cukup menyakiti hatiku. Sekarang tak ada lagi alasannya untuk melarangku dalam setiap perbuatanku. Jika dia memang keberatan, aku tidak takut jika harus bercerai dengannya,"Fahm
Sudah tiga malam ini Mas Naufal tidak pulang, dan aku juga tidak berusaha menghubunginya. Pun dia juga tidak berusaha menghubungiku sendiri. Terserahlah dia mau berbuat apa, hatiku sudah terlanjur sakit.Aku memilih tidur lebih awal agar tak terlalu memikirkan Mas Naufal. Entah apa maunya, hingga tak mengabariku selama tiga malam ini. Kata teman kerjanya selama tiga hari ini dia juga tidak masuk kerja.'Tenang, Zi. Kamu masih muda, wajahmu juga tak terlalu jelek, masih banyak lelaki yang mau denganmu. Hapus air matamu itu, tidak berguna'Gumamku dalam hati yang membuat hatiku semakin teriris. Aku menengadahkan kepalaku, agar buliran bening ini tidak meluncur di pipiku.Aku menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, berusaha memejamkan mata agar bisa lupa dengan rasa sakit yang kian menelusup dalam dada. Mas Naufal yang dulu sangat perhatian dan sayang padaku kini telah berpaling dengan wanita lain. Seharusnya aku juga bisa bangkit dan lekas melupakannya.Jika memang pernikaha
Sudah dua hari ini Mas Naufal jadi lebih pendiam, tak banyak bicara jika bukan aku yang mengajaknya bicara. Entahlah, karena apa dia bisa bersikap demikian denganku. Mungkin karena kejadian Fahmi tempo hari. Aku tersenyum licik, biarlah dia merasakan apa yang sudah aku rasakan."Sarapan, Mas." Aku melongokkan kepalaku ke dalam kamar, karena sudah pukul setengah tujuh lewat tapi Mas Naufal tak juga keluar dari kamar.Kulihat ia masih terduduk diam di atas ranjang lengkap dengan baju kerjanya."Mas ...." Panggilku lagi.Ia menoleh dan tergagap, sepertinya ia baru saja melamun."Ayo sarapan," kataku mengulangi.Mas Naufal beranjak dan berjalan mengikutiku ke depan meja makan, ia duduk dengan gontai. Tatapannya kosong, sudah dua hari ini juga Kirani tak datang kemari. Mungkin dia malu karena kebohongannya telah kubongkar."Mau sarapan nasi goreng atau roti, Mas?"Dahiku mengkerut, Mas Naufal kembali terdiam melamun."Mas!" Bentakku geram."Oh, ah iya? Terserah kamu saja, Dek,"Aku mendeng
Wajah Kirani terlihat merah, mungkin ia geram dengan kepulanganku."Dengar, ya. Ada janin Mas Naufal di dalam perutku. Kamu tak berhak mengusirku!" kata Kirani yang membuatku tertawa terbahak-bahak."Baiklah, mari kita buktikan saja. Mas, siapkan mobil, kita ke dokter kandungan sekarang juga.""Apa?!" pekik Kirani keras."Kenapa? Kamu takut?" ledekku lagi.Sedang Mas Naufal hanya diam membisu tak berani menengahi pertengkaran kami."Tidak! Aku tidak takut, hanya saja ....""Hanya saja apa? Sudah tidak perlu banyak bicara. Ayo kita buktikan." Kuseret kasar tubuhnya keluar rumah, Mas Naufal terlihat mengacak rambut kasar. Mungkin keputusannya memasukkan gundik tak tahu diri ini ke dalam rumah saat aku tak ada adalah suatu kesalahan yang fatal untuknya.Kuseret tubuh kecil Kirani masuk ke dalam mobil, lalu menyuruh Mas Naufal untuk menyetir. Sedang aku ikut duduk di belakang bersama Kirani, agar ia tak berbuat macam-macam lagi.Aku sengaja mengarahkan Mas Naufal untuk mengunjungi Dokter
Pagi menjelang, dan perasaanku masih sama seperti sebelumnya. Kosong. Semenjak aku tahu bahwa Mas Naufal mengkhianatiku, aku tak lagi bersemangat setiap paginya. Karena biasanya, dialah salah satu penyemangat dalam hidupku.Kubuka ponselku yang tergeletak di atas bantal, setelah semalam saling bertukar pesan dengan Fahmi. Seorang pria yang merupakan teman sekolahku dulu.Ia masih sama seperti dulu. Kaku. Penuh misteri. Hanya saja kini ia terlihat lebih keren dari dahulu. Aku tersenyum kecil mengingat masa-masa sekolah kami dulu.Aku lantas bergegas mandi dan berangkat bekerja, semoga saja hari ini aku tak sial seperti hari kemarin. Seharian penuh pekerjaanku tak ada yamg beres."Pagi," sapaku pada Ara yang telah duduk manis dimejanya."Pagi juga, ada apa, nih? Tumben hari ini terlihat sangat bersemangat? Apa sudah baikan dengan Naufal?" tanya Ara menggelitik hatiku.Bahkan sebulan ini aku tak tahu bagaimana kabar Mas Naufal, dia hanya beberapa kali menghubungiku tanpa aku respon. Biar
Pov KiraniHatiku sedikit tersentil ketika Mas Naufal begitu memperdulikan istri tuanya daripada aku. Bahkan aku mendengar mereka bermesraan di seberang telepon sana. Membuat hatiku terbakar cemburu, sedang aku sampai detik ini belum disentuhnya.Dengan sengaja pagi-pagi sekali aku sudah mendatangi rumah mereka, lalu menggedor pintu kasar agar mereka segera keluar rumah.Ternyata yang membukakan pintu untukku adalah istri tua yang sombong itu. Membuatku semakin malas, ketika melihat rambutnya tergerai dan basah, itu artinya semalam mereka memang melakukan hal itu. Jahat kamu Mas!Dan lagi-lagi hatiku dibuat panas ketika Mas Naufal tak membukakan pintu untukku ketika istri tuanya itu marah. Sebenarnya kamu cinta tidak, sih, Mas. Apa lebih baik aku mundur?Aku melangkah gontai meninggalkan rumah Mas Naufal, tak terasa buliran kristal keluar dari sudut mataku. Apa yang aku lakukan ini salah? Karena telah mencintai lelaki yang telah memiliki istri? Tapi bukankah cinta itu datang dengan se
Sudah lebih dari satu bulan aku berusaha berdamai dengan hatiku. Berusaha menerima kenyataan meski sulit, menelan pil pahit yang telah ada di dalam rongga tenggorokan. Mau tak mau aku harus menelannya meski menyakitkan. Tapi inilah hidup, harus tetap berjalan meski di terpa kerikil-kerikil kecil maupun bongkahan batu besar seperti yang tengah aku alami kini.Selama satu bulan ini juga aku mendiami sebuah kos-kosan kecil yang kusewa karena aku pergi dari rumah meninggalkan Mas Naufal. Ya, sudah satu bulan. Itu artinya bukan waktu yang sebentar untukku. Berada jauh darinya membuatku seperti tak bernyawa, tapi setidaknya aku ingin memberikan sedikit pelajaran berharga untuknya.Hari ini aku pulang kerja lebih awal, aku sengaja singgah di sebuah cafe untuk sekedar minum kopi setelah penat dengan pekerjaanku siang ini. Kupesan satu gelas cappucino hangat dan duduk termenung di pojok cafe yang menghadap langsung ke arah taman kota. Sungguh pemandangan yang indah ketika ada dia sejoli yang t